Peningkatan Hasil Belajar IPS Dengan Metode Snowball Throwing Pada Siswa Kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2012/2013

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui apakah metode snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar IPS bagi siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung tahun pelajaran 2012/2013 atau tidak, 2) Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan hasil belajar IPS siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung tahun pelajaran 2012/2013 melalui metode snowball throwing, Untukmengetahui bagaimana penerapan/pengajaran pembelajaran IPS dengan metode snowball throwing pada siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung tahun pelajaran 2012/2013. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung kecamatan Jatipuro kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan jumlah siswa yang dijadikan objek sebanyak 20 siswa. Metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi, dokumentasi, dan tes. Teknik analisis data menggunakan deskriptif komparatif dan kritis. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Penggunaan metode snowball throwing dapat meningkatkan hasil belajar IPS siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung tahun pelajaran 2012/2013, hal tersebut ditunjukkan dengan hasil belajar siswa pada siklus I rata-rata nilai siswa 66,5. Pada siklus II rata-rata nilai siswa adalah 72,5, dan pada siklus III rata-rata nilai siswa adalah 81. Penerapan pembelajaran IPS dengan menggunakan metode snowball throwing pada siswa kelas V SD Negeri 02 Jatikuwung Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar Tahun Pelajaran 2012/2013 dilaksanakan dengan menerapkan langkah-langkah sesuai metode yaitu 1) Penyampaian materi, 2) Pembentukan kelompok, 3) Pembentukan Ketua kelompok, 4) Penulisan pertanyaan materi pada kertas, 5) Kertas dibentuk bola dan dilemparkan, 6) Siswa yang memperoleh kertas menjawab pertanyaannya, serta 6) Evaluasi dan penutup

Skor Duke Treadmill sebagai Prediktor Lesi Koroner Signifikan pada Pasien dengan Respon Iskemik Positif Uji Latih Jantung

Latar belakang: Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab terbanyak gagal jantung di Indonesia dimana prevalensi paling tinggi terdapat di provinsi Jawa Timur. Biaya untuk diagnosis dan terapi yang dibutuhkannya sangat tinggi. DTS telah diketahui lama diketahui untuk stratifikasi prognosis dan memiliki nilai prediksi yang baik dalam menunjukkan keparahan lesi koroner, walaupun sampai sekarang masih terdapat perbedaan nilai dari beberapa penelitian sebelumnya. Tujuan:Kami ingin mencari nilai DTS yang dapat dipakai untuk prediksi lesi koroner signifikan terhadap pasien dengan respon iskemik positif uji latih jantung. Metodologi: Studi potong lintang dikerjakan terhadap pasien dengan usia 18 sampai 74 tahun yang menjalani skrining PJK dengan hasil iskemik respon positif dan dikerjakan angiografi koroner di rumah sakit Saiful Anwar selama tanggal 1 Juni 2016 –30 Mei 2017. DTS dihitung dari treadmill dari: durasi latihan - (5x ST deviasidalam mm) - (4x angina). Lesi koroner signifikan didefinisikan pada stenosis ≥ 70% di proksimal dan stenosis mid-distal ≥ 50%. Analisis data menggunakan ROC pada piranti lunak SPSS 24. Results: Kita dapatkan 101 pasien yang memenuhi kriteria intrinsik rerata usia 57 tahun, 62,38% laki-laki, faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (66,34%), perokok (31,68%) dan diabetes (22,77%). Rerata DTS adalah -5,73, dalam katagori risiko rendah, intermediate dan tinggiadalah 4,95%, 73,27%, and 21,78%. Area under curve diketahui71,8% (IK 95% :60,2- 83,5%)dan nilai potong DTS dalam prediksi lesi koroner signifikan adalah -0,5 (sensitivitas 73,5%, spesifisitas 55,6%) dengan nilai prediktif positif 88,4%. Kesimpulan: DTS merupakan prediktor baik dalam menentukan lesi koroner signifikan pada pasien dengan respon iskemik positif uji latih jantungdengan nilai potong -0,5

Treatments of honey bee colonies affected by Varroa destructor in organic apiculture

The organic honey bee productions are provided for in the EU Regulation 1804/99. Notwithstanding the beekeeping industry deserves a considerable economic importance to the whole organic market of the EU, limited action is paid in favour of the organic beekeeping. A noticeable exception to this are the huge research efforts on the disease control, which is mainly due to the lack of useful and not contaminating remedies against severe pests hitting the honey bees in the whole EU. To avoid the honey contamination with treatment residues is paramount and fosters researche on soft chemicals like oxalic acid, which is of utmost impor-tance not only in organic, but also in conventional contexts. The Authors are presenting here a synthetic review on the treatments against the varroosis with OA and on their research to optimise the use of the substance in different Italian environments

Potensi penggunaan ekstrak daun jintan (plectranthus amboinicus) untuk pengobatan pasien gout artritis dengan diet tinggi purin

