Detection of Synergistic Hemolysis Between Vibrio Cholerae Non-o1 and Staphylococcal Beta-lysin with Modified Camp Test

Suatu hemolisis sinergistik pada lempeng agar darah domba diperlihatkan oleh Vibrio cholerae non-O1 dengan beta-lisin dari stafilokok. Sebanyak 167 galur (strains) non-Ol yang diuji dengan metode modifikasi CAMP menunjukkan suatu gambaran hemolisis berupa bulan sabit yang tipis; sedangkan V. cholerae biotipe El Tor dan biotipe klasik yang digunakan sebagai galur kontrol memperlihatkan reaksi CAMP berupa gambaran seperti sosis untuk biotipe El Tor dan negatif untuk biotipe klasik

Shigella spp. surveillance in Indonesia: the emergence or reemergence of S. dysenteriae.

From June 1998 through November 1999, Shigella spp. were isolated in 5% of samples from 3,848 children and adults with severe diarrheal illness in hospitals throughout Indonesia. S. dysenteriae has reemerged in Bali, Kalimantan, and Batam and was detected in Jakarta after a hiatus of 15 years

Uji Alat Tail-Flick Modifikasi Untuk Menentukan Aktivitas Analgesik Ekstrak Air Rimpang Kaempferia pandurata Roxb. Pada Mencit Betina

Telah dilakukan penelitian mengenai uji kemampuan alat Tail-Flick (penjentikkan ekor) yang telah dimodifikasi dalam menguji khasiat analgesik ekstrak air rimpang Kaempferia pandurata Roxb. (Temu kunci) pada mencit (Mus musculus) betina dengan metode termal. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa alat Tail-Flick (modifikasi) yang dibuat dapat menguji khasiat analgesik ekstrak air rimpang Kaempferia pandurata Roxb. (Temu kunci) yang diberikan secara oral pada mencit betina. Hal ini didasarkan pada kemampuan alat dalam menghasilkan panas yang dirasakan oleh mencit betina, parameter yang diamati yaitu waktu yang diperlukan mencit betina untuk menjentikkan ekornya. Hasil yang diperoleh bermakna secara statistik antara kelompok kontrol dengan kelompok pembanding dan kelompok uji. Sebagai pembanding diberikan Petidin HCI dan sebagai kontrol diberikan aquadem

DETECTION OF SYNERGISTIC HEMOLYSIS BETWEEN VIBRIO CHOLERAE NON-O1 AND STAPHYLOCOCCAL BETA-LYSIN WITH MODIFIED CAMP TEST

<p class="Style6">Suatu hemolisis sinergistik pada lempeng agar darah domba diperlihatkan oleh Vibrio cholerae non-O1 dengan beta-lisin dari stafilokok. Sebanyak 167 galur (strains) non-Ol yang diuji dengan metode modifikasi CAMP menunjukkan suatu gambaran hemolisis berupa bulan sabit yang tipis; sedangkan V. cholerae biotipe El Tor dan biotipe klasik yang digunakan sebagai galur kontrol memperlihatkan reaksi CAMP berupa gambaran seperti sosis untuk biotipe El Tor dan negatif untuk biotipe klasik.</p

Isolation of Salmonella enterica subspecies enterica serovar Paratyphi B dT+, or Salmonella Java, from Indonesia and alteration of the d-tartrate fermentation phenotype by disrupting the ORF STM 3356.

Salmonella enterica subspecies enterica serovar Paratyphi B [O1,4,(5),12 : Hb : 1,2] can cause either an enteric fever (paratyphoid fever) or self-limiting gastroenteritis in humans. The d-tartrate non-fermenting variant S. enterica subsp. enterica serovar Paratyphi B dT- (S. Paratyphi B) is the causative agent of paratyphoid fever, and the d-tartrate fermenting variant S. enterica subsp. enterica serovar Paratyphi B dT+ (S. Paratyphi B dT+; formerly called Salmonella Java) causes gastroenteritis. S. Java is currently recognized as an emerging problem worldwide. Twelve dT+ S. Java isolates were collected in Indonesia between 2000 and 2002. One-third of them contained Salmonella genomic island 1 (SGI1), which gives the multidrug-resistant phenotype to the bacteria. In this study, a PCR-based method to detect a single nucleotide difference responsible for the inability to ferment d-tartrate, reported elsewhere, was validated. The d-tartrate fermenting phenotype of S. Java was converted to the non-fermenting phenotype by the disruption of the ORF STM 3356, and the d-tartrate non-fermenting phenotype of the ORF STM 3356-disrupted strain and the dT- reference strain was changed to the dT+ phenotype by complementing ORF STM 3356 in trans. The results show that the dT+ phenotype requires a functional product encoded by STM 3356, and support the use of the PCR-based discrimination method for S. Paratyphi B and S. Java as the standard differentiation method

In Vitro Antibiotic Susceptibility of Neisseria gonorrhoeae in Jakarta, Indonesia

Antibiotic susceptibilities were determined for 122 Neisseria gonorrheae isolates obtained from 400 sex workers in Jakarta, Indonesia, and susceptibilities to ciprofloxacin, cefuroxime, cefoxitin, cefotaxime, ceftriaxone, chloramphenicol, and spectinomycin were found. All isolates were resistant to tetracycline. A number of the isolates demonstrated decreased susceptibilities to erythromycin (MIC ≥ 1.0 μg/ml), thiamphenicol (MIC ≥ 1.0 μg/ml), kanamycin (MIC ≥ 16.0 μg/ml), penicillin (MIC ≥ 2.0 μg/ml), gentamicin (MIC ≥ 16.0 μg/ml), and norfloxacin (MIC = 0.5 μg/ml). These data showed that certain antibiotics previously used in the treatment of gonorrhea are no longer effective