11 research outputs found

    Chemical Compounds and Decomposition Process from Four Species Leaf Litter As a Source of Organic Matter Soil in Anggori Education Forest, Manokwari

    Get PDF
    Decomposition is a simple change of physical and chemical processes by soil microorganisms—the rate of decomposition process influenced by climate and litter quality factors. Litter content of chemical compounds is essential to determine the litter's quality so that it can be estimated the decomposition process. Leaves litter of Magnolia tsiampacca, Intsia bijuga, Cinnamomum cullilawan, and Aglaia sp., were collected and analyzed for their chemical compounds. Based on lignin and nitrogen content (L/N) value, Cinnamomum cullilawan have the fastest decomposition process. On the contrary, Intsia bijuga has low litter quality, so that has the slowest decomposition process. However, it has the lowest lignin content and high polyphenol content. Our research found that four observed species were able to be used as sources of soil organic matter, although the litter quality is relatively low

    Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Perkotaan Kabupaten Biak Numfor

    Full text link
    Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan perkotaan Kabupaten Biak Numfor. Observasi lapang dilakukan untuk mengkalkulasi ketersediaan ruang terbuka hijau dan dikembangkan dengan metode kuantitatif dalam menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total luasan kawasan perkotaan di Kabupaten Biak Numfor sebesar 11.498.58 hektar dengan jumlah penduduk pada kawasan perkotaan tahun 2010 sebanyak 75.496 jiwa yang terus meningkat dengan rata-rata laju peningkatan 1,70% per tahun. Ketersediaan ruang terbuka hijau saat ini sebesar 9.211.47 hektar dan diproyeksikan akan meningkat terus sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Dengan tren peningkatan jangka panjang, maka diperkirakan kebutuhan lahan untuk ruang terbuka hijau di Kabupaten Biak Numfor akan menjadi tidak mencukupi sesuai Permen PU No. 5 Tahun 2008.  &nbsp

    PERBURUAN KASUARI (Casuarius spp.) SECARA TRADISIONAL OLEH MASYARAKAT SUKU NDUGA DI DISTRIK SAWAERMA KABUPATEN ASMAT (The traditional hunting of Kasuari (Casuarius sp.) by Nduga tribe in Sawaerma District, Asmat Regency)

    Get PDF
    ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengkaji kegiatan perburuan kasuari secara tradisonal oleh masyarakat suku Nduga di Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perburuan kasuari oleh masyarakat suku Nduga di Distrik Sawaerma bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan pendapatan ekonomi keluarga. Aktivitas berburu kasuari oleh masyarakat suku Nduga masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti parang, kapak dan busur, anak panah. Selain itu cara penangkapan kasuari dilakukan dengan jerat leher dan jerat kaki maupun bantuan anjing berburu. Kegiatan berburu kasuari dilakukan secara secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak adat (dusun). Kegiatan berburu lebih banyak dilakukan pada pagi dan malam hari, terutama saat musim hujan. Jenis kasuari yang terdapat pada areal hutan di sekitar Distrik Sawaerma adalah Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius-casuarius), Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unppendiculatus), dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti). Rata-rata jumlah hasil buruan kasuari yang mengunakan jerat kaki atau leher sebanyak 2-3 ekor/hari, sedangkan menggunakan anjing berburu 1-2 ekor/hari. ABSTRACTThe research was aimed to discribe how the Nduga tribe in Sawaerma district, Asmat Regency is hunting kasuari traditionally. Descriptive method with case study was employed in this research. The resultshave shown that the main purposes of hunting kasusari by Nduga tribe were to fulfill their own need of protein as well as family income. The Nduga tribe have hunted kasuari traditionally by using traditional tools including cleavers, axe, and arrow. In addition, this tribe also hunts kasuari using neck and feet trapsas well as hunting dogs.The result also showed that Nduga tribe hunted kasuari alone or in group, and they did it based on their land customary. The most hunting time were in the morning and evening especially during rainy seasons. Single wattle (Casuarius unppendiculatus),double wattle (Casuarius-casuarius),and dwarf (Casuarius bennetti) cassowaries were foundin the area. Average number of kasuari hunted using neck and feet trap was 2 – 3 individu per day, while using hunting dogs was 1 – 2 individu per day.ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengkaji kegiatan perburuan kasuari secara tradisonal oleh masyarakat suku Nduga di Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan teknik studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perburuan kasuari oleh masyarakat suku Nduga di Distrik Sawaerma bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan pendapatan ekonomi keluarga. Aktivitas berburu kasuari oleh masyarakat suku Nduga masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti parang, kapak dan busur, anak panah. Selain itu cara penangkapan kasuari dilakukan dengan jerat leher dan jerat kaki maupun bantuan anjing berburu. Kegiatan berburu kasuari dilakukan secara secara perorangan maupun kelompok sesuai dengan hak adat (dusun). Kegiatan berburu lebih banyak dilakukan pada pagi dan malam hari, terutama saat musim hujan. Jenis kasuari yang terdapat pada areal hutan di sekitar Distrik Sawaerma adalah Kasuari Gelambir Ganda (Casuarius-casuarius), Kasuari Gelambir Tunggal (Casuarius unppendiculatus), dan Kasuari Kerdil (Casuarius bennetti). Rata-rata jumlah hasil buruan kasuari yang mengunakan jerat kaki atau leher sebanyak 2-3 ekor/hari, sedangkan menggunakan anjing berburu 1-2 ekor/hari. ABSTRACTThe research was aimed to discribe how the Nduga tribe in Sawaerma district, Asmat Regency is hunting kasuari traditionally. Descriptive method with case study was employed in this research. The resultshave shown that the main purposes of hunting kasusari by Nduga tribe were to fulfill their own need of protein as well as family income. The Nduga tribe have hunted kasuari traditionally by using traditional tools including cleavers, axe, and arrow. In addition, this tribe also hunts kasuari using neck and feet trapsas well as hunting dogs.The result also showed that Nduga tribe hunted kasuari alone or in group, and they did it based on their land customary. The most hunting time were in the morning and evening especially during rainy seasons. Single wattle (Casuarius unppendiculatus),double wattle (Casuarius-casuarius),and dwarf (Casuarius bennetti) cassowaries were foundin the area. Average number of kasuari hunted using neck and feet trap was 2 – 3 individu per day, while using hunting dogs was 1 – 2 individu per day