Tumbuhan jintan (Plee/ranthus amboinicus) dikenal masyarakat schagai lanaman ohal 'bemama bangun-bangun dan digunakan secara lradisional sebagai obat anti asma. batuk kronis bronchitis dan obat penyakit infeksi yang discbahkan oleh virus atau kuman. 'Penelitian ini merupakan tahap praklinik dari penelitian mcngcnai pengobatan penderita goet arthritis dengan ekstrak daun Jinlan. Tujuan penelitian adalah menganalisis aktivilas esktrak daun Jintan (Plee1ranthus amboillicllS) dan I11cngctahui c/ek toksisitas akut pada tikus ptutih (Ral/us norvegiclIs) yang diinduksi arthritis

Uji Toksisitas Sub Kronik Ganoderma Lucidum Pada Target Organ Aorta

Pengetahuan yang kita miliki tentang aterosklerosis, akan semakin memudahkan untuk mencegah atau menyembuhkannya. Ganoderma lucidum dengan kandungan triterpenoid dan polisakarida serta memiliki kandungan bioaktif β-glucan. Triterpenoid telah dilaporkan memiliki efek anti-hipertensi, hipokolesterolemik dan anti-angiogenic, efek pada agregasi platelet dan inhibisi komplemen. Polisakarida, terutama ß-glucans, telah diketahui memiliki efek anti-tumor melalui imunomodulasi dan antiangiogenesis. Selain itu, polisakarida memiliki efek perlindungan terhadap radikal bebas yang berperan pada inflamasi. Ganoderma lucidum mempunyai sejarah panjang lebih dari 2000 tahun dalam penggunaannya untuk berbagai kepentingan pengobatan. Beberapa kelas substansi bioaktif yang terisolasi dan teridentifikasi dari Ganoderma lucidum seperti triterpenoids, polysaccharides, nucleosides, sterols dan alkaloids telah menunjukkan fungsi dan peranan sebagai anti inflamasi, anti tumor, antioksidan, imunomodulasi dan radioproteksi. oleh karena itu Ganoderma lucidum dapat dikembangkan sebagai pengobatan komplementer pada penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peptida polisakarida (Ganoderma Lucidum) sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang efektif dalam menghambat progresifitas atherosklerosis sebagai penyakit kardiovaskuler yang sangat berhubungan erat dengan kejadian stress oksidatif dan proses inflamasi. Pada tahun kedua penelitian direncanakan uji toksisitas akut menggunakan tikus balb/c dengan 5 variasi dosis dan diamati setiap hari selama 7 hari. Pada uji toksisitas akut juga akan ditentukan lethal dose 50 selama 24 jam. Uji toksisitas subkronik menggunakan Rattus Novergicus viii Strain Wistar jantan dan betina yang masing dibagi menjadi 5 kelompok dosis selama 3 bulan. Pemberian ekstrak dilakukan secara per oral (penyondean) sebanyak 1 cc tiap ekor.Parameter yang dinilai pada penelitian ini adalah histopatologi organ aorta Upaya untuk mengembangkan polisakarida peptida (Ganoderma lucidum) sebagai antioksidan dan antiinflamasi, pada penelitian sebelumnya telah terbukti secara signifikan mengurangi tingkat MDA, hs-CRP, H2O2, kolesterol total, dan sel busa dan juga meningkatkan tingkat HDL di Rattus novergicus tikus strain wistar yang diberi diet tinggi lemak. Penelitian Uji toksisisas perlu dilakukan untuk mengetahui efek toksisitas subkronik Ganoderma lucidum pada hewan coba, dalam hal ini pengaruhnya pada target organ Aorta

Pengaruh Jejaring Komunikasi Stemimalang Terhadap Kejadian Major Adverse Cardiac Event (Mace) Pada Pasien Stemi Yang Dirawat Di Rs Dr. Saiful Anwar Malang

Didapatkan 196 data rekam medis. Di antaranya didapatkan 12 pasien kelompok jejaring yang terbukti bukan STEMI. Sisa 184 pasien terbagi menjadi 96 pasien yang merupakan kelompok non jejaring dan 88 pasien jejaring

Prognostic role of serum cytokeratin 19 fragments in advanced non-small-cell lung cancer: association of marker changes after two chemotherapy cycles with different measures of clinical response and survival

Prognostic implication of serum cytokeratin 19 fragments (CYFRA 21-1) was explored in 60 advanced NSCLC patients, whereas in 45 patients assessable for serological response a ⩾35% CYFRA 21-1 decline after two chemotherapy cycles was strongly associated with non-progression (NP), defined as a sum of objective response (OR)+stable disease (P<0.0001) and survival (P=0.0002). Association of OR with survival was not significant. In multivariate survival analysis, ⩾35% marker decline and radiological NP status were found as major determinants of prolonged survival with RR: 0.37 (P=0.01) and 0.63 (P=0.01), respectively. In advanced NSCLC patients, NP reflects therapeutic efficacy better than traditional OR. CYFRA 21-1 ⩾35% decline seems to be a reliable surrogate marker of treatment efficacy in terms of survival

