9 research outputs found
KEADILAN RESTORATIF DALAM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEKERASAN RUMAH TANGGA DENGAN HUKUM PIDANA
Domestic violence has been a social phenomenon frequently taking place. According to the National Commission on Women, the number of domestic violence (between the year of 2001 and 2005) steadily increased. One of the instruments chosen by the government to tackle domestic violence was criminal law. The dissertation research was aimed at: 1) analyse of restorative justice and providing argumentation on the importance of restorative justice as a basis for criminal policy in handling domestic violence in Indonesia; 2) thoroughly and comprehensively understanding the formulation policy of criminal law in handling domestic violence in Indonesia; 3) formulating criminal policy containing restorative justice as an alternative in solving domestic violence cases in Indonesia. The normative legal research approach was applied in this dissertation research, and it was also associated with comparative research. The main data of this research was secondary data consisting of primary and secondary legal materials, that were, regulations and experts' legal opinions related to the handling of domestic violence. The data collected were then qualitatively analyzed, and the conclusion was drawn based upon deductive method. The conclusions based upon the legal analysis were as follow: 1) restorative justice was important to be the policy's basis for tackling domestic violence by using criminal law based on the following argumentations: a) the conformity of restorative justice idea with Pancasila as the highest legal basis of Indonesian people, b) domestic violence took place among people having specific relation due to marriage or blood relationship, c) victims or the victims' family of domestic violence did not prefer criminal process, d) fine as criminal sanction may give economic or financial burden to the victims or victims' family, e) the tendency of international development to pay more attention to the victims in criminal process, f) the draft criminal code itself began to pay consideration to the victims in criminal sentencing; 2) criminal policy in handling domestic violence as stipulated in the Criminal Code, the Act number 23 of 2002 on Child Protection, the Act number 23 of 2004 on the elimination of domestic violence; and the Act number 8 of 1981 on Criminal Procedure did not reflect restorative justice yet; the formulation of criminal law policy in handling domestic violence was conducted by underlining: a) criminal sanction oriented to both pushing personal responsibility of the offenders and proving recovery to the victims, b) rehabilitative actions by the offenders after committing the crime constituted alleviating factor for a sentence, c) reaching a settlement in mediation as a basis for dropping the charges, d) mediation as a model of dispute settlement for certain domestic violence
JCK PENEGAKAN HUKUM TERHADAP WANITA YANG MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL ONLINE DI WILAYAH KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Penelitian dengan judul tersebut bertujuan mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap wanita yang menjadi pekerja seks komersial online serta memperoleh data dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan masih banyak ditemnukannya wanita yang menjadi pekerja seks komersial online. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Sumber data berupa data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dengan narasumber dan studi kepustakaan. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis hukum. Proses berpikir induktif digunakan untuk menarik kesimpulan. Teori penegakan hukum, teori pertanggungjawaban pidana. Teori pembuktian pidana, teori kriminologi, teori psikologi hukum digunakan sebagai pisau analisi dalam mengkaji hasil penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penegakan hukum terhadap wanita yang menjadi PSKO jauh dari kata sempurna. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya bentuk koordinasi antara pihak Kepolisian Polres Sleman dengan pihak Kominfo dan masyarakat Kabupaten Sleman perihal upaya penegakan hukum, sehingga menyebabkan masih banyak PSKO yang belum berikan tindakan. Salah satu faktor yang menyebabkan wanita menjadi seorang PSKO adalah karena wanita tersebut tidak mampu untuk mengontrol kemampuan dirinya, sehingga mengakibatkan melakukan tindak kriminal. Penyebab lainnya adalah karena didorong dengan faktor kurangnya kasih sayang dari keluarga, lingkungan pergaulan yang buruk dan adanya himpitan ekonomi.Penelitian dengan judul tersebut bertujuan mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap wanita yang menjadi pekerja seks komersial online serta memperoleh data dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan masih banyak ditemnukannya wanita yang menjadi pekerja seks komersial online. Penelitian ini merupakan penelitian empiris dengan pendekatan sosiologi hukum. Sumber data berupa data primer sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara dengan narasumber dan studi kepustakaan. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis hukum. Proses berpikir induktif digunakan untuk menarik kesimpulan. Teori penegakan hukum, teori pertanggungjawaban pidana. Teori pembuktian pidana, teori kriminologi, teori psikologi hukum digunakan sebagai pisau analisi dalam mengkaji hasil penelitian. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penegakan hukum terhadap wanita yang menjadi PSKO jauh dari kata sempurna. Hal tersebut dapat terjadi karena tidak adanya bentuk koordinasi antara pihak Kepolisian Polres Sleman dengan pihak Kominfo dan masyarakat Kabupaten Sleman perihal upaya penegakan hukum, sehingga menyebabkan masih banyak PSKO yang belum berikan tindakan. Salah satu faktor yang menyebabkan wanita menjadi seorang PSKO adalah karena wanita tersebut tidak mampu untuk mengontrol kemampuan dirinya, sehingga mengakibatkan melakukan tindak kriminal. Penyebab lainnya adalah karena didorong dengan faktor kurangnya kasih sayang dari keluarga, lingkungan pergaulan yang buruk dan adanya himpitan ekonomi
Model Kebijakan yang Menjamin dan Melindungi Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Di Kabupaten Bantul
Penyandang Disabilitas berhak mendapat perlindungan sebagaimana diamanatkan
undang-undang. Perlindungan hak ini termasuk hak bagi kelompok masyarakat rentan yang
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual,
mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Objek material dari penelitian ini adalah model kebijakan jaminan pemenuhan hakhak
Penyandang Disabilitas. Dalam kehidupan bermasyarakat Penyandang Disabilitas
merupakan anggota masyarakat yang rentan diabaikan hak-haknya, padahal sebagaimana
layaknya warga negara, Penyandang Disabilitas mempunyai hak-hak yang sama dengan
warga negara yang lain. Kebutuhan khusus bagi Penyandang Disabilitas menyebabkan
pemenuhan haknya juga memerlukan cara yang khusus pula yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Kenyataannya masih banyak Penyandang Disabilitas yang tidak
mendapatkan haknya, bahkan mereka mendapatkan diskriminasi dalam berbagai bidang
kehidupan. Adanya berbagai diskriminasi ini menyebabkan Penyandang Disabilitas
kehilangan akses dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian perlu disediakan suatu
model kebijakan yang menjamin pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas.
