24 research outputs found

    Modifikasi Rasio Kompresi Pada Sepeda Motor Yamaha Forceone Tahun 1993

    Get PDF
    Masyarakat yang lebih memilih untuk menggunakan sepeda motor pribadi. Dulunya sepeda motor berteknologi 2 tak bertransmisi manual marak digunakan. Pada tahun 1993 pada bahan bakar premium masih didapati kandungan timbal (TEL) sehingga mesin tidak memerlukan kompresi tinggi. Indonesia sejak awal Juli 2006 sudah tidak menggunakan lagi timbal (TEL) sebagai aditif untuk meningkatkan Research Octane Number (RON) dalam pengolahan Premium 88 disejumlah kilang–kilang Pertamina dalam upaya mendukung program langit biru yang telah direncanakan pemerintah. Metode Rekayasa dilakukan pada Universitas Negeri Surabaya dengan cara melakukan pemaprasan pada cylinder head sepeda motor Yamaha Forceone Tahun 1993 yang semula kubah memiliki tinggi 5mm kemudian dilakukakan pemaprasan sebnyak 1mm sehingga tinggi kubah menjadi 4mm. diukur menggunakan pipet dan dihitung menggunakan rumus sehingga didapati rasio kompresi sepeda motor setelah dilakukan modifikasi pada ruang bakar. Kemudian dilakukan uji jalan untuk mengetahui performa motor setelah dilakukan modifikasi.Hasil dari Dengan meningkatnya kompresi pada sepeda motor Yamaha Forceone Tahun 1993 yang semula mempunyai rasio kompresi 7,1:1 kemudian setelah dilakukan modifikasi pada ruang bakar setelah diukur rasio kompresinya menjadi 10,2:1 celah antara piston pada saat berada pada titik mati atas dengan cylinder head menjadi semakin sempit sehingga campuran bahan bakar yang masuk dapat dikompresikan lebih baik dari pada saat belum dilakukan modifikasi sehingga menyebabkan partikel campuran bahan bakar menjadi lebih kecil dan proses pembakaran menjadi lebih baik sehingga terjadi peningkatan pada accelerasi sepeda motor, terbukti pada saat dilakukan uji jalan sepeda motor. Kata kunci : Yamaha Forceone, Rasio Kompresi, cylinder head

    ANALISA LAJU KOROSI BAJA KARBON RENDAH DENGAN VARIASI KECEPATAN ALIRAN DAN SALINITAS AIR LAUT PADA PEMODELAN SIRIP KEMUDI KAPAL

    Get PDF
    AbstrakTransportasi laut menjadi sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Terjadinya kecelakaan pada transportasi laut dapat diakibatkan oleh timbulnya penurunan pada kekuatan dan usia kapal. Dampak peristiwa tersebut salah satunya diakibatkan oleh korosi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga media pengkorosi yaitu air laut Gresik, Sidoarjo, dan Lamongan sesuai dengan ASTM G31-72. Obyek penelitian menggunakan lembaran plat baja karbon rendah (mild steel) yang diuji pada tiga variasi kecepatan aliran dan tiga media air laut. Dengan variasi kecepatan aliran yaitu 1,28 knot, 1,74 knot, 2,31 knot yang akan direndam selama 96 jam. Selisih dari berat awal dan akhir dari hasil pengujian kemudian dihitung dengan metode kehilangan berat (weigh lost) untuk mengetahui laju korosi spesimen, selanjutnya akan dilihat pula struktur mikro dari permukaan spesimen untuk mengetahui perbedaannya secara visual. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah semakin tinggi salinitas air laut dan kecepatan aliran maka semakin besar laju korosi yang terjadi pada baja karbon rendah. Laju korosi tertinggi terjadi pada media pengkorosi air laut Gresik dengan salinitas 20‰ dan kecepatan aliran 2,31 knot sebesar 2,7472mmpy. Sedangkan laju korosi terendah terjadi pada air laut Sidoarjo yang kadar salinitasnya 15‰ dan kecepatan aliran 1,28 knot mengalami laju korosi 0,9115mmpy yang mana merupakan kondisi optimum untuk kekuatan usia transportasi laut.Kata Kunci: Laju korosi, Mild Steel, Air Laut, Kecepatan Aliran

    PROSES PEMBUATAN BAHAN BAKAR BIOETHANOL DARI PEMANFAATAN LIMBAH PABRIK WAFER MIX SNACK WRINGIN ANOM GRESIK

    Get PDF
    Minyak bumi merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui. Penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini berbanding terbalik dengan produksi minyak bumi yang terus menerus mengalami penurunan. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dicari bahan bakar alternatif, salah satunya adalah bioethanol. Bioethanol terbuat dari bahan yang mengandung karbohidrat atau glukosa. Limbah wafer mix snack termasuk biomassa yang sangat baik untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioethanol. Limbah pabrik wafer mix snack merupakan limbah yang jumlahnya cukup banyak dan sejauh ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk memaanfaatkan limbah pabrik wafer mix snack menjadi bioethanol yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti atau pencampur premium ”Biopremium”. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan membuat bioethanol berbahan baku limbah pabrik wafer mix snack. Proses ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap fermentasi dan tahap distilasi. Untuk dapat dipasarkan kadar bioethanol harus ≥ 90%. Selanjutnya, bioethanol diuji spesifikasinya sesuai standart mengacu kepada ASTM (American Standart Testing of Materials). Bioethanol akan diuji kadarnya (menggunakan alcoholmeter), nilai kalor (menggunakan metode bomb calorimeter), flash point (menggunakan metode ASTM D 93), pour point (menggunakan metode ASTM D 97), viskositas (menggunakan metode viscometer) dan densitas (menggunakan metode gravimetry ASTM D 1298). Hasil dari penelitian ini didapatkan perbandingan yang optimal yaitu 250 gr limbah pabrik wafer mix snack, 1500 ml air, 5 gr ragi dan lama fermentasi 4 hari. Kadar bioethanol limbah wafer mix snack diperoleh 95% setelah dilakukan distilasi keempat. Hasil uji karakteristik bioethanol limbah pabrik wafer mix snack menunjukkan untuk nilai kalor sebesar 6345,07 kkal/kg, flash point 90C, pour point >-310C, densitas 0,8346 kg/l dan viskositas 4,3 cP

