352 research outputs found

    Pelapisan Kitosan Pada Kain Katun Dengan Cara Perendaman Dan Elektrospinning

    Full text link
    Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan bahan tekstil yang dilapisi kitosan yang diharapkan dapat digunakan sebagai penutup luka. Penelitian dimulai dengan isolasi kitin dari kulit udang, dilanjutkan dengan proses deasetilasi kitin untuk mendapatkan kitosan. Dilakukan pelapisan larutan kitosan pada kain katun yang berupa kain kasa dan kain tenun dengan cara perendaman dan pelapisan kain kasa dengan cara elektrospinning. Untuk mengetahui karakteristik hasil pelapisan dilakukan pengujian permeabilitas dan uji degradasi dengan enzim lisozim, yang merupakan parameter yang diperlukan pada penutup luka, serta pengamatan dengan Scanning Electron Microscope. Pelapisan kitosan pada kain katun mempunyai permeabilitas terhadap uap air yang baik, yaitu antara 3900-5400 mg/hari/L, dan pelapisan kasa perban dengan kitosan dalam pelarut asamtrifloroasetat (TFA) memberikan hasil yang tertinggi. Pelapisan dengan teknik elektrospinning hanya dihasilkan lapisan kitosan pada bahan penunjang, belum memperoleh serat atau butiran kitosan dengan ukuran nano ataupun mikro. Pada pengujian degradasi terhadap enzim lisozim, semua bentuk kain yang dibubuhi kitosan, kandungan kitosannya telah habis terdegradasi pada 1 jam pertama waktu degradasi. Maka kecepatan degradasi kitosan pada kain yang dibubuhi kitosan tersebut mempunyai kecepatan degradasi kitosannya yang lebih besar dari hasil perhitungan untuk degradasi 1 jam, yaitu > 5,925 mg/cm2.jam

    SINTESIS NANOFIBER KITOSAN/PVA SEBAGAI WOUND DRESSING DENGAN METODE ELEKTROSPINNING

    Get PDF
    Abstrak Nanofiber kitosan/PVA dapat digunakan sebagai wound dressing karena memiliki sifat bioaktif dan biokompatibel. Pembuatan nanofiber dilakukan dengan menggunakan metode elektrospinning. Penelitian ini menggunakan larutan kitosan dengan konsentrasi 3% dan larutan PVA dengan konsentrasi 10%. Pencampuran larutan kitosan dengan larutan PVA mengunakan perbandingan volume:volume yaitu 1:4, 2:4 dan 3:4. Selanjutnya dilakukan proses elektrospinning dengan parameter meliputi tegangan 20 kV, jarak jarum ke kollektor 15 cm, serta laju alir 5 ml/jam. Nanofiber yang dihasilkan dari proses elektrospinning kemudian dikarakterisasi menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR) yang berfungsi untuk melihat gugus fungsi yang terdapat pada sampel, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) yang berfungsi untuk melihat morfologi dan material penyusun, dan X-Ray Diffraction (XRD) berfungsi untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material. Nanofiber yang dihasilkan  menunjukkan nanofiber mengandung gugus kitosan dan PVA yang dibuktikan adanya kemiripan spektrum antara nanofiber kitosan/PVA dengan senyawa kitosan dan PVA. Nanofiber kitosan/PVA 1:4 dapat digunakan sebagai wound dressing karena membentuk nanofiber lebih baik dibanding lainnya, dimana fibers yang dihasilkan homogen dengan ukuran fiber yang hampir sama yaitu 177,1 nm, rapat, dan permukaannya halus tanpa adanya beads yang dibuktikan dengan karakterisasi SEM.   Kata Kunci: kitosan, elektrospinning, nanofiber, wound dressing   Abstract The manufacture of nanofibers was carried out using the electrospinning method. This study used a chitosan solution with a concentration of 3% and a PVA solution with a concentration of 10%. Mixing the chitosan solution with the PVA solution used a volume: volume ratio of 1:4, 2:4 and 3:4. Furthermore, the electrospinning process was carried out with parameters including a voltage of 20 kV, a needle to the collector of 15 cm, and a flow rate of 5 ml/hour. The nanofibers produced from the electrospinning process were then characterized using Fourier Transform Infrared (FTIR) which serves to see the functional groups contained in the sample, Scanning Electron Microscopy-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) which functions to see the morphology and constituent materials, and X-Ray Diffraction (XRD) serves to identify the crystalline phase in the material The spectrum of similarities between nanofiber chitosan/PVA with chitosan and PVA compounds proves that the produced nanofiber contains the chitosan and PVA group. Chitosan/PVA 1:4 nanofibers can be used as wound dressings because they form nanofibers better than others, where the resulting fibers are homogeneous with almost the same fiber size, namely 177.1 nm, tight, and smooth surface without any beads as evidenced by SEM characterization.   Keywords: chitosan, electrospinning, nanofiber , wound dressin

