6,707 research outputs found
Frames, Graphs and Erasures
Two-uniform frames and their use for the coding of vectors are the main
subject of this paper. These frames are known to be optimal for handling up to
two erasures, in the sense that they minimize the largest possible error when
up to two frame coefficients are set to zero. Here, we consider various
numerical measures for the reconstruction error associated with a frame when an
arbitrary number of the frame coefficients of a vector are lost. We derive
general error bounds for two-uniform frames when more than two erasures occur
and apply these to concrete examples. We show that among the 227 known
equivalence classes of two-uniform (36,15)-frames arising from Hadamard
matrices, there are 5 that give smallest error bounds for up to 8 erasures.Comment: 28 pages LaTeX, with AMS macros; v.3: fixed Thm 3.6, added comment,
Lemma 3.7 and Proposition 3.8, to appear in Lin. Alg. App
Equiangular tight frames from complex Seidel matrices containing cube roots of unity
We derive easily verifiable conditions which characterize when complex Seidel
matrices containing cube roots of unity have exactly two eigenvalues. The
existence of such matrices is equivalent to the existence of equiangular tight
frames for which the inner product between any two frame vectors is always a
common multiple of the cube roots of unity. We also exhibit a relationship
between these equiangular tight frames, complex Seidel matrices, and highly
regular, directed graphs. We construct examples of such frames with arbitrarily
many vectors.Comment: New version comments: A few minor typos corrected. Accepted for
publication in Linear Algebra App
Pembatalan Nikah Menurut Hukum Kanonik Dalam Hubungannya Dengan Sistem Perundang – Undangan Di Indonesia
Persoalan pembatalan perkawinan merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin pesatnya pertumbuhan masyarakat menuju globalisasi saat ini membuat sehingga terjadi berbagai pergeseran nilai dan norma masyarakat. Di Indonesia pada khususnya, masyarakat sedang dalam masa transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Ada akibat positif dari Perubahan ini, namun ada juga akibat negatif dari Perubahan akibat masa transisi ini.[1] Sebagai akibat negatif, masyarakat mengalami degradasi nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan, temasuk nilai-nilai kehidupan perkawinan. Pembatalan perkawinan pun acap kali menjadi masalah yang muncul. Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan. Yang hanya dikenal adalah karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan yang berhubungan darah, berhubungan semenda, hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klan atau keturunan).[2]Dalam hukum Islam tidak ada lembaga pembatalan perkawinan sehingga jika suami isteri sudah merasa tidak ada kecocokan maka berhak mengajukan talak sehingga dapat diproses melalui sidang perceraian tanpa memalui pembatalan perkawinan. Untuk agama Budha sanagt diharapkan tidak terjadi pembatalan perkawinan tetapi seandainya terjadi harus memlalui Pandita Agama Buhda Indonesia.Untuk agama Hindu tidak mengakui adanya pembatalan perkawinan karena mengingat kepercayaan mereka mengenai kehidupan yang selanjutnya. Sedangkan untuk agama Katolik makna pembatalan nikah yaitu dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi. Jadi dapat dikatakan pembatalan suatu pernikahan yang diakibatkan karena adanya alasan-alasan yang menyatakan pernikahan tersebut tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik, maka dapat diproses untuk pembatalan perkawinan melalui lembaga hukum Gereja Katolik. [1] Masyarakat transisi menurut istilah J. Useem dan R. H. Useem dinamakan “modernizing society.” Masyarakat seperti ini berbeda dengan “tradition orientedsociety” dan “modern society.” Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 102. [2]Ibid., hlm. 78
PEMBATALAN NIKAH MENURUT HUKUM KANONIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM PERUNDANG – UNDANGAN DI INDONESIA
Persoalan pembatalan perkawinan merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin pesatnya pertumbuhan masyarakat menuju globalisasi saat ini membuat sehingga terjadi berbagai pergeseran nilai dan norma masyarakat. Di Indonesia pada khususnya, masyarakat sedang dalam masa transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Ada akibat positif dari perubahan ini, namun ada juga akibat negatif dari perubahan akibat masa transisi ini.[1] Sebagai akibat negatif, masyarakat mengalami degradasi nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan, temasuk nilai-nilai kehidupan perkawinan. Pembatalan perkawinan pun acap kali menjadi masalah yang muncul. Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan. Yang hanya dikenal adalah karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan yang berhubungan darah, berhubungan semenda, hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klan atau keturunan).[2]Dalam hukum Islam tidak ada lembaga pembatalan perkawinan sehingga jika suami isteri sudah merasa tidak ada kecocokan maka berhak mengajukan talak sehingga dapat diproses melalui sidang perceraian tanpa memalui pembatalan perkawinan. Untuk agama Budha sanagt diharapkan tidak terjadi pembatalan perkawinan tetapi seandainya terjadi harus memlalui Pandita Agama Buhda Indonesia.Untuk agama Hindu tidak mengakui adanya pembatalan perkawinan karena mengingat kepercayaan mereka mengenai kehidupan yang selanjutnya. Sedangkan untuk agama Katolik makna pembatalan nikah yaitu dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi. Jadi dapat dikatakan pembatalan suatu pernikahan yang diakibatkan karena adanya alasan-alasan yang menyatakan pernikahan tersebut tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik, maka dapat diproses untuk pembatalan perkawinan melalui lembaga hukum Gereja Katolik. [1] Masyarakat transisi menurut istilah J. Useem dan R. H. Useem dinamakan “modernizing society.†Masyarakat seperti ini berbeda dengan “tradition orientedsociety†dan “modern society.†Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 102. [2]Ibid., hlm. 78
Spin polarization in a T-shape conductor induced by strong Rashba spin-orbit coupling
We investigate numerically the spin polarization of the current in the
presence of Rashba spin-orbit interaction in a T-shaped conductor proposed by
A.A. Kiselev and K.W. Kim (Appl. Phys. Lett. {\bf 78} 775 (2001)). The
recursive Green function method is used to calculate the three terminal spin
dependent transmission probabilities. We focus on single-channel transport and
show that the spin polarization becomes nearly 100 % with a conductance close
to for sufficiently strong spin-orbit coupling. This is interpreted
by the fact that electrons with opposite spin states are deflected into an
opposite terminal by the spin dependent Lorentz force. The influence of the
disorder on the predicted effect is also discussed. Cases for multi-channel
transport are studied in connection with experiments
- …