14 research outputs found
Effect of betel leaf meal (Piper Betle L.) as feed additive on milk composition and somatic cell count of subclinical mastitis
The aim of this experiment was to study the effect of betel leaf meal (BLM) as feed additive on milk composition and somatic cell count of subclinical mastitis infected cow. The experiment design was a completely randomized design with five dietary treatments of BLM level and four replications in concentrate feed. The treatments were T0 (without betel leaf meal, as control), T1 (2% of betel leaf meal every day), T2 (4% of betel leaf meal every day), T3 (2% of betel leaf meal skip two days), and T4 (4% of betel leaf meal skip two days). Milk samples from the infected quarter would be analyzed every week of the experiment. Parameters measured were milk composition and somatic cell count. Data were analyzed by using analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were examined by Duncan's multiple range test. Results showed that in T1 decreased somatic cell count by 83%, but the addition of BLM did not significantly affect milk composition. It could be concluded that the addition of 2% of BLM as a feed additive has the potency to prevent mastitis in lactating cows
UPAYA MEMPERTAHANKAN KUALITAS DEDAK PADI SEBAGAI BAHAN PAKAN DENGAN PENAMBAHAN BUTYLATED HYDROXYTOLUENE DAN KALSIUM PROPIONAT SELAMA PENYIMPANAN ENAM MINGGU
Dedak padi merupakan salah satu bahan pakan ternak yang umum digunakan sebagai sumber energi dan serat bagi ternak. Selain itu dedak padi juga mengandung asam lemak tak jenuh sehingga sangat bermanfaat bagi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan Butylated Hydroxytoluene (BHT) dan Kalsium Propionat sebagai upaya mempertahankan kualitas dedak padi. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi dan Industri Pakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak lengkap pola faktorial 2x4, dengan faktor pertama adalah waktu penyimpanan yaitu W1 = 0 minggu, W2 = 6 minggu, faktor kedua adalah jenis pengawet yaitu P1 = tanpa pengawet, P2 = BHT 0,01 %, P3 = kalsium propionat 0,3 %, dan P4 = kombinasi BHT 0,01 % + kalsium propionat 0,3 %, dengan dua ulangan. Penggunaan BHT 0,01% (P2) sebagai antioksidan dalam pakan berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan bilangan peroksida dan asam lemak bebas sedangkan penggunaan kalsium propionat 0,3 % (P3) berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan koloni jamur. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan BHT dan kalsium propionat sebagai aditif dalam pakan maupun bahan pakan dapat digunakan untuk mencegah ketengikan hidrolisis dan menghambat pertumbuhan jamur selama penyimpanan
KETENGIKAN HIDROLISIS TEPUNG IKAN SEBAGAI BAHAN PAKAN PADA BERBAGAI WAKTU PENYIMPANAN
The study aims to observe the effect of storage time on the hydrolytic rancidity of fish meal as source of protein in animal feed. This study used a completely randomized design with four treatments and four replications. The arrangement of the fish meal storage time treatments were T0: 0 weeks, T1: 2 weeks, T2: 4 weeks and T3: 6 weeks. Temperature and humidity were measured during storage in warehouse. Parameters measured were moisture and free fatty acid. The results showed that fish meal which has been stored at different times was significantly affecting (P<0.05) on moisture and free fatty acids. The average of temperature and humidity during storage (0 - 6 weeks) were 29-30oC and 60-76%. The highest moisture was 17.38% obtained in the T3 and the highest free fatty acid content was obtained at 4.30%
DEMONSTRASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN SILASE JERAMI JAGUNG SEBAGAI SUMBER PAKAN SAPI POTONG DI KECAMATAN SUPPA KABUPATEN PINRANG
Demonstrasi teknologi pengolahan silase jerami jagung dilaksanakan sebagai bagian kegiatan pengabdian kepada masyarakat Program Kemitraan Masyarakat Universitas Hasanuddin Tahun 2023 di Kelompok Tani Bulu Suda Kecamatan Suppa Kebupaten Pinrang. Demonstrasi pengolahan silase jerami jagung sebagai pakan sapi potong bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan penguasaan teknologi petani peternak dalam hal pakan ternak. Tahapan kegiatan demonstrasi pengolahan silase jerami jagung meliputi tahapan persiapan dan pelaksanaan, dan pendampingan kegiatan. Dalam pelaksanaan demonstrasi, respon peternak sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan tingkat partisipasi dalam melibatkan diri dalam setiap tahapan pembuatan silase jerami jagung. Peternak memahami dengan baik pengolahan silase jerami jagung sehingga terjadi peningkatan keterampilan peternak dalam usaha penyediaan pakan untuk sapi potong
Pemberdayaan Peternak melalui Bimbingan Teknis Formulasi Ransum Ayam Buras