    PENGARUH PROTEKSI KATODIK ARUS TERPASANG (ICCP) SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN LAJU KOROSI PADA SEA CHEST KAPAL

    Get PDF
    Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi karena pada saat beroprasi kapal juga memerlukan suplay air laut yang digunakan antara lain untuk sistem pendingin kapal, memasak dan mencuci, serta digunakan sebagai penyeimbang kapal (ballast), maka dari itu penggunaan kotak laut (sea chest) sangat diperlukan. Untuk menyaring benda-benda dan kotoran yang akan masuk ke dalam sistem kapal. Karena penempatan kotak laut (sea chest) berada dibawah permukaan air laut yang berdampak terjadinya korosi. Korosi adalah serangan yang bersifat merusak pada suatu logam oleh reaksi kimia atau elektrokimia dengan lingkungannya, namun korosi dapat dikendalikan atau di perlambat lajunya. Dalam penelitian ini menggunakan proteksi katodik arus terpasang sebagai upaya pengendalian laju korosi pada sea chest kapal. Yang bertujuan untuk mengetahui korosi terkecil agar jangka pemakaian kapal bisa lebih lama. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif yang disajikan dalam bentuk table serta grafik dan deskriptif kualitatif yang akan menampilkan foto mikro spesimen uji sebelum dan sesudah pengujian. Ada 3 metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pertama hanya ada katoda (baja galvanis). Metode yang kedua ada katoda (baja galvanis) dan anoda (alumunium 5083). Metode ketiga ada katoda (baja galvanis), anoda (alumunium 5083), dan di beri arus listrik DC dengan variasi tegangan 3v, 6v, dan 9v. Ketiga metode menggunakan air laut yang sama, yaitu Lamongan dan Sidoarjo serta lama perendaman 12 jam. Standar pengujian yang dipakai adalah ASTM G31-72 untuk penelitian berskala laboratorium dan ASTM D1293 – 95 untuk pengukuran pH air laut. Kemudian dicari kehilangan berat (weight loss) terkecil yang menunjukkan metode terbaik.Berdasarkan data yang diperoleh laju korosi tertinggi terjadi pada proteksi anoda korban, dengan laju korosi di air laut Lamongan 0,5778 mmpy dan di air laut Sidoarjo 0,4287 mmpy. Laju korosi terendah menggunakan proteksi ICCP 9V, di air laut Lamongan 0,1942 mmpy dan di air laut Sidoarjo 0,1340 mmpy. Jadi bisa disimpulkan bahwa metode pengendalian Impressed Current Cathodic Protection (ICCP) lebih baik dari pada proteksi anoda korban. Penelitian ini juga menunjukkan pengaruh tegangan listrik ICCP terhadap laju korosi, semakin besar tegangan listrik yang di alirkan maka laju korosi semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan hasil terbaik dari ketiga metode adalah dengan metode yang ketiga dengan laju korosi terkecil sebesar 0,1340 mm/tahun di air laut Sidoarjo dengan tegangan listrik 9V. Kata Kunci : Sea Chest, Proteksi Katodik, Korosi, Air Laut, Baja Galvanis, Aluminium 5083

    PENGENDALIAN KOROSI PADA BAJA RENDAH KARBON (MILD STEEL) DENGAN INHIBITOR EKSTRAK TANIN DARI DAUN SIRSAK PADA MEDIA AIR LAUT DAN UDARA

    Get PDF
    Korosi merupakan masalah umum yang membawa kerugian bagi alat transportasi, konstruksi, indusri dan pengguna material baja lainnya karena mengakibatkan tingginya biaya perawatan dan kecelakaan akibat kegagalan material. Oleh karena itu pengendalian korosi yang efektif, murah dan ramah lingkungan diperlukan. Penelitian merujuk pada penggunaan inhibitor ekstrak tanin dari daun sirsak. daun sirsak memiliki kandungan tanin yang cukup tinggi dan keberadaannya yang melimpah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektifitas dan efisiensinya dalam mengendalikan korosi, khususnya pada baja rendah karbon (mild steel). Penelitian ini menggunakan metode ekserimen dengan pendekatan deskriptif kuantitatif. Pengujian dilakukan dalam dua media pengkorosi, yaitu air laut dan udara.. Obyek penelitian ini adalah plat baja rendah karbon (mild steel) berdimensi 30mm x 20mm x 8mm dengan variasi larutan tanin-aquabides yaitu 0%, 10%, 20%, dan 40%, serta lama pengujian yaitu 24 jam, 72 jam, 144 jam dan 216 jam. Seisih berat yang hilang setelah pengujian kemudian dihitung dengan metode kehilangan berat (weigh lost) untuk mengetahui laju korosi dan efisiensinya. Hasil pengujian hingga 216 jam menunjukkan laju korosi terendah logam mild steel dalam media air laut menurun 2,1x dari 0,5799 mmpy (tanpa inhibitor) menjadi 0,2981 mmpy (penambahan inhibitor 20%) dengan efisiensi sebesar 52,1%, sedangkan dalam media udara laju korosi menurun 2,9x dari 0,2805 mmpy (tanpa inhibitor) menjadi 0,0969 mmpy (penambahan inhibitor 10%) dengan efisiensi yang dicapai sebesar 65,5%. Kata Kunci : Inhibitor, Mild Steel, Tanin, Air Laut, Udar

