18 research outputs found

    THE BIGGER WAVE OF HALLYU (한넘) IN INDONESIA: GLOCALIZATION?

    Get PDF
    Hallyu (한넘) or Hallyu (한넘) or best known today as K-Pop, extensively spreading in East Asian countries such as Mainland China and Taiwan. Through globalization, the Korean wave widening its influence on Southeast Asian countries, including Indonesia, since 1999. Twenty years on, in 2019, this cultural transformation from Korea to its neighbor countries continuously influence, and even more significant. Indeed Hallyu (한넘) is a unique phenomenon in the Korean modern entertainment industry. After Korea massively succeeded in invading Indonesian entertainment with melodrama, film, and music, the term K-Beauty is now very familiar with Indonesian people. The invasion of Korean cosmetic brands, as they start to enter the culinary business as well, by opening Korean food restaurants in Indonesia. However, the regulation of the Indonesian Ulema Council (MUI) and Food and Drug Supervisory Agency (BPOM) regarding the requirement of Halal certified must be faced by Hallyu (한넘) products when they enter the Indonesian market, as the biggest Muslim population in the world. This study is a library research which largerly qualitative. This article has considered the consequences of Korean wave’s influence through Globalization, that triggered the consumerism behavior which can be traced by the rational choice of young people in Indonesia. I seek to examine the influence of Hallyu (한넘) in Indonesia in the context of Glocalization as the result of Globalization. It also presented a snapshot of how consumers react and make decisions regarding their purchases in this rapidly influence. The research findings defines that Hallyu (한넘) has become an ethnocentric agent for South Korea, which had to deal with the regulation of halal matter in Indonesia. The conclusion of this paper offered some suggestions to help to minimize the pitfalls of Hallyu (한넘) influence to Indonesia

    Vertical Video Trends Among Amateur Digital Platform Users as an Alternative for Film Production

    Get PDF
    The Vertical Video Syndrome expression adequately represents the spread of the production process and projection of amateur digital content in vertical format. For smartphone users, the vertical is the king. All components of digital life make users subconsciously hold their phones vertically on various occasions. Penetration after penetration is carried out, from flexibility and artificial intelligence, to private viewing rooms that move dynamically. As a new starting point in quite an extended period, the vertical video gives birth to a glimmer of hope in a film atmosphere that seems exclusive and rigid. However, problems have arisen as user demands have increased and smartphones have become sociocultural necessity over the last decade. With a vertical screen, people are used to spending time watching video shows, including recording all their activities. Because of that, there is a big challenge for filmmakers to see the opportunities that exist. The vertical format creates a narrow, elongated reading space. The camera movement, which used to use action from left to right, now switches from top to bottom. Subjects in vertical formats are also forced to submit to limited reading space. In conventional films, close-ups can isolate the field of view while at the same time emphasizing facial expressions. But not vertically because it will bring out a different density; what arises is not a close-up but a big close-up and even an extreme close-up. As a result, this gives motivation and a different meaning visually. It would be a lie if this didn't fall into the challenges to be solved. The field of view gets more complicated. The vertical concept encourages creators to get out of the conventional mindset. Likewise, with the actors involved, the vertical format provides a more challenging exploration of expressions and gestures. This research uses qualitative methods in collecting data and utilizes a lot of current literature. The research results are in the form of knowledge and recommendations regarding the packaging and distribution of film production in a vertical format. Tren Video Vertikal di Antara Pengguna Platform Digital Amatir sebagai Alternatif Produksi Film. Sindrom Video Vertikal, ungkapan itu cukup mewakili merebaknya proses produksi dan proyeksi konten digital amatir berformat vertikal. Bagi pengguna smartphone, vertikal adalah raja. Seluruh komponen kehidupan digital membuat pengguna secara alam bawah sadar memegang telepon secara vertikal dalam beragam kesempatan. Penetrasi demi penetrasi dilakukan, fleksibilitas, kecerdasan buatan, hingga ruang tonton privasi yang bergerak dinamis. Sebagai titik pijak baru dalam kurun waktu yang cukup panjang, video vertikal melahirkan secercah harapan dalam suasana perfilman yang terkesan eksklusif dan kaku. Namun, persoalan pun muncul, di kala tuntunan pengguna semakin tinggi dan smartphone menjadi kebutuhan sosiokultural sejak satu dekade terakhir. Dengan layar vertikal, orang terbiasa menghabiskan waktu untuk menonton tayangan video termasuk merekam segala aktivitasnya. Karena itulah, muncul tantangan besar bagi pembuat film guna melihat peluang yang ada. Format vertikal mencipta ruang baca yang menyempit memanjang. Memindahkan pergerakan kamera yang terbiasa memanfaatkan pergerakan dari kiri ke kanan, kini beralih dari atas ke bawah. Subjek pada format vertikalpun dipaksa untuk tunduk pada ruang baca yang terbatas. Pada film konvensional, close-up sudah mampu mengisolasi ruang pandang sekaligus mempertegas ekspresi wajah. Namun tidak pada vertikal karena akan memunculkan kepadatan yang berbeda, yang timbul bukan close-up melainkan big close-up bahkan extreme close-up. Alhasil ini memberi motivasi dan makna yang berbeda secara visual. Suatu kebohongan jika ini tidak masuk dalam kategori tantangan yang harus dipecahkan. Ruang pandang menjadi sedikit lebih rumit. Konsep vertikal benar-benar mendorong kreator untuk keluar dari pola pikir konvensional. Begitu pula dengan aktor yang terlibat, format vertikal memberikan tantangan eksplorasi yang lebih pada ekspresi dan gerak tubuh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data dan memanfaatkan banyak literatur saat ini. Hasil penelitian berupa pengetahuan dan rekomendasi tentang pengemasan dan distribusi produksi film dalam format vertikal