    Membangun Pemahaman Masyarakat tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Konservasi Melalui Kegiatan Penyuluhan di Kampung Soribo

    Get PDF
    Hutan di Kampung Soribo merupakan hutan alam yang dapat diakses oleh masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya bagi kebutuhan hidupnya. Aktivitas pemanfaatan dapat bersifat positif dan negatif, maka diperlukan kegiatan penyuluhan bagi masyarakat di Kampung Soribo. Penyuluhan menggunakan metode ceramah dan bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya hutan berbasis konservasi di Kampung SoriboKegiatan penyuluhan diikuti 30 orang masyarakat dan diawali dengan sambutan dari Kepala Kampung Soribo. Selanjutnya, pemaparan materi oleh tim penyuluh. Kegiatan penyuluhan ini dapat membuka pemahaman masyarat bahwa sumberdaya hutan yang ada di sekitar Kampung Soribo sangat penting bagi kehidupannya. Hal ini terlihat dari hasil kegiatan yang diketahui bahwa 88,2% dapat memahami materi penyuluhan secara baik sedangkan 11,8% kurang memahami secara baik. Oleh sebab itu perlu didukung dengan pengelolaan yang baik terutama pengelolaan hutan yang berbasis pada konservasi

    Mangrove blue carbon stocks and dynamics are controlled by hydrogeomorphic settings and land-use change.

    Get PDF
    Globally, carbon-rich mangrove forests are deforested and degraded due to land-use and land-cover change (LULCC). The impact of mangrove deforestation on carbon emissions has been reported on a global scale; however, uncertainty remains at subnational scales due to geographical variability and field data limitations. We present an assessment of blue carbon storage at five mangrove sites across West Papua Province, Indonesia, a region that supports 10% of the world's mangrove area. The sites are representative of contrasting hydrogeomorphic settings and also capture change over a 25-years LULCC chronosequence. Field-based assessments were conducted across 255 plots covering undisturbed and LULCC-affected mangroves (0-, 5-, 10-, 15- and 25-year-old post-harvest or regenerating forests as well as 15-year-old aquaculture ponds). Undisturbed mangroves stored total ecosystem carbon stocks of 182-2,730 (mean ± SD: 1,087 ± 584) Mg C/ha, with the large variation driven by hydrogeomorphic settings. The highest carbon stocks were found in estuarine interior (EI) mangroves, followed by open coast interior, open coast fringe and EI forests. Forest harvesting did not significantly affect soil carbon stocks, despite an elevated dead wood density relative to undisturbed forests, but it did remove nearly all live biomass. Aquaculture conversion removed 60% of soil carbon stock and 85% of live biomass carbon stock, relative to reference sites. By contrast, mangroves left to regenerate for more than 25 years reached the same level of biomass carbon compared to undisturbed forests, with annual biomass accumulation rates of 3.6 ± 1.1 Mg C ha-1  year-1 . This study shows that hydrogeomorphic setting controls natural dynamics of mangrove blue carbon stocks, while long-term land-use changes affect carbon loss and gain to a substantial degree. Therefore, current land-based climate policies must incorporate landscape and land-use characteristics, and their related carbon management consequences, for more effective emissions reduction targets and restoration outcomes