    PENGARUH VARIASI AIR FUEL RATIO (AFR) PADA GASIFIER TERHADAP KUANTITAS NYALA API SYN GAS PADA GASIFIKASI BIOMASSA CANGKANG SAWIT

    Get PDF
    AbstrakKebutuhan energi listrik baik dengan mencari energi baru maupun dengan Hampir semua bagian dari pohon kelapa sawit secara komersial bisa dimanfaatkan, terutama di sektor energi dan manufaktur. Namun demikian, cangkang sawit memiliki penggunaan yang sangat terbatas, hanyalah dibiarkan kering kemudian dibakar dan ada pula yang dibiarkan membusuk, padahal cangkang sawit memiliki potensi yang tinggi dan layak digunakan sebagai bahan baku biomassa gasifikasi. Gasifikasi merupakan proses konversi energi dari bahan padat (biomassa) menjadi syn gas (gas hasil sintesa) yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Banyaknya udara yang masuk ke dalam gasifier akan berpengaruh terhadap laju alir massa syn gas dan kualitas dari syn gas. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekperimental diskriptif kuantitatif dan kualitatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh Air Fuel Ratio yang masuk ke dalam gasifier terhadap kuantitas nyala api syn gas yang ditinjau dari visualisasi nyala api, lama nyala api, dan temperatur nyala api. Pada gasifikasi cangkang sawit menggunakan gasifier tipe up draft. Variasi Air Fuel Ratio (AFR) dilakukan dengan cara mengatur kecepatan putaran udara dari blower yang masuk ke dalam reaktor dengan mengatur bukaan katup pada blower. Dari hasil penelitian didapatkan rata-rata tinggi nyala api syn gas pada AFR 0,2 0,3, 0,5, 0,8 dan 1,1 masing-masing adalah 13.5 cm, 18 cm, 23 cm, 45 cm, dan 53 cm. Sedangkan lama nyala api pada AFR 0,2 0,3, 0,5, 0,8 dan 1,1 masing-masing adalah 20 menit, 100 menit, 80 menit, 50 menit, dan 30 menit. Temperatur rata-rata nyala api pada AFR 0,2, 0,3, 0,5, 0,8 dan 1,1 masing-masing adalah 137 0C ,269 0C, 186 0C, 174 0C, dan 153 0C. Visualisasi nyla api terbaik yakni pada AFR 0,3 didapatkan profil api biru dengan temperatur tertinggi.Kata Kunci : Air Fuel Ratio, Gasifikasi, Syn Gas.AbstractAlmost all parts of oil palm trees can be used commercially, especially in the energy and manufacturing sectors. However, palm shells have very limited use, are used to be left dry and then burned and some are left to rot, even though palm shells have high potential and are suitable to be used as raw material for biomass gasification. Gasification is the process of converting energy from solid materials (biomass) to syn gas (synthesis gas) that can be used as fuel. Much of the air entering the gasifier will be directed towards the syn gas mass flow rate and the quality of syn gas. This research was carried out by descriptive quantitative and qualitative experimental method aimed to determine the effect of Air Fuel Ratio that goes into the gasifier to the syn gas flame quantity which is viewed from the visualization of the flame, the duration of the flame, and the flame temperature. In the palm shell gasification using a gasifier type up draft. Air Fuel Ratio (AFR) variation is done by adjusting the speed of air rotation from the blower that enters the reactor by adjusting the valve openings on the blower. The results of the research obtained are as follows average flame height syn gas nm at AFR 0.2, 0.3, 0.5, 0.8 and 1.1 is 13.5 cm, 18 cm, 23 cm, 45 cm, and 53 cm respectively. Whereas the flame duration at AFR 0.2 0.3, 0.5, 0.8 and 1.1 is 20 minutes, 100 minutes, 80 minutes, 50 minutes and 30 minutes, respectively. The average flame temperature at AFR 0.2, 0.3, 0.5, 0.8 and 1.1 are 1370C, 2690C, 186 0C, 1740C and 1530C, respectively. The visualization of the best flame is that the AFR 0.3 has a blue flame profile with the highest temperature.Keywords : Air Fuel Ratio, Gasification, Syn Gas

    MODIFIKASI SISTEM PENGAPIAN HONDA C70 STANDART MENGGUNAKAN PENGAPIAN CDI PADA PENGUJIAN PERFORMA

    Get PDF
    Pada sepeda motor telah digunakan dua jenis sistem pengapian yaitu sistem pengapian platina dan sistem pengapian CDI. Perbandingan sistem pengapian pada sepeda motor sangat berpengaruh terhadap performa mesin sepeda motor. Pada sepeda motor yang masih menggunakan sistem pengapian platina masih mengandalkan kemampuan manusia dalam hal penyetelan, sedangkan pada sistem pengapian CDI sudah dilengkapi dengan sensor yang dapat memutus dan menghubungkan arus listrik tanpa melakukan penyetelan. Kelemahan yang terdapat pada sistem pengapian platina terletak pada komponennya yang masih menggunakan sistem mekanik yang mudah rusak dan aus dalam waktu tertentu sedangkan pada komponen sistem pengapian CDI lebih efesien karena sudah menggunakan sistem elektronik. Jenis perancangan yang digunakan adalah eksperimen. Obyek perancangan ini adalah mesin Honda C70 tahun 1980. Pengujian performa mesin berdasarkan SAE J1349 yaitu “Engine Test Code-Spark Ignition and Compression Ignition-Net Power Rating”. Bahan bakar yang digunakan pada pengujian ini adalah Pertalite. Instrument dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah chasis dynamometer, rachet strap, termometer, fuel meter, stopwacth,acquistion rpm counter, dan blower. Analisa data ini menggunakan metode deskriptif. Dari perancangan ini setelah penggantian sistem pengapian CDI dapat dihasilkan torsi tertinggi 3.81 Nm pada putaran 6000 rpm, daya efektif tertinggi sebesar 4.67 PS pada putaran 6000 rpm, Konsumsi bahan bakar spesifik terendah yang dihasilkan adalah 0.080 kg/PS.jam pada putaran 6000 rpm. Kata kunci : Sistem pengapian konvensional, Sistem pengapian CDI, dan Performa Mesi

