459 research outputs found

    The marginal costs of climate changing emissions

    Get PDF
    This paper presents the marginal costs of the emissions of a selected number of radiatively-active gases, three uniformly-mixed gases – carbon dioxide, methane, nitrous oxide – and two region-specific gases – nitrogen (from aircraft) and sulphur, which influence ozone and sulphate aerosol concentrations, respectively. The paper complements earlier research by adding a third model (FUND2.0), adding region-specific gases, and by presenting an alternative accounting framework. The discounting and valuation procedures for marginal cost estimation were refined, but the estimates for the three greenhouse gases do not substantially differ from those in earlier research. It should be noted that with the inclusion of new insights into the impacts of climate change, it can no longer be excluded that marginal costs are negative, particularly for methane. The sign of the costs is model and region dependent. Despite their short life-time, the marginal costs of nitrogen and sulphur emissions are relatively large, primarily because they are not much discounted. The results presented should not be taken as final estimates. The impacts covered by the models used are only a fraction (of unknown size) of all climate change impacts. Particularly, large scale disruptions, such as a breakdown of North Atlantic Deep Water formation or a collapse of the West-Antarctic Ice Sheet, are excluded from the analysis

    Climate, development, and malaria: an application of FUND

    Get PDF

    Analisis Transformasi Organisasi Dalam Upaya Peningkatan Kinerja Usaha

    Get PDF
    Deregulasi perbankan di lndonesia, terutama mengenai ketentuan tentang pembebasan suku bunga yang diatur oleh perbankan dan kemudahan mendirikan bank membuat semakin pesatnya perkembangan industri perbankan. Kompetisi perbankan di dalam negeri semakin ketat, apalagi dengan adanya perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi serta adanya tantangan pelaksanaan AFTA tahun 2003, maka dituntut suatu tingkat pelaksanaan bank yang sangat profesional. PT Bank Rakyat lndonesia (Persero) yang dikenal dengan nama BRI merupakan bank komersial yang juga mengalami pasang surut pertumbuhan akibat perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dalam melakukan adaptasi dengan lingkungannya BRI mengadakan transformasi organisasi untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi perkembangan perekonomian, peraturan baru perbankan maupun dari persaingan perbankan yang semakin meningkat. Pengertian Transformasi Organisasi adalah suatu perubahan yang menyeluruh dari organisasi baik yang bersifat mendasar maupun strategis yang tujuannya adalah agar organisasi tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pendekatan yang dilakukan oleh BRI dalam melakukan transformasi organisasi adalah dengan menggunakan konsep unit bisnis strategis atau Strategic Business Unit (SBU). Dalam melakukan kegiatan operasionalnya, BRI membagi organisasinya menjadi 4 SBU, yaitu invesment banking, corporate banking, retail banking, dan micro banking. Proses transformasi yang dilakukan ternyata tidak berjalan mulus. Berbagai permasalahan timbul karena dennan melakukan transformasi, maka pola pikir (mindset) yang selama ini berjalan, harus direvisi. Hal inilah yang menyebabkan perlunya analisis terhadap transformasi organisasi yang dilakukan BRI. Karena sejak pelaksanaan konsep transformasi organisasi dengan konsep SBU, hanya SBU Micro Banking yang lebih fokus dan jelas accountability-nya. Oleh karena itu penelitian ini mengambil studi kasus pada pola hubungan internal organisasi SBU micro banking, terutama berkaitan dengan upaya peningkatan kinerja usaha, dengan batasan masalah lingkungan antar SBU Micro Banking dan SBU Retail Banking. Data diperoleh dari kuesioner yang dibagikan kepada responden dan berbagai data sekunder lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan chi square, ranking likert, dan analisa trend. Dari jawaban para responden yang dijadikan input dalam pengolahan data, nilai chi square yang dihasilkan berada di atas nilai kritis standar chi square yang terbesar, dimana nilai standar chi square tersebut dengan derajat bebas (degree of freedom (df) = 4 adaiah 9,49 (untuk tingkat kepercayaan 95 persen , dan 13,28 (untuk tingkat kepercayaan 99 persen). Hanya beberapa dari hasil pengolahan data atas jawaban responden yang nilainya berada dibawah 9,49. Sedangkan hasil lainnya berada diatas 9,49, antara 9,49 - 13,28, dan diatas 13,28. Maksudnya dengan memakai dua tingkat kepercayaan, 95 persen dan 99 persen adaiah untuk meyakini hasil pengolahan data tersebut. Sebab untuk penelitian sosial, sebenarnya tingkat kepercayaan 95 persen telah mencukupi, namun tentu akan lebih baik jika memakai tingkat kepercayaan 99 persen yang toleransi kesalahan sangat kecil hanya 1 persen+. Hasil pengujian chi square ini menunjukkan bentuk organisasi BRI yang baru, dimana unit menjadi unit bisnis yang terpisah dari cabang (micro banking), memiliki perbedaan yang signifikan secara nyata dengan bentuk organisasi BRI lama (pada saat cabang masih membawahi unit). Hal ini dibuktikan dengan nilai uji chi square yang berada pada batas atas standar nilai