Salah satu permasalahan yang dihadapi Kelompok Tani Batara Deceng dalam memproduksi pakan ayam buras adalah rendahnya kemampuan anggota kelompok dalam teknik formulasi ransum ayam buras. Untuk itu diperlukan upaya meningkatkan pengetahuan peternak dalam formulasi ransum dengan melakukan bimbingan teknis sebagai kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Bimbingan teknis formulasi ransum ayam buras dilaksanakan dengan tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, serta evaluasi, dengan metode pembelajaran orang dewasa dengan penyajian materi dalam bentuk ceramah, tanya jawab/diskusi. Materi yang disampaikan dalam bimbingan teknis adalah bahan pakan dan kandungan nutrisinya, teknik formulasi ransum, feed additive, produksi pakan, serta praktik penyusunan ransum menggunakan komputer dengan Microsoft Excel. Beberapa hal yang menjadi topik pembahasan dalam diskusi antara lain pengaruh kualitas nutrisi bahan pakan terhadap kualitas ransum ayam buras, manfaat penggunaan feed additive dalam ransum dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ayam buras, serta cara menghitung formulasi ransum. Tingkat pengetahuan peserta secara signifikan terjadi peningkatan dengan skor 54.28 sebelum bimbingan teknis, menjadi 68.67 setelah bimbingan teknis. Dengan demikian, bimbingan teknis formulasi ransum ayam buras yang dilakukan dapat meningkatkan pengetahuan peserta
DISEMINASI MINI FARM LAYER DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENCEGAH STUNTING DI DESA TOMPOBULU KECAMATAN TOMPOBULU KABUPATEN MAROS
Kabupaten Maros merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki angka stunting tahun 2022 mencapai 4.434 atau 14 persen dari 29.684 balita yang diperiksa. Tahun 2021 yakni 2.892 atau 9.47 persen dari 30.584 balita yang diperiksa. Untuk itu perlu upaya untuk mencegah terjadinya stunting sedini mungkin dengan penyediaan sumber protein hewani seperti telur untuk kebutuhan gizi keluarga dengan melakukan pemeliharaan ternak ayam petelur dalam bentuk mini farm. Pengabdian kepada masyarakat telah dilakukan di Desa Tompobulu Kecamatan Tompobulu dengan kelompok sasaran adalah kelompok tani Tompo Limbua. Tahapan kegiatan adalah persiapan dan pelaksanaan meliputi pelatihan dan pendampingan, serta evaluasi. Hasil pelaksanaan pelatihan berdasarkan uji perbandingan nilai pre-test dan post-test menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) pengetahuan peserta yaitu nilai post-test lebih tinggi dibanding nilai pres-test. Peningkatan pengetahuan peserta terkait dengan lingkup materi yaitu pengetahuan tentang mini farm layer, stunting dan pakan ayam petelur. Dalam tahapan pendampingan dilakukan bimbingan manajemen pemeliharaan ayam petelur, dan melakukan recording tentang pemberian pakan, produksi telur, dan penyakit. Recording dilakukan dengan mengisi cacatan harian (log book). Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan selama program pengabdian kepada masyarakat
Seasonal adaptations of the hypothalamo-neurohypophyseal system of the dromedary camel
The "ship" of the Arabian and North African deserts, the one-humped dromedary camel (Camelus dromedarius) has a remarkable capacity to survive in conditions of extreme heat without needing to drink water. One of the ways that this is achieved is through the actions of the antidiuretic hormone arginine vasopressin (AVP), which is made in a specialised part of the brain called the hypothalamo-neurohypophyseal system (HNS), but exerts its effects at the level of the kidney to provoke water conservation. Interestingly, our electron microscopy studies have shown that the ultrastructure of the dromedary HNS changes according to season, suggesting that in the arid conditions of summer the HNS is in an activated state, in preparation for the likely prospect of water deprivation. Based on our dromedary genome sequence, we have carried out an RNAseq analysis of the dromedary HNS in summer and winter. Amongst the 171 transcripts found to be significantly differentially regulated (>2 fold change, p value <0.05) there is a significant over-representation of neuropeptide encoding genes, including that encoding AVP, the expression of which appeared to increase in summer. Identification of neuropeptides in the HNS and analysis of neuropeptide profiles in extracts from individual camels using mass spectrometry indicates that overall AVP peptide levels decreased in the HNS during summer compared to winter, perhaps due to increased release during periods of dehydration in the dry season
Crop Residue as Beef Cattle Feed Resources for the Development of Integrated Crop-Livestock Systems
In Indonesia, livestock development is crucial in improving human resources and determining the future of a nation. The quality of human resources is influenced by the level of food consumption, especially animal-sourced protein consumption obtained from livestock. The consumption of animal protein is 16.67 grams per capita per day and contributes 25.8% to total protein consumption. Consumption of animal-based food such as meat is 4.46 grams, and eggs and milk are 3.43 grams per capita per day. The contribution of animal protein consumption is 0.76 grams per capita per day. Beef demand has rapidly grown over the past few years in Indonesia, but it is not matched by a significant increase in domestic beef production. One of the problems is the availability and continuity of the feed. Therefore, crop residue is a potential feed resource that can be used as an alternative feed. The integrated crop-livestock system can be a solution to overcome feed availability for beef cattle. For this reason, crop residue identification and mapping should be conducted in each region (province, regions/cities) to generate the database for development planning policy involved in the development area of a crop-livestock system based on the specific location for the appropriate crop.
