35 research outputs found

    PENGARUH ELEMEN ELEMEN PELENGKAP JALUR PEDESTRIAN TERHADAP KENYAMANAN PEJALAN KAKI Studi Kasus Penggal Jalan Pandanaran Dimulai dari Jalan Randusari Hingga Kawasan Tugu Muda

    Get PDF
    Jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Namun terkadang kebutuhan akan jalur pedestrian tersebut kurang memadai baik dari luasannya maupun kenyamanan yang dicapai pada jalur pedestrian tersebut. Terkadang manusia kurang merasa nyaman pada jalur pedestrian akibat kurang teduhnya pada area tersebut karena vegetasi yang kurang memadai atau terdapat jalur pedestrian yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang mengganggu perjalanan manusia pada jalur pedestrian tersebut, ketinggian trotoar yang tidak sama sehingga menyulitkan pejalan kaki yang naik turun bahkan manusia merasa kurang merasa aman akibat jalur pedestrian yang terlampau dekat dengan jalur kendaraan atau jalan. Sehingga didalam makalah seminar ini terdapat kajian mengenai pengaruh – pengaruh elemen pelengkap yang terdapat dalam jalur pedestrian terhadap suatu kenyamanan mausia yang berada didalamnya dan mempergunakannya. PENDAHULUAN Jalur pedestrian merupakan wadah atau ruang untuk kegiatan pejalan kaki melakukan aktivitas dan untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Serta jalur pedestrian merupakan suatu wadah yang tidak nyata akan tetapi dapat dirasakan manusia. Jalur pedestrian merupakan suatu ruang publik dimana pada jalur tersebut juga terjadi interaksi sosial antar masyarakat. Terkadang dalam suatu perancangan kota, jalur pedestrian tersebut terlupakan untuk dirancang agar memberikan kenyamanan bagi para penggunanya. Contohnya, jalur pedestrian yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima walau bukan berarti pedagang kaki lima tersebut harus disingkirkan; ketinggian trotoar yang tidak sama sehingga menyulitkan pejalan kaki yang naik turun, dan sebagainya. Padahal jalur pedestrian memiliki fungsi utama yaitu menampung segala aktivitas pejalan kaki dan faktor elemen pendukung yang dapat mempengaruhi kenyamanan pedestrian, antara lain : keadaan fisik, sitting group, vegetasi atau pohon peneduh, lampu penerangan, petunjuk arah dan yang lainnya. Jalur pedestrian yang fungsional memiliki faktor pendukung yang membentuknya, antara lain : dimensi atau faktor fisik ( yang meliputi panjang, lebar, dan ketinggian dari area pedestrian itu sendiri ), aksesibilitas pedestrian, pelaku atau pengguna, frekuensi aktivitas yang terjadi, hubungan dengan lingkungan sekitarnya ( kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan, dan magnet kota yang mendukung terjadinya interaksi sosial ). Disamping hal tersebut terdapat pula faktor psikis, antara lain keamanan ( sampai sejauh mana jalur pedestrian tersebut memberikan rasa aman bagi penggunanya, baik rasa aman dari jalan maupun dari pedestrian itu sendiri ), kenyamanan ( apakah jalur pedestrian tersebut telah memberikan kenyamanan bagi penggunanya serta apakah faktor – faktor yang mendukung kenyamanan telah terpenuhi seperti : suasana dan kesan, sirkulasi yang tercipta apakah telah memenuhi standart kenyamanan, elemen pendukung yang lengkap). PENGERTIAN PEDESTRIAN Pedestrian berasal dari bahasa Yunani, dimana berasal dari kata pedos yang berarti kaki, sehingga pedestrian dapat diartikan sebagi pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki, sedangkan jalan merupakan media diatas bumi yang memudahkan manusia dalam tujuan berjalan, Maka pedestrian dalam hal ini memiliki arti pergerakan atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat sebagai titik tolak ke tempat lain sebagai tujuan dengan menggunakan moda jalan kaki. Atau secara harfiah, pedestrian berarti “ person walking in the street “, yang berarti orang yang berjalan di jalan. Namun jalur pedestrian dalam konteks perkotaan biasanya dimaksudkan sebagai ruang khusus untuk pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana pencapaian yang dapat melindungi pejalan kaki dari bahaya yang datang dari kendaraan bermotor. Di Indonesia lebih dikenal sebagai trotoar, yang berarti jalur jalan kecil selebar 1,5 sampai 2 meter atau lebih memanjang sepanjang jalan umum. Berikut merupakan beberapa tinjauan dan pengertian dasar mengenai pedestrian, yaitu : Menurut John Fruin ( 1979 ) Berjalan kaki merupakan alat untuk pergerakan internal kota, satu – satunya alat untuk memenuhi kebutuhan interaksi tatap muka yang ada didalam aktivitas komersial dan kultural di lingkungan kehidupan kota. Berjalan kaki merupakan alat penghubung antara moda – moda angkutan yang lain. Menurut Amos Rapoport ( 1977 ) Dilihat dari kecepatannya moda jalan kaki memiliki kelebihan yakni kecepatan rendah sehingga menguntungkan karena dapat mengamati lingkungan sekitar dan mengamati objek secara detail serta mudah menyadari lingkungan sekitarnya Menurut Giovany Gideon ( 1977 ) Berjalan kaki merupakan sarana transportasi yang menghubungkan an-tara fungsi kawasan satu dengan yang lain terutama kawasan perdagangan, kawasan budaya, dan kawasan permukiman, dengan berjalan kaki menjadikan suatu kota menjadi lebih manusiawi. Dengan demikian jalur pedestrian merupakan sebuah sarana untuk melakukan kegiatan, terutama untuk melakukan aktivitas di kawasan perdagangan dimana pejalan kaki memerlukan ruang yang cukup untuk dapat melihat-lihat, sebelum menentukan untuk memasuki salah satu pertokoan di kawasan perdagangan tersebut. Namun disadari pula bahwa moda ini memiliki keterbatasan juga, karena kurang dapat untuk melakukan perjalanan jarak jauh, peka terhadap gangguan alam, serta hambatan yang diakibatkan oleh lalu lintas kendaraan. Jalur pedestrian ini juga merupakan elemen penting dalam perancangan kota, karena tidak lagi berorientasi pada keindahan semata, akan tetapi juga pada masalah kenyamanan dengan didukung oleh kegiatan pedagang eceran yang dapat memperkuat kehidupan ruang kota yang ada. Sistem jalur pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan terhadap kendaraan di kawasan pusat kota, meningkatkan penggunaan pejalan kaki, mempertinggi kualitas lingkungan melalui sistem perancangan yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kaki lima yang lebih banyak dan akhirnya akan membantu kualitas udara di kawasan tersebut. Jalur pedestrian selalu memiliki fasilitas-fasilitas didalamnya. Fasilitas jalur pedestrian dapat dibedakan berdasarkan pada letak dan jenis kegiatan yang dilayani, yaitu fasilitas jalur pedestrian yang terlindung dan fasilitas jalur pedestrian yang terbuka. Fasilitas Jalur Pedestrian yang terlindung, dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Fasilitas jalur pedestrian yang terlindung di dalam bangunan, misalnya : - Fasilitas jalur pedestrian arah vertikal, yaitu fasilitas jalur pedestrian yang menghubungkan lantai bawah dan lantai diatasnya dalam bangunan atau gedung bertingkat, seperti tangga, ramps, dan sebagainya - Fasilitas jalur pedestrian arah horizontal, seperti koridor, hall, dan sebagainya. 