9 research outputs found

    Agonist muscle adaptation accompanied by antagonist muscle atrophy in the hindlimb of mice following stretch-shortening contraction training

    Get PDF
    Background: The vast majority of dynamometer-based animal models for investigation of the response to chronic muscle contraction exposure has been limited to analysis of isometric, lengthening, or shortening contractions in isolation. An exception to this has been the utilization of a rat model to study stretch-shortening contractions (SSCs), a sequence of consecutive isometric, lengthening, and shortening contractions common during daily activity and resistance-type exercise. However, the availability of diverse genetic strains of rats is limited. Therefore, the purpose of the present study was to develop a dynamometer-based SSC training protocol to induce increased muscle mass and performance in plantarflexor muscles of mice. Methods: Young (3 months old) C57BL/6 mice were subjected to 1 month of plantarflexion SSC training. Hindlimb muscles were analyzed for muscle mass, quantitative morphology, myogenesis/myopathy relevant gene expression, and fiber type distribution. Results: The main aim of the research was achieved when training induced a 2-fold increase in plantarflexion peak torque output and a 19% increase in muscle mass for the agonist plantaris (PLT) muscle. In establishing this model, several outcomes emerged which raised the value of the model past that of being a mere recapitulation of the rat model. An increase in the number of muscle fibers per transverse muscle section accounted for the PLT muscle mass gain while the antagonist tibialis anterior (TA) muscle atrophied by 30% with preferential atrophy of type IIb and IIx fibers. These alterations were accompanied by distinct gene expression profiles. Conclusions: The findings confirm the development of a stretch-shortening contraction training model for the PLT muscle of mice and demonstrate that increased cross-sectional fiber number can occur following high-intensity SSC training. Furthermore, the TA muscle atrophy provides direct evidence for the concept of muscle imbalance in phasic non-weight bearing muscles, a concept largely characterized based on clinical observation of patients. The susceptibility to this imbalance is demonstrated to be selective for the type IIb and IIx muscle fiber types. Overall, the study highlights the importance of considering muscle fiber number modulation and the effect of training on surrounding muscles in exercise comprised of SSCs

    STRATEGI PENGEMBANGAN PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) Dr. M. YUNUS BENGKULU DALAM RANGKA PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) TAHUN 2016

