The Malay Enclave of Kampong Bharu as a Living Tradition: A place of uncertainty

In the case of Asian cities, poor redevelopment process has often resulted in the loss of historic urban fabric. Kampong Bharu is a traditional Malay settlement in the heart of the Kuala Lumpur city, holds a unique case of a struggle to preserve its local identity. This paper reviews the scenario regarding the enclave in light of the current redevelopment proposal. Reviews of literature and analysis of recent reports indicated that the future of the enclave is in the state of uncertainty. People oriented planning based upon a deep understanding of culture and tradition could bring about a natural approach towards a definitive redevelopment initiatives.© 2016. The Authors. Published for AMER ABRA by e-International Publishing House, Ltd., UK. Peer–review under responsibility of AMER (Association of Malaysian Environment-Behaviour Researchers), ABRA (Association of Behavioural Researchers on Asians) and cE-Bs (Centre for Environment-Behaviour Studies), Faculty of Architecture, Planning & Surveying, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.                         Keywords: Redevelopment, place identity, Malay ethnic enclave; Kampong Bhar

Pengaruh adat resam, kepercayaan dan kebudayaan terhadap pembinaan Rumah Melayu tradisional.

Rumah Melayu amat diutamakan bukan sahaja sebagai tempat tinggal dan kegiatan kehidupan, malah menjadi lambang kesempurnaan hidup orang Melayu. Ciri-ciri rumah tradisional Melayu bukan sahaja pada bahagian-bahagian rumah tapi juga dalam upacara, bahan, nama dan kedudukan rumah itu. Rumah tradisional Melayu merupakan kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan dan tempat berlindung. Bentuk rumah tradisional Melayu ditentukan oleh bentuk atapnya. Kunci utama untuk mewujudkan rumah dengan ciri-ciri yang diingini adalah musyawarah dan bergotong-royong yang diterjemahkan dalam upacara-upacara, ukuran, bahagianbahagian dan hiasan rumah. Pelbagai upacara yang umum dilakukan sepanjang pembinaan, antaranya Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki rumah. Tujuannya adalah untuk menjaga orang-orang yang terlibat dalam pembinaan rumah itu supaya memenuhi harapan, terhindar dari malapetaka dan tidak diganggu “penunggu hutan”. Peralatan yang digunakan dalam upacara ini mengandungi ciri-ciri yang mempunyai maksud dan nilai-nilai dalam kebudayaan Melayu. Tempat untuk mendirikan rumah, arah rumah itu menghadap, jenis kayu yang tidak baik untuk dijadikan bahan rumah juga digariskan menurut tradisi Melayu. Ukuran binaan juga dipercayai dapat menentukan baik buruknya sebuah rumah yang diukur menggunakan anggota tubuh si pemilik seperti tinggi dan hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya ‘kasau’ dan ‘gelegar’. Ukuran tinggi rumah ialah tinggi badan lelaki (suami), manakala pada ukuran besar rumah adalah ukuran tangan perempuan (isteri). Dalam rumah tradisional Melayu terdapat beberapa jenis tiang dengan nama dan fungsinya yang tertentu. Pada rumah tradisional Melayu, tangga depan, susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga dikatakan mengandungi makna tertentu. Bendul disebut batas adat, kerana batas tetamu lelaki dibenarkan masuk apabila di rumah tersebut tidak ada lelaki. Demikianlah sekadar sepintas pandang tentang Pengaruh Adat Resam, Kepercayaan dan Kebudayaan terhadap Pembinaan Rumah tradisional Melayu

Place attachment towards waterfront in Kangar, Perlis, Malaysia

This paper discusses place attachment to Kangar Waterfront in the state of Perlis, Malaysia. A questionnaire survey was conducted with users of the water front to identify the level of attachment, form of engagement and factors that influence the attachment to the waterfront. Field observation was carried out before the survey to examine the physical features of the waterfront and public activities. The study indicates that the level of attachment towards the waterfront is at the lower range. However, the physical features and activities within the waterfront were considered as the attraction of the place that may have encouraged users’ engagement including healthy recreational activities such as exercising and walking. Users had a weaker attachment to the physical elements such as walkway and plants due to accessibility issues and poor image of the place. Improvement regarding safety, comfort and easy circulation for pedestrians could increase the attraction and the frequency of visits to the place, thus positive to the development of stronger attachment. A psychological understanding of a place could develop a new perspective for urban planners and designers in making places, such as the waterfront more attractive and meaningful to the users

Kesedaran generasi muda terhadap patriotisme dan perpaduan nasional di Malaysia.

