23 research outputs found
Increasing Growth and Yield of Upland Rice by Application of Vesicular Arbuscular Mycorrhizae and Potassium Fertilizer
Field experiment with a split plot design has been carried out in order to assess the growth characteristics andyields, and effectiveness of MVA upland rice which were given potassium fertilizer in two growing seasons. MVAinoculation consisted of three treatments (without MVA, Glomus sp. and Gigaspora sp.) while potassium fertilizerconsisted of five levels (0, 12.5, 25, 37.5, and 50 kg ha-1 K). The results showed that plant growth variable which wasinoculated by MVA at any levels of K fertilizer was higher in the dry season than that in the wet season, whereas theopposite occurred for net assimilation rate. Potassium content of leaf tissue, shoot/root ratio, and grain weight perhill was determined and mutually dependent on genus MVA, dosages of K fertilizer, and growing season. Harvestindex and grain dry weight per hill were influenced by the growing season and the genus MVA but the effect did notdepend on each other. At all dosages of K fertilizer and any MVA genera, Gigaspora sp. inoculation was better thanthat of Glomus sp. Dry weight of grains per hill was affected by the contribution of grain content per hill, weight of1000 grains and number of productive seedlings per hill. The optimum dosage of K fertilizer in the dry season was32.4 kg ha-1 K with grain yield 3.12 Mg ha-1 for inoculation of Gigaspora sp., whereas the optimum dosage in the wetseason was 34.2 kg ha-1 K for the treatment Glomus sp. inoculation with Gigaspora sp. in the wet season did notreach dosages of optimum K fertilizer
Increasing Growth and Yield of Upland Rice by Application of Vesicular Arbuscular Mycorrhizae and Potassium Fertilizer
Field experiment with a split plot design has been carried out in order to assess the growth characteristics and yields, and effectiveness of MVA upland rice which were given potassium fertilizer in two growing seasons. MVA inoculation consisted of three treatments (without MVA, Glomus sp. and Gigaspora sp.) while potassium fertilizer consisted of five levels (0, 12.5, 25, 37.5, and 50 kg ha-1 K). The results showed that plant growth variable which was inoculated by MVA at any levels of K fertilizer was higher in the dry season than that in the wet season, whereas the opposite occurred for net assimilation rate. Potassium content of leaf tissue, shoot/root ratio, and grain weight per hill was determined and mutually dependent on genus MVA, dosages of K fertilizer, and growing season. Harvest index and grain dry weight per hill were influenced by the growing season and the genus MVA but the effect did not depend on each other. At all dosages of K fertilizer and any MVA genera, Gigaspora sp. inoculation was better than that of Glomus sp. Dry weight of grains per hill was affected by the contribution of grain content per hill, weight of 1000 grains and number of productive seedlings per hill. The optimum dosage of K fertilizer in the dry season was 32.4 kg ha-1 K with grain yield 3.12 Mg ha-1 for inoculation of Gigaspora sp., whereas the optimum dosage in the wet season was 34.2 kg ha-1 K for the treatment Glomus sp. inoculation with Gigaspora sp. in the wet season did not reach dosages of optimum K fertilizer
PERCEPATAN PERTUMBUHAN BENIH AREN (ARENGA PINNATA (WURMB.) MERR.) MELALUI PERENDAMAN DAN PELUKAAN BIJI
Kendala dalam pembibitan aren sekarang sudah dapat diatasi dengan beberapa input teknologi, diantaranya adalah dengan perendaman dan pelukaan biji. Kulit biji aren yang tebal dapat diamplas atau direndam dengan larutan tertentu sehingga pertumbuhan benih lebih cepat. Telah dilakukan penelitian perendaman dan pelukaan biji aren di laboratorium selama 2 bulan pada kondisi suhu rata-rata 26,5o C dan kelembaban 82 %. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa daya kecambah yang baik yaitu menggunakan perendaman Atonik 10 % dan model pelukaan dengan amplas. Prosentase daya kecambah tertinggi adalah 81,25 %. Sedangkan rata-rata panjang akar yang baik adalah menggunakan perendaman dengan air panas, M-Bio dan Atonik dengan cara pelukaan di amplas bagian kulit bijinya. Biji sudah mulai berkecambah dalam waktu 30 hari.
