117 research outputs found

    Bali dalam Perspektif Budaya dan Pariwisata

    Get PDF
    Bali merupakan salah satu pulau kecil dari ribuan pulau besar dan kecil di nusantara. Berbagai sebutan diberikan oleh orang asing yang mengunjungi Bali. Menurut catatan orang Belanda yang pertama kali datang ke Bali tahun 1597, mengatakan bahwa mereka jatuh cinta dengan pulau ini. Ketika beberapa di antara mereka kembali ke negerinya untuk melaporkan penemuan “sorga” baru, sedangkan yang lain menolak meninggalkan Bali (Covarrubias, 2013: 30). Dari catatan awal tersebut dapat disimak bahwa pujian kepada Bali dengan sebutan “pulau surga” (Bali is paradise island) diungkapkan pertama kali oleh orang Belanda yang menginjakkan kakinya di pulau kecil ini. Selanjutnya memasuki era pariwisata, bahwa yang datang ke Bali tidak terbatas kepada orang Belanda, tetapi juga bangsa-bangsa lain yang berasal dari mancanegara. Sebutan lain pun banyak muncul sebagai pujian kepada Bali, seperti: Bali pulau dewata, Bali pulau seribu pura, Bali pulau yadnya, Bali pulau kecil tetapi indah, Bali yang ramah, Bali yang damai, Bali yang aman, dan sebutan lainnya

    SAPTA BAYU: Pendekatan Hermeneutik dan Semiotik

    Get PDF
    Prasasti Blanjong merupakan sumber utama untuk penulisan sejarah Bali. Prasasti berbentuk tugu (pillar) dipahat dengan tulisan melingkar, menggunakan dua macam bahasa dan dua macam huruf, yaitu: huruf Nagari menggunakan bahasa Bali Kuna dan bagian lain menggunakan huruf Kawi bahasa Sanskerta. Beberapa catatan penting dapat disimak dari isi prasasti, antara lain: nama raja “Sri Kesari”; dinasti “Warmadewa”; keraton “Singhadwala”; angka tahun prasasti 835 C; dan musuh-musuh yang berhasil dikalahkan, Gurun dan Swal. Gambaran yang diperoleh dari prasasti tersebut, bahwa pada 835 C, Bali berada di bawah kekuasaan “Sri Kesari Warmadewa”, dengan pusat pemerintahan di Singhadwala. Dikeluarkannya prasasti tersebut sebagai tanda kemenangan “jaya stambha”. Bertolak dari keberhasilan “Sri Kesari”, Ida Bagus Mantra, mengadopsi dinastinya sebagai nama salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Bali, yaitu: “Universitas Warmadewa”. Selanjutnya tidak hanya “Warmadewa” yang diabadikan, tetapi juga ketokohan dan spirit “Sri Kesari” didokumentasi dan dipublikasikan. Tahun 1987 IGBN Pandji mengabadikan “Sri Kesari” dalam lirik lagu “Hymne Warmadewa”; 1988, “Sri Kesari” didokumentasi dan dipublikasikan dalam sebuah bentuk garapan sendratari “Jaya Cihna Sri Kesari”; 1989, “Langendrian Universitas Warmadewa”; 1990, Marching Band “Laskar Sri Kesari”; 1992, “Mars Warmadewa”; 2001, Pura Sri Kesari; 2007, Tari Kebesaran “Sri Kesari”; 2009, Refleksi Spirit Sri Kesari; Prosiding Seminar Nasional 134 dan terakhir berakumulasi dengan dibentuknya Kelompok Tim Pengkaji “Spirit Sri Kesari”. Berdasarkan tafsir terhadap keterangan prasasti, berhasil dirumuskan tujuh aspek penting kepemimpinan “Sri Kesari”, yaitu “Sapta Bayu”. Selanjutnya, ketujuh bentuk tafsir tersebut, digambarkan kedalam sebuah patung “Sapta Bayu”