2. Fasilitas Jalur Pedestrian yang terlindung di luar bangunan, misalnya: - Arcade, yaitu merupakan selasar yang terbentuk oleh sederetan kolom-kolom yang menyangga atap yang berbentuk lengkungan-lengkungan busur dapat merupakan bagian luar dari bangunan atau berdiri sendiri. - Gallery, yaitu lorong yang lebar, umumnya terdapat pada lantai teratas. - Covered Walk atau selasar, yaitu merupakan fasilitas pedestrian yang pada umumnya terdapat di rumah sakit atau asrama yang menghubungkan bagian bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya. - Shopping mall, merupakan fasilitas pedestrian yang sangat luas yang terletak di dalam bangunan dimana orang berlalu-lalang sambil berbelanja langsung di tempat itu. Fasilitas jalur pedestrian yang tidak terlindung / terbuka, yang terdiri dari : 1. Trotoir / sidewalk, yaitu fasilitas jalur pedestrian dengan lantai perkerasan yang terletak di kanan-kiri fasilitas jalan kendaraan bermotor. 2. Foot path / jalan setapak, yaitu fasilitas jalur pedestrian seperti gang-gang di lingkungan permukiman kampung. 3. Plaza, yaitu tempat terbuka dengan lantai perkerasan, berfungsi sebagai pengikat massa bangunan, dapat pula sebagai pengikat-pengikat kegiatan. 4. Pedestrian mall, yaitu jalur pedestrian yang cukup luas, disamping digunakan untuk sirkulasi pejalan kaki juga dapat dimanfaatkan untuk kontak komunikasi atau interaksi sosial. 5. Zebra cross, yaitu fasilitas jalur pedestrian sebagai fasilitas untuk menyeberang jalan kendaraan bermotor. Permasalahan yang utama dalam perancangan kota adalah menjaga keseimbangan antara penggunaan jalur pedestrian dan fasilitas kendaraan bermotor. Sebagai contoh : The Uptown Pedestrian yang didesain oleh City of Charlotte, North Carolina, membagi permasalahan area pedestrian dalam 3 kelompok : function and needs, psychological comfort, physical comfort. (Charlotte, 1978 ). Hal ini juga diutarakan oleh Hamid Shirvani ( 1985 ) , menurutnya dalam merencanakan sebuah jalur pedestrian menurut perlu mempertimbangkan adanya : - keseimbangan interaksi antara pejalan kaki dan kendaraan - faktor keamanan, ruang yang cukup bagi pejalan kaki - fasilitas yang menawarkan kesenangan sepanjang area pedestrian - dan tersedianya fasilitas publik yang menyatu dan menjadi elemen penunjang. KATEGORI DAN FASILITAS PEJALAN KAKI Menurut Rubenstein ( 1987 ), terdapat beberapa kategori pejalan kaki : Menurut sarana perjalanannya : - Pejalan kaki penuh, merupakan mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda utama, jalan kaki digunakan sepenuhnya dari tempat asal sampai ke tempat tujuan. - Pejalan kaki pemakai kendaraan umum, merupakan pejalan kaki yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara. Biasanya dilakukan dari tempat asal ke tempat kendaraan umum, atau pada jalur perpindahan rute kendaraan umum, atau tempat pemberhentian kendaraan umum ke tempat tujuan akhir. - Pejalan kaki pemakai kendaraan umum dan kendaraan pribadi, merupakan mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara, dari tempat parkir kendaraan pribadi ke tempat kendaraan umum, dan dari tempat parkir kendaraan umum ke tempat tujuan akhir perjalanan. - Pejalan kaki pemakai kendaraan pribadi penuh, merupakan mereka yang menggunakan moda jalan kaki sebagai moda antara dari tempat arker kendaraan pribadi ke tempat tujuan bepergian yang hanya ditempuh dengan berjalan kaki. Menurut kepentingan perjalanannya : - Perjalanan terminal, merupakan perjalanan yang dilakukan antara asal dengan area transportasi, misalnya : tempat parkir, halte bus dan sebagainya. - Perjalanan fungsional, merupakan perjalanan untuk mencapai tujuan tertentu, dari atau ke tempat kerja, sekolah, belanja, dan lain-lain. - Perjalanan rekreasional, merupakan perjalanan yang dilakukan dalam rangka mengisi waktu luang, misalnya menikmati pemandangan. Menurut Unterman ( 1984 ), terdapat 4 faktor penting yang mempengaruhi panjang atau jarak orang untuk berjalan kaki, yaitu : Waktu Berjalan kaki pada waktu-waktu tertentu mempengaruhi panjang atau jarak yang mampu ditempuh. Misalnya : berjalan kaki pada waktu rekreasi memiliki jarak yang relatif, sedangkan waktu berbelanja terkadang dapat dilakukan 2 jam dengan jarak sampai 2 mil tanpa disadari sepenuhnya oleh si pejalan kaki. Kenyamanan Kenyamanan orang untuk berjalan kaki dipengaruhi oleh faktor cuaca dan jenis aktivitas. Iklim yang kurang baik akan mengurangi keinginan orang untuk berjalan kaki. Ketersediaan Kendaraan Bermotor Kesinambungan penyediaan moda angkutan kendaraan bermotor baik umum maupun pribadi sebagai moda penghantar sebelum atau sesudah berjalan kaki sangat mempengaruhi jarak tempuh orang berjalan kaki. Ketersediaan fasilitas kendaraan angkutan umum yang memadai dalam hal penempatan penyediaannya akan mendorong orang untuk berjalan lebih jauh dibanding dengan apabila tidak tersedianya fasilitas ini secara merata, termasuk juga penyediaan fasilitas transportasi lainnya seperti jaringan jalan yang baik, kemudahan parkir dan lokasi penyebaran, serta pola penggunaan lahan campuran ( mixed use ) dan sebagainya. Pola Tata Guna Lahan Pada daerah dengan penggunaan lahan campuran ( mixed use ) seperti yang banyak ditemui di pusat kota, perjalanan dengan berjalan kaki dapat dilakukan dengan lebih cepat dibanding perjalanan dengan kendaraan bermotor karena perjalanan dengan kendaraan bermotor sulit untuk berhenti setiap saat. PENGGOLONGAN JALUR PEDESTRIAN Menurut Karakteristik dan Dari Segi Fungsinya jalur pedestrian dapat dikelompokkan sebagai berikut: Jalur Pedestrian. Merupakan sebuah jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kendaraan umum, biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan, diberi lapis permukaan, diberi elevasi lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan dan pada umumnya sejajar dengan jalur lalu lintas kendaraan. Pejalan kaki melakukan kegiatan berjalan kaki sebagai sarana yang akan menghubungkan tempat tujuan. Fungsi utama dari jalur pedestrian adalah untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan, kenyamanan pejalan kaki. Jalur Penyeberangan. Merupakan jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi dan menghindari konflik dengan angkutan atau pengguna jalan atau jalur penyeberangan bawah tanah. Untuk itu diperlukan fasilitas berupa zebra cross, skyway, subway. Plaza. Merupakan jalur pejalan kaki yang bersifat rekreasi. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku-bangku yang telah disediakan. Pedestrian Mall. Merupakan jalur pejalan kaki yang digunakan untuk berbagai aktivitas, untuk berjualan, duduk santai, dan sekaligus berjalan-jalan sambil melihat etalase pertokoan ( mall ). Sekarang mall merupakan bentuk jalan atau plaza di kawasan pusat bisnis yang berorientasi pada pola jalur pedestrian sebagai ruang transit. PENEMPATAN JALUR PEDESTRIAN Suatu ruas jalan dianggap perlu dilengkapi dengan jalur pedestrian apabila disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi menimbulkan pejalan kaki. Penggunaan lahan tersebut antara lain perumahan, sekolah, pusat perdagangan, daerah industri, terminal bus dan sebagainya. Secara umum, jalur pedestrian dapat direncanakan pada ruas jalan yang terdapat volume pejalan kaki lebih besar dari 300 orang per 12 jam ( 06.00 – 18.00 ) dan volume lalu lintas lebih besar dari 1000 kendaraan per 12 jam ( 06.00 – 18.00 ). Jalur pedestrian sebaiknya ditempatkan pada sisi luar bahu jalan atau sisi luar lalu lintas ( bila tersedia tempat