15 research outputs found

    Kemana produktivitas daun lamun mengalir?

    Get PDF
     Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang hidup di laut dangkal. Sebagai tumbuhan, lamun berperansebagai produser primer yang memberikan kontribusi bagi biota laut maupun ekosistem lainnya. Hasil produksiprimer dari lamun akan masuk ke beberapa kompartemen. Namun berapa besar aliran produksi tersebut ke tiapkompartemen masih menjadi pertanyaan. Penelitian bertujuan untuk melihat berapa besar hasil produksi daunlamun yang dialirkan ke kompartemen lain. Penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo Makassar selama 4periode yang mewaikili musim hujan, peralihan I, musim kemarau dan peralihan II. Penelitian dilakukanmelalui beberapa tahap, yaitu (1) mengestimasi produktivitas daun lamun, (2) mengestimasi stok karbon daunlamun, (3) mengestimasi besarnya grazing daun lamun oleh bulu babi dan herbivora lain, (4) mengestimasibesarnya produksi serasah daun lamun, baik yang tenggelam di dasar maupun yang terbawa keluar dariekosistem lamun. Hasil penelitian menujukkan total karbon yang dialirkan ke kompartemen lain mencapai2,20% dari stok karbon daun atau setara 81,8% dari produktivitas daun. Aliran produksi melalui serasah yangmelayang sebesar 0,59% dari stok karbon (setara 22,0% dari produktivitas daun), serasah tenggelam 1,36% daristok karbon (setara 50,6% dari produktivitas daun), grazing bulu babi 0,04% dari stok karbon (setara 1,4% dariproduktivitas daun) dan grazing oleh herbivora lain 0,21% dari stok karbon (setara 7,9% dari produktivitasdaun). Dalam konteks aliran produksi, hasil produksi primer lamun paling banyak berkontribusi dalam ekosistemlamun sendiri sebagai serasah, bisa dimanfaatkan oleh detritivore sebagai makanan, terdekomposisi sebagaiunsur hara, atau terkubur sebagai cadangan karbon. Hanya sebagian kecil produksi primer dimanfaatkan secaralangsung oleh herbivora.Kata kunci : produktivitas daun lamun, aliran produksi daun lamun, grazing lamun, serasah lamu

    Kontribusi Massa Air Tawar dari Estuari Banyuasin ke Perairan Selat Bangka pada Musim Peralihan II

    Get PDF
    Perairan Selat Bangka banyak mendapat pasokan air tawar dari sungai-sungai di pesisir timur Provinsi Sumatera Selatan, termasuk estuari Banyuasin.  Percampuran air tawar dan air laut menentukan kondisi lingkungan estuaria, khususnya pola salinitas, termasuk pembentukan habitat yang kompleks untuk komunitas tumbuhan dan hewan yang khas di dalamnya.  Tujuan penelitian ini adalah mengestimasi besarnya masukan air tawar dari empat muara sungai di estuari Banyuasin ke Perairan Selat Bangka pada bulan Oktober (musim peralihan II).  Pengukuran data lapangan dilakukan di 23 lokasi pada bulan Oktober 2018 menggunakan Valeport Midas CTD+ Model 606.  Selanjutnya, data salinitas digunakan untuk mengetahui kisaran nilai salinitas, menganalisis nilai anomali, fraksi air tawar dan stabilitas massa air dari masing-masing sungai.  Kisaran salinitas massa air di perairan Selat Bangka pada musim peralihan II adalah 2,19 sampai 31,42 psu dengan nilai anomali salinitas sebesar -30,23 sampai -1,00 psu. Masukan massa air tawar dari empat sungai adalah berbeda satu sama lain sehingga terbentuk kontur lidah salinitas di mulut estuari dan nilai salinitas bervariasi secara spasial di Selat Bangka.  Fraksi air tawar yang paling dominan berasal dari Sungai Musi dengan kontribusi sebesar 31,2 %, selanjutnya diikuti Sungai Air Saleh (21,9%), Sungai Banyuasin (20,5%) dan Sungai Upang (20,3%)

    PROGRAM STRATEGIS DALAM MENGATASI KENDALA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI RAJA AMPAT (Studi Kasus: Kampung Wisata Distrik Meos Mansar)