Burden of disease, healthcare pathways and costs of cardiovascular high-risk patients with type 2 diabetes: a real world analysis:

Objective: To estimate the burden of disease and to describe healthcare pathways and costs of type-2diabetes (DMT2) patients at high cardiovascular risk (HRCV). Methods: A real-world analysis was performed by using a subset of the AR-CO database, containing administrative health data of >4.3 million of inhabitants. A cohort of adult patients with DMT2 and HRCV was selected in 2013, and followed for 1 year. Through this period, information on antidiabetic and cardiovascular therapies, other co-treatments, hospitalisations, and outpatient services, was collected and analysed. The costs associated with each variable were assessed to estimate the integrated health care expenditure. Results: Overall, 7,167 patients with DMT2 and HRCV were identified, corresponding to 3.1% of all diabetic patients and 0.2% of adult population. During the 1-year follow-up, 90.1% of the cohort received at least a prescription of an antidiabetic drug, 98.0% of a cardiovascular medication and 95.9% used at least an outpatient service. 44.5% had an admission during the follow-up period, especially for cardiovascular events. The integrated cost analysis showed that the overall average cost for each subject was € 13,567. Hospitalisations generated 86.8% of this expenditure, followed by drugs (7.7%) and by outpatient services (5.5%). Conclusions: Although patients with DMT2 and HRCV represent a small percentage of the overall population with diabetes, they generate very high costs for National Healthcare System. These costs are mainly due to the hospitalisations, especially for cardiovascular events. New therapeutic strategies involving these patients should allow reduction of hospital admission, resulting in savings for National Healthcare System

Expression of Distal-less, dachshund, and optomotor blind in Neanthes arenaceodentata (Annelida, Nereididae) does not support homology of appendage-forming mechanisms across the Bilateria

The similarity in the genetic regulation of arthropod and vertebrate appendage formation has been interpreted as the product of a plesiomorphic gene network that was primitively involved in bilaterian appendage development and co-opted to build appendages (in modern phyla) that are not historically related as structures. Data from lophotrochozoans are needed to clarify the pervasiveness of plesiomorphic appendage forming mechanisms. We assayed the expression of three arthropod and vertebrate limb gene orthologs, Distal-less (Dll), dachshund (dac), and optomotor blind (omb), in direct-developing juveniles of the polychaete Neanthes arenaceodentata. Parapodial Dll expression marks premorphogenetic notopodia and neuropodia, becoming restricted to the bases of notopodial cirri and to ventral portions of neuropodia. In outgrowing cephalic appendages, Dll activity is primarily restricted to proximal domains. Dll expression is also prominent in the brain. dac expression occurs in the brain, nerve cord ganglia, a pair of pharyngeal ganglia, presumed interneurons linking a pair of segmental nerves, and in newly differentiating mesoderm. Domains of omb expression include the brain, nerve cord ganglia, one pair of anterior cirri, presumed precursors of dorsal musculature, and the same pharyngeal ganglia and presumed interneurons that express dac. Contrary to their roles in outgrowing arthropod and vertebrate appendages, Dll, dac, and omb lack comparable expression in Neanthes appendages, implying independent evolution of annelid appendage development. We infer that parapodia and arthropodia are not structurally or mechanistically homologous (but their primordia might be), that Dll’s ancestral bilaterian function was in sensory and central nervous system differentiation, and that locomotory appendages possibly evolved from sensory outgrowths

MutLα heterodimers modify the molecular phenotype of Friedreich ataxia

This article has been made available through the Brunel Open Access Publishing Fund.Background: Friedreich ataxia (FRDA), the most common autosomal recessive ataxia disorder, is caused by a dynamic GAA repeat expansion mutation within intron 1 of FXN gene, resulting in down-regulation of frataxin expression. Studies of cell and mouse models have revealed a role for the mismatch repair (MMR) MutS-heterodimer complexes and the PMS2 component of the MutLα complex in the dynamics of intergenerational and somatic GAA repeat expansions: MSH2, MSH3 and MSH6 promote GAA repeat expansions, while PMS2 inhibits GAA repeat expansions. Methodology/Principal Findings: To determine the potential role of the other component of the MutLα complex, MLH1, in GAA repeat instability in FRDA, we have analyzed intergenerational and somatic GAA repeat expansions from FXN transgenic mice that have been crossed with Mlh1 deficient mice. We find that loss of Mlh1 activity reduces both intergenerational and somatic GAA repeat expansions. However, we also find that loss of either Mlh1 or Pms2 reduces FXN transcription, suggesting different mechanisms of action for Mlh1 and Pms2 on GAA repeat expansion dynamics and regulation of FXN transcription. Conclusions/Significance: Both MutLα components, PMS2 and MLH1, have now been shown to modify the molecular phenotype of FRDA. We propose that upregulation of MLH1 or PMS2 could be potential FRDA therapeutic approaches to increase FXN transcription. © 2014 Ezzatizadeh et al.This article has been made available through the Brunel Open Access Publishing Fund