    KARAKTERISTIK ANTIMIKROBA NANOFIBER PVA/GELATIN SEBAGAI PENUTUP LUKA

    Get PDF
    Abstrak Mikroorganisme yang terpapar ke permukaan menyebabkan perlu adanya pengembangan berupa agen antimikroba berbasis nanofiber. Nanofiber banyak diaplikasikan pada produk biomedis salah satunya sebagai penutup luka. Nanofiber yang dihasilkan dari larutan polyvinyl alcohol (PVA) dan gelatin dengan proses elektrospinning. Serat tersebut dilakukan variasi tegangan sebesar 17 kV, 20 kV, dan 23 kV. Dikarakterisasi dengan mikroskop optik, SEM, EDX, FTIR, UV-Vis, dan aktivitas antimikroba. Ukuran diameter nanofiber yang diukur dengan mikroskop optik menurun seiring bertambahnya tegangan. Spektroskopi UV-Vis menunjukkan nanofiber berbahan PVA/Gelatin menghasilkan nanofiber yang memiliki absorbansi tinggi seiring penambahan daya radiasi UV yang diberikan. Spektrum FTIR dengan rentang gelombang 400-4000 cm-1 menunjukkan gugus fungsi yang terlihat yaitu, O-H stretching, C-H stretching, C-O stretching, C=O stretching dan C-H bending. Morfologi dan distribusi PVA/Gelatin ditunjukkan oleh SEM dengan diameter berkisar 140 – 160 nm, dengan unsur yang terdapat pada spektrum EDX yaitu C, O, dan N masing-masing 29,96%, 8,76%, dan 61,28%. Aktivitas antimikroba efektif hingga 47,5% dan efisien sampai dengan 2 jam. Sehingga nanofiber PVA/Gelatin dapat dijadikan acuan biomaterial sebagai penutup luka. Kata Kunci: Nanofiber, PVA, Gelatin, antimikroba   Abstract Microorganisms exposed to the surface cause the need for the development of nanofiber-based antimicrobial agents. Nanofiber is widely applied to biomedical products, one of which is as a wound dressing. Nanofiber produced from a solution of polyvinyl alcohol (PVA) and gelatin with an electrospinning process. The fiber is subjected to voltage variations of 17 kV, 20 kV, and 23 kV. Characterized by optical microscopy, SEM, EDX, FTIR, UV-Vis, and antimicrobial activity. The size of the nanofiber diameter as measured by optical microscopy decreased with increasing stress. UV-Vis spectroscopy showed that nanofibers made from PVA/Gelatin produced nanofibers with high absorbance as the UV radiation power was added. The FTIR spectrum with a wave range of 400-4000 cm-1 shows visible functional groups, namely, O-H stretching, C-H stretching, C-O stretching, C=O stretching and C-H bending. The morphology and distribution of PVA/Gelatin was shown by SEM with diameters ranging from 140 – 160 nm, with elements contained in the EDX spectrum namely C, O, and N respectively 29.96%, 8.76%, and 61.28%. Effective antimicrobial activity up to 47.5% and efficient up to 2 hours. So that PVA/Gelatin nanofibers can be used as a reference for biomaterials as wound dressings. Keywords: Nanofiber, PVA, Gelatin, antimicrobia

    STUDI TENTANG POTENSI SERAT NANO PVA/AGNO3 SEBAGAI MATERIAL ANTI BAKTERI MELALUI PROSES ELEKTROSPINNING UNTUK APLIKASI MEDIS