parkir). Jalur pedestrian hendaknya dibuat sejajar dengan jalan, akan tetapi dapat tidak sejajar dengan jalan apabila topografi dan keadaan setempat tidak memungkinkan. Jalur pedestrian sedapat mungkin ditempatkan pada sisi dalam saluran drainase terbuka atau diatas saluran drainase yang telah ditutup dengan plat beton yang memenuhi syarat. Fasilitas sebuah jalur pedestrian dibutuhkan pada : - Pada daerah-daerah perkotaan secara umum yang jumlah penduduknya tinggi. - Pada jalan-jalan pasar dan perkotaan. - Pada daerah-daerah yang memiliki aktivitas kontinyu yang tinggi, seperti misalnya pada jalan-jalan pasar dan perkotaan. - Pada lokasi-lokasi yang memiliki kebutuhan / permintaan yang tinggi, derngan periode yang pendek, seperti misalnya stasiun-stasiun bus dan kereta api, sekolah, rumah sakit, dan lapangan olah raga. - Pada lokasi yang mempunyai permintaan yang tinggi untuk hari-hari tertentu, misalnya lapangan / gelanggang olah raga, masjid. - Pada daerah-daerah rekreasi. DIMENSI & PERLETAKAN JALUR PEDESTRIAN Trotoar Pada prinsipnya trotoar disediakan pada dua sisi jalan. Untuk jalan lokal di daerah permukiman yang memiliki DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan ) lebih dari 8 meter, sekurang-kurangnya disediakan pada satu sisi jalan. Penyeberangan sebidang Jenis penyeberangan sebidang adalah : Zebra cross - tanpa pelindung - dengan pelindung Pelikan - tanpa pelindung - dengan pelindung Yang dimaksud dengan penyeberangan tanpa pelindung adalah penyeberangan yang tidak dilengkapi dengan pulau pelindung. Yang dimaksud dengan penyeberangan dengan pelindung adalah penyeberangan yang dilengkapi dengan pulau pelindung dan rambu peringatan awal bangunan pemisah untuk lalu lintas dua arah. Syarat penempatan Fasilitas Penyeberangan Sebidang menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, syarat penempatan fasilitas penyeberangan sebidang adalah : Zebra Cross - Tidak boleh ditempatkan di atas pulau maya ataupun pada mulut persimpangan. - Pada jalan minor harus ditempatkan 15 m dibelakang garis henti dan sedapat mungkin dilengkapi dengan marka jalan yang mengarahkan lalu lintas kendaraan. - Memperhatikan interaksi dari sistem prioritas, yaitu volume yang membelok, kecepatan dan penglihatan pengemudi. - Pada jalan dengan lebar lebih dari 10 meter atau lebih dari 4 lajur diperlukan pelindung. Pelikan Penyeberangan pelikan minimal ditempatkan 20 meter dari persimpangan. Penyeberangan tidak sebidang Jenis penyeberangan tidak sebidang adalah : - Jembatan Penyeberangan - Terowongan penyeberangan Penyeberangan tidak sebidang dianjurkan untuk disediakan pada ruas jalan yang memiliki kriteria sebagai berikut : - PV2 lebih dari 2 x 108, arus pejalan kaki ( P ) lebih dari 1.100 orang/jam, arus kendaraan dua arah ( V ) lebih dari 750 kendaraan/jam, yang diambil dari arus rata-rata selama 4 jam sibuk. - Pada ruas jalan dengan kecepatan rencana 70 km/jam. - Pada kawasan strategis, tetapi tidak memungkinkan para penyeberang jalan untuk menyeberang jalan selain pada jembatan penyeberangan. Persyaratan yang diberikan berdasarkan keselamatan dan kenyamanan bagi pejalan kaki dengan ketentuan sebagai berikut : - Kebebasan vertikal antara jembatan dan jalan raya 5.0 meter. - Tinggi maksimum anak tangga 0.15 meter. - Lebar anak tangga 0.30 meter. - Panjang jalur turun minimum 1.50 meter. - Lebar landasan, tangga dan jalur berjalan minimal 2.00 meter. - Kelandaian maksimum 10 %. Dasar penetapan tersebut diatas adalah asumsi kecepatan berjalan kaki sebagai berikut : Pada jalan datar 1.50 meter/detik Pada kemiringan 1.10 meter/detik Pada tangga 0.20 meter/detik secara vertikal Tangga digunakan pada jembatan jalan, terowongan penyeberangan jalan dan area pedestrian, memiliki kemiringan memanjang lebih besar dari 10 %. Ketinggian jembatan dan kedalaman terowongan penyeberangan jalan harus memenuhi batasan ruang bebas jalan, yaitu 5 meter keatas dan 1.50 meter kebawah dihitung dari permukaan perkerasan jalan. ELEMEN MATERIAL JALUR PEDESTRIAN Dalam perencanaan elemen-elemen jalur pedestrian diperlukan pendekatan secara optimal terhadap lokasi dimana jalur pedestrian tersebut berada. Disamping pertimbangan tersebut, yang terpenting dalam perencanaan elemen jalur pedestrian adalah mengenai komposisi, warna, bentuk, ukuran serta tekstur. Elemen pada suatu jalur pedestrian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : elemen jalur pedestrian sendiri ( material dari jalur pedestrian ), dan elemen pendukung pada jalur pedestrian ( lampu penerang, vegetasi, tempat sampah, telepon umum, halte, tanda petunjuk dan lainnya ). Elemen-elemen material yang umumnya digunakan pada jalur pedestrian adalah paving ( beton ), bata atau batu. Paving atau beton Paving beton dibuat dengan variasi bentuk, tekstur, warna, dan variasi bentuk yang memiliki kelebihan terlihat seperti batu bata, serta pemasangan dan pemeliharaannya mudah. Paving beton ini dapat digunakan di berbagai tempat karena kekuatannya, jalan yang terpasang paving atau beton dapat dilewati mobil, sepeda motor, bus dan kendaraan lain. Bentuk dapat dibuat untuk pola jalur pedestrian agar tidak terlihat monoton dan memberikan suasana yang berbeda. Batu Batu merupakan salah satu material yang paling tahan lama, memiliki daya tahan yang kuat dan mudah dalam pemeliharaannya. Batu granit adalah salah satu yang sering digunakan pada jalur pedestrian yang membutuhkan keindahan. Bata Bahan material ini merupakan bahan yang mudah pemeliharaannya, serta mudah pula didapat. Bata memiliki tekstur dan dapat menyerap air dan panas dengan cepat tetapi mudah retak. ELEMEN PENDUKUNG JALUR PEDESTRIAN Lampu Penerangan 1. Lampu pejalan kaki - Tinggi lampu 4 – 6 meter. - Jarak penempatan 10 – 15 meter, tidak menimbulkan black spot. - Mengakomodasi tempat menggantung / banner umbul-umbul. - Kriteria desain : sederhana, geometris, modern futuristic, fungsional, terbuat dari bahan anti vandalism, terutama bola lampu. 2. Lampu penerangan jalan Penempatannya direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan : penerangan yang merata, keamanan dan kenyamanan bagi pengendara, serta arah dan petunjuk yang jelas. Pemilihan jenis kualitas lampu penerangan jalan, berdasarkan : nilai efektifitas ( lumen/watt ) lampu tinggi dan rencana panjang. Halte bus - Kriteria : Terlindung dari cuaca ( panas atau hujan ). - Penempatan pada pinggir jalan utama yang padat lalu lintas. - Panjang halte minimum sama dengan panjang bus kota, yang memungkinkan penumpang dapat naik atau turun dari pintu depan atau pintu belakang. Tanda petunjuk - Kriteria : Penyatuan tanda petunjuk dengan lampu penerangan atau traffic light akan lebih mengefisiensikan dan memudahkan orang membaca. - Terletak di tempat terbuka, ketinggian papan reklame yang sejajar dengan kondisi jalan. - Tanda petunjuk ini memuat informasi tentang lokasi dan fasilitasnya. - Tidak tertutup pepohonan. Telepon umum - Kriteria : Memberikan ciri sebagai fasilitas telekomunikasi. - Memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengguna. - Mudah terlihat, terlindung dari cuaca. - Penempatan pada tepi atau tengah area pedestrian. - Tiap satu fasilitas telepon umum berdimensi lebar ± 1 meter. Tempat sampah - Kriteria :