    Get PDF
    Raja Ampat merupakan kawasan potensial ekowisata bahari di jantung segitiga terumbu karang dunia dan untuk mengembangkan potensi tersebut, pemerintah setempat menetapkan pembentukan kampung-kampung wisata di sejumlah lokasi. Dalam perkembangannya, kelembagaan pengelolaan kampung-kampung wisata ini tidak terlepas dari tantangan untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan. Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengkaji kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan yang ada, (ii) mengidentifikasi kendala kelembagaannya, dan (iii) merumuskan program strategis yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja pengelolaan kampung-kampung wisata tersebut. Lokasi penelitian mencakup Kampung Arborek, Yenbuba dan Sawinggrai Distrik Meos Mansar Kabupaten Raja Ampat. Penelitian dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober 2020, dengan dua pendekatan analisis yaitu Interpretative Structural Modeling (ISM) dan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah, Dewan Adat Suku Maya, dan Conservation International Indonesia berada pada posisi key player, dengan kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengelolaan ekowisata bahari di kampungkampung wisata. Kelompok masyarakat dan swasta berada pada posisi subyek dengan kepentingan yang tinggi terhadap sumber daya alam tinggi, namun memiiki pengaruh yang rendah dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya kendala kelembagaan dalam pengelolaan kampung wisata, yaitu konflik pemanfaatan ruang dalam sistem pengelolaan tarif Kartu Jasa Lingkungan (KJL). Penelitian ini merekomendasikan sebuah intervensi kebijakan berupa program strategis yang terdiri dari beberapa level dan diprioritaskan pada: (i) pengembangan pengelolaan kolaboratif antar stakeholders, (ii) pemberdayaan masyarakat, (iii) peningkatan efektivitas konservasi, dan (iv) pendistribusian akses yang adil kepada masyarakat. Title:  Strategic Programs for Overcoming Institutional Obstacles of Marine Ecotourism Management in Raja Ampat (Case Study: Tourism Villages in Meos Mansar District )Raja Ampat is a potential marine tourism area located in the coral triangle. In 2009, the Raja Ampat Regency Government designated several villages as tourism villages to encourage economic growth in the community in the tourism sector. The management of marine ecotourism in Raja Ampat Tourism Village is inseparable from several institutional obstacles. Every stakeholder involved in management has an interest and influence. This study aims to examine stakeholder mapping, institutional constraints, and strategic programs needed for marine ecotourism management in tourist villages. The research location is in Arborek Village, Yenbuba and Sawinggrai, Meos Mansar District, Raja Ampat Regency. The analysis technique used is Interpretative Structural Modeling (ISM) and qualitative descriptive analysis. The results showed that the government, the Maya tribe Adat Council, and Conservation International Indonesia are the key players who had a high interest and influence on marine ecotourism management. Community and private groups are in subjects position who had a high interest in natural resources, but their influence in decision-making is low. The management of marine ecotourism in the tourist village of Raja Ampat has several institutional obstacles. The main obstacle is conflict over space utilization in the environmental service card tariff management system. To overcome the obstacles, it is necessary to implement strategic programs effectively. This study suggests a strategic program consisting of several levels. The strategic programs that are prioritized are the development of collaborative management among stakeholders, community empowerment, increasing conservation effectiveness, and distributing access to the community

    Keberlanjutan Penatakelolaan Zona Pemanfaatan Tradisional dalam Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Teluk Cenderawasih Papua Barat

    Get PDF
    Understanding the governability of traditional use zone (TUZ) on Marine National Parks is still debated due to various reasons since successful implemented of the governing system could be observed in some areas only.  There is a need to assess the contributions and limitations of governance performance sustainability. Using the Cenderawasih Bay National Park as a case, we studied the governance system (GS), system to be governed (SG), and interactive governance (IG) in managing TUZ.  Multi-dimension scaling analysis showed that the existing management showed low sustainability (36%) caused by limitation of stakeholders capacity and violations of rules (GS), impact of live fish fishing, coastal ecosystem degradation and low income (SG), adaptive management and feedback from monitoring and evaluation that were not be able to create effective governance (IT).  Improvement could be achieved by increasing the integration of these three systems, in which social-ecology system benefit could work under effective governance.  This paper also supported the previous finding that household income alternative was the priority for improving management and conservation.  It is justified that both direct and indirect benefits to the society or stakeholders could be provided by well-performed governance

    Komunitas Lamun Di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi Dan Karakteristik Habitat