    Get PDF
    PVA atau Polyvinil Alcohol adalah polymer yang larut dalam air serta memiliki kekuatan dan modulus yang tinggi. PVA merupakan polymer yang sangat menarik sehingga banyak peneliti-peneliti yang menggunakan PVA untuk pembuatan serat-serat nano melalui proses elektrospinning. Pada tulisan ini, PVA yang dilarutkan dalam air, selanjutnya dibuat menjadi serat-serat nano dengan menggunakan teknik elektrospinning. Parameter proses saat pembuatan serat seperti konsentrasi larutan, jarak antara ujung jarum dengan kolektor, kecepatan penyuapan larutan, dan tegangan listrik divariasikan sehingga diperoleh informasi diameter tertentu dari serat sehingga cocok untuk diaplikasikan untuk produk-produk tertentu seperti halnya filtrasi. Diameter dari serat-serat nano yang dibuat dengan berbagai macam variasi parameter tersebut selanjutnya diinvestigasi dengan menggunakan Scanning Electron Microscope. Hasil menunjukkan, dengan menambah tegangan listrik dari 30 Kv sampai 38 Kv, diameter serat menurun saat parameter yang lain dijaga secara konstan. Akan tetapi, ditemukan bahwa diameter serat-serat nano terlihat meningkat saat konsentrasi larutan ditingkatkan dari 5% sampai ke 15%. Fenomena menurunnya diameter serat-serat nano terlihat juga saat kecepatan penyuapan larutan ditingkatkan dari 0,4 ml/jam sampai ke 1,2 ml/jam. Merujuk pada perubahan jarak antara ujung jarum dengan kolektor, terlihat bahwa diameter serat-serat nano menurun ketika jarak diubah dari 5 cm ke 10 cm, akan tetapi pada saat jarak jarum dan kolektor ditingkatkan menjadi 15 cm, diameter serat-serat nano terlihat meningkat. Selanjutnya, kami perluas penelitian ini dengan menambahkan anti bakteri AgNO3 pada larutan PVA untuk mengetahui efek dari konsentrasi AgNO3 dalam larutan terhadap diameter serat-serat nano serta dampaknya terhadap aktivitas bakteri. Hasil menunjukkan bahwa konestrasi AgNO3 pada larutan menunjukkan diameter yang lebih besar, dan kemampuan yang lebih tinggi dalam meredam aktivitas bakteri. Penemuan ini akan sangat bermanfaat untuk pembuatan material yang dapat dipalikasikan untuk bidang medis seperti material pembalut luka

    FABRIKASI DAN KARAKTERISASI NANOFIBER PVA/PVP/KITOSAN SEBAGAI BAHAN DASAR WOUND DRESSING

    Get PDF
    Abstrak Elektrospinning adalah metode yang digunakan untuk menghasilkan serat dengan ukuran diameter dari nanometer hingga mikrometer. Nanofiber yang dihasilkan dapat diaplikasikan sebagai rekayasa jaringan, penghantaran obat pada antikanker, kosmetik, dan sebagai wound dressing. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fabrikasi nanofiber PVA/PVP/Kitosan dapat dijadikan sebagai bahan dasar wound dressing. Fabrikasi nanofiber tersebut dilakukan dengan menggunakan metode elektrospinning. Parameter proses elektrospinning menggunakan laju alir 1 ml/jam, jarak jarum antar kolektor sejauh 15 cm, serta variasi tegangan sebesar 15 kV, 18 kV, dan 21 kV. Hasil yang didapatkan akan dikarakterisasi menggunakan MO, UV-Vis, FT-IR, SEM-EDX, dan antibakteri. Berdasarkan hasil karakterisasi MO menunjukkan bahwa semakin tinggi tegangan yang disuplai antara drum kolektor dan jarum, maka ukuran diameter nanofiber tersebut semakin kecil. Hasil Uv-Vis menunjukkan bahwa fabrikasi ini mampu menyerap cairan yang berasal dari cairan pada luka dan cairan disekitar luka.  Hasil FTIR diperoleh gugus fungsi O-H stretch pada puncak serapan PVA, gugus fungsi N-H bend pada puncak serapan kitosan dan gugus fungsi C-O stretch pada puncak serapan PVP. Karakterisasi SEM menunjukkan bentuk morfologi permukaan yang halus dan ukuran diameter serat pada PVA 10% sekitar 210-225 nm mengalami penurunan pada PVA/PVP/Kitosan 18 kV sekitar 170-195 nm. Hasil EDX menunjukkan bahwa material pembentuk polimer PVA, PVP, dan kitosan terdapat pada fabrikasi nanofiber ini. Hasil antibakteri pada sampel PVA/PVP/Kitosan tegangan 18 kV menggunakan bakteri S.aereus dengan konsentrasi 100 ”l/ml menghasilkan efisiensi antibakteri tertinggi sebesar 56,8% dalam waktu inkubasi 3 jam.  Kata Kunci: Elektrospinning, Nanofiber, Wound Dressing   Abstract Electrospinning is a method used to produce fibers with diameters from nanometers to micrometers. The resulting nanofibers can be applied as tissue engineering, drug delivery in anticancer, cosmetics, and as wound dressings. This study aims to determine the fabrication of PVA/PVP/Chitosan nanofibers that can be used as a basic material for wound dressings. The nanofiber fabrication was carried out using the electrospinning method. The electrospinning process parameters used a flow rate of 1 ml/hour, a needle distance between collectors of 15 cm, and a voltage variation of 15 kV, 18 kV, and 21 kV. The results obtained will be characterized using MO, UV-Vis, FT-IR, SEM-EDX, and antibacterial. Based on the results of MO characterization, it shows that the higher the voltage supplied between the collector drum and the needle, the smaller the diameter of the nanofiber. Uv-Vis results show that this fabrication is able to absorb fluids from the fluid in the wound and the fluid around the wound. FTIR results obtained O-H stretch functional group at the peak of PVA absorption, N-H bend functional group at the peak of chitosan absorption and C-O stretch functional group at the peak of PVP absorption. SEM characterization showed a smooth surface morphology and fiber diameter at 10% PVA around 210-225 nm decreased at 18 kV PVA/PVP/Chitosan around 170-195 nm. The EDX results show that the polymer-forming materials of PVA, PVP, and chitosan are present in this nanofiber fabrication. Antibacterial results on 18 kV PVA/PVP/Chitosan samples using S.aereus bacteria with a concentration of 100 l/ml resulted in the highest antibacterial efficiency of 56,8% within 3 hours of incubation.  Keywords: Electrospinning, Nano Fiber, Wound Dressin