Pengaruh Jenis Pupuk Organik dan Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Edamame (Glycine max L. Merril)
Pupuk NPK merupakan pupuk anorganik yang umumnya digunakan dalam pertanian modern untuk meningkatkan kandungan nutrisi tanah yang diperlukan oleh tanaman. Namun, penggunaan berlebihan, selain tidak efisien, juga dapat berdampak negatif pada produktivitas tanah, hasil panen, dan bahkan dapat merusak lahan pertanian. Sistem pengelolaan hara terpadu menjadi salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik NPK sekaligus memaksimalkan pemanfaatan pupuk organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara jenis pupuk organik dengan dosis pupuk NPK terhadap efisiensi penggunaan pupuk NPK, pertumbuhan dan hasil kedelai edamame. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buanamekar Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis pada bulan Februari sampai bulan April 2023 dengan ketinggian tempat 875 m dpl. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu: pertama, tiga jenis pupuk organik yang berbeda (pupuk organik petroganik, lokal, dan lumpur tinja), dan kedua, empat taraf dosis pupuk anorganik (NPK) (0 kg/ha, 75 kg/ha, 150 kg/ha, dan 225 kg/ha). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data diolah dengan perangkat lunak SPSS 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara dosis pupuk NPK dan jenis pupuk organik terhadap beberapa parameter pertumbuhan tanaman kedelai edamame, seperti tinggi tanaman pada usia 45 Hari Setelah Tanam (HST) dan indeks luas daun pada usia 15 HST. Meskipun demikian, tidak terdapat pengaruh interaksi yang nyata pada parameter lainnya. Secara mandiri, efisiensi penggunaan pupuk NPK, pertumbuhan dan hasil kedelai edamame bervariasi tergantung pada jenis pupuk organik yang digunakan. Pupuk organik petroganik menunjukkan tingkat efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 75 kg/ha, sementara pupuk organik lokal menunjukkan tingkat efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 150 kg/ha, sementara pupuk organik lumpur tinja menunjukkan efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 75 kg/ha. NPK fertilizer is an inorganic fertilizer generally used in modern agriculture to increase the soil nutrient content needed by plants. However, overuse, in addition to being inefficient, can also have a negative impact on soil productivity, and crop yields, and can even damage agricultural land. An integrated nutrition management system is one of the efforts to reduce the use of NPK inorganic fertilizers while maximizing the use of organic fertilizers. This study aims to determine the effect of the interaction between the type of organic fertilizer and the dose of NPK fertilizer on the efficiency of NPK fertilizer use, growth and yield of edamame soybeans. This research was carried out in Buanamekar Village, Panumbangan District, Ciamis Regency from February to April 2023 with an altitude of 875 m above sea level. The study used a factorial pattern group randomized design with two treatment factors, namely: first, three different types of organic fertilizers (petroganic, local, and faecal sludge organic fertilizers), and second, four dose levels of inorganic fertilizers (NPK) (0 kg/ha, 75 kg/ha, 150 kg/ha, and 225 kg/ha). Each treatment is repeated 3 times. Data was processed with SPSS 24 software. The results showed an interaction effect between the dose of NPK fertilizer and the type of organic fertilizer on several growth parameters of edamame soybean plants, such as plant height at 45 HST, and leaf area index at 15 HST age. The efficiency of NPK fertilizer application, growth, and yield of edamame soybean plants differed depending on the type of organic fertilizer used. Petroganic organic fertilizer showed the highest efficiency at 75 kg/ha of NPK fertilizer. Local organic fertilizer showed the highest efficiency at 150 kg/ha, while septage organic fertilizer showed the highest efficiency at 75 kg/ha.Pupuk NPK merupakan pupuk anorganik yang umumnya digunakan dalam pertanian modern untuk meningkatkan kandungan nutrisi tanah yang diperlukan oleh tanaman. Namun, penggunaan berlebihan, selain tidak efisien, juga dapat berdampak negatif pada produktivitas tanah, hasil panen, dan bahkan dapat merusak lahan pertanian. Sistem pengelolaan hara terpadu menjadi salah satu upaya untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik NPK sekaligus memaksimalkan pemanfaatan pupuk organik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara jenis pupuk organik dengan dosis pupuk NPK terhadap efisiensi penggunaan pupuk NPK, pertumbuhan dan hasil kedelai edamame. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Buanamekar Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis pada bulan Februari sampai bulan April 2023 dengan ketinggian tempat 875 m dpl. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu: pertama, tiga jenis pupuk organik yang berbeda (pupuk organik petroganik, lokal, dan lumpur tinja), dan kedua, empat taraf dosis pupuk anorganik (NPK) (0 kg/ha, 75 kg/ha, 150 kg/ha, dan 225 kg/ha). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Data diolah dengan perangkat lunak SPSS 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara dosis pupuk NPK dan jenis pupuk organik terhadap beberapa parameter pertumbuhan tanaman kedelai edamame, seperti tinggi tanaman pada usia 45 Hari Setelah Tanam (HST) dan indeks luas daun pada usia 15 HST. Meskipun demikian, tidak terdapat pengaruh interaksi yang nyata pada parameter lainnya. Secara mandiri, efisiensi penggunaan pupuk NPK, pertumbuhan dan hasil kedelai edamame bervariasi tergantung pada jenis pupuk organik yang digunakan. Pupuk organik petroganik menunjukkan tingkat efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 75 kg/ha, sementara pupuk organik lokal menunjukkan tingkat efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 150 kg/ha, sementara pupuk organik lumpur tinja menunjukkan efisiensi tertinggi pada pemberian pupuk NPK sebanyak 75 kg/ha. NPK fertilizer is an inorganic fertilizer generally used in modern agriculture to increase the soil nutrient content needed by plants. However, overuse, in addition to being inefficient, can also have a negative impact on soil productivity, and crop yields, and can even damage agricultural land. An integrated nutrition management system is one of the efforts to reduce the use of NPK inorganic fertilizers while maximizing the use of organic fertilizers. This study aims to determine the effect of the interaction between the type of organic fertilizer and the dose of NPK fertilizer on the efficiency of NPK fertilizer use, growth and yield of edamame soybeans. This research was carried out in Buanamekar Village, Panumbangan District, Ciamis Regency from February to April 2023 with an altitude of 875 m above sea level. The study used a factorial pattern group randomized design with two treatment factors, namely: first, three different types of organic fertilizers (petroganic, local, and faecal sludge organic fertilizers), and second, four dose levels of inorganic fertilizers (NPK) (0 kg/ha, 75 kg/ha, 150 kg/ha, and 225 kg/ha). Each treatment is repeated 3 times. Data was processed with SPSS 24 software. The results showed an interaction effect between the dose of NPK fertilizer and the type of organic fertilizer on several growth parameters of edamame soybean plants, such as plant height at 45 HST, and leaf area index at 15 HST age. The efficiency of NPK fertilizer application, growth, and yield of edamame soybean plants differed depending on the type of organic fertilizer used. Petroganic organic fertilizer showed the highest efficiency at 75 kg/ha of NPK fertilizer. Local organic fertilizer showed the highest efficiency at 150 kg/ha, while septage organic fertilizer showed the highest efficiency at 75 kg/ha
IDENTIFICATION OF ANTIBACTERIAL ACTIVITIES FROM CALLUS CULTURE OF SOYBEAN INDUCED BY 2.4-D AND NAA
The objective of this research was to find the best induction media using 2.4-D (2.4-dichlorophenoxy acetic acid) and NAA (naphthalene acetic acid) for in vitro growth of soybean callus, and to identify the founded antibacterial compounds through callus culture induced by 2,4-D and NAA. This study consisted of three experiments, which were (1) callus culture of soybean using MS basal medium suplemented by 2.4-D and NAA, (2) Extraction of active fraction from callus and test of antibacterial activities using bacterial test of Bacillus substilis dan Escherichia coli, and (3) GC-MS analyses to identify the antibacterial compunds obtained. The research was set up in Paired and Unpaired Test Design with different replications and two treatments of media (MS + 2,4-D 40 mg/l and MS + 2,4-D 5 mg/l + NAA 5 mg/l). The significant differences among treatment means were calculated by the T test (α = 0.05). The results showed that MS + 2,4-D 5 mg/l + NAA 5 mg/l was the better media for inducing callus soybean with immature cotyledone explants. Hexane fraction from callus of MS + 2,4-D 5 mg/l + NAA 5 mg/l exhibited higher antibacterial activity compared to that of MS + 2,4-D 40 mg/l and other fractions. GC-MS analyzes to hexane fraction showed the identified antibacterial compounds, that were : beta-sitosterol, cholesta-3,5-dien-7-one dan phenol (from callus source of MS + 2,4-D 40 mg/l), and oleic acid and cholesta-3,5-dien-7-one (from callus source of MS + 2,4-D 40 mg/l). Antibacterial activities of hexane fraction against Bacillus substilis was more higher than that of Escherichia coli
