15 research outputs found

    Implementasi Kebijakan Sistem Pengelolaan Aset Desa (SIPADES) Pemerintah Desa Wukirsari Kabupaten Sleman

    Get PDF
    Penelitian ini mengkaji tentang kebijakan Sistem Pengelolaan Aset Desa (SIPADES). Permasalahan ini menjadi menarik untuk diteliti karena pada saat ini desa memiliki ruang untuk melakukan tata kelola sumber daya (material) setelah adanya kebijakan undang-undang desa. Terdapat perspektif yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut yakni perspektif implementasi kebijakan publik. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Pada metode kualitatif deskriptif, faktor yang harus diperhatikan adalah validitas data, dimana penelitian ini menggunakan model triangulasi data. Adapun, penelitian ini dilakukan pada Pemerintah Desa Wukirsari di Kabupaten Sleman. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kapasitas pemerintah desa dalam implementasi kebijakan Sistem Pengelolaan Aset Desa (SIPADES). Hasil penelitian adalah terdapat faktor individu, faktor struktur dan faktor budaya yang memiliki hubungan terhadap kapasitas Pemerintah Desa Wukirsari dalam implementasi kebijakan Sistem Pengelolaan Aset Desa (SIPADES)

    Menimbang Pentingnya Penguatan Kelembagaan Pemerintahan Desa

    Get PDF
    Abstract: The village is an autonomous region and existed before the state was formed. This is because the village has a self-governing community, where the right to manage and take care of himself. That is, the village has become a socio-political entity of its own. However, rural government institutions that have formed marginalized. The consequence is the loss of the village administration space to organize themselves. By using the character of qualitative research, this study tries to make sense of the importance of strengthening rural government institutions after the statute of the village. The results showed the openness of space owned by the village government prioritize economic development, while strengthening rural government institutions are still marginalized. Keywords: Institutional village administration; self-governing communityAbstrak: Desa merupakan wilayah yang otonom dan ada sebelum negara terbentuk. Hal ini dikarenakan desa memiliki self-governing community, dimana berhak mengatur maupun mengurus dirinya. Artinya, desa telah menjadi suatu entitas sosial-politik tersendiri. Namun, kelembagaan pemerintahan desa yang telah terbentuk mulai terpinggirkan. Konsekuensinya adalah hilangnya ruang pemerintahan desa untuk mengatur dirinya. Dengan menggunakan penelitian bersifat kualitatif, penelitian ini mencoba menalar pentingnya penguatan kelembagaan pemerintahan desa setelah adanya undang-undang desa. Hasil penelitian menunjukkan keterbukaan ruang yang dimiliki pemerintah desa mendahulukan pembangunan ekonomi, sedangkan penguatan kelembagaan pemerintahan desa masih terpinggirkan.Kata kunci: Kelembagaan pemerintahan desa; self-governing communit

    ANALISIS TATA KELOLA KEUANGAN PEMERINTAH DESA PURWOMARTANI DAN SELOMARTANI DI KABUPATEN SLEMAN

    Get PDF
    Penelitian ini mengkaji tentang tata kelola keuangan pemerintah desa. Permasalahan ini menjadi menarik untuk diteliti dikarenakan desa telah memiliki ruang yang lebih dari adanya kebijakan dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah pusat. Setidaknya terdapat perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut yakni penganggaran transformatif. Oleh karena itu, perspektif ini memunculkan konsekuensi pada penggunaan teori manajemen strategik. Lebih lanjut, metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Pada metode kualitatif deskriptif, faktor yang harus diperhatikan adalah validitas data dimana penelitian ini menggunakan model triangulasi data. Adapun, penelitian ini dilakukan pada beberapa desa di Kabupaten Sleman, yakni Pemerintah Desa Purwomartani dan Pemerintah Desa Selomartani. Hasil penelitian ini adalah terdapat kemampuan adaptif pemerintah desa dalam melakukan tata kelola keuangan pemerintah des

    PERAN BIROKRASI LOKAL DALAM SKEMA PENGELOLAAN BERSAMA SUMBER DAYA AIR

    Get PDF
    Bureaucratic capacity in controlling the public-private partnership scheme is inadequate, so that the scheme does not protect the public interest. This paper uses the perspective of institutional approach to the market based government to help explain menggejalanya unpreparedness of government bureaucracy when it should be involved in the scheme of privatization policy in the management of shared water resources. This perspective requires the organizers to run the country together with a logic state power market participants. It is important to note that, in her involvement in politics and the logic of the market running, simultaneously also ongoing political interaction. Therefore, bureaucracy as the parties involved in the privatization scheme is important to analyze the attitude, position and political struggles

    Membangun Konsensus dan Mengelola Konflik Kerjasama Pemerintah-Swasta dalam Penyediaan Air Bersih

    Get PDF
    Market restructuring in the form of bureaucratic entrepreneurship enables the government to achieve the results needed to solve the problem. However, such a dominant worldview proves unsuccessful in providing problem solving. On the one hand, the emergence of a new economic relations structure in the form of public-private partnerships should continue to contribute positively to the private sector in gaining advantage over the sustainability of cooperation, whereby market mechanisms become incentives that allow private parties to derive interest from their involvement. On the other hand, government-private cooperation results in the inability of the community to access the services provided. Therefore, there is a need for a breakthrough in a more innovative contracting system so that it can become a consensus on public-private partnerships related to water supply. This research is qualitative using desk-research method. The result of the research shows that the cooperation system which is more suitable with the condition of public-private cooperation in the provision of clean water in Indonesia is the contract wake system. In the wake contracting system the water utility right is an instrument in the licensing system used by the government to limit the volume of water obtained and used by the private sector. That is, the instrument becomes the press point of government control over the use of water rights by private parties. Therefore, there is no more ownership and control over the water resources