    UJI UNJUK KERJA NANOGENERATOR PIEZOELEKTRIK BERBASIS SENG OKSIDA DENGAN DOPING ALUMINIUM DAN KOBALT

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menguji unjuk kerja nanogenerator (NG) piezoelektrik ZnO dengan doping Aluminium dan Kobalt. Doping Aluminium dilakukan dengan mencampur material ZnO dengan masing-masing perbandingan 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12 dan 14% dari berat total AlCl3+ZnAc selama 8 jam pada suhu 70oC, begitu juga untuk Kobalt dari berat total CoAc+ZnAc, metode elektrospining dipilih untuk menghasilkan serat nano yang disintering pada suhu 500oC selama 4 jam. Dengan cara yang sama dilakukan pendopingan 2 material sekaligus dengan masing-masing doping pada hasil daya yang maksimal. Uji unjuk kerja dilakukan dengan penerapan beban tekan-lepas sebesar 0,5 kgf pada NG piezoelektrik dengan menggunakan akuisisi data. Dari penelitian ini dihasilkan kristalinitas terbesar pada 10% Al dan 11% Co yaitu 83,7% dan 80,6 %, diameter kristal doping Al dan Co berkisar antara 24-83 nm dan 19-32 nm. Nilai unjuk kerja NG piezoelektrik ZnO dengan doping lebih besar dari pada NG piezoelektrik ZnO tanpa doping. Daya dan tegangan yang dihasilkan NG AlCl3+ZnAc terbesar pada doping 10% Al yaitu 125,9 nW, 254,4 mV sedangkan NG CoAc+ZnAc terbesar pada pendopingan 11% Co sebesar 145,6 nW, 315,4 mV. Selanjutnya pendopingan 2 material sekaligus AlCl3+CoAc+ZnAc terbesar pada perbandingan 75% Co:25% Al yaitu 169,7 nW, 352,3mV. Penambahan 2 material sekaligus pada NG piezoelektrik dapat meningkatkan unjuk kerja NG piezoelektrik berbasisi ZnO. Kata kunci: nanogenerator, electrospinning, sintering, ZnO, aluminium, kobalt, piezoelektri

    FABRIKASI SEMIKONDUKTOR ZINC OXIDE (ZnO) NANOFIBER DENGAN DOPING ALUMINIUM SEBAGAI PHOTOANODA SINGLE LAYER DAN DOUBLE LAYER PADA DYE-SENSITIZED SOLAR CELL (DSSC)

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan photoanoda single layer dan double layer dengan ZnO didoping aluminium (AZO) untuk memperbaiki unjuk kerja dye-sensitized solar cells (DSSC). Photoanoda tersusun dari fluorine-doped tin oxide (FTO), semikonduktor dan pewarna. Photoanoda single layer dibuat dengan mendeposisikan secara langsung AZO nanofiber pada FTO melalui metode elektrospinning. Photoanoda double layer dibuat dengan menyemprotkan larutan TiCl4 ke permukaan FTO pada temperatur 70°C kemudian dilapisi dengan AZO nanofiber melalui metode doctor blade. Kedua photoanoda direndam dalam pewarna N719 selama 24 jam dan selanjutnya dirakit menjadi DSSCs. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nila