    Chemical Compounds and Decomposition Process From Four Species Leaf Litter as A Source of Organic Matter Soil in Anggori Education Forest, Manokwari

    Full text link
    Decomposition is a simple change of physical and chemical processes by soil microorganisms—the rate of decomposition process influenced by climate and litter quality factors. Litter content of chemical compounds is essential to determine the litter's quality so that it can be estimated the decomposition process. Leaves litter of Magnolia tsiampacca, Intsia bijuga, Cinnamomum cullilawan, and Aglaia sp., were collected and analyzed for their chemical compounds. Based on lignin and nitrogen content (L/N) value, Cinnamomum cullilawan have the Fastest decomposition process. On the contrary, Intsia bijuga has low litter quality, so that has the slowest decomposition process. However, it has the lowest lignin content and high polyphenol content. Our research found that four observed species were able to be used as sources of soil organic matter, although the litter quality is relatively low

    Dugaan Cadangan Biomasa Tumbuhan Bawah dan Serasah pada Beberapa Petak Tegakan di Kawasan Hutanpendidikan Anggori

    Full text link
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat memberi informasi tentang cadangan biomassa tumbuhan bawah dan serasah pada beberapa petak tegakan di  Hutan Pendidikan Anggori. Hasil penelitian menunjukan bahwa petak Manilkara Fasciculate memiliki jumlah jenis tumbuhan bawah sebanyak rata-rata 4-11 jenis tumbuhan dengan jumlah individu 11-26 individu per plot pengamatan. Biomassa tumbuhan bawah tertinggi diperoleh pada petak tegakan Manilkara Fasciculate yaitu sebesar 161,333 gr/m2 sedangkan karbon stocknya 0,807 ton C/Ha.  Biomassa serasah paling banyak terdapat pada petak Pometia coreacea yaitu 324,667 gram/m2  dan karbon stocknya 1,62 ton C/Ha

    Inventarisasi Potensi dan Bentuk Pemanenan Hasil Hutan Kayu di DAS Tami dan Bewan Dataran Arso Kabupaten Keerom

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan bentuk pemanenan hasil hutan kayu di daerah aliran sungai Tami dan Bewan, dataran Arso, Kabupaten Keerom. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jalur berpetak serta wawancara semi-struktural yang didesain guna menggali informasi pemanfaatan hasil hutan kayu serta nilai ekonomisnya. Hasil analisis vegetasi menunjukkan pada wilayah DAS Tami, nilai volume tertinggi untuk tingkat pohon di miliki oleh Pimeleodendron amboinicum dengan volume 13,499 m3/plot. Sementara untuk tingkat tiang berasal dari jenis Pometia pinnata dengan volume 1,074 m3/plot. Sementara pada wilayah DAS Bewan, nilai volume tertinggi diperoleh dari jenis Ficus benjamina dengan volume 123,966 m3/plot dan pada tingkat tiang dengan volume tertinggi berasal dari jenis Miristica culcata dengan volume 2,089 m3/plot. Dalam keseharian masyarakat masih memanfaatkan hasil hutan kayu untuk di jual dan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Frekuensi pengambilan hasil hutan kayu rata-rata 1 minggu sampai 2 bulan tergantung dari kebutuhan/ketersediaan hasil hutan kayu. Upaya konservasi masih dilakukan secara sederhana yaitu ditanam di areal bekas penebangan atau areal kosong

    Klasifikasi Kualitas dan Nilai Komersial Gaharu pada Klaster Pedagang Pengumpul di Kabupaten Sorong

    Full text link
    Penelitian ini bertujuan untuk memahami klasifikasi kualitas dan nilai komersial dari jenis gaharu pada klaster pedagang pengumpul di kabupaten Sorong yang berlangsung selama dua bulang di tahun 2016 dengan menggunakan metode deskriptif melalui kegiatan kajian lapangan dan proses wawancara kepada narasumber terkait aktivitas dan proses pemasaran gaharu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok gaharu antara lain: gubal, kemedangan dan abuk yang selanjutnya dikelompokan menjadi: super, AB, teri, sabah, TGC, kemedangan and abuk. Selanjutnya analisis nilai komersial berdasarkan sub kelas, dibagi menjadi: double super/ king, super, kacang AB pas, kacang Ab, kacang ABAB, teri tenggelam, teri A, teri B, teri C, sabah tenggelam/tua, sabah biasa, sabah tanggung, TGC, medang A, medang B, abuk super, abuk medang dan abu kerokan dengan kisaran nilai komersialnnya berkisar antara 5.000 hingga 200 juta per kilogramnya. Selain itu terdapat lima klaster pedagang pengumpul di Kabupaten Sorong. Total pencari gaharu plasma tercatat sebanyak 1.060 orang yang terdistribusi pada beberapa kabupaten/kota antara lain: Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan dan Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat
    corecore