    Estetika Film Parasite dengan Analisis Fokalisasi (melalui Sudut Pandang Tokoh)

    Get PDF
    Penelitian ini mengkaji bagaimana fokalisasi diterapkan ke dalam film Parasite dan bagaimana analisis fokalisasi menjadi dasar kajian estetika film Parasite melalui Skripsi Pengkajian Seni berjudul Estetika Film Parasite dengan Analisis Fokalisasi (Melalui Sudut Pandang Tokoh). Penelitian akan dianalisis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mengumpulkan dokumentasi dan observasi. Satuan data yang akan dianalisis berupa scene-scene yang ada di dalam film Parasite. Tahap penelitian ini dimulai dengan mengamati film Parasite, menganalisis naratif film Parasite, menganalisis fokalisasi film Parasite, menganalisis relasi fokalisasi antartokoh pada film Parasite, mengkaji estetika film Parasite, dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini ditemukan penerapan fokalisasi pada tiga karakter utama dan pendukung yaitu keluarga Kim, keluarga Park, dan keluarga Moon-gwang. Penerapan fokalisasi terbanyak adalah fokalisasi eksternal dengan jumlah fokalisasi keluarga Kim 143 scene, fokalisasi keluarga Park 86 scene, dan fokalisasi keluarga Moon-gwang 49 scene. Fokalisasi Internal diterapkan pada fokalisasi keluarga Kim sebanyak 26 scene dan fokalisasi keluarga Moon-gwang sebanyak 1 scene. Relasi fokalisasi yang terjadi antara tokoh utama dan pendukung membentuk alur cerita yang dramatis melalui fokalisasi internal dan eksternal. Jadi, estetika film Parasite berkaitan dengan pengungkapan karakter dan pembangunan alur cerita yang padat dan dramatis

    Pengaruh Konflik Multiple terhadap Character Arc “Beth” pada Serial The Queen's Gambit

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh konflik multiple terhadap Character Arc, dengan menggunakan penelitian kualitatif. Data yang diperoleh untuk penelitian ini menggunakan teknik non-participant observation atau observasi yang dilakukan secara langsung dalam kegiatan atau proses yang sedang diamati.  Data ini diperoleh melalui teknik dokumentasi melalui layanan streaming Netflix yang menjadi akses dalam menonton serial The Queen’s Gambit dan buku yang berhubungan dengan Character Arc dan struktur naratif sebagai studi pustaka. Character Arc merupakan transformasi perjalanan sebuah karakter dalam cerita. Tranformasi karakter dipengaruhi oleh naratif dan konflik yang dihadapinya. Pada penelitian ini berfokus pada transformasi pada tokoh utama. Hasil penelitian ini dapat menunjukan karakterisasi Beth melalui konflik ceritanya membentuk perubahan karakter yang cukup signifikan secara dimensi psikologis, sosiologis dan fisiologis. Multiple Conflict yang dialami Beth berhasil membuat pengaruh baik dan buruk dalam dirinya. Menurut teori K.M Weiland, karakter Beth dapat di deskripsikan memiliki transformasi menuju Positive Change Arc dan Negative Change Arc  dalam setiap episodenya karena karakter ini mencari tingkat pemenuhan dan penyangkalan pribadi untuk kebebasan yang diinginkan. Hal ini menghasilkan pengaruh Multiple Conflict itu berhasil membangun periodik naik dan turun pada karakter Beth.Kata Kunci : Character Arc, Tokoh utama, Multiple Conflict, serial The Queen’s Gambit   

    Analysis of Students’ Knowledge Mastery and Oral Communication Skills Through the Implementation of Think-Pair-Share Model

    Get PDF
    This research aims to analyze the influence of the model Think-Pair-Share (TPS) implementation to knowledge mastery capabilities and oral communication skills of high school students. This is an experimental quasi research with nonequivalent control group design. Population include all students of class X MIPA High School 1 Subah with sample classes X MIPA 1 as experiment class and X MIPA 2 as control class determined by purposive sampling that teacher suggested. The result of t-test shows the significant difference of average posttest grade between experiment and control classes. The increase of learning result experimental class 0,39 (mean), ie from 71,76 become 82,54 while control class 0,18 (low), ie from 70,25 become 75,34. The t-test result also shows a significant difference grade of oral communication skill between the experimental and control classes. The average score of oral communication skill of experiment 78,33, better than control 67,15. This shows that the TPS model has a positive influence on the ability of mastery knowledge and students' oral communication skills. This is supported by the good responses from students and teacher toward model TPS implementation in environmental change learning