    ANALISA LAJU KOROSI DENGAN VARIASI WAKTU, KECEPATAN DAN SALINITAS AIR LAUT PADA LUNAS BILGA (BILGE KEEL) KAPAL

    Get PDF
    Abstrak Indonesia adalah negara maritim maka dari itu transportasi laut seperti kapal diperlukan dan harus diimbangi juga oleh kondisi dari kapal tersebut. Lunas bilga merupakan salah satu yang mendapat perhatian lebih karena berfungsi sebagai penyeimbang dari olakan ombak pada saat kapal melaju maka dari itu perlu dilakukannya penelitian untuk mengalisa laju korosi pada spesimen aluminium 5083. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif dengan waktu perendaman, media air laut dan kecepatan kapal saat melaju. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju korosi yang terjadi pada lunas bilga dan mengetahui kondisi optimum yang terjadi. Spesimen berupa alumunium 5083 berbentuk plat kemudian diberi perlakuan perendaman dengan media air laut Sidoarjo, Gresik dan Lamongan dengan masing-masing diberi kecepatan 2,3 knot dan 2,9 knot selama 24, 48 dan 168 jam. Hasil penelitian ini diperoleh laju korosi terbesar pada aluminum 5083 terjadi pada media air laut Gresik yang memiliki nilai salinitas awal 25 ‰ dan salinitas akhir 33 ‰ . Laju korosi yang terjadi adalah sebesar 1,2310 mmpy pada kecepatan 2,9 knot dan waktu perendaman selama 24 jam serta kehilangan berat yang terjadi sebesar 0,0286 gram. Sementara laju korosi terendah terjadi pada media air laut Sidoarjo yang memiliki nilai salinitas awal 15 ‰ dan salinitas akhir 22 ‰ dimana laju korosi yang terjadi sebesar 0,4368 mmpy pada kecepatan 2,3 knot dan waktu perendaman 168 jam serta kehilangan berat yang terjadi sebesar 0,0710 gram. Sehingga diperoleh kondisi optimum yang diambil dari hasil laju korosi optimum. Laju korosi terbaik merupakan laju korosi dengan hasil terkecil yaitu terjadi pada spesimen yang direndam di media air laut Sidoarjo. Maka lunas bilga kapal akan lebih lama usia pemakaiannya jika digunakan pada air laut Sidoarjo dibandingkan dengan air laut Lamongan dan Gresik. Kata Kunci: Lunas bilga, laju korosi, Aluminium 5083, waktu, kecepatan, salinitas air lau

    Komparasi Karakteristik Bioetanol Gel dengan Pengental Karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai Bahan Bakar Alternatif