    KAJIAN RUANG PUBLIK DITINJAU DARI SEGI PROPORSI SKALA DAN ENCLOSURE

    Get PDF
    Perkembangan sebuah kota terjadi dengan sangat pesat terutama sekali di kawasan-kawasan strategis, perkembangan ini ditunjang dengan adanya tuntutan dari kebutuhan masyarakat di kota yang semakin beranekaragam macamnya terutama dalam hal kenyamanan dan pelayanan serta fasilitas infrastruktur yang ada di kota. Perubahan ini mempengaruhi semua komponen tatanan yang ada di dalamnya seperti ruang publik, pengaruh keberadaan ruang publik dan bangunan disekitarnya. Keberadaan ruang publik ini cukup penting bagi tata ruang sebuah kota sehingga menarik untuk dikaji lebih mendalam, dalam hal ini dikhususkan pada kualitas ruang publik melalui teori proporsi atau skala dan enclosure TINJAUAN UMUM RUANG PUBLIK KOTA Ruang publik pada dasarnya ruang kosong ( open space ) yang sangat berguna, dengan adanya kekosongan bisa memuat berbagai aktivitas didalamnya. Selain itu pada tata ruang kota dengan adanya open space / ruang terbuka untuk ruang pengikat kota sehingga ada jalinan atau penghubung antar ruang didalam kota. Ruang kosong ini disebut juga arsitektur tanpa atap, dimana ruang ini dengan perumpamaan lantainya dari bumi dindingnya keberadaan bangunan-bangunan dan alam disekitarnya dan atapnya berupa langit. Sebagai contoh arsitektur tanpa atap di Piazza del Campo di Siena disana Piazza del Campo berfungsi sebagai pusat kota dimana suatu ruang luar yang dikelilingi oleh dinding bangunan dan tersusun memusat sehingga dianggap sebagai “ Living Room” nya kota. Ruang publik merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat kota sehingga bisa terjalin interaksi sosial di masyarakat kota itu sendiri. Ruang publik secara umum terdapat beberapa fungsi yang antara lain adalah : - Sebagai pusat Interaksi untuk kegiatan- kegiatan masyarakat baik formal maupun informal atau digunakan untuk event-event tertentu seperti upacara kenegaraan, sholat hari raya, acara hiburan dan lain-lain. - Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju kearah ruang publik tersebut dan sebagai ruang pengikat dilihat dari struktur kota serta sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan disekitarnya dan ruang untuk transit. - Sebagai tempat usaha bagi pedagang kaki lima. - Sebagai paru-paru kota yang semakin padat. - Selain itu ruang publik secara esensial harus memiliki 3 kriteria yaitu : Meaningful adalah dapat memberikan makna atau arti bagi masyarakat setempat secara individual maupun kelompok. Responsive adalah tanggap terhadap semua keinginan pengguna dan dapat mengakomodir kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut. Democratic adalah dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa ada diskriminasi. Hamid Shirvani, dalam teorinya tentang perencanaan kota, juga menyampaikan beberapa hal penting yang berkaitan dengan proporsi-skala sebuah ruang publik. Bentuk Bangunan dan Massa Bangunan Building form and massing, therefore, encompases height, bulk, floor area, ratio (FAR), coverage, Stree-line setbacks, style, scale, material, texture and color. Perangkat pengendalian bentuk dan massa bangunan meliputi : - Ketinggian bangunan Dalam konteks kota ketinggian berbagai bangunan akan membentuk skyline kota. - Kepejalan Bangunan Kontrol kepejalan memberikan peningkatan kondisi angin dan pengontrolan terhadap cahaya matahari pada jalan-jalan dan ruang-ruang terbuka dibawahnya. Hasil kontrol kepejalan berupa bentuk artikulasi dan bertingkat permukaan dan bentuk bangunan, dapat menurunkan masalah angin. Pengontrolan cahaya matahari dan angin akanmemberikan pengaruh pada batas ketinggian, setback, ketinggian kondisional, sudut matahari, sudut pandang, serta ruang antar menara. - Koefisien Lantai Bangunan Menggambarkan tentang jumlah lantai maksimum, peruntukan yang diperbolehkan, dan intensits membangun ( jumlah lantai maksimum, KLBmaksimum, KLB dasar, kepadatan penduduk ) - Koefisien Dasar Bangunan Luas lantai dasar ( BC ) adalah luas lahan tapak yang tertutup dibanding luas keseluruhan. KDB dimaksudkan untuk menyediakan lahan terbuka yang cukup di suatu wilayah kota. - Garis Sempadan Bangunan Ialah jarak bangunan terhadp as jalan. GSB bermanfaat untuk mengendalikan tata letak bangunan terhadap jalan, sehingga tercipta, keteraturan, dan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap pemakai jalan. TEORI PROPORSI / SKALA Ruang publik ini ada kaitannya dengan open space dan urban space. Menurut pendapat Paul D. Spreiregen mengenai open space dan urban space adalah “Open space is another type of space, and one which we should be very careful to understand. Open space generally describes park like areas of greenery in or near the city. It is often confused with urban space, which is a formal focus of urban activity. Open space in informal, natural, and parklike. It relieves the harshness of urban form while complementing it. Urban spaces are the products of cities, specifically the juxtaposition of buildings. The larger spaces of nature in which cities sit cannot be enclosed by urban form, but can nonetheless be urban spaces in the sense that they are qualified by the urban presence. The city, as a whole form, accents this vast space.” Scale and Human Vision Skala didalam urban design yang dipakai adalah skala manusia agar sesuai dengan aktivitas manusia. Skala ini berdasarkan pada jarak dan ketinggian bangunan atau lingkup area yang ada dari sudut pandangan manusia yang antara sudut 30o-65o. Selain itu menurut Lynch dalam Rapoport 1971, bahwa sudut pandang yang normal adalah 270. Jadi untuk perbandingan D/H = 270. Ada tiga pembagian skala berdasarkan urban design antara