    THE MANAGEMENT OF WARMADEWA UNIVERSITY BASED ON LOCAL WISDOM

    Get PDF
    Warmadewa University (Unwar) is private educational institutions, taken from the oldest dynasty in Bali that ruled in the X-XIV century. Warmadewa dynasty was a great king that left many noble cultural values. At least Warmadewa made three pillars of local wisdom values; they are economic, political, environment value. In the economic field, the kings of Warmadewa dynasty paid attention to the society welfare not only the society living in the center of the kingdom but also the marginal society very well. In the political field, especially foreign policy, King Sri Kesari Warmadewa had global knowledge, he was able to use international spoken and written language. The king of Warmadewa dynasty also paid attention to the nature preservation not only the coastal environment but also the rural. The three local wisdom values become the base of Unwar management. The implication of the three local wisdom pillars of Warmadewa dynasty is described into Sapta Bayu. Sapta Bayu is seven power elements becoming spirit in Unwar management. The three local wisdom pillars and the spirit of Sapta Bayu are the icon of Warmadewa existence in regional and international level

    Pura Kahyangan Jagat Masceti Gianyar

    Get PDF
    ulau Bali terkenal dengan sebutan pulau seribu pura (the thousand of temples), baik di nusantara maupun di dunia (mancanagara). Wacana klasik tentang hal tersebut tidaklah berlebihan, oleh karena fakta realitas di lapangan memberi persaksian bahwa banyak pura dan ribuan jumlahnya menghiasi pulau dewata. Bilamana dikelompokkan berdasarkan atas karakternya, dapat dikategorikan menjadi empat kelompok besar, yaitu: Pura Umum, Pura Teritorial, Pura Fungsional (swagina), dan Pura Genealogis (Ardana, 1971). Agar keberadaan pura yang jumlahnya begitu banyak dapat menjadi jelas statusnya, termasuk kedalam kelompok mana pura yang dimaksud, sehingga lebih mudah untuk diketahui. Untuk itu, pura-pura yang tergolong Pura Umum, adalah: Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat dan Dang Kahyangan; Pura Teritorial (Kahyangan Tiga), yaitu: Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem: Pura Fungsional (swagina), yaitu: Pura Ulun Suwi (Siwi), Pura Ulun Carik, Pura Bedugul, Pura Melanting dan yang sejenisnya; dan Pura Genealogis yaitu pura yang terkait dengan hubungan (keturunan) darah, yaitu: Pedarmaan, Paibon, Panti, Merajan, Sanggah Kemulan, dan yang sejenisnya. Selama ini yang menjadi pertanyaan buat siapa pun yang datang ke Bali, termasuk warga masyarakat Bali, adalah: Mengapa di Bali banyak pura? Mungkin alasan yang paling tepat untuk dijadikan argumentasi adalah dengan merenung kembali 2 sejenak ke masa silam. Patut disadari bahwa sejak kehadiran tokoh-tokoh agama dan spiritual di Bali, seperti: Resi Markandia, Mpu Kuturan, Dang Hyang Astapaka, Dang Hyang Sidimantra, Dang Hyang Nirartha dan tokoh-tokoh agama dan spiritual Hindu lainnya, berdasarkan sumber-sumber yang ada bak sumber tradisi, purana, artepak, prasasti maupun yang lainnya, disebutkan bahwa semua tokoh tersebut memiliki tradisi membangun pura. Sebagai umat Hindu, mewarisi tradisi yang ditinggalkannya, sudah sepatutnya memiliki tanggung jawab moral untuk memelihara dan melestarikannya. Karena sifat flesibelitas Agama Hindu dalam menyikapi jaman, sehingga apa yang diwariskan dan selanjutnya ditradisikan dari generasi ke generasi berikutnya tentu disesuaikan dengan tuntutan jaman. Ketika berbicara pewarisan suatu tradisi yang sampai kepada kita saat ini, bahwa suatu hal positif yang perlu ditauladani berkenaan dengan tradisi masa lalu adalah kebiasaan mengabadikan atau menulis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di jamannya. Sebagai contoh yang dilakukan oleh para raja dari dinasti Warmadewa di zaman Bali Kuna,di antaranya yaitu Sri Kesari Warmadewa, Candrabhayasingha Warmadewa, Dharma Udayana Warmadewa, Marakata, Anakwungsu, dan seterusnya sampai dengan pemerintahan Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten, raja Bali Kuna yang terakhir (Goris, 1951/52); kemudian pemerintahan raja-raja dari dinasti Kepakisan, seperti: Sri Kresna Kepakisan di Samprangan, Dalem Ketut Ngulesir, di Gelgel, dan Dewa Agung Jambe di Klungkung, Dewa Agung Pemayun dalam pengembaraannya (Tim Peneliti Penulisan Sejarah Bali, 1980), dan lain-lainnya. Hampir semua tokoh yang disebutkan di atas, cukup banyak meninggalkan catatan-catatan tertulis, dan patut disyukuri bahwa beberapa di antaranya telah sampai kepada kita saat ini. Dengan demikian, kita yang hidup sekarang sebagai generasi penerusnya, dapat 3 mengetahui bagaimana tentang kehidupannya di masa silam. Walaupun pengetahuan yang didapatkan terbatas adanya, namun setidaknya ada bayangan sekilas, tentang apa yang telah diperbuat ketika masa pengabdiannya. Berbeda halnya dengan keberadaan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, namun ketika berbicara tentang tinggalan (warisan) budaya masa lalu, khususnya warisan budaya yang berupa bangunan suci (pura), kebanyakan terjadi yang sebaliknya. Sudah menjadi masalah klasik, bilamana ingin meneliti dan menulis tentang purana pura, kebanyakan para peneliti mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan sumbersumber tertulis tentang pura yang ditelitinya, khususnya dalam upaya penentuan periode tahun pendiriannya. Ketahuilah bahwa tidak semua pura di Bali yang ribuan jumlahnya terutama yang tergolong berusia tua diketahui dengan jelas, kapan dan siapa yang mendirikannya. Sehubungan dengan pembicaraan di atas, hal yang serupa juga kami alami dalam penelitian di Pura Masceti, bahwa sumber-sumber tertulis berupa prasasti yang merujuk kepada tahun pendirian pura, sama sekali tidak ada. Maka untuk mendapatkan gambaran tentang periode pendiriannya, dicoba melalui kajian yang saksama terhadap artepak-artepak yang ada dan dipandu dengan eksistensi alam lingkungan di sekitarnya, mitos yang berkembang di masyarakat, purana, dan sebagainya. Melalui langkah tersebut diupayakan dengan maksimal untuk memperoleh gambaran tentang periodisasi pendirian Pura Masceti. Untuk lebih jelasnya, pada bagian berikut akan dibahas aspek-aspek yang dipandang prinsip untuk diketahui berkenaan dengan Pura Masceti, yang akan disajikan dalam beberapa Bab, yaitu pada Bab II dibahas tentang Sejarah Pura Masceti; Bab III dibahas tentang Struktur Pura, Fungsi Pura dan Status Pura Masceti; dan pada Bab IV sebagai bagian akhir dari tulisan ini, dibahas tentang Pangemong, Panyungsung, Upacara Piodalan, Pemangku dan prajuru Pura Masceti

