10 research outputs found
The Roles of Escorts for Women Who Are Having Cases Before the Law in Courts Under the Legal Jurisdiction of Palembang City
Chapter 1 article 1 of the Regulation of the Supreme Court of the Republic of Indonesia number 3 of 2017 has clearly defined that women having cases before the law consist of women who violate the law, women who testify in court, female crime victims, and women who stands as a party in a case. They have the right to get protection, access to justice, and receive fair treatment without discrimination. In addition, they are also entitled to receive recovery and restitution from the damage caused by a crime. Protection during the judicial process must also be provided because of the potential threats they may face in cases involving them. Therefore, it is very important to provide trustworthy escorts while they are following the judicial process so that their rights can be fulfilled and properly accommodated
Peran Stakeholders Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Tsunami Selat Sunda di Provinsi Lampung Tahun 2018
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah provinsi di Indonesia yang rawan terkena bencana gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Letak provinsi lampung yang berbatasan dengan Selat Sunda di sebelah Selatan, Laut Jawa di sebelah Timur, dan Samudra Indonesia di sebelah Barat menjadikan daerah provinsi ini dapat terkena dampak bencana alam tsunami maupun gelombang air pasang. Tipe topografi Provinsi Lampung yang berbukit sampai bergunung sampai bergelombang juga menjadi salah satu faktor provinsi ini menjadi rawan bencana. Dalam bencana tsunami Selat Sunda pada akhir tahun 2018 yang lalu beberapa daerah di Provinsi Lampung yang berada di pesisir Selat Sunda juga tekena dampak yang menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan. Dampak tsunami terbesar dialami desa-desa yang berada di pesisir Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Keterbatasan alat, kurangnya keseriusan pemerintah dalam mitigasi bencana, serta informasi yang kurang menjadi faktor-faktor yang dapat menghambat penyelenggaraan penanggulangan bencana. Secara yuridis, penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalam Pasal 33 UU Nomor 24 Tahun 2007 dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pra-bencana; saat tanggap darurat, dan; tahap pasca bencana. Dengan metode yuridis empiris, penelitian ini mengkaji penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam bencana Tsunami Selat Sunda tahun 2018 di Provinsi Lampung. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menemukan akar permasalahan sehingga menghasilkan sebuah solusi untuk perbaikan kebijakan penyelenggaraan penangulangan bencana di Indonesia
Rethinking Indonesian Legislation on Wildlife Protection: A Comparison between Indonesia and the United States
In Indonesia, a crime against wildlife is still not well controlled. Several reasons are the fact that certain wildlife is still considered a threat by the community and the lack of implemented criminal sanctions. This paper compares the application of sanctions to perpetrators of wildlife crimes between Indonesia and America. Based on the Indonesian Law, Article 40(2) of the Law on Conservation of Living Natural Resources and their Ecosystems, a person who commits a crime against individual wild animals can be imprisoned for a maximum of five years and a maximum fine of one hundred million rupiahs. Meanwhile, the United States Law, the Endangered Species Act (ESA), charges wildlife criminals with criminal and civil penalties. In § 1540(a)(1) it provides that anyone who takes, imports, exports, transports or sells endangered species can be fined not more than 12,000. Also, additional criminal sanctions were imposed to revoke federal licenses, lease permits and hunting permits. This study aims to analyse criminal sanctions' enforcement in criminal cases against protected animals in courts in Indonesia and the United States to find best practices using normative legal research methods. The results show that the criminal sanctions against wildlife crimes in Indonesia have never reached the maximum sentence so that it is not sufficient to provide a deterrent effect for the perpetrators. Unlike in America, the imprisonment sanction for criminal sanctions for protected animals is still relatively weak, but fines and civil sanctions can be maximally applied
SOSIALISASI PRINSIP AKUNTABILITAS PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN DESA MENURUT UU NOMOR 6 TAHUN 2014 DI DESA SERIKEMBANG KECAMATAN PAYARAMAN KABUPATEN OGAN ILIR