Tahap kesedaran generasi muda masa kini terhadap patriotisme dan perpaduan nasional di Malaysia dikatakan semakin kurang dan terhakis. Dalam kajian dibuat, 500 sampel telah diambil dari 8 negeri mengikut zon iaitu Utara, Timur, Tengah, Selatan dan Zon Sabah dan Sarawak. Sampel kajian adalah 44% lelaki dan 56% perempuan yang kesemuanya adalah pelajar dari IPTA dan IPTS yang memberi impak yang besar kepada keluarga dan rakan sebaya. Faktor utama yang memberi kesan ialah keselamatan, ekonomi, tahap umur dan tahap pendidikan serta persekitaran dalam memberi penilaian tahap patriotisme. Hasil kajian menunjukkan terdapat empat faktor utama yang menyumbang kepada tahap perpaduan dan patriotism iaitu keselamatan, ekonomi, umur dan pendidikan. Patriotisme dan perpaduan adalah dua perkara yang amat penting yang saling kait-mengait di antara satu dengan yang lain yang membina sebuah negara yang maju, harmoni dan aman. Kajian ini telah berjaya membangunkan satu Model 3P (Patriotisme, Perpaduan, Pembangunan) untuk menilai kesedaran generasi muda terhadap patriotisme dan perpaduan nasional

Sistem Penerimaan Siswa Baru Berbasis Web Dalam Meningkatkan Mutu Siswa Di Era Pandemi

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang Sistem perekrutan siswa baru untuk meningkatkan mutu siswa.  Penelitian sistem penerimaan siswa baru berbasis web ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa perencanaan system perekrutan siswa baru sudah sesuai dengan standar dilihat dari terlaksananya indicator memperhatikan daya tampung dan besarnya kelas (class size), adanya kriteria calon siswa, adanya penerapan sistem yang objektif, transparan dan akuntabel dan adanya prosedur baku yang diterapkan dalam PSB. Pengorganisasian penerimaan siswa baru kriteria penerimaan dan sistem seleksi, dilakukannya pembuatan, pemasangan dan pengiriman pengumuman siswa baru, dilakukannya pendaftraan siswa baru, dilakukannya proses seleksi siswa baru, penentuan siswa baru yang diterima, pengumuman siswa baru yang diterima, dan dilakukannya registrasi/daftar ulang bagi siswa baru yang diterima. Pengarahan system perekrutan siswa baru dengan indikator berbagai jalur seleksi penerimaan siswa baru, masuk dalam kategori standar karena menerapkan tiga jalur seleksi dalam penerimaan siswa baru yaitu jalur regular, jalur prestasi dan jalur lingkungan. Sedangkan untuk indikator pelaksanaan masa orientasi siswa masuk dalam kategori standar. Pengendalian perekrutan siswa baru terlihat dari terlaksananya indikator monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi baru dilakukan oleh kepala sekolah, sedangkan monitoring dan evaluasi oleh komite sekolah

Treatment of POME final discharge using Napier grass in wetland system

POME is the most expensive and difficult waste to manage since it was generated in large volume in tons at a time. POME usually will discharge to nearby land or river since it is the easiest and cheapest method to disposal. Since the POME final discharge quality still not meet the river water quality, the approach that will use is the wetland system. This wetland system is more compatible compare to another system to treat the POME final discharge since it is more cost efficient and fewer side effects compared to the biological and chemical approach. The system in this study contains a few ponds that is connected to serial form. Each stage serves a different purpose like the phytoremediation pond. Phytoremediation is a process that uses plants to degrade and remove contaminants from the environment. Phytoremediation can degrade, remove, transform, or immobilize toxic compounds located in soils, sediments, and more recently in polluted ground water and wastewater in treatment. The plant that been use in this system is the Napier Grass. At the end of the experiment, this system shows good quality water by reducing the level of COD by 71.57%, TSS by 83.59% and ammonia by 85.97%. From this research, it has been prove that the wetland system can reduce the contamination from the final discharge to meet the river water quality

Level of sexual and reproductive health knowledge and attitude among early adolescent

Topic on sexuality has largely remained a taboo subject for discussion between parents and their children in Malaysia, which might contributed to increase sexual activity among adolescent age group. This study was undertaken to assess the level of knowledge, attitude and their associated factors among standard 4 and 5 students in a primary school in Kuantan, Pahang

Emerging development of nanocellulose as an antimicrobial material: An overview

The prolonged survival of microbes on surfaces in high-traffic/high-contact environments drives the need for a more consistent and passive form of surface sterilization to minimize the risk of infection. Due to increasing tolerance to antibiotics among microorganisms, research focusing on the discovery of naturally-occurring biocides with low-risk cytotoxicity properties has become more pressing. The latest research has centred on nanocellulosic antimicrobial materials due to their low-cost and unique features, which are potentially useful as wound dressings, drug carriers, packaging materials, filtration/adsorbents, textiles, and paint. This review discusses the latest literature on the fabrication of nanocellulose-based antimicrobial materials against viruses, bacteria, fungi, algae, and protozoa by employing variable functional groups, including aldehyde groups, quaternary ammonium, metal, metal oxide nanoparticles as well as chitosan. The problems associated with industrial manufacturing and the prospects for the advancement of nanocellulose-based antimicrobial materials are also addressed