lain skala intim, skala urban, dan skala monumental. Pada dasarnya sudut pandangan mata manusia secara normal pada bidang vertikal adalah 60o, tetapi bila melihat secara intensif maka sudut pandangan mata berkurang 1o. H. Marten, seorang arsitek Jerman, dalam papernya “ Scale in Civic Design” mengatakan bahwa bila orang melihat lurus ke depan, maka bidang pandangnya vertical di atas bidang pandangan horizontal mempunyai sudut 40o atau 2/3 seluruh sudut pandangan mata. Dan orang dapat melihat keseluruhan pandangan bila sudut pandangnya 27o atau bila D/H = 2 ( jarak dibagi dengan tinggi = 2). Werner Hegemann dan Elbert Peets dalam bukunya : “American Vitruvius “ menyatakan bahwa : orang akan merasa terpisah dari bangunan bila melihat dari jarak sejauh 2 x tinggi bangunannya, ini berarti sudut pandangannya 27o. Bila orang ingin melihat sekelompok bangunan sekaligus maka diperlukan sudut 18o, ini berarti dia harus melihat dari jarak sejauh pandangan 3 x tinggi bangunan. Paul Zucker juga menggunakan gb. 2-1A dan 2-1B dalam bukunya “ Town and Square”. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah ada sejak zaman Medieval, untuk saat ini dianggap terlalu statis untuk diterapkan dalam disain. Tetapi yang terpenting adalah untuk mengetahui nilai dan Kualitas runag luar secara keseluruhan dan mepelajari prbandingan-perbandingan antara jarak dan tinggi bangunan pada potongan- potongan melintang.Betul tidaknya tergantung pada disain. Agar benar-benar mendapatkan inspirasi dalam membuat disain ruang luar, seorang arsitek tidak harus selalu memakai teori perbandingan tersebut, tetapi harus lebih bebas dalam menggunakan intuisinya yang kreatif. Gambar 3 Field Of Vision Menurut Camillo Sitte mengenai skala square atau plaza, bahwa besarnya square atau plaza mempunyai lebar minimum sama dengan tinggi bangunan dan tidak boleh lebih dari 2 kali tingginya. Jadi besarnya plaza : 12 maka daya mengruang pada plaza mulai berkurang. Jadi bila D/h terletak diantara 1 dan 2 akan menjadi proporsi yang seimbang Gambar 4 Ilustrasi Perbandingan D/H Sumber :Yoshinobu Ashihara, Exterior Design in Architecture Menurut pengamatan ashihara, ukuran-ukuran plaza pada umumnya sesuai dengan apa yang telah ditemukan Camillo Sitte jauh sebelumnya. Arsitek-arsitek yang mepraktekkeanya harus sadar akan kenyataan bahwa ruang luar harus direncanakan dengan skala yang berbeda terhadap ruang dalam. Satu hipotesis yang dikemukakan oleh Ashihara berdasar pada pengalamannya menyatakan bahwa : ruang luar mempunyai skala berkisar antara 8-10 kali dari skala ruang dalam. Hipotesa ini disebut “Teori Sepersepuluh” Didalam bukunya : “ Silent Language” Edward Hall menegaskan bahwa orang telah mengembangkan daerah teritorialnya sampai dengan perluasan yang sukar diduga. Bila boleh dibuat suatu perbandingan maka pengolahan ruang dapat disamakan dengan “ perlakuan sex”; contohnya di Jepang : orang-orang Jepang tidak menamakan ruang-ruang menurut fungsi dan penggunaannya seperti ; ruang makan ,ruang tinggal , kamar tidur dan sebagainya. Tetapi memberi nama ruang menurut luas lantai : Sebuah ruang berukuran 4,5 tikar, sebenarnya agak sempit, tetapi merupakan ruang yang intim untuk 2 orang. ( 1 tikar lebih kurang 90x180 cm, jadi 4,5 tikar = 270 x270 cm).Ada satu peribahasa jjepang berbunyi “ roman 4,5 tikar” membayangkan bahwa hadirnya 2 orang laki-laki dan wanita di dalam ruang yang berukuran 4,5 tikar membawa pikirann kita kepada situasi yang sangat romantis. Bila kita akan mencoba menciptakan ruang luar yang “ intim” seperti pada ruang dalam tersebu. Diatas dengan menggunakan teori sepersepuluh, maka luas ruang luar yang terjadi adalah 8-10 kali ruang 4,5 tikar tadi, atau 21x21 m sampai 27x27m. Ruang tersebut cukup luas dimana orang-orang yang berada disana dapat mengenal dan membedakan setiap wajah orang lain. (Jartak maksimum untuk mengenal wajah orang 24m). Jadi ruang luar dengan ukuran antara 21x21m sampai dengan 27x27m adalah sangat baik, kompak dan intim, sebaik dan seintim ruang dalam 4,5 tikar. Ruang dalam berukuran 80-100 tikar (7,2x18m sampai dengan 9x18m) adalah sesuai untuk keperluan pesta-pesta atau perjamuan-perjamuan ( banquet hall). Gambar 5 Ilustrasi Ruang Ruang 100 tikar secara tradisional di Jepang adalah ruang dalam yang terbesar dimana orang masih dapat saling menanggapi dan saling berbicara satu sama lain secara akrab, dan suasana berkumpul tetap terjamin. Jadi bila kita nmengalikan banquet hall tersebut 8 kali misalnya, maka akan kita dapatkan ruang luar yang terbesar dengan ukuran 58x144m, dimana kesan intim masih mungkin dapat dirasakan. Luas plaza-plaza yang besar di Eropa Menurut Camillo Sitte Rata-rata 57x140m, jadi lebih kurang sama dengan ruang luar yang terbesar menurut perhitungan Ashihara. Tetapi didalam praktek, kita tidak usah menggunakan teori sepersepuluh setepatnya. Berdasarkan juga pada pengalamannya, Ashihara mengemukakan hipotesa yang kedua : “ Modul- 21meter “ adalah satu metode untuk merencanakan ruang luar denganmenggunakan modul antara 21-24m. Ruang luar yang tidak mempunyai daya mengruang, cenderung menjadi tidak jelas dan kabur. Oleh karena itu pada setiap jarak 21 atau 24 m harus diadakan perubahan dan pergantian secara kontinyu dalam irama, tekstur dan tinggi permukaan lantainya, agar suasana ruang menjadi meriah dan hidup. Modul 21-24m, menurut pengalaman Ashihara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, dan merupakan satuan yang sangat praktis untuk perencanaan. Sebagai contoh : misalnya ada bangunan yang panjang dindingnya sampai 150m atau 300m, maka suasana jalan didekatnya menjadi sangat monoton dan membosankan. Untuk itu perlu ditimbulkan suasana yang berirama dengan merencanakan kebun-kebun kecil, menambah etalase-etalase, atau elemen yang menonjol di dinding pada setiap jarak 21 atau 24m. Cara tersebut telah di praktekan di Olympic Park di Komasawa. Setral plazanya mempunyai ukuran 90x180m, merupakan ruang luar yang sangat luas, tetapi setiap 21m terdapat taman-taman bunga, lampu-lampu taman, bangku-bangku tempat duduk, menurut as memanjang, bahkan meluasa sampai ke kolam air; sehingga dengan demikian skala manusia dapat tercapai. Gambar 6 Olympic Park, Komasawa, Jepang TEORI ENCLOSURE Menurut Gorden Cullen Enclosure (ruang berpagar) adalah unit basuk pola lingkungan di luar suara dan kecepatan komunikasi yang datang dan pergi. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan enclosure, yaitu Ruang terbuka dan keterlingkupan Suatu sensasi yang dirasakan seseorang pada saat melewati ruang terbuka pada kawasan pusat kota, yang masih memiliki keterlingkupan/ enclosure yang dibentuk oleh bangunan-bangunan di sekitarnya Melihat keluar dari dalam keterlingkupan Ekspresi yang membangun fakta adanya sesuatu yang disana ( therensse), perasaan identitas pada sebuah posisi.Hal tersebut berupa perbedaan perasaan didalam sini dan di luar sana, yang berkaitan dengan jarak. Melihat dari luar ke dalam keterlingkupan Suatu imajinasi yang dibentuk oleh seseorang pada saat mereka melihat dari arah luar kedalam sebuah ruang yang masih memiliki keterlingkupan di dalamnya Keterlingkupan berganda Adalah salah satu ilustrasi yang menunjukkan dua halaman gedung, salah satu didalam dan satu diluar, membagi serambi dan merupakan intertpenetrasi secara keseluruhan. Enclosure berkaitan erat dengan ruang luar, sebagai contohnya dalam buku exterior in design karangan Yoshinobu Ashihara yaitu memagari ruang luar atau mengenclose ruang luar. Suatu jenis ruang dapat diciptakan dengan menetapkan tingkatan nilai ruang pada setiap bagian dari ruang luar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah : bentuk, kualitas dan penempatan dinding-dindingnya. Untuk ruang luar, pada umumnya pola jalan yang berbentuk kotak-kotak menyebabkan pembukaan pada bagian sudutnya dengan arah vertical sehingga mempumyai pengaruh yang sedikit banyak ” bertentangan dengan perencanaan mengenclose “ ruang. Tetapi ada kemungkinan untuk mempertinggi kesan “Enclosure “ tersebut dengan merubah bagian sudut yang tadinya membengkok keluar menjadi membengkok kedalam.Manfaat dari cara tersebut dapat dilihat pada plaza-plaza yang terdapat di kota-kota di Eropa. Sebagai missal gambarkan empat buah kolom didirikan seperti pada gambar 3-9A sebagai akibatnya maka didalam bagian diantara keempat kolom tersebut timbul suatu daya pengaruh yang memberikan kesan ruang tetapi karena kolom itu tidak mempunyai orientasi dan sifat pengaruhnya menyebar kesegala arah maka ruang yang terjadi kurang enclosed. Kemudian kita bayangkan ada empat dinding yang didirikan seperti pada gambar 3-9B,maka pengaruh keempat dinding tersebut memberikan kesan ruang yang jauh lebih baik dari pada yang diakibatkan oleh empat kolom tadi. Lebih baik lagi apabila pada bagian sudutsudut ruang tersebut ditempatkan bagian dinding yang membengkok kedalam dengan sudut siku-siku maka kesan enclosure-nya akan lebih jelas lagi. Selain itu tinggi suatu dinding sangat erat hubungannya dengan tinggi mata orang dan itu berpengaruh pada enclosure seperti pada contohnya yaitu : - Dinding setinggi 30 cm dan 60 cm secara visual hampir tidak mempunyai daya mengruang dan tidaik menimbulkan kesan yang formal sedangkan tinggi 90 cm tidak merubah keaadaan secara radikal. Bila tinggi dinding menjadi 120 cm dinding tersebut dapat menutupi sebagian besar badan oran dan menimbulkan kesan / suasana aman meskipun dapat berfungsi pemisah ruang tetapi secara visual masih mempunyai efek ruang yang kontinyu. Bila dinding tingginya menjadi 150 cm, dinding sudah mempunyai daya mengruang dan bila tinggi dinding lebih dari 180 cm, dinding dapat menutupi seluruh tubuh manusia dan hampir dalam semua hal dapat memberi daya mengruang yang kuat. Jadi kesan mengruang dapat dicapai bila tinggi dinding melebihi tinggi manusia dan memutuskan pandangan yang menerus dari lantai. Selain itu menimbulkan kesan enclosure yang kuat. Dinding rendah terutama hanya digunakan untuk membagi suatu daerah dan tidak menimbulkan kesan enclosure. Dinding-dinding rendah hanya efektif bila digunakan sebagai pagar disepanjang lantai yang ditinggikan, pemberi arah gerakan ataupun untuk membatasi semak-semak. Bila tinggi dinding lebih dari tinggi orang ia akan memberi daya mengrung dan pembukaan dengan arah vertical akan menjadi penting. Gambar 9 Ilustrasi Pengamat Pada Enclosure DAFTAR PUSTAKA Lynch,Kevin; The Image Of The City, MIT PRESS,Prinkel In the USA,1960 Shirvani, Hamid; The Urban Design Process, Van Nostrand ReinHold Company, New York, 1985 D.K.Ching,Francis;Arsitektur:Bentuk Ruang dan Susunannya, Penerbit Erlangga,Jakarta, 1996 Ashihara, Yoshinobu;Exterior Design In Architecture, Van Nostrand Reinhold Coimpany New York Cincinnati Toronto London Melbourne,1970 Cullen,Gordon;The Aestetic Town Scape, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 1971 Rukayah,R.Siti, Dari Nilai Historis Ke Ruang Ekonomi Sebuah Studi Lapangan Kota Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,2005 Rukayah,R.Siti, Simpang Lima Semarang Lapangan Kota Dikepung Ritel, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2005 Edy Darmawan.Ir.MEng,Teori dan Kajian Ruang Publik Kota, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2003 Edy Darmawan.Ir.MEng,Teori dan Implementasi Perancangan Kota, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 200