    Get PDF
    Indication on seagrass decline has been observed in many places including Barranglompo Island of Makassar. Condition of damaged seagrass has significant impacts to the roles of seagrass as habitat, spawning ground, and feeding ground for various marine organisms and also role of seagrass as carbon absorbent and stocks. In order to provide a reference for appropriate seagrass management and conservation, it is required data on seagrass habitat. A research was done in Barranglompo Island, Makassar from December 2010 to November 2011. Seagrass condition was observed based on McKenzie et al. (2001) and Balestri et al. (2003). This research showed that large seagrass coverage was dispersed in southern, western and northern sides of the island. Meanwhile, seagrass spesies with wider distribution were E. acoroides, T. hemprichii and C.rotundata.Keywords : seagrass, Barranglompo Island, habitat characteristic

    Keberlanjutan Penatakelolaan Zona Pemanfaatan Tradisional dalam Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Teluk Cenderawasih Papua Barat

    Get PDF
    Understanding the governability of traditional use zone (TUZ) on Marine National Parks is still debated due to various reasons since successful implemented of the governing system could be observed in some areas only.  There is a need to assess the contributions and limitations of governance performance sustainability. Using the Cenderawasih Bay National Park as a case, we studied the governance system (GS), system to be governed (SG), and interactive governance (IG) in managing TUZ.  Multi-dimension scaling analysis showed that the existing management showed low sustainability (36%) caused by limitation of stakeholders capacity and violations of rules (GS), impact of live fish fishing, coastal ecosystem degradation and low income (SG), adaptive management and feedback from monitoring and evaluation that were not be able to create effective governance (IT).  Improvement could be achieved by increasing the integration of these three systems, in which social-ecology system benefit could work under effective governance.  This paper also supported the previous finding that household income alternative was the priority for improving management and conservation.  It is justified that both direct and indirect benefits to the society or stakeholders could be provided by well-performed governance

    Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan Karakteristik Habitat

    Get PDF
    ABSTRACTIndication on seagrass decline  has been observed in many places including Barranglompo Island of Makassar. Condition of damaged seagrass has significant impacts to the roles of seagrass as habitat, spawning ground, and feeding ground for various marine organisms and also role of seagrass as carbon absorbent and stocks.  In order to provide a reference for appropriate seagrass management and conservation, it is required data on seagrass habitat.  A research was done in Barranglompo Island, Makassar from December 2010 to November 2011.  Seagrass condition was observed based on McKenzie et al. (2001) and Balestri et al. (2003).  This research showed that large seagrass coverage was dispersed in southern, western and northern sides of the island. Meanwhile, seagrass spesies with wider distribution were E. acoroides, T. hemprichii and C.rotundata.Keywords : seagrass, Barranglompo Island, habitat characteristics ABSTRAKIndikasi adanya penurunan kondisi lamun ditemukan di beberapa tempat termasuk di Pulau Barranglompo Makassar. Kondisi lamun yang rusak berimplikasi terhadap peranan lamun sebagai habitat, tempat memijah dan tempat mencari makan berbagai organisme serta peran lamun sebagai penyerap dan penyimpan karbon.  Sebagai dasar untuk melakukan pengelolaan dan konservasi lamun yang tepat diperlukan data kondisi dan habitat lamun.  Penelitian dilakukan di Pulau Barranglompo Makassar dari bulan Desember 2010 sampai November 2011.  Kondisi lamun diamati berdasarkan McKenzie et al. (2001) dan Balestri et al. (2003).  Penelitian menunjukkan bahwa distribusi lamun yang luas ditemukan pada sisi selatan, barat dan utara pulau.  Jenis lamun yang mempunyai sebaran yang luas adalah E. acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata.Kata kunci : lamun, pulau Barranglompo, karakteristik habita

    Screening of Bacterial Symbionts of Seagrass Enhalus SP. Against Biofilm-forming Bacteria

    Full text link
    Seagrasses have been known to produce secondary metabolites that have important ecological roles, including preventing from pathogen infections and fouling organisms. A research aimed at screening the potential of bacterial symbionts of seagrass Enhalus sp. was performed. Bacterial symbionts including endophytes and epiphytes were isolated from the seagrass, and marine biofilm-forming bacteria were isolated from the fiber and wooden panels from the surrounding colonies. A total of 17 epiphyte and 6 endophyte isolates were obtained, however more biological activity was found among endophytes (100%) compared to epiphytes (47%) against biofilm-forming bacteria. In addition, bacterial endophytes inhibited more biofilm-forming bacteria than epiphytes. Interestingly more isolates were obtained from rough surfaces both from fiber and wooden panels than smoothe surfaces. Bacterial symbionts of seagrass Enhalus sp., in particular its endophytes show potential source as natural marine antifoulants

