Pengembangan Keaktifan Siswa SMK Melalui Metode Pembelajaran Example Non-Example

Dunia saat ini sedang memasuki era global dan abad ke-21 yang ditandai dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Khususnya perkembangan pada sektor pendidikan yang memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pembangunan suatu bangsa. Kualitas pendidikan dapat dilihat dari proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah. Namun proses pembelajaran yang diterapkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia saat ini masih banyak yang berpusat pada guru. Kondisi tersebut bisa dilihat dari proses KBM yang masih konvensional yaitu banyak menggunakan model pembelajaran secara langsung dengan metode ceramah, semua itu dilaksanakan karena sarana prasarana belum dimanfaatkan seoptimal mungkin dan kurangnya penggunaan contoh, alat peraga dalam kegiatan belajar mengajar.  Hal tersebut membuat banyak siswa cenderung pasif atau kurang aktif dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga hasil belajarnya pun masih rendah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan keakifan siswa adalah melalui penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode Example Non-Example sehingga dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Tujuan dari artikel ilmiah ini adalah untuk mengetahui tingkat efektifitas dan kelebihan model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan metode Example Non-Example dalam meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa. Metode yang digunakan dalam artikel ilmiah ini merupakan studi literatur dengan mereview jurnal nasional maupun internasional yang terkait dan relevan berdasarkan topik dengan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Teknik analisisnya menggunakan teknik analisis deskriptif dengan mengkompilasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode Example Non-Example dinilai sangat efektif dalam meningkatan keaktifan dan hasil belajar siswa. Kata kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, Metode Example Non-Example, Keaktifan dan Hasil Belaja

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA KECENDRUNGAN KECURANGAN (FRAUD) DI SEKTOR PEMERINTAHAN (STUDI EMPIRIS PADA DINAS-DINAS DI PROVINSI JAMBI)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji Pengaruh Kompetensi SDM, Pengendalian Internal, Dan Penegakan Peraturan/Hukum Terhadap Terjadinya Kecendrungan Kecurangan (Fraud) dalam pengelolaan keuangan daerah. inti dari penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya fraud pada Pemerintah di Provinsi Jambi. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif dengan sumber data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini dengan menyebar kuesioner kepada reponden. Penentuan sampel menggunakan non probability sampling dengan metode purposive sampling sehingga didapat sample sebanyak 52 dari 21 Dinas-Dinas Prrovinsi Jambi. Metode Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda dengan bantuan menggunakan program SPSS for windows versi 22. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif Kompetensi SDM terhadap terjadinya kecendrungan kecurangan (fraud) di sektor pemerintahan, tidak terdapat pengaruh  Pengendalian Internal terhadap terjadinya kecendrungan kecurangan (fraud) di sektor pemerintahan, dan terdapat pengaruh negatif signifikan Penegakan Peraturan terhadap terjadinya kecendrungan kecurangan (fraud) di sektor pemerintahan. Saran dalam penelitian ini kepada aparatur instansi dinas-dinas pemerintah di Provinsi Jambi yaitu diharapkan dapat terus meningkatkan kinerja pemerintah sebagai tanggung jawab selaku pelayan publik yang mengelola anggaran agar dapat mensejahterakan masyarakat Provinsi Jambi melalui akuntabilitas,transparansi dan kejelasan sasaran anggaran,pengendalian intern yang baik dan pelaporan yang tertata dan terstruktur serta dapat memberikan reward kepada pegawai yang mempunyai kinerja baik,disiplin kerja, dan menghindari faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kecendrungan kecurangan (fraud). Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperluas variabel penelitian.dan menggunakan metode wawancara serta memperluas populasi

Estudio del aparejo de un velero y su elección en función del programa de navegación. Comparación de la configuración de cuatro veleros de 41 pies.

Las velas suelen ser objeto de libros o trabajos, pero, para poder obtener un buen funcionamiento de las mismas, es necesario conocer en profundidad todos los elementos que las acompañan, como son las perchas, la jarcia o el hardware. Se entiende por perchas el conjunto de palos rígidos que hay en un barco, tanto verticales como horizontales, que sirven para sujetar y orientar las velas: el mástil, la botavara, la contra, el tangón o el botalón. La jarcia se divide entre jarcia firme y jarcia de labor. La jarcia firme comprende los cables que sujetan el palo y la de labor, la cabuyería que permite maniobrar las velas. El hardware abarca aquellos elementos que tienen como función principal reducir esfuerzos y facilitar el ajuste de las velas. El principal objetivo del trabajo es crear una guía que permita conocer el funcionamiento de todos estos elementos y analizar las diferentes configuraciones que se presentan en los barcos de crucero y de regata, así como cuál ha sido su evolución en los últimos 50 años. Para ello se realiza la comparación entre 4 veleros de 41 pies con diferentes programas de navegación y diferenciando entre los años 70-90 y la actualidad. Una de las conclusiones que se ha podido extraer es que, en función del programa de navegación, las necesidades de un velero varían y que, conociendo el funcionamiento de los elementos, se puede modificar y mejorar la configuración de cualquier velero