PENGARUH URINE SAPI DAN RPTT TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL MENTIMUN JEPANG (Cucumis sativus L. Var. Roberto 92)
Mentimun Jepang (Cucumis sativus L. Var. Roberto 92) termasuk komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi selain untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, komoditas ini juga mempunyai prospek yang cukup besar untuk ekspor. Langkah utama untuk meningkatkan produksi mentimun dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumen harus ditempuh berbagai strategi diantaranya melalui pemupukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh urine sapi dan Rizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman (RPTT) yang memberikan pertumbuhan dan hasil mentimun Jepang yang paling baik. Percobaan dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2021, di Desa Mekarsari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) berpola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama yaitu urine sapi yang terdiri dari 3 taraf (25%, 50%, dan 75%). Faktor kedua yaitu Rizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman (RPTT) yang terdiri 3 (0%, 1%, dan 1,5%). Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara urine sapi dengan RPTT terhadap pertumbuhan dan hasil mentimun Jepang. Perlakuan urine sapi dengan konsentrasi 50% memberikan pengaruh terbaik terhadap panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per petak. Perlakuan RPTT dengan konsentrasi 1,5% memberikan pengaruh terbaik terhadap panjang dan diameter buah.Mentimun Jepang (Cucumis sativus L. Var. Roberto 92) termasuk komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi selain untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, komoditas ini juga mempunyai prospek yang cukup besar untuk ekspor. Langkah utama untuk meningkatkan produksi mentimun dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumen harus ditempuh berbagai strategi diantaranya melalui pemupukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh urine sapi dan Rizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman (RPTT) yang memberikan pertumbuhan dan hasil mentimun Jepang yang paling baik. Percobaan dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2021, di Desa Mekarsari Kecamatan Cipaku Kabupaten Ciamis. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) berpola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama yaitu urine sapi yang terdiri dari 3 taraf (25%, 50%, dan 75%). Faktor kedua yaitu Rizobakteri Pemacu Tumbuh Tanaman (RPTT) yang terdiri 3 (0%, 1%, dan 1,5%). Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara urine sapi dengan RPTT terhadap pertumbuhan dan hasil mentimun Jepang. Perlakuan urine sapi dengan konsentrasi 50% memberikan pengaruh terbaik terhadap panjang buah, diameter buah, dan bobot buah per petak. Perlakuan RPTT dengan konsentrasi 1,5% memberikan pengaruh terbaik terhadap panjang dan diameter buah
UJI KECEPATAN PERTUMBUHAN JAMUR RHIZOPUS STOLONIFER DAN ASPERGILLUS NIGER YANG DIINOKULASIKAN PADA BEBERAPA JENIS BUAH LOKAL
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan dua strain fungi yaitu Rhizopus stolonifer dan Aspergillus niger yang diinokulasikan terhadap beberapa jenis buah lokal. Penelitian ini dilakukan dengan dasar pemikiran bahwa perlu menjaga kualitas dan kuantitas buah-buahan agar tersedia bahan makanan yang sehat serta petani memiliki daya saing untuk meningkatkan pendapatan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan yang diulang sebanyak 9 kali. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian pada bulan Oktober sampai Desember 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penambahan diameter Rhizopus stolonifer dan Aspergillus niger pada pepaya secara berturut-turut untuk 6 dan 9 hari adalah sebesar 0,27 cm dan 0,98 cm ; 2,94 cm dan 6,42 cm. Kerusakan daging buah Jeruk lebih besar oleh Rhizopus stolonifer , sedang pada buah pepaya lebih tingi oleh Aspergillus niger. Rata-rata hasil pengukuran secara berurutan untuk Rhizopus stolonifer dan Aspergillus niger pada buah Jeruk adalah 2,51 cm dan 1,46 cm, sedangkan untuk pepaya 0,71 cm dan 1.00 cm