chi square. Dari hasil pengujiandengan ranking likert (skala 1 sampai 5), bentuk organisasi baru diberi penilaian lebih baik dibanding bentuk organisasi lama. Artinya hampir pada keseluruhan aspek, transformasi yang dilakukan ditanggapi positif oleh para responden. Aspek yang dimaksud antara lain ; penanganan usulan promosi pegawai BRI unit, intensitas pertemuan, perhatian dalam hal mobilisasi dana, dan lain-lain. Sedangkan aspek yang tidak berbeda signifikan adalah ; penanganan masalah logistik, masalah kualitas Sumber Daya Manusia, dan kebijakan kantor pusat dalam pengembangan bisnis. Aspek yang tidak berbeda signifikan ini mengindikasikan masih perlunya berbagai pembenahan dalam proses transformasi yang dilakukan. Ditinjau darisegi kinerja keuangan, secara umum transformasi yang dilakukan memberikan dampak positif. Hal ini ditunjukkan dengan trend perubahan laba dan jumlah simpanan yang kenaikannya lebih besar pada saat setelah transformasi yang dilakukan. Sedangkan jumlah tunggakan, walaupun kecendrungan (trend) yang ditunjukkan tidak sebagus kecendrungan perubahan laba dan simpanan, namun pada Kanwil-kanwil yang melakukan transformasi, jumlah tunggakan yang ada memperlihatkan kecenderungan ke arah yang positif, artinya ada kecendrungan perubahan yang terjadi adalah semakin kecil. Hasil pengolahan data juga mengindikasikan bahwa terjadi penolakan terhadap perubahan (resistance to change) pada cabang terhadap transformasi yang dilakukan. Pada kantor cabang, dari jawaban responden, lebih memperhambat dalam hal ambil setor kas oleh TKK dan kondisi persaingan yang semakin terasa. Hal ini terjadi karena cabang belum siap untuk kehilangan unit sebagai sumber pendanaan mereka dan juga karena individu yang ada di cabang serta cabang sebagai suatu organisasi, memiliki kepentingan (interest) dalam hubungan antara unit-cabang selama ini. Sehingga transformasi yang dilakukan dianggap merugikan.Penolakan (resistance) ini dapat bersumber dari individu-individu yang ada dalam organisasi (penolakan individual atau individual resistance) maupun organisasi secara keseluruhan (penolakan organisasi atau organizational resistance). Individual resistance timbul akibat ; kebiasaan (habit), faktor kinerja (performance factors), ketakutan akan sesuatu yang belum diketahui (fear of the unkwon), kurangnya pengetahuan (lack of knowledge). Sedangkan sumber dari penolakan organisasi adalah ; kelambanan struktur organisasi (stuctural inertia), adanya perasaan terancam terhadap kewenangan yang ada, dan ancaman terhadap alokasi sumber daya yang dimiliki. Penolakan terhadap perubahan ini berlanjut terhadap konflik organisasi, seperti terjadi parochialism (lebih mementingkan kelompok dibanding kesejahteraan bersama), kewenangan yang tumpang tindih (overlapping authority), dan kecemburuan terhadap alokasi sumber daya. Apabila penolakan terhadap transformasi yang dilakukan dan konflik yang timbul tidak diatasi, maka akan merugikan BRI secara keseluruhan. Berbagai upaya untuk mengantisipasi penolakan ini adalah dengan ; Kepemimpinan yang berkharisma leadership), Melakukan soisalisasi kepada seluruh individu yang ada dalam organisasi (tidak melupakan aspek komunikasi/communication) melibatkan karyawan untuk ikut berpartisipasi dalam transformasi yang sedang berjalan, melakukan penerapan prinsip perubahan yang diarahkan (directive change) dengan dibentuknya perwakilan perusahaan (corporate Representative), pemetaan (mapping) yang jelas terhadap wilayah pemasaran cabang dan unit, dan dapat menjadikan konfiik yang terjadi sebagai kekuatan untuk memecahkan masalah yang dihadapi (management conflict). Agar proses transformasi yang dilakukan berjalan dengan muius dan berhasil mencapai apa yang diinginkan, maka perbaikan terhadap mental dasar para karyawan (basic mentality), perubahan terhadap budaya korporat (corporate culture) yang lebih kondusif, dan pemantapan sistim manajemen (management system), adalah beberapa hal yang perlu dilaksanakan. Selain itu juga dibutuhkannya kepemimpinan yang berkharisma, yaitu kepemimpinan (atau pemimpin) yang mampu mengendalikan dan mengantisipasi kompetensi yang terjadi dalam organisasi (internal competencies) dan memeiihara budaya korporat yang kondusif, serta mampu memotivasi seluruh jajaran karyawan dalam unit usaha. Transformasi yang dilakukan akan optimal dan memberikan hasil terbaik bagi BRI, apabila diberikan perhatian yang lebih baik atas kualitas sumber daya manusia, dan sosialisasi atas pengembangan bisnis yang dilakukan. Unsur manusia menjadi sangat vital dalam proses transformasi BRI dan dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, seperti AFTA 2003 dan APEC 2010. Di era globalisasi, keharusan suatu unit usaha untuk memiliki SDM yang unggul dan berkualitas prima tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perkembangan bisnis mikro yang telah lama digeluti BRI (sejak Kupedes diperkenalkan tahun 1983) saat ini mulai dimasuki oleh bank-bank lain, terutama bank swasta nasional (Warta BRI, 1999). Dengan demikian, kondisi intemal BRI, seperti hubungan antar SDM, kualitas produk dan peiayanan, waktu dan efisiensi unit usaha, menjadi acuan yang sangat penting dalam menyusun strategi manajemen dan bisnis yang adaptif dalam setiap perubahan kondisi lingkungan

