11 research outputs found
Democratization of Islamic Education Through School-Based Management
This research raises democratization of Islamic education through application of Islamic Education Institution Management, SBM as a tool for educational institution to realize democratic Islamic education. Law No. 20 of 2003 concerning National Education System and quality assurance through 2005 Law on National Education Standard which all demonstrate the democratization of education. This study uses a qualitative approach by describing application of School-Based Management in Islamic educational institution, and analyzing that application of School-Based Management is a way of realizing democratic Madrasah. The results of the study showed that the reference of implementation of SBM in Madrasah starts from Law no. 2 of 1989, No. 20 of 2003, PP No. 19 of 2005 and PP No. 55 of 2007. The strategy of SBM implementation is autonomy, empowerment, independence and flexibility. While the stages of its implementation are by way of socialization, formulation of vision and mission goals, identification of challenges, identification of functions, SWOT analysis, alternative solutions, quality improvement plan, implementation of quality improvement, and evaluation and monitoring. Implementation of School-Based Management strongly shows the existence of democratization in education, this is reflected in principles of a democratic form of Islamic education including respect for the potential of Madrasah, dynamic curriculum and the creation of synchronization of educational institutions with community as customer
Implikasi konsep heutagogi dalam pendidikan Islam kontemporer
This article aims philosophically-conceptually to identify the educational implications of the concept of heutagogy in contemporary Islamic education, especially in the era of 4.0 which demands learning and acquiring knowledges and skills effectively and efficiently so that learners have adaptive and innovative advantages. As a continuum that does not stand alone with the concepts of pedagogy and andragogy, especially as a continuation of andragogy; the concept of heutagogy which is in line with the concept of Islamic education is a model of independent learning or learning by/for himself as a learner. This research is a qualitative research with descriptive method. Based on the results of the discussion of the educational implications of heutagogy in contemporary Islamic education, including the determination of spirit (’uluww al-himmah) in learning (thalab al-’ilm), lifelong learning (al-ta’allum madâ al-hayâh), educational awareness, and integration of heutagogy into the concept of pedagogy-andragogy.AbstrakArtikel ini bertujuan secara filosofis-konsepsional untuk mengidentifikasi implikasi edukatif dari konsep heutagogi dalam pendidikan Islam kontemporer, khususnya di era 4.0 yang menuntut pembelajaran serta pemerolehan ilmu pengetahuan dan keterampilan secara efektif dan efisien agar pembelajarnya memiliki keunggulan yang adaptif dan inovatif. Sebagai suatu kontinum yang tidak berdiri sendiri dengan konsep pedagogi dan andragogi, terutama sebagai kelanjutan dari andragogi; konsep heutagogi yang selaras dengan konsep pendidikan Islam merupakan model pembelajaran mandiri atau pembelajaran oleh/untuk diri sendiri seorang pembelajar. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Berdasarkan hasil pembahasan implikasi edukatif heutagogi yang dalam pendidikan Islam kontemporer meliputi tekad baja (’uluww al-himmah) dalam belajar (thalab al-’ilm), belajar sepanjang hidup (life long learning, al-ta’allum madâ al-hayâh), kesadaran pendidikan, dan integrasi heutagogi ke dalam konsep pedagogi-andragogi
Pendidikan Sebagai Asas Pembangunan Negara (Studi Konseptual)
Manusia adalah makhluk yang diberi banyak kelebihan dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Pada hakekatnya manusia memiliki
empat elemen inti yaitu intelektual, emosi, spiritual, dan fisik-inderawi.
Keempat eleman tersebut merupakan pemberian Allah SWT. Sehingga,
manusia mengemban tanggungjawab yang sangat besar terhadap
kegunaan elemen-elemen tersebut. Sebab manusia merupakan pemimpin
di dunia, termasuk pemimpin bagi dirinya sendiri.
Dan untuk melaksanakan tanggungjawab manusia sebagai
pemimpin atas dirinya maupun orang lain maka manusia membutuhkan
pendidikan. Dengan pendidikan tersebut manusia akan mengetahui antara
yang baik dan buruk. Untuk itu, pendidikan yang dicanangkan kepada
manusia hendaknya mengarah pada perilaku yang memanusiakan manusia.
Artinya, manusia harus diberikan suplemen pengetahuan yang mampu
mereka gunakan untuk menjalankan kebaikan.