Desa merupakan suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal satu sama lain atas dasar hubungan kekerabatan dan/ atau kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Dimana pertumbuhannya menjadi suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir dan batin antara masing-masing warganya yang pada umumnya warga tersebut hidup dari hasil pertanian, mempunyai hak mengatur rumah tangganya sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota. Dengan adanya perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Jo Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pengelolaaan keuangan desa yang dilaksanakan oleh Kepala Desa yang termaktub juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. dikatakan bahwa minimal pendidikan kepala desa adalah smp sederajat, yang menjadi permasalahannya adalah bagaimana pengaplikasiannya jika pendidikan hanya smp dan sederajat mengelola keuangan Negara dengan program pemerintah 1 desa 1 Milyar. Bentuk transparansi laporan pertanggungjawaban kepala desa dalam pengelolaan keuangan yang harus dilaporkan kepada Bupati secara langsung
PENGELOLAAN DAN INFORMASI PERENCANAAN ANGGARAN DESA
Dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat, sebagai pengejawantahan dari prinsip good governance melalui prinsip transparansi yaitu keterbukaan informasi publik, seluruh informasi tentang penggunaan dana desa harus diberikan secara rinci dan transparan kepada masyarakat sebagai konsekuensi pertangggungjawaban kepala desa dalam mengelola dana desa. Penggunaan alokasi dana desa yang diterima pemerintah desa 30% alokasi dana desa dipergunakan untuk operasional penyelenggaraan pemerintah desa dalam pembiayaan operasional desa, biaya operasional BPD, biaya operasional tim penyelenggara alokasi dana desa. Sedangkan 70% dana desa dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana ekonomi desa, pemberdayaan dibidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan. Tujuan PKM ini adalah memberikan penyuluhan mentransfer informasi dan pengetahuan tentang pengelolaan dan perencanaan anggaran desa bagi perangkat desa yang mempunyai kewenangan untuk membuat anggaran desa. Metode yang digunakan adalah penyuluhan dengan diskusi dan tanya jawab. Simpulan yang didapat bahwa pada kegiatan ini menginformasikan mengenai perencanaan anggaran desa kepada aparat desa khususnya kepala desa, sebab mereka di tuntut untuk bertanggungjawab penuh dalam pengelolaan dana desa untuk mengembangkan potensi desa yang terwujud dalam pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya, oleh karenanya pemerintah desa harus menerapkan prinsip penyelenggaraan yang baik untuk mewujudkan good governance
Comparison of Wildlife Protection Law between Indonesia and the United States
Indonesia is known as one of the richest countries for its biodiversity. Plants, animals, and forest are very diverse in every region in Indonesia. Unfortunately, from time to time the numbers of biodiversity have been decreased along with the development of Indonesia. Nowadays, numbers of Sumatera Tigers and Orang Utan are not more than 400 since they were traded, captured, and killed in the name of economic development. Even wildlife habitat, forest, were converted to non-forestry use. Theoretically, Indonesia has Conser-vation Act which is the Law Number 5 of 1990 on Conservation of Biodiversity and Ecosystem in which providing protection to the biodiversity. However, this law mostly talks about conservation system rather than providing legal protection to the wildlife and its habitat. In addition, the law seems to stand on its own, meaning only Biodiversity Law regulates protection to wildlife. Other acts like Forestry law, Environmental law, Plantation law, and Mining law do not provide wildlife protection. While both flora and fauna are the most vulnerable elements affected by activities which are regulated by those laws. The existence of the conditions above indicates that the legal protection of wildlife needs to be improved. One of the improvement efforts is to reform the Indonesian wildlife protection law. The law reform of Indonesia wildlife protection can be done through comparative approach toward legal framework of wildlife protection of Indonesian and United States
Pengelolaan Keuangan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Berbasis Pertanggungjawaban Kepala Desa
Pengelolaan keuangan desa merupakan semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Keuangan desa dikelola berdasarkan atas asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Sedangkan pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa. Diperlukan Peraturan Bupati/Walikota untuk mengatur mengenai Pengelolaan Keuangan Desa. Pada dasarnya tulisan ini membahas salah satu siklus dari pengelolaan Keuangan desa yaitu Pertanggungjawaban Keuangan Desa. Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan pengetahuan bagi aparatur desa yang terkait dengan pengelolaan keuangan desa, terutama Kepala Desa sebagai tampuk pimpinan di desa serta pertanggungjawabannya. Metode yang digunakan adalah ceramah dan diskusi. Pembahasan pada tulisan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemeritahan desa, dimana kepala desa bertanggung jawab kepada camat, tetapi setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, maka kepala desa langsung bertanggungjawab kepada Bupati/walikota, yaitu terkait bagaimana pengelolaan dana desa secara baik
SATWA DALAM BENCANA: SIAPA YANG MENYELAMATKAN?