    Menguak Nilai Kearifan Lokal Bunga Pucuk Bang dan Buah Manggis

    Get PDF
    Bali kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal, dan tidak hanya berwujud hasil karya budaya, namun juga dari unsur-unsur alam dan lingkungan. Bunga Pucuk Bang dan Buah manggis merupakan dua jenis tumbuhan yang sarat dengan nilai-nilai filosofis dan telah menjadi bagian dari kearifan lokal Bali. Dikatakan demikian, sebab masing-masing dari pohon tersebut memiliki nilai filosofis yang sangat dalam dalam kontek dunia pengobatan. Pucuk Bang, daunnya dapat dijadikan sirup (loloh) untuk membantu memperlancar proses kelahiran anak dari seorang ibu, dan bunganya dapat dijadikan obat antiseptic untuk luka berdarah karena jatuh dan/ atau kena senjata tajam. Namun Buah Manggis, memiliki nilai filosofis tentang kejujuran. Artinya, berapa isi di dalamnya akan dapat diketahui dari bilahan kembang pada ujung buahnya, dan buah yang tebal dapat melindungi isinya agar tidak mudah busuk. Sifat seperti itu tepat untuk dijadikan cermin dalam mengarungi samudra kehidupan. Kemudian kulitnya dengan dikeringkan terlebih dahulu, kemudian direbus dijadikan sirup untuk obat kanker payudara. Di samping itu juga baik untuk kesehatan dan kecantikan. Karena keberadaan seperti itu, Gianyar sebagai salah satu daerah gudangnya seni budaya menjadikan Bunga Pucuk Bang sebagai Mascot Kabupaten Gianyar dan Kulit Manggis dengan warna merah hati dijadikan identitas warna Kabupaten Gianyar