    Disease Patterns in The Baksos Service Community to Improve Efficient ad Better Quality

    Get PDF
    Recently there are still many community organizations, educational institutions and political organizations conducting free medical service activities, the purpose of that activities varying depend on the organization. The purpose of this study was to described the implementation and outcomes (the number of people served, gender, characteristics of age and what diseases is the most) that activities, Methods of This study was  a non-experimental research, researcher just observed the subject without  manipulated or intervention. Result of this study was found the number of women 57.71% and the late adult age to > 65 years old more served during social health service activities, whereas most types of diseases were myalgia 24.09% and hypertension 22.40%. Free medical service activities activity still needed by society but for management of non communicable disease need to reevaluated especially problem of monitoring result of treatment and preventive action which can be done but more cost effective compared with curative action. Further research needed about benefit, the impact and effectiveness of charity medical care activities and the cost comparisonbetween curative efforts and preventive efforts in dealing with hypertension

    Disease Patterns in The Baksos Service Community to Improve Efficient ad Better Quality

    Get PDF
    Recently there are still many community organizations, educational institutions and political organizations conducting free medical service activities, the purpose of that activities varying depend on the organization. The purpose of this study was to described the implementation and outcomes (the number of people served, gender, characteristics of age and what diseases is the most) that activities, Methods of This study was  a non-experimental research, researcher just observed the subject without  manipulated or intervention. Result of this study was found the number of women 57.71% and the late adult age to > 65 years old more served during social health service activities, whereas most types of diseases were myalgia 24.09% and hypertension 22.40%. Free medical service activities activity still needed by society but for management of non communicable disease need to reevaluated especially problem of monitoring result of treatment and preventive action which can be done but more cost effective compared with curative action. Further research needed about benefit, the impact and effectiveness of charity medical care activities and the cost comparisonbetween curative efforts and preventive efforts in dealing with hypertension

