19 research outputs found
MENGELOLA KECEMASAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Kecemasan merupakan salah satu faktor emosional siswa. Kecemasan adalah salah satu alasan mengapa hubungan interpersonal yang tepat sangat penting dalam memahami matematika. Hal ini dikarenakan bahwa kecemasan itu sendiri dapat meningkat, bersifat subjektif, dan menyulitkan pemahaman. Siswa yang lebih cemas akan berusaha semakin keras, tapi pemahaman mereka akan semakin memburuk, sehingga semakin membuatnya cemas. Oleh karena itu siswa belajar secara parsial. Hal ini akan membentuk pengalaman interpersonal siswa.
Siswa yang merasa kurang cemas dalam pembelajaran matematika dikarenakan siswa tersebut mengetahui bahwa ia mampu mengatasi masalah dalam belajar matematika, maka ia akan dapat menggunakan kecemasaannya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kecemasan dapat menjadi stimulus yang berguna. Adaptasi terhadap kecemasan adalah bagian dari cara mengatasi kecemasan dalam pemecahan masalah. Pada makalah ini akan diuraikan beberapa hal yang mungkin dapat mengelola kecemasan dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci: kecemasan, pembelajaran matematik
Analysis of Junior High School Students’ Errors in Solving Mathematical Problems for The Topic of Circle
This research aims to determine the type and percentage of errors that junior high school students do in solving math problems on the subject of the circles. This research is an expost facto research. The population of this study is all students of grade VIII of one of the junior high schools in Purworejo as many as 182 students. Then by randomly selecting from the entire student, selected as many as 94 students as research samples. Research instruments are used in the form of diagnostic tests. Based on the results of the research, the students’ errors have done in solving math problems on the topic of circle are errors in comprehension (16,93%), transformation (27,39%), operation (26,30%), and drawing conclusion (71,55%). So, the most dominant error done by grade VIII students of one of the junior high schools in Purworejo is an error in the drawing of conclusions. Based on the results of this study, teachers need to design more effective learning to minimize the errors that occur, especially errors in drawing conclusions
PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA SMA PADA KOMPETENSI PERTIDAKSAMAAN RASIONAL DAN IRASIONAL
Tujuan penelitian tindakan kelas (PTK) ini untuk meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa pada kompetensi pertidaksamaan rasional dan irasional melalui penerapan model pembelajaran discovery learning. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X IPS-1 SMA Negeri 4 Magelang. Penelitian ini berlangsung dalam dua siklus yaitu siklus I terdiri atas 3 pertemuan dan siklus II terdiri atas 3 pertemuan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi dan tes objektif. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi dan soal tes objektif. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika dengan penerapan model discovery learning dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika siswa kelas X IPS-1 SMA Negeri 4 Magelang pada kompetensi pertidaksamaan rasional dan irasional satu variabel. Hal ini berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil tes siklus I dan tes siklus II. Berdasarkan analisis hasil tes siklus I dan tes siklus II, rata-rata persentase pemahaman konsep matematika siswa mengalami peningkatan sebesar 15,67% yaitu pada siklus I sebesar 66,28% dan meningkat menjadi 77,81% pada siklus II
Students Mathematics Learning Achievement from Mathematics Teacher Performance and Principal Managerial Competencies Point of View
Principals and teachers are two important elements that must be at the forefront of improving the quality of students in the school. Do these two things affect learning achievement? It is what the researchers answered in this study. Therefore,this study aims to describe the influence of mathematics teacher performance and principal managerial competence on student mathematics learning achievement. The approach in this study is a quantitative (survey). The population was all mathematics teachers and public high school students in Central Lombok, about 793people. Using the purposive sampling technique obtained a sample of this study were all mathematics teachers in one of the public high schools in Central Lombok, totaling 187 people. The instruments used were mathematics teacher performance and principals managerial competency questionnaires, and computer-based national exam tests to measure student mathematics learning achievement. Data analysis was performed using a regression test, namely the t-test and the F-test, to see the effect of mathematics teacher performance and principal managerial competence (individually and together). The results showed that mathematics teacher performance affected mathematics learning achievement with a t-value of 16.295, and principal managerial competence affected mathematics learning achievement with a t-value of 18.831. Furthermore, mathematics teacher performance and principal managerial competence influence student mathematics learning achievement of public senior high school students in Central Lombok with an F-value of 211.482
Cognitive Growth Model to Improve Problem Solving Ability and Activities of the Second Semester Students in Integral Calculus Course