    Get PDF
    Komparasi Karakteristik Bioetanol Gel Dengan Pengental Karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) Sebagai Bahan Bakar Alternatif Virginia Hanun S1 Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Dwi Heru Sutjahjo Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Surabaya Email: [email protected] Abstrak Menipisnya cadangan bahan bakar minyak khususnya bahan bakar yang tidak dapat diperbarui (unrenewable) dapat dicegah dengan cara melakukan usaha penghematan dan mencari sumber energi alternatif. Bioetanol merupakan produk etanol yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara bioteknologi. Mengubah bioetanol cair menjadi bioetanol gel diharapkan selama pembakaran tidak berasap, tidak menimbulkan jelaga, memudahkan dalam pengemasan dan juga pendistribusian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh penambahan prosentase Karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) yang dihasilkan dan menganalisa nilai ekonominya. Penelitian ini menggunakan metode. Obyek penelitian ini adalah karakteristik bioetanol gel dengan pengental karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Penelitian dilakukan melalui tahap persiapan, tahap pembuatan bioetanol gel, tahap pengujian karakteristik bioetanol gel dan analisa. Tahap pengujian menggunakan metode ASTM meliputi nilai kalor (D 240), Titik nyala api (D 92), kadar air (D 6304-07), kadar abu (D 482), kerapatan (D 792-13), Specific Gravity (D 891-09) dan lama nyala api menggunakan Stopwatch. Uji karakteristik bioetanol gel dilakukan dengan masing-masing sampel terdiri dari 100 ml bioetanol, 100ml aquades, serta variasi berat pengental 3 gram, 4, gram, 5 gram, dan 6 gram. Berdasarkan pengujian, bioetanol gel menggunakan pengental Carboxy Methyl Cellulose (CMC) pada sampel 2D menunjukkan nilai hasil uji karakteristik yang lebih baik jika dibandingkan dengan sampel lainnya. Semakin banyak penambahan bahan pengental akan membuat nilai karakteristik bioetanol gel semakin baik. Secara keseluruhan, bioetanol gel dinilai lebih ekonomis daripada bahan bakar paraffin karena selisih harga bioetanol gel dengan paraffin cukup banyak yaitu Rp.9.799/Kg. Kata kunci : Bioetanol gel, Karbopol, Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Bahan bakar alternatif, Karakteristik bioetanol gel. Abstract Depletion of the reserves of fuel oil in particular fuel that cannot be updated (unrenewable) can be prevented by means of doing business savings and look for alternative energy sources. Bioetanol is a product of ethanol produced from biological raw materials and other biomass processed in biotechnology. Change liquid into gel bioetanol bioetanol expected during burning smokeless, soot does not cause, facilitate in packaging and distribution as well. This research aims to analyze the influence of the addition of Karbopol and percentage Carboxy Methyl Cellulose (CMC) produced and analyzes its economic value. This research uses the method. The object of the research is characteristic of bioetanol gel thickener with karbopol and Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Research is done through the preparation phase, the phase of making bioetanol gel, gel bioetanol characteristics testing phase and analysis. Test method ASTM phase includes a heat value (240 D), flame Point (D 92), moisture content (D 6304-07), the levels of gray (d. 482), density (D 792-13), Specific Gravity (D 891-09) and old flame using a Stopwatch. Test characteristics bioetanol gel is done with each sample consisted of 100 ml aquades 100 ml, bioetanol, as well as variations in weight thickener 3 grams, 4, grams, 5 grams and 6 grams. Based on testing, using gel thickener bioetanol Carboxy Methyl Cellulose (CMC) on 2D sample test result value shows better characteristics when compared to other samples. The more the addition of thickening will make the value of the characteristic bioetanol gel the better. Overall, bioetanol gel rated more economical than paraffin fuel due to price difference bioetanol gel with paraffin quite a lot that is Rp. 9.799/Kg. Keywords: Bioetanol gel, Karbopol, Carboxy Methyl Cellulose (CMC), alternative fuels, bioetanol gel Characteristics. PENDAHULUAN Angka pertambahan penduduk semakin bertambah mengakibatkan semakin menipisnya cadangan bahan bakar minyak khususnya bahan bakar fosil yang merupakan bahan baku untuk bahan bakar minyak, bensin dan beberapa produk kimia lainnya yang tidak dapat diperbarui (unrenewable). Mengingat energi bahan bakar sangatlah mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia saat ini, terutama pada sektor rumah tangga, sektor transportasi, dan juga sektor industri. Oleh karena itu, kelangkaan bahan bakar dapat dicegah dengan usaha penghematan energi dan mencari energi alternatif atau energi pengganti lainnya yang bersifat dapat diperbarui. Kebutuhan energi primer dunia diperkirakan akan meningkat cukup tinggi seiring dengan pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi dunia (World Energy Outlook, 2013. IEA). Pada tahun 2011 kebutuhan energi fosil tercatat sebesar 10.668 juta TOE atau 82% dari total kebutuhan, dan meningkat menjadi sebesar 14.898 juta TOE pada tahun 2035 meskipun pangsanya turun menjadi sebesar 80%. Pada periode tahun 2011 sampai dengan 2035 kebutuhan batubara mengalami peningkatan terbesar dibanding bahan bakar fosil lainnya dan mulai tahun 2020 mengambil alih peran minyak atau terbesar dalam bauran energi primer. Pada tahun 2011 penggunaan batubara sebesar 3.773 juta TOE dan meningkat 44% pada tahun 2035. Bahan bakar minyak masih tetap menjadi bahan bakar yang penting dalam bauran energi primer global, meskipun pangasanya turun dari 31% pada tahun 2011 menjadi 27% pada tahun 2035. Kebutuhan minyak global pada tahun 2011 diperkirakan sebesar 86.7 Mb/d dan meningkat menjadi 101.4 Mb/d pada tahun 2035. Sumber: Dewan Energi Nasional Republik Indonesia. Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang tinggi yang dapat menghasilkan bioetanol dalam jumlah yang besar. Potensi bioetanol menurut Kementrian ESDM (2012), sumber yang berasal dari bahan bakar nabati yang berasal dari molases dan singkong dengan tingkat produksi hingga 15.5 juta ton atau setara dengan 17.8 juta SBM. Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang sangat potensial karena sumbernya mudah untuk diperbarui. Menurut Peraturan Menteri ESDM NO.25 Tahun 2013 pengertian bioetanol adalah produk etanol yang dihasilkan dari bahan baku hayati dan biomassa lainnya yang diproses secara bioteknologi. Sedangkan menurut Sutjahjo (2010), bioetanol adalah bahan bakar etanol (C2H5OH) yang diproduksi dari bahan bakar nabati. Bioetanol merupakan suatu cairan bening yang tidak berwarna, apabila digunakan tidak menyebabkan polusi lingkungan, dan apabila dibakar sempurna, bioetanol menghasilkan gas asam arang (CO2) dan air (H2O). Bahan baku untuk produksi bioetanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman dan limbah. Pembuatan etanol di Indonesia semakin berkembang sehingga produksi etanol semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 menunjukkan besarnya ekspor bioetanol sebesar 25.590 ton. Berdasarkan data BPS tersebut menunjukkan bioetanol sangat cocok untuk dikembangkan lebih besar lagi. Beberapa kendala yang harus dihadapi apabila kita akan menggunakan untuk kepentingan masyarakat dikarenakan bioetanol hanya diproduksi di daerah tertentu, tidak setiap daerah di Indonesia memproduksinya. Bioetanol cair pada dasarnya cukup beresiko apabila didistribusikan dalam drum, karena bioetanol yang berwujud cair lebih beresiko mudah tumpah dan juga mudah meledak karena sifat bioetanol cair yang volatil. Untuk membuat bioetanol aman digunakan untuk pemakaian dan pendistribusian maka bioetanol cair di rubah menjadi bioetanol gel. Untuk membuat bioetanol gel dibutuhkan kalsium asetat, atau pengental lainnya seperti xanthan gum, karbopol, CMC , EZ-3 polimer dan berbagai material turunan selulosa Tambunan. Bioetanol gel memeliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar padat briket maupun parafin yaitu terbarukan, selama pembakaran tidak berasap, tidak menimbulkan jelaga. Bentuk dari bioetanol gel memudahkan dalam pengemasan dan juga pendistribusian. Menurut Lioyd and Visiage bioetanol gel membantu mengatasi masalah sedikitnya energi sehingga kemudian bisa menjadi alternatif bahan bakar. Bioetanol bila ditinjau dari segi emisi polutan yang dihasilkan sangat rendah sehingga membantu mengatasi permasalahan pada saat kita akan menggunakan untuk memasak. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Mulyono (2010). "Pembuatan Etanol Gel Sebagai Bahan Bakar Padat Alternatif" menggunakan variasi etanol menunjukkan hasil konsentrasi etanol 70% lebih tinggi apabila dibandingkan dengan konsentrasi etanol 65% yaitu nilai kalor sebesar 82.105 kal/gr, lama nyala api selama 7.4 menit dengan etanol gel 5 gr. Berdasarkana penelitian sebelumnya yang telah dilakukan Ariyani (2013) "Perbandingan Karbopol dan Karboksimetil Sellulosa Sebagai Pengental Pada Pembuatan Bioetanol Gel" dengan konsentrasi bioetanol sebesar 70%, variasi karbopol sebesar 1.5 , 3, 4.5, 6 gram menyimpulkan bahwa semakin tinggi karbopol maka lama nyala api semakin meningkat yaitu pada karbopol tertinggi nilainya 5.28 menit/5gr , sedangkan semakin rendah karbopol maka semakin rendah lama nyala api sebesar 3.6 menit/5gr. METODE Jenis Penelitian Dalam penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, yaitu penelitian dengan cara mencari suatu hubungan sebab akibat antara beberapa faktor yang saling berpengaruh. Eksperimen dalam penelitian ini dilaksanakan di laboratorium dengan kondisi dan peralatan yang disesuaikan guna memperoleh data tentang karakterisasi bioetanol, bioetanol gel dengan pengental karbopol, dan bioetanol gel dengan pengetal Carboxy Methyl Cellulose (CMC). Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian · Pembuatan bioetanol gel dilakukan di Laboratorium Bahan Bakar dan Pelumas jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Surabaya. · Pengujian flash point, lama nyala api, kerapataan massa dan specific gravity dilakukan di Laboratorium Bahan Bakar dan Pelumas jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Surabaya. · Pengujian nilai kalor, kadar abu, dan kadar air dilakukan di Laboratorium Motor Bakar jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang. Objek penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah bioetanol murni dengan kadar 96%, serta penambahan karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebagai pengental bioetanol. Variabel Penelitian Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya Sugiono (2010). Variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: · Variabel kontrol Variabel kontrol adalah variabel yang digunakan untuk mengendalikan variabel yang lain. Variabel kontrol dalam penelitian pembuatan bioetanol gel adalah: · Bioetanol dengan kadar 96%. · Proses pembuatan bioetanol gel memakai temperatur + 27ÂşC. · Kecepatan pengadukan 1000 rpm dengan waktu 25 menit. · Variabel terikat Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi. Dalam penelitian ini variabel terikatnya yaitu nilai kalor (heating value), kadar air (moisture content), kerapatan, Spesific Gravity, kadar abu (ash content), titik nyala (flash point), dan lama nyala api. · Variabel bebas Variabel bebas adalah variabel yang mendahului atau variabel penyebab. Variabel bebas dalam penelitian pembuatan bioetanol gel adalah karbopol untuk sampel 1 dan Carboxyl Methyl Cellulose (CMC) untuk sampel 2 dengan takaran dan jumlah yang divariasi sebagai berikut: Tabel 1. Variabel Bioetanol sampel 1 No Bahan Variabel 1A 1B 1C 1D 1 Bioetanol 96% (ml) 100 100 100 100 2 Aquades (ml) 100 100 100 100 3 Karbopol (gr) 3 4 5 6 Tabel 2 Variabel Bioetanol sampel 2 No Bahan Variabel 2A 2B 2C 2D 1 Bioetanol 96% (ml) 100 100 100 100 2 Aquades (ml) 100 100 100 100 3 CMC (gr) 3 4 5 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Data hasil penelitian yang disajikan merupakan nilai dari hasil pengujian pada masing-masing sampel. Hasil peneitian ini meliputi pengujian diantaranya nilai kalor, titik nyala api, lama nyala api, kadar air, kadar abu, kerapatan massa, dan spesific gravity. Data dan hasil Analisis penelitian disajikan dalam tabel dan grafik. Tabel 3. Data hasil pengujian karakteristik bioetanol gel. Sehingga dari semua pengujian dapat diketahui bahwa penambahan variasi berat pengental maupun jenis pengental dapat mempengaruhi nilai karakteristik bahan bakar bioetanol gel. Hasil dan Pembahasan · Nilai Kalor Pengujian nilai kalor perlu diketahui dalam pembuatan bioetanol gel, karena untuk mengetahui nilai panas pembakaran yang dihasilkan oleh bioetanol gel tersebut. Semakin tinggi nilai kalor yang dihasilkan oleh bahan bakar tersebut, maka akan semakin baik pula kualitasnya. Gambar 1. Grafik Nilai Kalor Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa nilai kalor dari bioetanol gel Carboxy Methyl Cellulose (CMC) lebih tinggi daripada bioetanol gel dengan pengental karbopol secara keseluruhan. Nilai kalor yang paling optimum yaitu sebesar 5232 kal/gr dengan komposisi bahan pengental Carboy Methyl Cellulose (CMC) sebesar 6 gram, 100 ml bioetanol dan 100 ml aquades. · Titik Nyala Api Titik nyala api merupakan temperatur terendah dari suatu bahan bakar untuk dapat diubah bentuk menjadi uap dan akan menyala (terbakar sekejap) bila terpapar busi pijar atau panas api. Pada dasarnya pengujian ini digunakan untuk keamanan, untuk mengetahui sampai suhu berapakah orang dapat bekerja dengan aman tanpa adanya bahaya kebakaran. Gambar 2. Grafik Titik Nyala Api Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 2 menunjukkan bahwa, semakin tinggi komposisi bahan pengental pada bioetanol gel maka titik nyala api semakin tinggi. Tingginya titik nyala api depengaruhi oleh adanya bahan pengental yang mengikat oksigen sehingga bahan bakar tidak mudah terbakar pada suhu rendah. · Lama Nyala Api Lama nyala api merupakan perhitungan waktu dari bahan bakar bioetanol gel menyala dalam sekejap saat pengujian titik nyala api. Pengujian ini mengambil 5 gram bioetanol gel dari setiap sampel, secara grafis hasil pengujian lama nyala api adalah sebagai berikut: Gambar 3. Grafik Lama Nyala Api Bioetanol Gel. Lamanya nyala api pada bioetanol gel dipengaruhi oleh banyaknya bahan pengental karbopol maupun Carboxy Methyl Cellulose (CMC) yang dicampur dengan aquades dan bioetanol. Semakin banyak bahan