    Get PDF
    Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah ditetapkan oleh pemerintah mulai 1 Januari 2014, merupakan bagian dari pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pelaksana jaminan kesehatan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertugas antara lain untuk mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan juga sistem pembayaran layanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas jaminan kesehatan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu sebagai rumah sakit yang telah ditetapkan sebagai rujukan utama pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu tentunya harus bisa membuat strategi pengembangan pelayanan kesehatan dengan menyesuaikan dan mempedomani aturan yang berlaku baik yang terkait dengan sistem jaminan kesehatan nasional maupun aturan yang terkait dengan teknis dan standar pelayanan kesehatan rujukan itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan strategi pengembangan pelayanan kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. M. Yunus Bengkulu dalam rangka pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Tahun 2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian operasional. Data primer diperoleh melalui kuesioner dari 47 (empat puluh tujuh) responden dan data sekunder dari laporan rumah sakit. Metode analisis data adalah dengan analisis SWOT. Hasil identifikasi dan analisis data primer dan data sekunder menyimpulkan 10 (sepuluh) faktor internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan rumah sakit dan 10 (sepuluh) faktor eksternal yang merupakan peluang dan ancamanan rumah sakit. Hasil uji sejauh mana faktor pentingnya 20 (dua puluh) faktor tersebut menjadi kebutuhan organisasi menunjukkan bahwa tidak ada faktor yang tidak penting atau harus diganti. Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa sumber daya manusia (SDM) dan alat kesehatan memenuhi standar merupakan faktor kunci keberhasilan dari kekuatan organisasi, aturan teknis pelayanan dan implementasi BLUD yang belum lengkap merupakan faktor kunci keberhasilan dari kelemahan organisasi, adanya dukungan anggaran dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan faktor kunci keberhasilan dari peluang organisasi dan persepsi masyarakat terhadap pelayanan yang belum memuaskan merupakan faktor kunci keberhasilan dari ancaman organisasi. RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu berada pada posisi peta kekuatan organisasi di kuadran I (S-O), yang memiliki keunggulan kompetitif dan situasi yang menguntungkan atau mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif. Strategi pengembangan pelayanan kesehatan adalah dengan mengoptimalkan kekuatan kunci untuk memanfaatkan peluang kunci yaitu manfaatkan dukungan anggaran dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk pengembangan pelayanan unggulan medik spesialistik melalui peningkatan Sumber Daya Manusia dan alat kesehatan menuju standar pelayanan rumah sakit kelas A pada tahun 2021, sehingga derajat kesehatan masyarakat di provinsi Bengkulu juga akan meningkat. Dengan derajat kesehatan yang meningkat ini memberikan pengaruh pada pencapaian target pembangunan bidang kesehatan di provinsi Bengkulu yang merupakan salah satu unsur penopang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), disamping unsur pendidikan dan ekonomi. Ini adalah salah satu implikasi penelitian ini untuk pencapaian target pembangunan kesehatan di Provinsi Bengkulu. Kesimpulannya penelitian ini adalah hasil analisis SWOT menunjukkan RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu memiliki faktor kunci keberhasilan organisasi berupa kekuatan dan peluang yang menempatkan posisi penerapan strategi pengembangan secara agresif atau ekspansi. Strategi pengembangan pelayanan kesehatan yang tepat adalah mengembangan pelayanan medik dengan peningkatan jumlah dan kualitas tenaga medik spesialistik, alat kesehatan dan gedung pelayanan unggulan medik spesialistik menuju standar rumah sakit kelas A hingga tahun 2021, dengan prioritas kegiatan yaitu peningkatan dan pengembangan tempat tidur untuk VIP dan kelas I untuk instalasi rawat inap; peningkatan alat kesehatan dan sarana prasarana pelayanan medik spesialistik terutama untuk rawat jalan dan penunjang medik; standarisasi aturan teknis pelayanan dan implementasi BLUD meliputi standar pelayanan minimal, clinical pathway, remunerasi, tarif pelayanan, Dewan Pengawas dan Medical Staff Bylaws; Penunjukan konsultan keuangan untuk penyusunan laporan keuangan sesuai standar akuntansi; Audit kinerja keuangan dan audit kinerja mutu pelayanan berkala untuk meningkatkan indeks kepuasan masyarakat. Tingkat kepuasan terhadap layanan yang diberikan kepada masyarakat hendaknya dijasikan acuan dan motivasi bagi rumah sakit, karena pilihan fasilitas pelayanan di rumah sakit lain saat ini berkembang pesat melihat kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Selanjutnya melengkapi aturan teknis dan implementasi BLUD serta meningkatkan kinerja pelayanan dan kinerja keuangan adalah tuntutan dan harapan masyarakat pada RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu sebagai rumah sakit rujukan utama dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil penelitian ini semoga dapat dijadikan acuan atau referensi bagi manajemen dan peneliti selanjutnya terkait dengan analisa penyusunan perencanaan program dan kegiatan di rumah sakit

    Response of tibialis anterior tendon to a chronic exposure of stretch-shortening cycles: age effects

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>The purpose of the current study was to investigate the effects of aging on tendon response to repetitive exposures of stretch-shortening cycles (SSC's).</p> <p>Methods</p> <p>The left hind limb from young (3 mo, N = 4) and old (30 mo, N = 9) male Fisher 344 × Brown Norway rats were exposed to 80 maximal SSCs (60 deg/s, 50 deg range of motion) 3x/week for 4.5 weeks <it>in vivo</it>. After the last exposure, tendons from the tibialis anterior muscle were isolated, stored at -80°C, and then tested using a micro-mechanical testing machine. Deformation of each tendon was evaluated using both relative grip-to-grip displacements and reference marks via a video system.</p> <p>Results</p> <p>At failure, the young control tendons had higher strain magnitude than the young exposed (p < 0.01) and the old control tendons (p < .0001). Total load at inflection was affected by age only (p < 0.01). Old exposed and control tendons exhibited significantly higher loads at the inflection point than their young counterparts (p < 0.05 for both comparisons). At failure, the old exposed tendons carried higher loads than the young exposed tendons (p < 0.05). Stiffness was affected by age only at failure where the old tendons exhibited higher stiffness in both exposed and control tendons than their young counterparts (p < 0.05 and p < 0.01, respectively).</p> <p>Conclusion</p> <p>The chronic protocol enhanced the elastic stiffness of young tendon and the loads in both the young and old tendons. The old exposed tendons were found to exhibit higher load capacity than their younger counterparts, which differed from our initial hypothesis.</p
    corecore