The problem solving ability is needed for the students to be able to face the challenges of education on cognitive aspects. Meanwhile, in the affective aspect, the students’ activities also play an important role in the process of learning mathematics in higher education. Armed with activities and mathematical problem solving ability, they are expected to be more adaptive in their efforts to find solutions for each problem. The purpose of this research is to improve the activities and ability to solve mathematics problems in the second semester students in the Integral Calculus course using the Cognitive Growth model. This is a Classroom Action Research (CAR in the even semester 2018/2019). The subjects of this research are the second semester students of the Mathematics Education Study Program at a higher education institution in Magelang, Central Java, Indonesia. The data collection techniques in this research are the test, observation, and interview. The percentage for the aspect of the students’ activities in the first cycle = 51.51%, the second cycle = 58.56%, and the third cycle = 65.48%. The percentage of improvement in the students' mathematical problem solving ability in cycle I = 45.08%, cycle II = 40.08%, and cycle III = 56.59%. Therefore, it can be concluded that the application of the Cognitive Growth model can improve the activities and problem solving ability in the second semester students in the Integral Calculus course
LEVEL BERPIKIR GEOMETRIS MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI VAN HIELE
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi level berpikir geometris mahasiswa calon guru matematika berdasarkan teori van Hiele. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2021/2022 di Universitas Tidar. Subjek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika sebanyak 112 mahasiswa, yang terdiri dari 39 mahasiswa semester II, 37 mahasiswa semester IV, dan 36 mahasiswa semester VI. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes. Instrumen tes yang digunakan berupa Van Hiele Geometry Test (VHGT) yang dikembangkan oleh Usiskin (1982) pada CDASSG Project yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. VHGT berupa tes pilihan ganda berisi 25 butir soal yang disusun ke dalam 5 subtes. Masing-masing subtes mewakili satu level berpikir geometris van Hiele. Setiap subtes terdiri dari 5 butir soal pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru matematika mencapai semua level van Hiele. Terdapat 6,25% mahasiswa pada level 1 (visualization), 50,00% mahasiswa berada pada level 2 (analysis), 11,61% mahasiswa berada pada level 3 (ordering), 1,79% mahasiswa berada pada level 4 (deduction), dan 0,89% mahasiswa berada pada level 5 (rigor). Selain itu, ditemukan bahwa sebanyak 29,46% mahasiswa pada kategori “no fit”.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi level berpikir geometris mahasiswa calon guru matematika berdasarkan teori van Hiele. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2021/2022 di Universitas Tidar. Subjek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika sebanyak 112 mahasiswa, yang terdiri dari 39 mahasiswa semester II, 37 mahasiswa semester IV, dan 36 mahasiswa semester VI. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes. Instrumen tes yang digunakan berupa Van Hiele Geometry Test (VHGT) yang dikembangkan oleh Usiskin (1982) pada CDASSG Project yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. VHGT berupa tes pilihan ganda berisi 25 butir soal yang disusun ke dalam 5 subtes. Masing-masing subtes mewakili satu level berpikir geometris van Hiele. Setiap subtes terdiri dari 5 butir soal pilihan ganda dengan 5 pilihan jawaban. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa calon guru matematika mencapai semua level van Hiele. Terdapat 6,25% mahasiswa pada level 1 (visualization), 50,00% mahasiswa berada pada level 2 (analysis), 11,61% mahasiswa berada pada level 3 (ordering), 1,79% mahasiswa berada pada level 4 (deduction), dan 0,89% mahasiswa berada pada level 5 (rigor). Selain itu, ditemukan bahwa sebanyak 29,46% mahasiswa pada kategori “no fit”
Optimization of Worked Example-Problem Solving Pair to Increase Learning Independence and Reduce Cognitive Load
This study aims to show what kinds of problems are able to optimize worked examples to increase student learning independence and reduce cognitive load for VIIB grade junior high school students in algebraic forms material. The data in this study were in the form of learning independence data, cognitive load, and implementation of learning obtained through questionnaires and observation sheets, as well as learning achievement data obtained with test instruments that have been tested to be valid and reliable according to experts and statistical test results. The results showed that the addition of the deep isomorphism problem type with insufficient guidance in the worked example-problem solving pair increased learning independence and reduced cognitive load, accompanied by an increase in student achievement. The increase is indicated by: (1) the average student's learning independence is in the "high" category, (2) the average cognitive load reaches the "low" category, and (3) obtained 75% of students with learning achievements that pass the minimum pass criteria, i.e. 65, and (4) implementation of learning with worked example-problem solving pair 80%. It is really recommended for the next researcher to make student worksheets as attractive as possible to avoid redundancy effect, present varied types of problems, provide guidance as clear as possible but not excessive, and serve the student worksheets to students individually
