7 research outputs found
Apresiasi Guru IPA SMP Surabaya Terhadap Implementasi Lesson Study
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru seperti yang tercantum dalam Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 adalah kompetensi pedagogik Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Lesson study merupakan bentuk pembinaan profesi guru, agar guru dapat mengembangkan kompetensi pedagogiknya. Lesson study ini telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001, yaitu di beberapa sekolah di Bandung, di Malang dan di Yogyakarta. Pada tahun 2008, di Surabaya telah dilaksanakan lesson Study di beberapa SMP dengan sasaran guru IPA. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui a) pelaksanaan lesson study di SMP Surabaya; b) aktivitas guru model selama kegiatan lesson study; c) aktivitas guru sebagai observer selama lesson study;d) respon guru terhadap implementasi lesson study.Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pengambilan data dilaksanakan dengan observasi untuk setiap kegiatan lesson study dan hasil observasi tersebut dituangkan dalam bentuk deskriptif. Implementasi lesson study berlangsung di 4 SMP di Surabaya, pada semester gasal dan genap TA 2009/2010. Setiap semester berlangsung 1 kali plan dan 2 kali do (open lesson). Selain itu setiap akhir lesson study tiap semester dijaring data tentang respon guru terhadap pelaksanaan lesson study melalui angket.Hasil pelaksanaan lesson study oleh guru IPA SMP Surabaya menunjukkan adanya keterlibatan aktif guru IPA sebagai guru model, guru peserta dan observer pada tahap plan, do dan see. Demikian pula prinsip kolaboratif, berkelanjutan, kolegalitas, mutual learning dan komunitas belajar sudah diterapkan dengan tepat. Model pembelajaran sangat bervariasi pada saat pelaksanaan lesson study. Sebagai observer guru sudah berperan baik sehingga hasil observasi bisa dipergunakan sebagai pertimbangan untuk open lesson berikutnya. Dengan demikian guru IPA SMP di Surabaya telah memberikan apresiasi yang positif terhadap pola pembinaan profesi melalui kegiatan lesson study dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pembelajaran
Kajian Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek dengan Materi Hubungan Kekerabatan pada Mata Kuliah Taksonomi Tumbuhan Tinggi
Banyak mahasiswa yang mengalami kesalahan konsep pada saat memprogram skripsi tentang keanekaragaman hayati terutama mengaplikasikan materi hubungan kekerabatan. Pengertian konsep dan penerapan konsep dalam perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Tinggi/TTT tidak berbekas. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih tidak dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh. Dengan munculnya permasalahan ini tampak bahwa kompetensi yang diharapkan dimiliki mahasiswa tidak muncul dalam jangka panjang (longterm memory). Dari fakta di atas, pertanyaan yang muncul adalah “Bagaimanakah sebaiknya proses pembelajaran TTT terutama materi hubungan kekerabatan agar pengetahuan yang telah diperolah pada mata kuliah TTT dapat bertahan lama dalam benak mahasiswa?” Oleh karena itu perlu dirancang proses pembelajaran TTT yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu cara agar pengetahuan dapat bertahan lama dalam benak mahasiswa yaitu memberikan tugas yang menantang kemampuan mahasiswa dan memberi kesempatan bekerjasama. Pembelajaran yang tepat untuk memfasilitasi hal tersebut adalah Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning). Kajian ini bertujuan mendeskripsikan pelaksanan penerapan pembelajaran berbasis proyek yang dianalisis secara deskriptif dengan jenis penelitian eksperimen semu. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa pendidikan biologi angkatan 2010 yang berjumlah 41 mahasiswa. Hasil penerapan menunjukkan bahwa nilai tugas proyek yang terdiri dari tahap perencanaan, persiapan, koleksi, pembuatan laporan dan seminar hasil memiliki nilai yang baik dan mahasiswa mempunyai respon positif terhadap penerapan pembelajaran berbasis proyek
Penerapan Pembelajaran Tutor Sebaya Dalam Perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Tinggi Di Prodi Pendidikan Biologi Fmipa Universitas Negeri Surabaya
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan efektivitas penerapan tutor sebaya dalam perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Tinggi di prodi Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Tutor sebaya diterapkan dalam perkuliahan Taksonomi Tumbuhan Tinggi (TTT) untuk mahasiswa yang nilai Ujian Sub Sumatif (USS) tidak mencapai kategori B ( ≥ 70) sebagai tutee dan yang memperoleh nilai > 70 sebagai tutor. Setelah mengikuti pembelajaran tutor sebaya, mahasiswa tutee mengikuti remedial test.Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain pre ekperimental yaitu one group Pre-Test Post-Test design. Adapun prosedurnya meliputi tahap utama yaitu melaksanakan USS, menentukan subyek penelitian, menerapkan tutor sebaya, melaksanakan remidial test, menggali respon mahasiswa terhadap pembelajaran tutor sebaya. Subyek penelitian ini sebanyak 52 mahasiswa angkatan 2011 prodi Pendidikan Biologi. Data penelitian berupa nilai USS dan nilai remedial test dianalisis secara statistik paired t-test dan secara deskriptif.Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor USS gymnopsermae sebesar 55.42 dan rata-rata nilai remedial test sebesar 72,69; nilai t hitung > t tabel yaitu 4.176 > 2.087 dengan taraf signifikan 0,01. Untuk materi angiospermae rata-rata skor USS sebesar 63,034 dan rata-rata skor remedial test sebesar 75; nilai t hitung > t tabel yaitu 11.26 > 2.678 dengan taraf signifikan 0,01. Dengan demikian terdapat perbedaan hasil belajar yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah penerapan tutor sebaya. Jelas, bahwa tutor sebaya efektif diterapkan di perkuliahan TTT. Di samping itu, mahasiswa memberikan respon baik terhadap aspek keterlaksanaan tutor sebaya maupun aspek keterlibatan tutor