Smart Sensor interface for sea bottom observatories

In order to be able to use all the marine sensors currently available in the market, a new module has to be built to implement the smart sensor standard IEEE1451[ 1] as well as other services used in marine measurements. The smart module is aimed to be used in ALL observatory configurations: autonomous, cabled and buoybased observatories. This module can also be used in new instrument in other instruments such as Ocean Bottom Seismometers (OBS) [3] or any other instrument where data logging, clock synchronization, and plug and play capabilities are important. Therefore, the power consumption of the smart module has to be minimized for batteries based observatories and autonomous instruments.Peer ReviewedPostprint (published version

Ocean Bottom Seismometer: Design and Test of a Measurement System for Marine Seismology

The Ocean Bottom Seismometer (OBS) is a key instrument for the geophysical study of sea sub-bottom layers. At present, more reliable autonomous instruments capable of recording underwater for long periods of time and therefore handling large data storage are needed. This paper presents a new Ocean Bottom Seismometer designed to be used in long duration seismic surveys. Power consumption and noise level of the acquisition system are the key points to optimize the autonomy and the data quality. To achieve our goals, a new low power data logger with high resolution and Signal–to-Noise Ratio (SNR) based on Compact Flash memory card is designed to enable continuous data acquisition. The equipment represents the achievement of joint work from different scientific and technological disciplines as electronics, mechanics, acoustics, communications, information technology, marine geophysics, etc. This easy to handle and sophisticated equipment allows the recording of useful controlled source and passive seismic data, as well as other time varying data, with multiple applications in marine environment research. We have been working on a series of prototypes for ten years to improve many of the aspects that make the equipment easy to handle and useful to work in deep-water areas. Ocean Bottom Seismometers (OBS) have received growing attention from the geoscience community during the last forty years. OBS sensors recording motion of the ocean floor hold key information in order to study offshore seismicity and to explore the Earth’s crust. In a seismic survey, a series of OBSs are placed on the seabed of the area under study, where they record either natural seismic activity or acoustic signals generated by compressed air-guns on the ocean surface. The resulting data sets are subsequently used to model both the earthquake locations and the crustal structure

The New Seafloor Observatory (OBSEA) for Remote and Long-Term Coastal Ecosystem Monitoring

A suitable sampling technology to identify species and to estimate population dynamics based on individual counts at different temporal levels in relation to habitat variations is increasingly important for fishery management and biodiversity studies. In the past two decades, as interest in exploring the oceans for valuable resources and in protecting these resources from overexploitation have grown, the number of cabled (permanent) submarine multiparametric platforms with video stations has increased. Prior to the development of seafloor observatories, the majority of autonomous stations were battery powered and stored data locally. The recently installed low-cost, multiparametric, expandable, cabled coastal Seafloor Observatory (OBSEA), located 4 km off of Vilanova i la Gertrú, Barcelona, at a depth of 20 m, is directly connected to a ground station by a telecommunication cable; thus, it is not affected by the limitations associated with previous observation technologies. OBSEA is part of the European Multidisciplinary Seafloor Observatory (EMSO) infrastructure, and its activities are included among the Network of Excellence of the European Seas Observatory NETwork (ESONET). OBSEA enables remote, long-term, and continuous surveys of the local ecosystem by acquiring synchronous multiparametric habitat data and bio-data with the following sensors: Conductivity-Temperature-Depth (CTD) sensors for salinity, temperature, and pressure; Acoustic Doppler Current Profilers (ADCP) for current speed and direction, including a turbidity meter and a fluorometer (for the determination of chlorophyll concentration); a hydrophone; a seismometer; and finally, a video camera for automated image analysis in relation to species classification and tracking. Images can be monitored in real time, and all data can be stored for future studies. In this article, the various components of OBSEA are described, including its hardware (the sensors and the network of marine and land nodes), software (data acquisition, transmission, processing, and storage), and multiparametric measurement (habitat and bio-data time series) capabilities. A one-month multiparametric survey of habitat parameters was conducted during 2009 and 2010 to demonstrate these functions. An automated video image analysis protocol was also developed for fish counting in the water column, a method that can be used with cabled coastal observatories working with still images. Finally, bio-data time series were coupled with data from other oceanographic sensors to demonstrate the utility of OBSEA in studies of ecosystem dynamics

Effectiveness of combination therapy versus monotherapy with a third-generation cephalosporin in bacteraemic pneumococcal pneumonia: A propensity score analysis

Objective: Combining a macrolide or a fluoroquinolone to beta-lactam regimens in the treatment of patients with moderate to severe community-acquired pneumonia is recommended by the international guidelines. However, the information in patients with bacteraemic pneumococcal pneumonia is limited. Methods: A propensity score technique was used to analyze prospectively collected data from all patients with bacteraemic pneumococcal pneumonia admitted from 2000 to 2015 in our institution, who had received empirical treatment with third-generation cephalosporin in monotherapy or plus macrolide or fluoroquinolone. Results: We included 69 patients in the monotherapy group and 314 in the combination group. After adjustment by PS for receiving monotherapy, 30-day mortality (OR 2.89; 95% CI 1.07-7.84) was significantly higher in monotherapy group. A higher 30-day mortality was observed in monotherapy group in both 1:1 and 1:2 matched samples although it was statistically significant only in 1:2 sample (OR: 3.50 (95% CI 1.03-11.96), P = 0.046). Conclusions: Our study suggests that in bacteraemic pneumococcal pneumonia, empirical therapy with a third-generation cephalosporin plus a macrolide or a fluoroquinolone is associated with a lower mortality rate than beta-lactams in monotherapy. These results support the recommendation of combination therapy in patients requiring admission with moderate to severe disease