ABSTRAKSecara nasional, pengaturan sistem penanggulangan bencana nasional terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Sistem penanggulangan bencana nasional dimaksudkan untuk mencegah dan mengurangi resiko bencana melalui tiga tahapan yang terdiri dari: tahapan pra-bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Secara umum, penanggulangan bencana nasional diarahkan untuk melindungi kepentingan manusia sebagai individu yang terkena dampak bencana. Faktanya, dampak dari bencana tidak hanya berdampak pada manusia. Hewan (peliharaan) dan satwa adalah korban bencana yang tidak dapat dihindari. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) sebagai unsur pelaksana sistem penanggulangan bencana nasional tidak memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menyelamatkan satwa dalam bencana. Hal ini tentunya menimbulkan dampak terhadap jumlah satwa yang turut berkurang disebabkan bencana. Artikel ini membahas hukum positif penanggulangan bencana nasional dan internasional untuk mengetahui apakah sistem penanggulangan bencana nasional telah memberikan perlindungan kepada satwa dalam bencana. Dengan metode yuridis normatif, penelitian ini menemukan bahwa belum ada instrumen hukum nasional dan internasional yang mengatur mengenai upaya penyelamatan satwa dalam bencana.Kata kunci: korban; penanggulangan bencana; penyelamatan satwaABSTRACTThe national disaster management system is subject to Law Number 24 of 2007. The national disaster management system is intended to prevent and reduce disaster risk through three stages consisting of: pre-disaster, emergency response, and post-disaster stages. In general, national disaster management is aimed for protecting human interests as individuals affected by disasters. In fact, the impact of disasters does not only affect humans. Animals (pets) and wildlife are victims of disasters that cannot be avoided. The National Disaster Management Agency (BNPB) as the implementing element of the national disaster management system does not have the obligation and responsibility to save wildlife in disasters. This of course has an impact on the number of animals that have also decreased due to the disaster. This article discusses the national and international disaster management laws to find out whether the national disaster management system has provided protection to wildlife in disasters. Using the normative juridical method, this study found that there are no national and international legal instruments that regulate efforts to rescue wildlife in disasters.Keywords: victim; disaster management; wildlife rescueIndonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rawan bencana. Sistem penanggulangan bencana nasional diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Penanggulangan bencana terdiri dari tiga tahapan: 1. Pra-bencana; 2. Tanggap darurat; 3. Pasca bencana. Penanggulangan bencana nasional diarahkan kepada kepentingan manusia sebagai individu yang terkena dampak bencana. Padahal dampak dari bencana tidak hanya berdampak pada manusia, hewan dan satwa juga merupakan korban bencana yang tidak dapat dihindari. Sementara Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) tidak memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menyelamatkan satwa dalam bencana. Sehingga satwa pun berjuang sendiri dalam bencana. Artikel ini berusaha mengupas hukum positif penanggulangan bencana nasional dan mengetahui apakah sistem penanggulangan bencana nasional telah memberikan perlindungan kepada satwa dalam bencana. Selanjutnya, tulisan ini menawarkan bagaimana sistem penanggulangan bencana nasional seharusnya dapat melindungi satwa dari bencana. Perlindungan tersebut harus dilakukan dalam tiga tahapan bencana. Selanjutnya hal tersebut harus mendapatkan legitimasi dengan cara menempatkan rencana perlindungan satwa dalam bencana ke dalam peraturan perundang-undangan penanggulangan bencana. Dengan metode yuridis normatif artikel ini bertujuan untuk merumuskan bentuk perlindungan satwa dalam penanggulangan bencana nasional