    The key to fibres : texture formation in plant-based meat analogues

    Get PDF
    Marknaden för vĂ€xtbaserade köttalternativ Ă€r hetare Ă€n nĂ„gonsin och lockar till sig allt fler konsumenter. I takt med att köttkonsumtion alltmer pekas ut som en stor klimatbov och generellt diskuteras i negativa ordalag har intresset för köttanaloger ökat kraftigt. Dessa produceras i syfte att efterlikna köttets organoleptiska egenskaper sĂ„som textur, smak, arom och fĂ€rg. ÖvergĂ„ngen till vĂ€xtbaserat underlĂ€ttas dĂ€rav för konsumenten, som av diverse anledningar kan tĂ€nkas vilja minska sin köttkonsumtion, om man inte behöver lĂ€gga om hela kosten. Med tanke pĂ„ det stora intresset för köttanaloger och dess betydelse i ett framtida proteinskifte, var syftet med arbetet att undersöka vilka tekniker som finns idag för att skapa köttig textur, hur dessa skiljer sig Ă„t, pĂ„ vilket sĂ€tt vĂ€xtproteiner utgör en utmaning i processen och undersöka hur branschen kan komma att utvecklas. En litteraturstudie utfördes för att besvara frĂ„gestĂ€llningarna genom att tidigare forskning insamlades, analyserades och sammanstĂ€lldes. Även en intervju med en livsmedelsforskare insatt i Ă€mnet inkorporerades. Det framkom att det finns flertalet tekniker med mĂ„let att imitera kött. Muskelfibrer som kött bestĂ„r av Ă€r en utmaning att imitera med vĂ€xtprotein, som i sitt nativa tillstĂ„nd inte skapar en fibrös struktur. Med rĂ€tt behandling kan dock en fibrös textur uppstĂ„ av enbart vegetabilier. Teknikerna kan delas in i tvĂ„ kategorier; top-down respektive bottom-up, vilket syftar till pĂ„ vilken nivĂ„ analogen faktiskt liknar köttets uppbyggnad. Extrudering och shear cell technology hör till den tidigare, medan mykoprotein, spinning-system och 3D-printing gĂ„r under den senare. Av dessa Ă€r det endast extrudering och mykoprotein som skapar produkter i dagslĂ€get tillgĂ€ngliga pĂ„ marknaden. Top-down Ă€r generellt en billig och effektiv process, men skapar analoger som inte alls liknar den faktiska uppbyggnaden av kött. Bottom-up ger en bĂ€ttre struktur, men Ă€r bĂ„de en dyrare och mer tidskrĂ€vande process. En stor utmaning i nulĂ€get Ă€r att skapa miljövĂ€nliga produkter som samtidigt imiterar kött pĂ„ en hög nivĂ„. Konsumentacceptans för processade livsmedel behöver utvidgas och mer forskning kring bland annat nĂ€ringsupptag utföras. Men med fortsatt hög efterfrĂ„gan frĂ„n konsumenter möjliggörs allt större investeringar i branschen och en bredare marknad av konkurrenskraftiga produkter.The market for plant-based meat analogues is growing and attracts more and more customers. Because meat consumption has been pointed out as a key contributor to climate change, the interest in meat analogues has increased rapidly. Many producers of plant-based meat analogues attempt to imitate the organoleptic properties of meat, including texture, taste, aroma and colour in order to facilitate the transition to plant-based for the consumers, who of multiple reasons may want to reduce meat intake. With regards to the increasing interest in meat analogues and its significance in a potential future protein shift, the aim of this study was to summarize currently available methods to create a fibrous structure of plant-based products, investigate the differences between the methods and examine the advantages and challenges of the methods. A literature study was conducted by collecting, evaluating and analysing data from publications in peer-reviewed scientific journals written in English language, and complemented with an interview with an expert in the subject. There are several structuring techniques for meat imitation today Muscle fibres are a challenge to mimic only using plant protein since these do not have a fibrous texture in its native state. With the right treatment however, a somewhat meaty texture is achievable. The processing techniques can be sub-divided into two categories: top-down and bottom up, which refers to what extent the analogue resembles the actual meat structure. Extrusion and shear cell technology belong to top-down, and mycoprotein, spinning systems and 3D-printing to the bottom-up technique. Among these, only extrusion and mycoprotein create products available on the market. Top-down is generally a cheap and effective process but creates analogues with only little resemblance to meat regarding its structure. Bottom up enables a better structure but is often a more expensive and time-consuming process. A great challenge for the industry is to create environmentally friendly plant-based products with a high resemblance of meat. To overcome current obstacles more research of the techniques, and possible the invention of new ones, is needed. The increasing consumer demand enables however continued investments in the industry, towards a greater marked with more competitive products
    • 

    corecore