    Decision making under catastrophic risk and learning: The case of the possible collapse of the West Antarctic Ice Sheet

    Get PDF
    A collapse of the West-Antarctic Ice Sheet (WAIS) would cause a sea level rise of 5-6 m, perhaps even within 100 years, with catastrophic consequences. The probability of such a collapse is small but increasing with the rise of the atmospheric concentrations of greenhouse gas and the resulting climate change. This paper investigates how the potential collapse of the WAIS affects the optimal rate of greenhouse gas emission control. We design a decision and learning tree in which decision are made about emission reduction at regular intervals: the decision makers (who act as social planners) have to decide whether to implement the environmental or not (keeping then the flexibility to act later). By investing in the environmental policy, they determine optimally the date of the optimal emission reduction. At the same time, they receive new information on the probability of a WAIS collapse and the severity of its impacts. The probability of a WAIS collapse is endogenous and contingent on greenhouse gas concentrations. We solve this optimisation problem by backward induction. We find that a potential WAIS collapse substantially bring the date of the optimal emission reduction forward and increases its amount if the probability is high enough (a probability of 1% per year for the worst case), if the impacts are high enough (a worst case damage of 10% of GDP for a 3°C warming) or if the decision maker is risk averse enough (for example a social damage due to pollution equal to 1% GDP for an atmospheric temperature of 3°C). We also find that, as soon as a WAIS collapse is a foregone fact, emission reduction falls to free up resource to prepare for adapting to the inevitable. By contrast, adaptation (such as building dikes along the coast) postpones policy intervention because that strategy reduces the risk of catastrophic damages. © 2008 The Author(s)

    The Social Costs of Climate Change: The IPCC Second Assessment Report and Beyond

    Get PDF

    Greenhouse statistics

    Get PDF

    Water scarcity and the impact of improved irrigation management

    Get PDF
    • …
    corecore