    Kontrak Penelitian Strategis Nasional

    Get PDF

    KONTRIBUSI NEKARA “BULAN PEJENG” DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA INTERNATIONAL

    Get PDF
    Desa Pejeng berada di antara daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan dan Petanu merupakan salah satu desa di Bali yang terbanyak menyimpan warisan budaya. Keberadaannya menyebar di semua dusun dan tersimpan dalam tempat suci yang jumlahnya tidak kurang dari 60 an tempat suci. Berdasarkan fakta sejarah dan warisan budaya yang ada, betapa strategisnya kedudukan Desa Pejeng baik di zaman prasejarah (perunggu) maupun di zaman Bali Kuna (778 M-1343 M). Hal itu semua menandakan bahwa Desa Pejeng pada jaman dahulu merupakan pusat aktivitas agama dan budaya. Zaman pra sejarah (perunggu) merupakan awal peradaban Bali. Nekara “Bulan Pejeng” merupakan salah satu hasil karya terpenting pada zaman tersebut dan usianya lebih dari 2000 tahun. Selain keunikan bentuk dan hiasannya, juga merupakan nekara terbesar di Asia Tenggara, bahkan di dunia. Bertolak dari berbagai keunikan yang dimilikinya, mendorong penulis untuk menjadikan nekara sebagai pokok pembahasan dalam seminar internasional yang akan diselenggarakan pada September mendatang. Berbicara tentang pariwisata, pada dasarnya perbedaan dan keunikan itulah yang menjadi motivasi utama bagi wisatawan untuk melakukan perjalanan. Tanpa adanya perbedaan itu, tidak mungkin ada kepariwisataan. Dengan demikian perbedaan menjadi sangat hakiki dalam kepariwisataan bahkan menjadi jiwa kepariwisataan. Oleh karena itu, kepariwisataan menjunjung perbedaan, kebhinnekaan, sehingga kepariwisataan mempunyai fungsi untuk menjaga perbedaan dan keunikan sumber daya alam maupun sosial budaya. Ketika berbicara keunikan, ternyata semuanya itu ada pada nekara “Bulan Pejeng”. Karena keunikan yang dimiliki, cukup banyak dapat menarik kunjungan wisatawan asing. Untuk meningkatkan jumlah kunjungan ke Pura Penataran Sasih, peran pemerintah (Pemerintah Kabupaten Gianyar) sangat dibutuhkan secara bahu-membahu memromosikan nekara “Bulan Pejeng” ke berbagai negara agar lebih cepat menggelobal. Bilamana Pemerintah Kabupaten Gianyar serius melakukan hal tersebut, diyakini bahwa kunjungan wisatawan asing menjadi semakin meningkat. Dengan demikian, kontribusi yang diberikan “Bulan Pejeng” terhadap pengembangan pariwisata internasional semakin meluas dan sekaligu

    KARANG AWAK: Mencintai Tanah kelahiran

    Get PDF
    Pesta Kesenian Bali (PKB) yang digagas Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, saat ini (2016) telah memasuki usianya yang ke 38. Ide awal dari PKB dilaksanakan di Art Center (Taman Budaya) bertujuan untuk menggali, mengembangkan, membina, dan melestarikan kebudayaan Bali. Dengan demikian, bentuk-bentuk kegiatan yang mengisi selama sebulan penuh berkaitan masa liburan anak-anak sekolah pada bulan juni/ juli, diangkat dari unsur-unsur budaya lokal. Walaupun dilaksanakan sebualan penuh, pada pagi, siang, sore dan malam hari, ternyata belum mampu mengadopsi secara maksimal budaya daerah yang dimiliki kabupaten/ kota untuk dipagelarkan di PKB. Yang menarik adalah, bahwa hampir 80 an persen kegiatannya didominasi oleh kesenian, baik seni pertunjukan tari maupun tabuh. Sehingga kesan dari PKB tersebut lebih cenderung sebagai ajang kegiatan kesenian. Sebagai implikasinya, PKB menjadi lebih populer sebagai Pesta Kesenian Bali dibanding Pesta Kebudayaan Bali. Hal itu wajar terjadi, karena unsur-unsur kesenian yang lebih banyak dipertontonkan dan sekaligus menjadikan seni sebagai ikon PKB. Bentuk-bentuk kesenian yang diangkat meliputi kesenian tradisi, kesenian kreasi, dan ada pula yang berbau kontemporer dengan tetap berakar kepada seni tradisi tanpa mengabaikan kegiatan unsur-unsur budaya lainnya. Karena keberagaman seni budaya yang ditampilkan dalam PKB, dapat membuat masyarakat merasa kehausan dan selalu menunggu hajatan seni terbesar di Pulau dewata ini. Keberadaannya tidak hanya menarik masyarakat lokal, namun juga masyarakat nusantara dan asing. Hal itu sekaligus menjadi seni sebagai daya tarik wisata utama dalam pengembangan pariwisata Bali