Pemanfaatan Limbah Akar Wangi sebagai Kombinasi Media Hidroponik, Briket sebagai Bahan Bakar
Peningkatan kebutuhan minyak akar wangi mengakibatkan peningkatan penyulingan yang disertai dengan peningkatan limbah akar wangi, hingga saat ini penanganan limbah akar wangi hanya mengandalkan pembakaran. Perlu adanya solusi lain sebagai pemanfaatan limbah akar wangi. Salah satu solusi yang bisa dikembangkan yaitu pemanfaatan limbah akar wangi sebagai media hidroponik dan briket sebagai bahan bakar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi media hidroponik dan nutrisi yang baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan mengetahui karakteristik briket arang dari serbuk arang aktif limbah akar wangi sebagai bahan bakar. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 Faktor yaitu faktor media tanam (m) dan nutrisi (n). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh faktor media tanam yang baik untuk tanaman sawi secara hidroponik, media tanam pasir dan serbuk arang aktif limbah akar wangi memberikan hasil yang baik terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot segar tajuk dan nisbah pupus akar, sedangkan untuk faktor nutrisi yang baik yaitu NPK + Gandasil D memberikan hasil yang terbaik pada semua parameter kecuali nisbah pupus akar. Maka dapat disimpulkan campuran pasir dan arang aktif limbah akar wangi serta pemberian nutrisi NPK dan Gandasil D memberikan hasil yang optimal untuk pertumbuhan tanaman sawi secara hidroponik. Briket arang aktif limbah akar wangi memiliki kualitas yang baik, yaitu memenuhi standar SNI dengan rata-rata kadar air (4,6 %), kadar abu (5,53 %) dan nilai kerapatan (0,52 g/cm3). The increasing demand for vetiver oil results in increased distillation activity that has impacted on the increasing of vetiver waste. Until now, the handling of the waste has relied on incineration. There needs to be another solution as the utilization of vetiver waste. The solution developed is the use of vetiver waste as a hydroponic medium and briquettes as fuel. The objective of this study was to determine the combination of hydroponic media and good nutrition on the growth and yield of caisim (Brassica juncea L.) and to determine the characteristics of charcoal briquettes from vetiver waste as fuel. The experiment was arranged by Randomized Block Design (RBD) with two factors, namely the planting medium (m) and nutrition (n). According to the results of the study there was an interaction between planting media factors and nutritional factors on leaf area and root loss ratio, but there was no interaction on plant height, leaf number and crown fresh weight. The proper planting media factors for mustard plants hydroponically, sand and vetiver waste charcoal planting media provided good results on the parameters of plant high, amount of leaves, header fresh weight and root decay ratio, while good nutritional factors, namely NPK + Gandasil D provided the best results in all parameters except root loss ratio. So it can be concluded that a mixture of sand and charcoal as well as the provision of NPK and Gandasil D nutrition provides optimal results for the growth of mustard plants hydroponically. The fragrant roots of the charcoal briquettes have a good quality, possessing good qualities of SNI with an average of the water level (4,6 % ), the ashes (5,53 %) and the density (0,52g / cm3). Peningkatan kebutuhan minyak akar wangi mengakibatkan peningkatan penyulingan yang disertai dengan peningkatan limbah akar wangi, hingga saat ini penanganan limbah akar wangi hanya mengandalkan pembakaran. Perlu adanya solusi lain sebagai pemanfaatan limbah akar wangi. Salah satu solusi yang bisa dikembangkan yaitu pemanfaatan limbah akar wangi sebagai media hidroponik dan briket sebagai bahan bakar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi media hidroponik dan nutrisi yang baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi (Brassica juncea L.) dan mengetahui karakteristik briket arang dari serbuk arang aktif limbah akar wangi sebagai bahan bakar. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 Faktor yaitu faktor media tanam (m) dan nutrisi (n). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh faktor media tanam yang baik untuk tanaman sawi secara hidroponik, media tanam pasir dan serbuk arang aktif limbah akar wangi memberikan hasil yang baik terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, bobot segar tajuk dan nisbah pupus akar, sedangkan untuk faktor nutrisi yang baik yaitu NPK + Gandasil D memberikan hasil yang terbaik pada semua parameter kecuali nisbah pupus akar. Maka dapat disimpulkan campuran pasir dan arang aktif limbah akar wangi serta pemberian nutrisi NPK dan Gandasil D memberikan hasil yang optimal untuk pertumbuhan tanaman sawi secara hidroponik. Briket arang aktif limbah akar wangi memiliki kualitas yang baik, yaitu memenuhi standar SNI dengan rata-rata kadar air (4,6 %), kadar abu (5,53 %) dan nilai kerapatan (0,52 g/cm3). The increasing demand for vetiver oil results in increased distillation activity that has impacted on the increasing of vetiver waste. Until now, the handling of the waste has relied on incineration. There needs to be another solution as the utilization of vetiver waste. The solution developed is the use of vetiver waste as a hydroponic medium and briquettes as fuel. The objective of this study was to determine the combination of hydroponic media and good nutrition on the growth and yield of caisim (Brassica juncea L.) and to determine the characteristics of charcoal briquettes from vetiver waste as fuel. The experiment was arranged by Randomized Block Design (RBD) with two factors, namely the planting medium (m) and nutrition (n). According to the results of the study there was an interaction between planting media factors and nutritional factors on leaf area and root loss ratio, but there was no interaction on plant height, leaf number and crown fresh weight. The proper planting media factors for mustard plants hydroponically, sand and vetiver waste charcoal planting media provided good results on the parameters of plant high, amount of leaves, header fresh weight and root decay ratio, while good nutritional factors, namely NPK + Gandasil D provided the best results in all parameters except root loss ratio. So it can be concluded that a mixture of sand and charcoal as well as the provision of NPK and Gandasil D nutrition provides optimal results for the growth of mustard plants hydroponically. The fragrant roots of the charcoal briquettes have a good quality, possessing good qualities of SNI with an average of the water level (4,6 % ), the ashes (5,53 %) and the density (0,52g / cm3)
Natamycin Treatment for Control of Rhizopus Mold on Strawberries (Fragaria Virginiana)
Fragaria virginiana (strawberries) were discovered in Garut, West Java, Indonesia, and they have a high economic value in the food industry. However, due to the lack of effective natamycin treatment methods, the problem of postharvest disease caused by Rhizopus sp. has yet to be solved. The goal of this study was to examine how different natamycin concentrations affect Rhizopus sp. mold control. The dip coating method was used to apply the natamycin to F. virginiana. The concentrations of natamycin used were 250 and 500 ppm. During the seven days of storage at 25∘C, the total incidence of disease caused by Rhizopus sp. and the average weight of F. virginiana were observed. The natamycin treatment by dip coating was found to be effective at preserving F. virginiana at lower concentrations.
Keywords: Natamycin treatment, Post harvest disease, mold, Strawberie
PENGARUH INVIGORASI TERHADAP VIGOR BENIH KEDELAI PADA BEBERAPA TINGKAT SALINITAS
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh invigorasi terhadap vigor benih kedelai pada beberapa tingkat salinitas. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial. Faktor 1 = tingkat salinitas (C), terdiri dari 3 level (c0 = 0 %, c1=0,5 %, c2= 1 %), Faktor 2 = perlakuan invigorasi (I), terdiri dari 4 level (i0 = perendaman air, i1 = larutan PEG, i2= abu sekam, i3= vitamin C ). Percobaan diulang tiga kali. Data yang diamati terdiri atas: total perkecambahan, kecepatan perkecambahan, dan bobot kecambah. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa invigorasi dengan larutan PEG, abu sekam, dan vitamin C dapat meningkatkan total perkecambahan dan kecepatan perkecambahan benih kedelai pada seluruh tingkat salinitas hingga konsentrasi 1 persen, sedangkan perlakuan invigorasi dengan perendaman air menyebabkan penurunan secara nyata. Pada semua perlakuan invigorasi, peningkatan kadar salinitas dari 0 hingga 1 persen menurunkan bobot kecambah