Tinjauan dari sudut pandang (objek formal) yuridis dan sosiologis untuk
mengembangkan model kebijakan yang sesuai dan tidak mendiskriminasi Penyandang
Disabilitas masih sangat diperlukan. Kajian yang menggunakan dua sudut pandang ini
diharapkan dapat menemukan model kebijakan yang sesuai bagi Penyandang Disabilitas di
Kabupaten Bantul. Sudut padang yuridis digunakan untuk mengidentifikasi berbagai macam
fenomena kebijakan yang mendiskriminasi Penyandang Disabilitas dan menggali faktorfaktor
yang menyebabkan hak-hak penyandang cacat tidak dapat terpenuhi. Kajian sudut
pandang yuridis diperdalam lagi dengan menggunakan analisis Sosiologi untuk model
kebijakan yang sesuai bagi Penyandang Disabilitas, terutama yang berada di Kabupaten
Bantul.
Penelitian ini merupakan penelitian multi tahun dengan tujuan pada tahun pertama
memetakan faktor-faktor yang menjadi kendala jaminan pelaksanaan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bantul dan memetakan model kebijakan yang dibangun
di Kabupaten Klaten sebagai perbandingan model kebijakan untuk persoalan yang sama di
Kabupaten Bantul. Berdasar pemetaan pada tahun pertama maka pada tahun kedua penelitian
ini bertujuan memberi masukan model kebijakan yang sesuai untuk menjamin pelaksanaan
pemenuhan hak Penyandang Disabilitas yang akan direkomendasikan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Bantu
IMPLEMENTASI AMANAT KONSTITUSI DALAM PERWUJUDAN KEADABAN RELIJIUS (RELIGIOUS CIVILITY) (KASUS: PRAKTIK MULTIKULTURALISME DI SOMOHITAN-SLEMAN, SUMBER-MAGELANG DAN KAPENCAR-WONOSOBO)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjamin sepenuhnya hak setiap
warga Negara Indonesia untuk memeluk agama dan keyakinannya serta beribadat menurut
agama dan keyakinannya masing-masing. Hak ini merupakan hak dasar setiap warga Negara dan
merupakan bagian dari hak asasi manusia. Negara memiliki kewajiban menghormati, melindungi
dan memenuhi hak beragama/berkeyakinan setiap warga negaranya. Kewajiban Negara ini
termasuk memenuhi hak warga Negara(umat beragama) dalam mendirikan rumah ibadat.
Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan sekarang, konflik antar
dan inter umat beragama di Indonesia seringkali terjadi, Dalam konflik-konflik yang sering
terjadi, pada umumnya hak-hak kaum minoritas (pemeluk agama/keyakinan yang minoritas)
seringkal terlanggar oleh yang mayoritas. Kepentingan kaum minoritas yang terlanggar
mengarah pada pendirian rumah ibadat dan kebebasan beribadat menurut
agama/kepercayaannya.
Tahun 2013 merupakan titik balik kebebasan beragama di Jateng dan DIY. Sepanjang
tahun terdapat beberapa kasus penyerangan dan pelarangan berdirinya tempat ibadah (gereja).
Bahkan beberapa bentuk pelarangan telah menjurus kepada tindakan perusakan dan kekerasan
terhadap korban. Jaminan akan kebebasan beragama/berkepercayaan dalam UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai instrumen hukum dalam bentuk Undang-Undang maupun
peraturan-peraturan hukum di bawahnya tidak serta merta dapat memberikan perlindungan
kepentingan kaum minoritas.
Di tengah konflik kepentingan yang terkait dengan kebebasan beragama/berkeyakinan
termasuk pendirian rumah ibadat, justru di daerah Somohitan-Sleman, Sumber-Magelang dan
Kapencar-Wonosobo dapat menjadi contoh model kerukunan umat beragama karena pendirian
rumah ibadat (gereja) di tengah umat yang mayoritas muslim tidak mendapat tentangan dan
gangguan. Di lokasi ini masyarakat dengan kearifan lokalnya dapat meredam potensi konflik.
Inilah yang disebut sebagai model keadaban relijius