Keywords: beef cattle, crop residue, integrated farming, rice straw, cor
Limbah Tanaman Pangan Sebagai Pakan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Sidenreng Rappang
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi pakan asal limbah tanaman pangan dan daya dukungnya terhadap populasi ternak sapi potong di wilayah kabupaten Sidenreng Rappang. Penelitian dilakukan dengan pengumpulan data dari Badan Pusat Statistik serta Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Indonesia. Data diperoleh diolah untuk menghitung populasi ternak berdasarkan satuan ternak (ST), produksi limbah tanaman pangan (BK), dan daya dukung limbah tanaman pangan sebagai pakan sapi porong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi limbah tanaman pangan di seluruh wilayah kabupaten Sidenreng sebesar 610.690,80 ton BK dengan produksi terbesar adalah jerami padi (90,43%) diikuti oleh jagung (9,5%), ubi kayi (0.06%), ubi jalar (0,01%), kacang tanah (0,009%) dan kacang hijau (0,0008%). Produksi limbah tanaman pangan (BK) dapat menampung 267.842,50 ST sehingga dengan populasi saat ini sebesar 35.552,46 ST dan masih berpeluang besar dalam peningkatan populasi ternak sapi potong sebesar 232.290,01 ST atau 86,7%
Pengaruh Amonia, Karbondioksida dan Debu pada Ayam Broiler Pada Pemeliharaan dengan Suhu Ruang Berbeda
This study aims to study the impact on Maintenance broilers of temperature differences on ammonia, carbon dioxide, and dust. The completely randomized design (CRD) was used for the experiment design, with temperature of 20oC (KS20) and 30oC (KS30) as treatments. The experiment was repeated four times and each replication contained of 10 chickens. The ammonia, carbon dioxide, and dust sample was taken three times, at the 3rd, 4th, and 5th week of the experiment. Ammonia concentration during the 4th week was 0.08 ppm and increased to 2.022 -2.027 ppm at the 5th week; the carbon dioxide concentration at low temperature and high temperature was increased 17.76-22.13 ppm at the 5th week. The total dust increased at the 5th on the low temperature condition. The conclusion of this study, broilers were maintained at high temperature (30oC) produced lower air quality, in conditions this indicate that the broilers environment with conditions reared at high temperatures is still in a good condition.Tujuan Penelitian ini yaitu untuk mengkaji dampak perbedaan suhu pemeliharaan ayam broiler terhadap amonia, karbondioksida, dan debu. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, sebagai perlakuan suhu berbeda pada dua unit kandang yaitu suhu 20oC (KS20) dan suhu 30oC (KS30). Percobaan diulang sebanyak empat kali dan tiap ulangan diisi 10 ekor ayam. Pengujian ammonia, karbondioksida dan debu dilakukan sebanyak tiga kali selama pemeliharaan yaitu minggu ke- 3, awal minggu ke-4 dan akhir minggu ke-5. Konsentrasi amonia kedua perlakuan pada minggu ke-4 menurun yaitu 0.08 ppm dan minggu ke-5 meningkat yaitu 2.022-2.027 ppm. Konsentrasi karbondioksida pada suhu rendah dan suhu tinggi terjadi peningkatan pada minggu ke-5 yaitu 17.76-22.13 ppm. Debu total pada suhu rendah di minggu ke-5 meningkat yaitu 326.10 µg m-3. Ayam yang dipelihara pada kandang suhu tinggi (30 oC) menghasilkan kualitas udara yang rendah, dalam kondisi seperti ini menandakan bahwa lingkungan ayam broiler dengan kondisi lingkungan yang dipelihara pada suhu tinggi masih dalam kondisi aman