Active commuting and work ability:a cross-sectional study of chicken meat industry workers in Thailand
Abstract
There is ample evidence regarding positive health effects of cycling or walking to work (active commuting [AC]). However, little is known about the effects of AC on work ability. Therefore, we examined 422 Thai chicken meat industry workers who assessed their current work ability (CWA) compared to their lifetime best by assigning scores ranging from 0 to 10. The CWA was compared between active and non-active commuters using linear regression, cumulative distributions, and quantile regression. Overall, 46 workers (11%) were active commuters. The average CWA score was 8.2 (standard deviation, 1.3; range, 4–10). It was higher by 0.5 units (95% confidence interval: 0.2–0.8) in active commuters. Cumulative distributions showed higher CWA scores among active commuters throughout the CWA scale, with the greatest difference (one CWA unit) at scores of 8–9. This benefit of AC persisted after adjustments and was observed at the 33rd, 50th, and 67th percentiles of CWA but not at percentiles higher or lower than the aforementioned ones. The model-predicted CWA scores for selected combinations of personal and work-related factors were up to two units higher among active commuters. In conclusion, active commuters have better work ability than non-active commuters. However, the potential effects may be limited to workers with good work ability.
Relevance to the industry: Since commuting is a necessary daily activity for most of the working population, AC may offer great potential to produce positive effects on work ability and health. AC should be encouraged and included in health promotion programs at national and organizational levels
Workplace cold and perceived work ability:paradoxically greater disadvantage for more vs. less-educated poultry industry workers in Thailand
Abstract
The association between worksite temperature and perceived work ability (WA) in various educational classes remains unknown. Therefore, we interviewed 286 poultry industry workers in Thailand about their WA and linked their responses to worksite temperature. WA was based on the self-assessment of current work ability compared with their lifetime best ability (scores 0–10). Education was classified as high (university or vocational school) or low (less education). Temperature was classified as cold (−22–10°C) or warm (10–23°C). WA and the occurrence of a low WA were regressed on worksite temperature, education, and their interaction with the adjustment for sex, age, job category, physical work strain, moving between cold and warm sites, thermal insulation of clothing, relative humidity, and air velocity. The average worksite temperature was 10°C for high- and 1°C for low-educated workers. The average WA score was 8.32 (SD, 1.33; range, 4–10) and classified as low (<8) in 23% of the workers. In highly-educated workers, the adjusted mean WA decreased from 9.11 in the warm areas to 8.02 in the cold areas and the prevalence of a low WA increased from 11 to 30%, while no significant change was observed in less-educated workers. The WA score was estimated to decline by 10% more (95% CI, 4–16%) in the cold areas for the more vs. less-educated workers and the prevalence of a poor WA was estimated to increase 3.09 times (95% CI, 1.43–5.45) more. Highly-educated workers in this industry are a risk group that should be given customized advice
Self-assessed threshold temperature for cold among poultry industry workers in Thailand
Abstract
The self-assessed threshold temperature for cold in the workplace is not well known. We asked 392 chicken industry workers in Thailand what they regard as the cold threshold (CT) and compared subgroups of workers using linear and quantile regressions by CT sextiles (percentiles P₁₇, P₃₃, P₅₀, P₆₇, and P₈₃, from warmest to coldest). The variables of interest were sex, office work, and sedentary work, with age, clothing thermal insulation, and alcohol consumption as adjustment factors. The mean CT was 14.6 °C. Office workers had a 6.8 °C higher mean CT than other workers, but the difference ranged from 3.8 °C to 10.0 °C from P₁₇ to P₈₃. Sedentary workers had a 2.0 °C higher mean CT than others, but the difference increased from 0.5 °C to 3.0 °C through P₁₇–P₈₃. The mean CT did not differ between sexes, but men had a 1.6–5.0 °C higher CT at P₁₇–P₅₀ (>20 °C) and a 5.0 °C lower CT at P₈₃ (<10 °C). The CT was relatively high at warm (≥10 °C), dry (relative humidity <41%), and drafty (air velocity > 0.35 m/s) worksites. We conclude that office, sedentary, and female workers and those working at warm, dry, and draughty sites are sensitive to the coldest temperatures, whereas male workers are sensitive even to moderate temperatures