pengentalnya maka lama nyala api semakin berkurang. · Kadar Air Kadar air (moisture content) bahan bakar merupakan jumlah air yang terdapat pada bahan bakar, dinyatakan sebagai presentase berat material. Berat tersebut dapat disebut sebagai berat basah dan juga berat kering. Jika kadar air ditentukan atas dasar basah, berat air dinyatakan sebagai presentase dari jumlah berat air, abu, dan bebas dari abu dalam keadaan kering. Secara grafis hasil pengujian kadar air pada bioetanol gel adalah sebagai berikut: Gambar 4. Grafik Kadar Air Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 4 menunjukkan bahwa secara kesuluruhan, kadar air pada bioetanol gel dengan pengental Carboxy Methyl Cellulose (CMC) lebih tinggi daripada bioetanol gel dengan pengental karbopol. Kadar air tertinggi yaitu 74% pada sampel 2A dengan komposisi Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 3 gr, bioetanol 100 ml dan aquades 100 ml sedangkan kadar air terendah yaitu 65% pada sampel 1D dengan komposisi karbopol 3 gr, bioetanol 100 ml dan aquades 100 ml. · Kadar Abu Kadar abu merupakan bagian dari sisa pembakaran yang sudah tidak memiliki unsur karbon. Semakin tinggi kadar abu maka semakin rendah kualitas bioetanol gel karena semakin tinggi kadar abu dapat menurunkan nilai kalor suatu bahan bakar. Gambar 5. Grafik Kadar Abu Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 5 nilai kadar abu pada pengujian bioetanol gel secara keseluruhan menunjukkan bahwa bioetaol gel dengan pengental karbopol memiliki kadar abu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kadar abu pada bioetanol gel dengan pengental Carboxy Methyl Cellulose (CMC). · Densitas Densitas merupakan suatu besaran yang dinyatakan sebagai perbandingan massa dengan volume suatu benda. Kerapatan mempengaruhi nilai bakar suatu bahan bakar seperti bioetanol gel. Besar kecilnya nilai kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan keseragaman ukuran partikel. Hasil pengujian kerapatan massa pada bioetanol gel dapat dilihat pada gambar 4.6 sebagai berikut: Gambar 6. Grafik Densitas Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 6 nilai kerapatan jenis secara keseluruhan bioetanol gel dengan pengental Carboxy Methyl Cellulose (CMC) lebih tinggi jika dibandingkan dengan bioetanol gel dengan pengental karbopol. · Specific Gravity Specific Gravity merupakan sebuah perbandingan atau rasio antara kerapatan massa suatu substansi dengan kerapatan massa substansi standar Gambar 7. Grafik Specific Gravity Bioetanol Gel. Berdasarkan gambar 7, menunjukkan grafik spesific gravity dengan hasil perhitungan dimana kerapatan massa telah diketahui dari grafik gambar 4.6 dan 1000 kg/mÂł sebagai pembaginya. Hasil perhitungan specific gravity diatas sudah memenuhi syarat yaitu dibawah 1. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil penelitian, pengujian, dan analisa bioetanol gel dengan pengental karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dapat diambil simpulan sebagai berikut: · Pengaruh penambahan berat (gram) karbopol yang terdapat pada kualitas bioetanol gel yang terbaik yaitu pada penambahan karbopol sebesar 6 gram dimana didalam pengujian memiliki nilai kalor sebesar 4137,776 kal/gr, titik nyala api pada suhu 84°C, nyala api selama pembakaran selama 190 detik, kadar air sebesar 65%, memiliki nilai kadar abu sebesar ,6%, nilai densitas sebesar 945 kg/m3 dan yang terkahir memiliki nilai specific gravity sebesar 0,945. Semakin banyak penambahan karbopol maka semakin baik pula kualitas pembakaran bioetanol gel yang dihasilkan. · Pengaruh penambahan berat (gram) Carboxy Methyl Cellulose (CMC) terhadapat kualitas bioetanol gel yang terbaik yaitu pada penambahan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) sebesar 6 gram dimana didalam pengujian memiliki nilai hasil sebesar 5232,721 kal/gr yang terdapat pada nilai kalor, titik nyala api baru terbakar pada suhu 85°C, nyala api selama pembakaran selama 185 detik, kadar air sebesar 68%, memiliki nilai kadar abu sebesar 12,4%, nilai densitas menghasilkan nilai sebesar 945 kg/m3 dan yang terkahir memiliki nilai specific gravity sebesar 0,945. Semakin banyak penambahan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) maka semakin baik pula kualitas pembakaran bioetanol gel yang dihasilkan. · Berdasarkan uji karakteristik dan perhitungan biaya produksi bioetanol gel dengan pengental karbopol dan Carboxy Methyl Cellulose (CMC), menunjukkan bahwa bioetanol Gel dengan pengental Carboxy Methyl Cellulose (CMC) pada sampel 2D dinilai layak jika dibandingkan dengan bahan bakar pada paraffin karena mempunyai nilai karakteristik terbaik yaitu nilai kalor sebesar 5232.721 kal/gr, titik nyala api 85°C, lama nyala api 185 detik, kadar air 68%, kadar abu 12.4%, densitas 945 kg/mÂł dan specific gravity 0.945 serta biaya produksi sebesar Rp.23.815/Liter atau Rp. 25.201/Kg sedangkan harga paraffin dipasaran cukup mahal yaitu Rp. 35.000/Kg. Bioetanol gel dinilai lebih ekonomis daripada bahan bakar paraffin karena selisih harga bioetanol gel dengan paraffin cukup banyak yaitu Rp.9.799/Kg. · Bioetanol gel mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya yaitu tidak mudah terbakar, tidak berjelaga, tidak menimbulkan asap dan praktis karena bentuknya berupa gel mudah dibawa. SARAN Saran yang dapat peneliti sampaikan adalah sebagai berikut: · Perlu diadakan peelitian lagi mengenai bioetanol gel dengan menggunakan bahan pengental lainnya untuk mengetahui bahan pengental manakah yan terbaik untuk meningkatkan kualitas bioetanol gel. · Perlu adanya penambahan parameter pengujian untuk mengetahui karakteristik bahan bakar gel lebih detail. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Annual Book Of ASTM Standards. Gaseous Fuels; Coal and Coke Vol. 05.06 No. D1070-03 - D6883-04 Ariyani, Sukma Budi dan Nana Supriyatna. 2013. Perbandingan Karbopol dan Karboksimetil Selulosa Sebagai Pengental Pada Pembuatan Bioetanol Gel. Pontianak: Jurnal Biopropal Industri Vol 4 No 2, 59-64 Dewan Energi Nasional Republik Indonesia. 2014. Outlook Energi Indonesia. Jakarta: Kementrian ESDM. Direktorat Bioenergi Dirjen EBTK Kementrian ESDM, 2013. Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Bioetanol, Jakarta: Direktorat Jendral EBTK Kementrian ESDM. 2012. Kajian Supply Demand Energy. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementrian ESDM. Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi. 2008. Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi No: 23204.K/10/DJM.S/2008.Jakarta: Kementrian ESDM Lioyd, P.J.D and Visagie, E.M. A comparison of gel fuels with alternative cooking fuels. South Africa: Vol 18 No 3 pp. 26-31 Mulyono. 2010. Pembuatan ethanol gel sebagai bahan bakar padat alternatif. Surakarta: Skripsi Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret. Permen ESDM. 2008. Permen ESDM No.32/2008. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementrian ESDM. Perry, Robert H. 1984. Perry’s Chemical Engineering Handbook. Singapura: McGraw-Hill Sugiono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: AlfaBeta Sutjahjo, Dwi Heru. 2007. Diktat Kuliah Bahan Bakar dan Teknik Pembakaran, Universitas Negeri Surabaya. Tambunan, L. A. 2008. Bioetanol Antitumpah. Trubus. 2008. Vol XXXIX.pp.24-25