Dalam konsep Islam, kebaikan yang dimaksud adalah aturan atau
syariat yang tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu, pendidikan
Islam semestinya selalu berdasarkan pada ajaran yang ada dalam al-Qur’an
dan Hadits. Terutama dimulai dari Pengakuan adanya Allah SWT, dan
berakhir dengan Kepatuhan atau Ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan
kesadaran penuh yang dihasilkan oleh pengembangan intelektual, emosi
dan fisik Inderawi. Dengan nilai inilah manusia diharapkan mampu
membangun negara yang sesuai dengan syariat Isla
Introduction to Public Relations
Introduction to PUBLIC RELATIONSKarir PR dimulai dari teknik komunikasi kemudian mendalam kearah konsep komunikasi. Mulai dari staf PR, Manajer PR bahkankarir terbaru di dunia komunikasi yang telah memasuki era digitaldan mendunia, untuk perusahaan berskala besar dikenal denganistilah CIO yaitu Chief Information Officer. Tugas utamanyaadalah menyampaikan Visi dan Misi perusahaan kepada publikyang lintas waktu dan ruang, secara global. Karir di duniakomunikasi umumnya dan PR sangat menjanjikan. Jika anda tekunmerajut karir tak mustahil anda mencapainya.Buku ini dimaksudkan untuk mengantarkan para pemula untukmemahami duniaPR yang berkembang sangat cepat denganbantuan teknologi Komunikasi.vi, 191 hlm,; 22 c
KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Di era global ini manusia dituntut serba cepat, agar mampu survive dalam kehidupan yang penuh kecepatan ini. Lambat laun manusia terprogram dengan rasa persaingan yang tinggi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Manusia seakan berlomba dengan waktu, tidak memberi ruang pada kekalahan dan kegagalan. Manusia menjadi serakah untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan, yang diukur dari sesuatu kasat mata, materi, maupun status sosial. Contohnya, kasus bunuh diri di kalangan pelajar yang tidak siap dengan kekalahan. Perilaku curang, termasuk mulai dari menyontek hingga menjiplak di kalangan akademisi, merupakan dampak modernisasi yang memandang tinggi sebuah keberhasilan, tanpa menyertakan unsur religius yang memungkinkan segala sesuatu dapat terjadi sebagaimana yang dikehendaki atau tidak.Dampak modernisasi dan paradigma dikotomis,membuat manusia mengedepankan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Mempercayai apa yang dapat terindrai, semata-mata oleh akal serta panca indera dan menolak sesuatu yang tak terinderai. Dampak dikotomis, menjadikan manusia sebagai central, manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam meraih kesuksesaan.Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah, yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban. Karena ilmu-ilmu umum dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali dipertentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains).Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memerdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini, dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman.Di era global ini manusia dituntut serba cepat, agar mampu survive dalam kehidupan yang penuh kecepatan ini. Lambat laun manusia terprogram dengan rasa persaingan yang tinggi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Manusia seakan berlomba dengan waktu, tidak memberi ruang pada kekalahan dan kegagalan. Manusia menjadi serakah untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan, yang diukur dari sesuatu kasat mata, materi, maupun status sosial. Contohnya, kasus bunuh diri di kalangan pelajar yang tidak siap dengan kekalahan. Perilaku curang, termasuk mulai dari menyontek hingga menjiplak di kalangan akademisi, merupakan dampak modernisasi yang memandang tinggi sebuah keberhasilan, tanpa menyertakan unsur religius yang memungkinkan segala sesuatu dapat terjadi sebagaimana yang dikehendaki atau tidak.Dampak modernisasi dan paradigma dikotomis,membuat manusia mengedepankan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Mempercayai apa yang dapat terindrai, semata-mata oleh akal serta panca indera dan menolak sesuatu yang tak terinderai. Dampak dikotomis, menjadikan manusia sebagai central, manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam meraih kesuksesaan.Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah, yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban. Karena ilmu-ilmu umum dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali dipertentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains).Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memerdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini, dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman
KONSEP PENDIDIKAN HOLISTIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Di era global ini manusia dituntut serba cepat, agar mampu survive dalam kehidupan yang penuh kecepatan ini. Lambat laun manusia terprogram dengan rasa persaingan yang tinggi, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Manusia seakan berlomba dengan waktu, tidak memberi ruang pada kekalahan dan kegagalan. Manusia menjadi serakah untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesan, yang diukur dari sesuatu kasat mata, materi, maupun status sosial.
Contohnya, kasus bunuh diri di kalangan pelajar yang tidak siap dengan kekalahan. Perilaku curang, termasuk mulai dari menyontek hingga menjiplak di kalangan akademisi, merupakan dampak modernisasi yang memandang tinggi sebuah keberhasilan, tanpa menyertakan unsur religius yang memungkinkan segala sesuatu dapat terjadi sebagaimana yang dikehendaki atau tidak.
Dampak modernisasi dan paradigma dikotomis,membuat manusia mengedepankan aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Mempercayai apa yang dapat terindrai, semata-mata oleh akal serta panca indera dan menolak sesuatu yang tak terinderai. Dampak dikotomis, menjadikan manusia sebagai central, manusia tidak membutuhkan Tuhan dalam meraih kesuksesaan.
Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah, yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban. Karena ilmu-ilmu umum dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali dipertentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains).
Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memerdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini, dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam, atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman
TRANSFORMASI FILOSOFI PENDIDIKAN ISLAM PADA PONDOK PESANTREN DI ERA SOCIETY 5.0
Penelitian ini memiliki 5 (lima) latar belakang masalah, yaitu pertama, problematika pendidikan Islam pada pondok pesantren senantiasa dinamis. Kedua, problematika pendidikan Islam pada pondok pesantren berakar dari filosofi pendidikan Islam. Ketiga, dekonstruksi dan rekonstruksi filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren urgen dilakukan. Keempat, transformasi filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren perlu dirumuskan dan dipetakan. Kelima, belum adanya penelitian yang memfokuskan pada transformasi filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0. Pendidikan Islam di pondok pesantren sebagai bagian dari way of life atas segala problematika kehidupan masyarakat, harus melakukan proses transformasi filosofi pendidikan Islam, sehingga rumusan pendidikan Islam pondok pesantren dapat menjawab segala bentuk tantangan yang ada pada Era Society 5.0. Untuk itu, urgen rasanya mengkaji tentang transformasi filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0. Penelitian pustaka ini menggunakan pendekatan filsafat pendidikan Islam, Islam interdisipliner, dan ilmu pendidikan Islam dengan metode pengumpulan data dokumentasi terhadap jurnal, buku, dan majalah yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0 harus mengacu pada terma pendidikan Islam yang secara khusus tidak hanya mengajarkan ilmu agama Islam, akan tetapi juga mencakup ilmu umum dalam rangka menjawab tantangan pendidikan Islam yang ada pada Era Society 5.0. Filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0 harus dikembalikan kepada filosofi manusia sebagai makhluk materiil dan immateriil, sehingga filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren harus dikembalikan pada pengembangan aspek fisik dan non fisik secara holistik dan simultan. Tipologi filosofi pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0 harus meninggalkan tipologi filosofi pendidikan Islam dikotomis serta mengacu pada tipologi filosofi pendidikan Islam sistemik, sehingga mampu menyelenggarakan pendidikan Islam secara komprehensif. Adapun tujuan filosofis pendidikan Islam pada pondok pesantren di Era Society 5.0 harus dikembalikan pada tujuan individual, sosial, dan profesional, sehingga mampu menghasilkan lulusan pendok pesantren yang berkarakter baik serta memiliki landasan pendidikan formal
Democratization of Islamic Education Through School-Based Management
This research raises democratization of Islamic education through application of Islamic Education Institution Management, SBM as a tool for educational institution to realize democratic Islamic education. Law No. 20 of 2003 concerning National Education System and quality assurance through 2005 Law on National Education Standard which all demonstrate the democratization of education. This study uses a qualitative approach by describing application of School-Based Management in Islamic educational institution, and analyzing that application of School-Based Management is a way of realizing democratic Madrasah. The results of the study showed that the reference of implementation of SBM in Madrasah starts from Law no. 2 of 1989, No. 20 of 2003, PP No. 19 of 2005 and PP No. 55 of 2007. The strategy of SBM implementation is autonomy, empowerment, independence and flexibility. While the stages of its implementation are by way of socialization, formulation of vision and mission goals, identification of challenges, identification of functions, SWOT analysis, alternative solutions, quality improvement plan, implementation of quality improvement, and evaluation and monitoring. Implementation of School-Based Management strongly shows the existence of democratization in education, this is reflected in principles of a democratic form of Islamic education including respect for the potential of Madrasah, dynamic curriculum and the creation of synchronization of educational institutions with community as customer
Revitalisasi Pendidikan Islam Pondok Pesantren Sebagai Rumah Moderasi Beragama di Indonesia
Penelitian ini memiliki 3 (tiga) latar belakang masalah, yaitu fakta keberagaman suku, ras, dan agama yang dimiliki oleh Indonesia berbanding lurus dengan tingginya potensi konflik horizontal di Indonesia, pendidikan Islam ikut bertanggung jawab atas tingginya potensi konflik dan peristiwa konflik yang telah terjadi di Indonesia melalui jalur pendidikan moderasi beragama, dan pendidikan moderasi beragama yang telah dilaksanakan di pondok pesantren menjadi model ideal yang layak untuk dikaji. Penelitian literer ini menggunakan teknik analisis konteks, sehingga mampu menginterpretasikan data literer dengan situasi kontekstual yang dibutuhkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pendidikan moderasi beragama di pondok pesantren dibangun atas 2 (dua) landasan, yaitu landasan teologis dan landasan sosiologis yang keduanya akan mampu melahirkan dialog antara syariat Islam dengan budaya masyarakat, sehingga mampu mewujudkan sikap moderat. Secara umum, praktik baik moderasi beragama di pondok pesantren tercermin dalam 3 (tiga) hal, yaitu menjaga hubungan baik dengan warga masyarakat sekitar pondok pesantren, menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap sesama warga sekitar pondok pesantren, dan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar pondok pesantren. Nilai-nilai pendidikan moderasi beragama yang diselenggarakan di pondok pesantren tentunya secara esensial bertujuan untuk mewujudkan karakteristik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin melalui jalur pendidikan pesantren. Karakteristik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin sebagai wujud dari nilai-nilai pendidikan moderasi beragama yang ditanamkan di pondok pesantren meliputi tawasuth (moderat), infitah (inklusif), tawazun (seimbang), serta musawah (kesetaraan). Keempat nilai tersebut menjadi nilai utama pendidikan moderasi beragam di pondok pesantren