58 research outputs found

    Klasterisasi Dokumen Web Menggunakan ACO-Based Clustering Method <BR>Web Document Clustering Using ACO-Based Clustering Method

    Get PDF
    ABSTRAKSI: Seiring perkembangan, algoritma TSP dikembangkan untuk memecahkan masalah klasterisasi dokumen dengan menganalogikan dokumen sebagai node. Algoritma ACO merupakan salah satu algoritma optimasi yang menyelesaikan permasalahan TSP. Algoritma ACO terdiri atas AS, ASrank, MMAS, EAS,dan ACS. Algoritma AS merupakan algoritma pertama yang diterapkan dengan menerapkan aturan transisi random proportional, namun untuk jumlah node yang banyak(>30 node), algoritma ini tidak optimal dan waktu eksekusi yang lama, Pengembangan algoritma AS, yaitu algoritma ASrank, MMAS, dan EAS juga belum memberikan solusi yang optimal dan waktu eksekusi yang stabil. Oleh karena itu, selanjutnya dikembangkan algoritma ACS sebagai perbaikan dari algoritma AS dengan menerapkan aturan transisi pseudorandom proportional. Pada Tugas Akhir akan diimplementasikan algoritma ACS sebagai perbaikan dari algoritma AS pada permasalahan klasterisasi.Pengujian dilakukan untuk mengetahui perbandingan performansi algoritma ACS dan AS dalam klasterisasi dokumen. Dari hasil pengujian, bertambahnya jumlah semut yang digunakan memperbaiki total jarak yang dihasilkan oleh masing-masing algoritma pada Trial Phase. Untuk jumlah semut yang kecil, total jarak yang dihasilkan oleh algoritma ACS lebih baik dibandingkan algoritma AS. Bertambahnya jumlah semut dan jumlah dokumen, menambah lamanya waktu eksekusi, namun algoritma ACS selalu lebih cepat dibandingkan algoritma AS. Pada tahap Dividing Phase, koefisien attachment(&#948;) mempengaruhi jumlah klaster yang dibentuk, semakin kecil nilai &#948;, semakin sedikit jumlah klaster yang terbentuk.Dalam melakukan klasterisasi dokumen,kualitas klaster yang dihasilkan tidak dapat dilihat dari jumlah semut dan total jarak yang dihasilkan algoritma AS dan ACS pada tahap Trial Phase. Pada hasil pengujian, nilai koefisien attachment yang menghasilkan nilai index Davies bou ldin yang optimal adalah data uji 40 dokumen=0.066, data uji 50 dokumen = 0.07, data uji 60 dokumen = 0.0875, data uji 80 dokumen = 0.1035. Dari hasil pengujian, algoritma ACS memerlukan waktu eksekusi yang lebih cepat dibandingkan algoritma AS, sebab pada algoritma ACS diterapkan aturan transisi pseudo-random proportional, dimana dalam pemilihan dokumen yang akan dilewati, semut dapat hanya menerapkan aturan eksploitasi yang memanfaatkan informasi yang sudah ada, tidak perlu menghitung probabilitas semua dokumen. Selain itu, aturan pembaharuan feromon global pada ACS juga memperbaharui jumlah feromon hanya pada tour terbaik saja, tidak di seluruh tour yang dilewati semua semut seperti pada algoritma AS.Kata Kunci : Klasterisasi dokumen, TSP, random proportional, pseudorandom proportional, Algoritma AS, algoritma ACS, Koefisien Attachment, Index Davies-Bouldin.ABSTRACT: With development, the TSP algorithm developed to solve the problem of clustering documents by analogising document as a node. ACO algorithm is one of optimization algorithms that solve the TSP. ACO algorithm consists of AS, ASrank, MMAS, EAS, and ACS. AS is the first algorithm that is applied by applying random proportional transition rule, but for the large number of nodes (> 30 nodes), this algorithm is not optimal and have long execution time. AS algorithm development, namely ASrank algorithm, MMAS, and EAS also has not provide optimal solutions and the stable execution time. Therefore, the ACS algorithm is then developed as an improvement from the AS algorithm by applying pseudorandom proportional transition rule. In this Final Project, ACS algoritham will be implemented as an improvement from the AS on matters of clustering algorithms.On the clustering of documents, the quality of the resulting clusters can not be seen from the number of ants and generated a total distance of the AS and the ACS algorithm in Phase Trial stage. In the experiments, the value of the coefficient of attachment which produces the index value bou ldin Davies is the optimal test data 40 document = 0066, 50 test data documents = 0.07, test data = 0.0875 60 documents, 80 test data document = 0.1035. From the test results, the ACS algorithm requires a faster execution time compared to the AS algorithm, because at the ACS algorithm is applied the rules of the pseudo-random proportional transition, where the selection of documents that will be passed, the ant can only apply the rules of exploitation which utilize existing information, not need to calculate the probability of all documents. In addition, the global pheromone updating rule in ACS has also renewed the amount of pheromone on the tour only the best, not the entire tour that skipped all the ant algorithm as in the AS.Keyword: document clustering, TSP, random proportional, pseudorandom proportional, AS Algorithm, ACS Algorithm, Coefficient of Attachment, Davies-Bouldin Index