    PROFIL BATIMETRI HABITAT PEMIJAHAN IKAN TERUMBU HASIL INTEGRASI DATA INDERAJA SATELIT DAN AKUSTIK: Studi Kasus Perairan Sekitar Pulau Panggang, Kepulauan Seribu

    Get PDF
    Teknologi penginderaan jauh, optik maupun akustik, berperan sebagai perangkat utama dalam memetakan kondisi batimetri secara sinoptik dan efisien. Di perairan Kepulauan Seribu yang kompleks, profil batimetri dapat berubah akibat proses alami seperti akresi/erosi terumbu oleh biota karang/ikan dan badai, maupun akibat kegiatan manusia seperti eksploitasi pasir/karang dan penangkapan ikan (menggunakan muroami dan bom). Dalam tulisan ini, elaborasi profil batimetri di perairan sekitar Pulau Panggang akan didasari oleh kombinasi set data inderaja optik-akustik untuk mengeksplorasi habitat pemijahan ikan terumbu. Sebanyak 17 stasiun telah disurvei untuk mengamati tanda pemijahan dan ikan terumbu yang terkait (misalnya: ikan betina gravid, perubahan warna pada ikan jantan, agregasi, dll) selama periode Oktober 2010-Maret 2012. Citra Quickbird 2008 dan data akustik bim tunggal dikonversi dalam format raster berukuran grid 1 m menggunakan teknik interpolasi Inverse Distance to Power untuk menghasilkan peta batimetri 2-dimensi dan 3-dimensi yang menggambarkan kondisi dasar perairan laut dangkal. Profil terrain (kemiringan lereng) menggambarkan kondisi lateral batimetri untuk setiap lokasi yang menunjukkan tanda pemijahan ikan terumbu.Remote sensing technology, both optic and acoustic, serves as major tool for mapping bathymetry synoptically and efficiently. In complex coral cays as Kepulauan Seribu, bathymetric profile may change gradually due to naturally controlled reef accretion/erotion, sand/coral exploitation activities, storms, and mostly several types of fishing techniques (muroami and blast fishing). In this paper, elaboration on bathymetric profiles originated from coupled optic-acoustic dataset will be applied in account for understanding reef fish spawning habitats. A total of 17 reef sites were surveyed in situ to record reef fish with spawning cues (eg: female gravid, male change color, aggregation, etc) in between October 2010-March 2012. A 2008 Quickbird imagery and single beam acoustic data were gridded at 1 m by interpolation using Inverse Distance to Power method resulted in 2-dimension and 3-dimension bathymetric maps thus revealing complex detail of seabed at shallow and deeper depths. Terrain profiles depicting lateral view of bathymetric profile for each reef site were used to describe geomorpological features supporting its role as spawning habitat

    Keberlanjutan Penatakelolaan Zona Pemanfaatan Tradisional dalam Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Teluk Cenderawasih Papua Barat (Governance Sustainability of Traditional Use Zone within Marine Protected Area National Park of Cenderawasih Bay, West P

    No full text
    Understanding the governability of traditional use zone (TUZ) on Marine National Parks is still debated due tovarious reasons since successful implemented of the governing system could be observed in some areas only.There is a need to assess the contributions and limitations of governance performance sustainability. Using theCenderawasih Bay National Park as a case, we studied the governance system (GS), system to be governed (SG),and interactive governance (IG) in managing TUZ.  Multi-dimension scaling analysis showed that the existingmanagement showed low sustainability (36%) caused by limitation of stakeholders capacity and violations ofrules (GS), impact of live fish fishing, coastal ecosystem degradation and low income (SG), adaptive managementand feedback from monitoring and evaluation that were not be able to create effective governance (IT).Improvement could be achieved by increasing the integration of these three systems, in which social-ecologysystem benefit could work under effective governance.  This paper also supported the previous finding thathousehold income alternative was the priority for improving management and conservation.  It is justified thatboth direct and indirect benefits to the society or stakeholders could be provided by well-performed governance.Keywords: governance, traditional use zone, marine national park</p
    corecore