    Perancangan Grafis Kaos Bergambar Tokoh Wayang

    Get PDF
    Perkembangan teknologi dan informasi sangat mempengaruhi industri fashion khususnya industri kaos. Pengaruh tersebut terlihat jelas pada munculnya beragam desain kaos dari segi desain bentuk, hingga desain ilustrasi yang dicetak dengan media kaos. Berbagai softwarepun digunakan untuk menunjang proses pembuatan desainnya sehingga lebih desain lebih menarik. Namun, kebanyakan desain kaos yang ada di pasaran bertemakan pahlawan super atau kata-kata yang berasal dari luar negeri, sedangkan bangsa kita adalah bangsa yang kental dengan budaya serta kesenian yang menarik untuk diangkat menjadi tema kaos. Menjawab tantangan diatas,kaos yang mengangkat tema tokoh wayangdiproduksi. Untuk membuat perancangan tersebut, diperlukan data-data yang valid dan sesuai. Berdasarkan hasil analisa, pengumpulan dan pengolahan data dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.Perancangan grafis kaos bergambar tokoh wayang agar masyarakat, khususnya anak muda dapat tertarik. 2.Media promosi yang dirancang secara komunikatif mampu memberikan informasi lebih keberadaan kaos ini. Media promosi yang dipilih antara lain standing banner dan merchandise yang digunakan antara lain stiker, pin, mug, katalog. Media tersebut dipilih karena efektif dan efisien dalam menyampaikan tujuan promosi. Penulis berharap dengan adanya perancangan grafis kaos bergambar tokoh wayang ini, dapat memberi motivasi bagi penulis lainnya untuk membuat berbagai produk serupa yang bertemakan budaya bangsa kita. Mengingat Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang menarik untuk diangkat dalam berbagai produk industri kreatif

    Pengaruh Kecerdasan Budaya Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan Pada Karyawan Supermarket Bravo Cepu Dengan Menggunakan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Sebagai Variabel Intervening (Studi pada Karyawan Supermarket BRAVO Cepu)

    Get PDF
    This study aims to analyze the effect of Cultural Intelligence and Emotional Intelligence on employee performance by using Organizational Citizenship Behavior (OCB) on employees of Supermarket Bravo Cepu. This research is included in quantitative research. The samples collected in this study were 96 respondents with a sampling technique using probability sampling. The number of respondents is determined by using the Hair formula where the number of indicators is multiplied by 5 10. The data used is primary data where the data is obtained from respondents' answers through a questionnaire that has been given. The data analysis technique used the SEM-PLS analysis technique whose calculations were assisted by the SmartPLS 3.3 software program. The evaluation analysis of the Partial Least Square (PLS) model was carried out by evaluating the outer model and evaluating the inner model. The results of the analysis of this study indicate that cultural intelligence and emotional intelligence have a significant positive effect on employee performance. Cultural intelligence and emotional intelligence also have a significant positive effect on Organizational Citizenship Behavior (OCB). And Organizational Citizenship Behavior (OCB) has a significant positive effect on employee performance. The results of data analysis also show that Organizational Citizenship Behavior (OCB) mediates the influence of cultural intelligence and emotional intelligence on employee performance

    RUG-1-Pegasussers at SemEval-2022 Task 3:Data Generation Methods to Improve Recognizing Appropriate Taxonomic Word Relations

    Get PDF
    This paper describes our system created for the SemEval 2022 Task 3: Presupposed Taxonomies - Evaluating Neural-network Semantics. This task is focused on correctly recognizing taxonomic word relations in English, French and Italian. We develop various data generation techniques that expand the originally provided train set and show that all methods increase the performance of models trained on these expanded datasets. Our final system outperforms the baseline from the task organizers by achieving an average macro F1 score of 79.6 on all languages, compared to the baseline's 67.4.</p

    DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KUALITAS HIDUP LANSIA DENGAN DIABETES MELLITUS

    Get PDF
    Diabetes mellitus adalah kesehatan global, insiden, morbiditas, serta mortalitasnya lebih besar diantara lansia daripada yang lebih muda. Karena diabetes ialah penyakit kronis yang membutuhkan pergantian gaya hidup serta kepatuhan diet yang signifikan, dukungan sosial ialah faktor kunci dalam meningkatkan kepercayaan penderita dalam perawatan. Penelitian ini bertujuan guna menganalisis dukungan sosial dan kualitas hidup lansia penderita DM di daerah kerja Karangrejo Sawah Kelurahan Wonokromo Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan crosss-ectional. Pengambilan sampel sebanyak 32 lansia, menggunakan kuesioner Multidimensional Scale Of Perceived Social Supportdan Diabetes Quality of Life . Data yang terkumpul disebarluaskan oleh SPSS dan dianalisis pearson chi-square untuk membangun adanya hubungan dukungan sosial dan kualitas hidup. Hasil penelitian menunjukkan jika tingkat dukungan sosial tinggi sebesar 59,4%, sedangkan tingkat kualitas&nbsp; hidup sedang sebesar 59,4%, terkait correlation ditemukan adanya hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup dengan p value 0,06 (&lt;0,05). Hasil penelitian yaitu terlihat bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada lanjut usia diabetes mellitus

    Analisis Pengaruh Persepsi Ibu Terhadap Perilaku Gaya Hidup Bersih dan Sehat Berdasarkan Health Belief Model di Surabaya

    Get PDF
    Di Surabaya pada tahun 2017, Incidence penyakit diare sebesar 76,602 kasus yang sebelumnya sebanyak 77,617 suspek kasus (98,69%). Kota Surabaya memiliki 63 Puskesmas dan dari tahun 2016 hingga tahun 2018, terdapat 12 Puskesmas yang  inciden penyakit diare pada balita meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh persepsi ibu yang mengasuh balita terhadap perilaku gaya hidup bersih dan sehat berdasarkan Health Belief Model. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif analitik dengan pendekatan cross-sectional. Terdapat 120 ibu yang mengasuh balitanya dari 12 Puskesmas ikut terlibat dalam penelitian ini. Responden mengisi kuesioner tentang karakteristik, perceived susceptibility, perceived severity, perceived benefit, cues to action and perilaku gaya hidup sehat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei tahun 2019. Analisis variabel dilakukan dengan uji analisis bivariat dengan regresi binomial. Karakteristik responden yang terdiri dari (usia, tingkat pendidikan dan tingkat sosio ekonomi) pada penelitian ini berpengaruh terhadap perceived susceptibility, perceived severity and perceived benefits. Perceived susceptibility dan perceived severity berpengaruh terhadap perceived barriers, tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap perceived benefits. Cues to action berpengaruh terhadap perceived barriers dan perceived barrier dan perceived benefits berpengaruh terhadap perilaku hidup bersih dan sehat. Kata kunci: Diare, Persepsi, Health Believe Models, PHB
    corecore