Model Desain Pembelajaran Matematika
Model desain pembelajaran (MDP) dalam pembelajaran matematika adalah rancangan pembelajaran matematika yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik demi tercapainya tujuan pembelajaran. Rancangan tersebut meliputi rancangan tujuan pembelajaran, strategi pembelajaran, bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. MDP terdiri atas beberapa komponen, yaitu peserta didik, tujuan pembelajaran, analisis pembelajaran, strategi pembelajaran, bahan ajar, dan penilaian belajar. MDP, khususnya dalam pembelajaran matematika memiliki beberapa fungsi, yaitu menjadikan peserta didik sebagai fokus dalam pembelajaran matematika; menciptakan pembelajaran matematika yang efektif, efisien, dan menarik; mendukung koordinasi antara desainer dan mereka yang menginstruksikan; memfasilitasi diseminasi;  dan memfasilitasi kesesuaian antara tujuan, aktivitas, dan penilaian dalam pembelajaran matematika. Adapun jenis MDP matematika meliputi: MDP berorientasi kelas (Model ASSURE), MDP berorientasi sistem (Model ADDIE), MDP berorientasi produk (Model Hannafin & Peck), MDP prosedural (Model Dick & Carey), dan MDP melingkar (Model Kemp)
Verifikasi Golongan Darah Manusia Berbasis Citra Dijital Menggunakan Logika Fuzzy
Sistem biometrika merupakan teknologi pengenalan diri dengan menggunakan bagian tubuh manusia ataupun dari perilaku manusia, untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam setia aspek kehidupan dengan mengurangi pemakaian kartu identitas dan kata sandi. Diperlukan sebuah sistem yang dapat membantu manusia untuk mengenali tipe golongan darah. pengenalan tipe golongan darah dapat dilakukan computer salah satunya dengan metode pengenalan pola dan pelatihan masing masing karakterristik golongan darah melalui citra.Percobaan pada penelitian ini membahas tentang verifikasi golongan darah manusia yang diawali dengan pengumpulan data, akusisi citra, preprocessing, ekstraksi ciri. dari sel darah manusia yang nantinya dapat membentuk suatu pola khusus dari kumpulan hasil ekstraksi ciri. Dengan menggunakan kombinasi metode euclidean distance dan correlation coefficient diperoleh pola hasil pelatihan yang menggunakan fuzzy linguistic value berada pada rentang low medium dan medium. Dengan menggunakan 20 data uji dimana setiap golongan darah terdiri dari 5 sampel, diperoleh keputusan hasil verifikasi kecocokan yang diuji dengan menggunakan metode unjuk kerja False Acceptance Rate (FAR) sebesar dan False Rejected Rate (FRR) sebesar 45% dengan tingkat Akurasi (Acc) sebesar 83
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI BERBASIS BUDAYA DITINJAU DARI GENDER DAN GAYA BELAJAR
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kemampuan pemecahan masalah geometri berbasis budaya pada mahasiswa pendidikan matematika ditinjau dari perbedaan gender dan gaya belajar David Kolb. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Tidar pada mata kuliah Geometri Ruang sebanyak delapan mahasiswa (gaya belajar diverging, assimilating, converging, dan accommodating) yang masing-masing gaya belajar terdiri dari laki-laki dan perempuan. Instrumen dalam penelitian ini adalah angket tes gaya belajar David Kolb, soal tes kemampuan pemecahan masalah geometri berbasis budaya dan pedoman wawancara. Data dianalisis secara kualitatif kemudian dibandingkan hasil tes tertulis dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan gaya belajar diverging, subjek laki-laki berada pada kategori kurang dan subjek perempuan berada pada kategori cukup dalam pemecahan masalah. Kemampuan mahasiswa dengan gaya belajar assimilating, baik subjek laki-laki maupun perempuan berada pada kategori cukup dalam pemecahan masalah. Kemampuan mahasiswa dengan gaya belajar converging, baik subjek laki-laki maupun perempuan berada pada kategori cukup dalam pemecahan masalah. Kemampuan mahasiswa dengan gaya belajar accommodating, baik subjek laki-laki maupun perempuan berada pada kategori cukup dalam pemecahan masalah. Kata kunci: Budaya; gaya belajar; gender; geometri; pemecahan masalah. Abstract The purpose of this study is to describe the culturally-based geometry problem-solving ability of mathematics education students based on gender differences and David Kolb's learning style. This type of research is qualitatively descriptive with the study subjects of Mathematics Education Study Program Universitas Tidar on the Space Geometry of eight students (diverging, assimilating, converging, and accommodating learning styles) whose respective learning styles consist of male and female. The instrument in this study is David Kolb's study style test questionnaire, a culturally-based geometry problem-solving ability test, and interview guidelines. Data is qualitatively analyzed and then compared the results of test and interview. The results showed that students with diverging learning styles, male subjects were in the poor category, and female subjects were in fair categories in problem-solving. The ability of students with an assimilating learning style, both male and female subjects is in the category of fair in problem-solving. The ability of students with a converging learning style, both male and female subjects is in fair categories in problem-solving. The ability of students with accommodating learning styles, both male and female subjects is in the category of fair in problem-solving. Keywords: Culture; gender; geometry; learning style; problem solving