    IMPLIKASI PEMBERDAYAAN WARISAN "NEKARA PEJENG" GIANYAR, BALI SEBAGAI DAYA TARIK WISATA

    Get PDF
    Bali rnemiliki beraneka rag am warisan budaya dengan keunikan masing-masing. Hal itu menyebabkan Bali menjadikan warisan budaya sebagai salah satu daya tarik wisata unggulan bagi wisatawan mancanegara. Di balik peluang besar merebut pasar untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, bahwa terpaan arus budaya global menghadang upaya pelestarian nilai kearifan lokal. Sebab, berbeda halnya dengan di tempat lain di nusantara, yang memandang bahwa warisan budaya tidak lebih dari benda biasa (profan). Sedangkan di Bali, disakralkan dan difungsikan sebagai media pemujaan oleh masyarakat lokal. Karen a terobsesi uang, dapat menggoyahkan sikap dan perilaku penguasa lokal. Pura dan warisan budaya yang dikeramatkan, diberdayakan sebagai daya tarik wisata. Fenomena seperti itu tampak terjadi di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar, Bali. Karena dijadikan komoditi, para wisatawan secara leluasa masuk ke ruang suci tanpa mempermasalahkan kesucian pura (tempat ibadah), hanya dengan membayar donasi. Adapun tujuan penelitian ini, untuk mengetahui dampak dijadikannya warisan "Nekara Pejeng" sebagai komoditas daya tarik wisata, baik di bidang sosial ekonomi maupun sosial religius. Metode yang digunakan adalah: observasi, wawancara, dan studi pustaka, dengan pendekatan kualitatif kritis. Dalam pemecahan permasalahannya digunakan teori komodifikasi dan teori kekuasaan

    NILAI KEBHINEKAAN DALAM TEMPAT SUCI

    Get PDF
    Dewasa ini bangsa Indonesia sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan besar berkenaan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Di Bidang politik, misalnya: tebaran issu disintegrasi bangsa di daerah-daerah rawan konflik yang didalangi kelompok orang dan/ atau organisasi tertentu yang kerap memanfaatkan keadaan masyarakat yang mentalnya kurang stabil. Momen strategis yang dipilih biasanya ketika ada hajatan besar bidang politik, seperti: Pilpres, Pilgub, Pilkada, dan bentuk kegiatan lain yang melibatkan gerakan massa dan bermuara kepada perpecahan. Akan tetapi, bila kembali merenung jauh ke belakang, bahwa masalah konflik di negeri ini pada dasarnya bermula dari konflik budaya yang berlangsung terus dalam masyarakat tanpa kecuali, baik dalam sekala kecil, skala menengah, maupun skala besar. Penyebabnya tiada lain, karena tuntutan dari masing-masing sistem budaya bahwa dialah satu-satunya penguasa yang bertindak sebagai pemelihara struktur sosial, dan pada sistemsistem yang lain juga mempunyai tuntutan serupa (Harsya W. Pura-Pura Bhineka Tunggal Ika di Bali 102 Bachtiar, 1985: 3). Dalam kenyataannya di lapangan saat ini, bahwa tradisi konflik kecil bahkan meluas kepada perpecahan, dan masih ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Artinya, konflik itu sudah menjadi sebuah kebiasaan sehingga tidak dapat dihindari, dan dapat terjadi pada tingkat keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
    • …
    corecore