    Democratic governance (Studi mengenai governability dalam pengembangan UMKM berbasis e-commerce di Kota Yogyakarta)

    Get PDF
    Tulisan ini memberikan gambaran tentang kualitas democratic governance terkait dengan kemampuanpemerintah kota Yogyakarta dalam melakukan pemberdayaan UMKM berbasis e-commerce. Dominasi gagasan tentang efektivitas, efisiensi, dan standarisasi tersebut merupakan gagasan yang dibawa oleh model pasar kedalam skema tata kelola pemerintahan di era e-governance. Tulisan ini memfokuskan pada peran pemerintah dalam melakukan program pemberdayaan UMKM berbasis e-commerce, serta peran pemerintah dalam menggunakan ruang dialog tersebut. Hasil tulisan adalah kemampuan pemerintah dalam melakukan pengembangan UMKM dengan berbasis e-commerce linier terhadap kualitas democratic governance, yakni pemberdayaan dan partisipasi. Selain itu, dalam penggunaan ruang dialog terdapat perasaan ewuhpekewuh. Perasaan ini memiliki kelebihan dalam meredam konflik dan menjaga konsensus yang telah disepakati. Namun, disisi lain perasaan ini kemudian tidak melahirkan sikap partisipatif dalam memanfaatkan ruang publik untuk memperbaiki pengembangan UMKM. Dengan demikian, pemanfaatan ruang publik lebih digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan implementasi kebijakan maupun program

    Elite and Empowerment of Local Communities: The Dilemma Between Participation and Mobilization in The Era of Democracy

    Get PDF
    This article discusses the role of local elites in stimulating community participation in various development programs. As is well known, the Serut Hamlet area in Bantul Regency is fostered by private institutions, while the Blue Lagoon Tourism Village is a village that grows for the benefit of the community's economy. This is where the challenge of empowerment will emerge, namely the many activities that only end in a momentary 'project'. By using a qualitative approach in the form of case studies, our study shows that the contribution of the elite in the empowerment process can be said to be quite large. As it is known, the formal elite, in this case the head of the tourism village management and the hamlet head, are the owners of sufficient power to open and close access to empowerment activities. This is reinforced by the ability of the elite to "care for" the sustainability of activities through various means, namely optimization and mobilization. This elite ability is what makes it a determining factor in the success of community empowerment projects

    Implementation of Village Fund Management Policy on Community Empowerment in Cokrodiningratan Village, Yogyakarta City

    Get PDF
    The urban village Fund is channeled to the subdistrict and delegated to the urban village for the urban village's local infrastructure and community empowerment sector. The object of this research was carried out in the Cokrodiningratan urban village, Yogyakarta City using descriptive qualitative methods. The results of the research on the implementation of the policy on managing funds from Permendagri number 130 of 2018 in Cokrodiningratan Village in 2019 were generally good, in managing urban village funds the government of Cokrodinigratan and community institutions could provide public understanding to adjust to the budget ceiling following regulations, needs, and regional potential. In the community empowerment sector, the supporting and inhibiting factors are from the target group of policies and urban village funds which causes the outcomes of programs and policies to be not optimal

    CAPACITY BUILDING PADA UNIT PROGRAM PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK)

    Get PDF
    Desa Karangasem RT 05 RW 12 merupakan salah satu desa di Kelurahan Condong Catur yang padat penduduk dan masih memiliki area sawah yang cukup luas. Mata pencaharian sebagian besar kaum pria disana karyawan dan buruh tani, sedangkan mayoritas kaum wanitanya sebagai ibu rumah tangga. Sejak dahulu dicanangkannya Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) ibu-ibu RT 04 RW 12 masih aktif, hingga sekarang terdapat Unit Program Bank Sampah dan Kelompok Wanita Tani (KWT) yang dibentuk Pemerintah. Namun, pada pengelolaannya masih belum optimal terutama pada unit KWT. Di dalam unit KWT menurut Ketua PKK Bu Sri Asmoroning masih terdapat kekurangan dalam internal organisasi yakni pada tata kelola administrasi dan kesekretariatan yang masih kurang tertib seperti sistem surat menyurat maupun laporan pembukuan. Adapula pada unit KWT kepengurusan organisasi telah terbentuk namun belum memiliki pembagian kerja yang jelas. Atas dasar itu, diperlukan pelatihan administrasi dan kesekretariatan sebab organisasi kelompok masyarakat miniatur organisasi yang sesungguhnya di masyarakat, maka sebagai penggiatnya harus belajar mengelola organisasinya secara profesional. Metode yang digunakan dalam pengabdian masyarakat ini yakni melalui ceramah dan tutorial pendampingan. Luaran kegiatan ini yakni adanya peningkatan kemampuan dan skill pengurus organisasi dalam mengelola administrasi dan kesekretariatan serta adanya pembagian kerja yang jelas dalam struktur organisasi KWT sehingga tercipta tanggungjawab dan wewenang yang efektif dalam kepengurusannya. Kedua hal tersebut merupakan instrumen Capacity Building fungsi penunjang kelancaran pelaksanaan tugas- tugas organisasi yang dilakukan oleh SDM pengelola unit program.
    corecore