    Trend Video Vertikal Di Kalangan Pengguna Platform Digital Amatir Sebagai Alternatif Produksi Film

    Get PDF
    Sindrom Video Vertikal, barangkali ungkapan itu cukup mewakili merebaknya menonton lewat telepon pintar dan juga maraknya pembuat konten digital amatir dengan format vertikal. Bagi pengguna aktif telepon pintar, vertikal adalah raja. Bagaimana tidak, seluruh komponen kehidupan digital membuat pengguna secara alam bawah sadar memegang telepon secara vertikal dalam kesempatan apapun. Tak butuh waktu lama bagi telepon pintar untuk menguasai seluruh aspek kehidupan. Penetrasi demi penetrasi dilakukan, dari fleksibilitas, kecerdasan buatan, hingga ruang tonton privasi yang bergerak dinamis. Sebagai titik pijak baru dalam kurun waktu yang cukup panjang, video dengan format vertikal seakan-akan melahirkan secercah harapan dalam suasana perfilman yang terkesan eksklusif dan kaku. Sejak kemunculannya pada berbagai platform digital semacam Snapchat, TikTok, Facebook, Instagram, hingga Twitter tren film pendek dengan konsep portrait mendapatkan perhatian lebih, baik dari insan perfilman, kritikus, akademisi, dan penonton. Video vertikal kini merubah budaya menonton sekaligus cara penonton dalam menikmati video online. Tentu saja selain dominasi media sosial yang menguat, juga didukung keunikan pengemasan dan distribusi yang dirasa pas dan cenderung lebih nyaman meninjau penggunaan telepon genggam yang semakin pesat. Keterbatasan ruang cerita memaksa tim kreatif berupaya lebih dalam kerangka mencipta. Begitu pula dengan talent yang terlibat, format vertikal memberikan tantangan eksplorasi yang lebih pada ekspresi dan gerak tubuh. Hal ini mungkin saja tidak terlalu dijamah pada era sebelumnya (zona ruang kerja kamera landscape). Sekaligus tetap memperhatikan muara produksi yakni menyoal distribusi pada jaringan bioskop yang barangkali masih teguh dengan komitmen format horizontal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data, memanfaatkan banyak literatur saat ini dan praktik yang melingkupi fenomena produksi video vertikal dan upaya untuk menyatukan jalinan kerja sama yang saling menguntungkan antara gagasan ide dan teknologi terbarukan. Target luaran penelitian ini berupa publikasi jurnal Sinta dua (Rekam). Hasil penelitian berupa pengetahuan dan rekomendasi tentang pengemasan dan distribusi produksi film dalam format vertikal yang tepat, sehingga nyaman untuk ditonton oleh pengguna platform digital di masa semakin pesatnya perkembangan teknologi, namun juga tidak melupakan unsur seni yang diolah menjadi saling beririsan untuk menghasilkan tayangan yang sesuai dengan tuntutan zaman

    Lev Manovich: “The Language of New Media” (A Book Review)

    No full text
    Banyak istilah baru tentang teknologi yang masih belum diketahui secara lengkap oleh masyarakat. Salah satu istilah yang menarik adalah NewMedia (Media Baru). New Media ini mencakup kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Lev Manovich adalah seorang profesor ilmu komputer di City University of New York, menerbitkan buku The Language of New Media yang membahas tentang sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai “media baru”digital, yang seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak.Kata kunci: Lev Manovich, new media, digita

    Membuat Film Dokumenter dan Video Reakkitas (III).

    No full text
    Buku ini merupakan bagian ke III terjemahan dari buku berjudul “Making Documentary and Reality Videos”. Isi terjemahan adalah Bab III, tentang produksi dan Bab IV, tentang pasca produksi

    Transnasionalisme dan Translasi Budaya Melalui Media Televisi “Studi pada Trend Hallyu di Indonesia”

    No full text
    Cultural images, fantasies and imaginations are formed differently depending on location technology and characteristic of cultural consumption. When cultures of of different “symbolic structures” across national bounderies, they are influenced by historically accumulate images that each nation holds of one another. Culture consists of knowledges, beliefs, perceptions, attitudes, expectations, values and patterns of behavior that people learn by growing up in a given society. A media such as television occupies an important place in culture and society. Media messages are perceived differently according to the diverse backgrounds, cultures and life-styles of audiences. Culture as a strategy of survival is both transnational and translational. It is transnational because ithas to have physical centers somewhere, places in which, or from where, their particular meanings are produced. Culture is translational because such spatial histories of displacement now accompanied by the territorial ambitions of global media technologies.Television plays a very important role in a society. It can change opinions because it has access to audiences and gives a lot of strength. The strength that can either be used constructively or destructively. Their programs have an impact and people as the audiences listen to them
    corecore