    PENGARUH VARIASI UKURAN CANGKANG SAWIT PADA PROSES GASIFIKASI TERHADAP PERFORMA GASIFIER TIPE UPDRAFT

    Get PDF
    Cangkang kelapa sawit adalah salah satu bahan baku biomassa yang jumlahnya cukup melimpah di Indonesia. Salah satu alternatif yang menarik karena sifatnya yang renewable yang proses terbentuknya membutuhkan waktu yang lebih singkat. Penggunaan biomassa umumnya digunakan pada sektor rumah tangga kususnya di pedesaan dengan cara dibakar secara langsung. Tetapi apabila biomassa tersebut hanya dibakar secara langsung maka akan timbul permasalahan yaitu nilai bakar yang rendah dan kadar emisi polutan yang tinggi (Fisafarani,2010). Gasifikasi merupakan suatu bentuk peningkatan penggunaan energi yang terkandung di dalam bahan biomassa melalui suatu konversi dari bahan padat menjadi syn gas dengan menggunakan proses degradasi termal material-material organik pada temperatur tinggi. Penelitian ini dilakukan dengan metode diskriptif kuantitatif dan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi ukuran cangkang sawit yang dibakar di dalam gasifier terhadap performa gasifier menggunakan gasifier tipe updraft. Variasi dilakukan dengan cara memisahkan ukuran cangkang kelapa sawit menggunakan wire mesh dengan ukuran mesh 2 dan mesh 3. Pada proses gasifikasi Air Fuel Ratio (AFR) diatur sebesar 0,3 atau kecepatan udara 1,3 m/s. Kemudian akan diamati bagaimana temperatur nyala api, tinggi nyala api, lama nyala api, serta warna api syn gas. Hasil penelitian ini di dapatkan rata-rata temperatur nyala api dengan AFR 0,3 biomassa mesh 2 dan mesh 3 adalah 255ËšC dan 230ËšC. Tinggi nyala api dengan AFR 0,3 biomassa mesh 2 dan mesh 3 didapatkan rata-rata 17,4 cm dan 16,6 cm. Lama nyala api dengan AFR 0,3 biomassa mesh 2 dan mesh 3 masing-masing adalah 100 menit dan 80 menit. Sedangkan visualisasi api yang di dapatkan mesh 2 dengan profil api berwarna biru dan mesh 3 didapatkan profil api biru kemerahan. Hasil terbaik dari penelitian ini adalah biomassa dengan ukuran mesh 2. Kata kunci : Cangkang kelapa sawit, gasifikasi, biomassa, gasifier, syn gas
    corecore