    Colorism, Mimicry, and Beauty Construction in Modern India

    Full text link
    Colorism adalah bentuk politik warna kulit. Mempertahankan warna berarti melestarikan politik diskriminasi. Di negara pasca-kolonial India, warna kulit menjadi simbol kekayaan dan kelas sosial. Praktik ini terkait dengan globalisasi dan kapitalisme, dan dilestarikan di dalam struktur sosial. Tulisan ini menjelaskan praktik diskriminasi dan penindasan pada wanita poskolonial India yang berdampak pada Perubahan cara berpikir dan identifikasi diri terkait dengan warna kulit. Penulis berpendapat bahwa banyak wanita di negara poskolonial berasumsi bahwa warna kulit menentukan status sosial dengan menginternalisasi keyakinan bahwa orang kulit putih lebih disukai secara sosial. Sejalan dengan asumsi dalam studi poskolonial yang menempatkan masyarakat adat sebagai subyek perifer. Persoalan kompleks yang diciptakan selama era kolonial pada dasarnya tidak lenyap di era poskolonial. Salah satu konsekuensi dari mengubah identifikasi diri adalah munculnya pewarnaan kulit dalam bentuk pemutihan kulit, yang kemudian menjadi fenomena umum yang berkembang di negara-negara berpenduduk kulit berwarna yang memiliki sejarah kolonialisme Barat. Penggunaan pemutih kulit yang meluas oleh perempuan dan laki-laki di negara-negara berkulit berwarna adalah keberhasilan kapitalisme dalam mengeksploitasi kepercayaan diri yang rendah di antara orang-orang dari negara-negara kulit berwarna. Standar kecantikan Barat adalah bentuk kekerasan struktural dengan cara menghilangkan karakteristik budaya unik dengan mengubah gagasan bahwa putih adalah warna yang ideal. Colorism is a politics of skin color. Maintaining color is preserving the politics of discrimination. However, in the post-colonial country of India, skin color is a symbol of wealth and social class. This practice is related to globalization and capitalism, and is preserved in social structures. This paper explains the practices of discrimination and oppression in Indian postcolonial women that have an impact on changing ways of thinking and self-identification related to skin color. We argue that many women in the postcolonial state adopt the assumption that skin color determines social status by internalizing the belief that whites are socially preferred that justifies a key element in the post-colonial study on the observation of the process by which indigenous peoples are placed as peripheral subjects. The complex inferiority created during the colonial era basically does not disappear in the postcolonial era. One consequence of changing self-identification is the emergence of colorism in the form of skin bleaching, which then becomes a common phenomenon that develops in colored populated countries that have Western history. The widespread use of whitening skins by female and male in non-white skinned countries is the success of capitalism in exploiting poor self-confidence among the people of the colored nations. Western beauty standards are a form of structural violence since they have removed the unique cultural characteristics by changing the idea that white is the ideal color

    Colorism, Mimicry, and Beauty Construction in Modern India

    Get PDF
    Colorism adalah bentuk politik warna kulit. Mempertahankan warna berarti melestarikan politik diskriminasi. Di negara pasca-kolonial India, warna kulit menjadi simbol kekayaan dan kelas sosial. Praktik ini terkait dengan globalisasi dan kapitalisme, dan dilestarikan di dalam struktur sosial. Tulisan ini menjelaskan praktik diskriminasi dan penindasan pada wanita poskolonial India yang berdampak pada perubahan cara berpikir dan identifikasi diri terkait dengan warna kulit. Penulis berpendapat bahwa banyak wanita di negara poskolonial berasumsi bahwa warna kulit menentukan status sosial dengan menginternalisasi keyakinan bahwa orang kulit putih lebih disukai secara sosial. Sejalan dengan asumsi dalam studi poskolonial yang menempatkan masyarakat adat sebagai subyek perifer. Persoalan kompleks yang diciptakan selama era kolonial pada dasarnya tidak lenyap di era poskolonial. Salah satu konsekuensi dari mengubah identifikasi diri adalah munculnya pewarnaan kulit dalam bentuk pemutihan kulit, yang kemudian menjadi fenomena umum yang berkembang di negara-negara berpenduduk kulit berwarna yang memiliki sejarah kolonialisme Barat. Penggunaan pemutih kulit yang meluas oleh perempuan dan laki-laki di negara-negara berkulit berwarna adalah keberhasilan kapitalisme dalam mengeksploitasi kepercayaan diri yang rendah di antara orang-orang dari negara-negara kulit berwarna. Standar kecantikan Barat adalah bentuk kekerasan struktural dengan cara menghilangkan karakteristik budaya unik dengan mengubah gagasan bahwa putih adalah warna yang ideal. Colorism is a politics of skin color. Maintaining color is preserving the politics of discrimination. However, in the post-colonial country of India, skin color is a symbol of wealth and social class. This practice is related to globalization and capitalism, and is preserved in social structures. This paper explains the practices of discrimination and oppression in Indian postcolonial women that have an impact on changing ways of thinking and self-identification related to skin color. We argue that many women in the postcolonial state adopt the assumption that skin color determines social status by internalizing the belief that whites are socially preferred that justifies a key element in the post-colonial study on the observation of the process by which indigenous peoples are placed as peripheral subjects. The complex inferiority created during the colonial era basically does not disappear in the postcolonial era. One consequence of changing self-identification is the emergence of colorism in the form of skin bleaching, which then becomes a common phenomenon that develops in colored populated countries that have Western history. The widespread use of whitening skins by female and male in non-white skinned countries is the success of capitalism in exploiting poor self-confidence among the people of the colored nations. Western beauty standards are a form of structural violence since they have removed the unique cultural characteristics by changing the idea that white is the ideal color.</p
    corecore