17 research outputs found

    BAHASA SEBAGAI REPRESENTASI KEKUASAN KOLONIAL TERHADAP MASYARAKAT PRIBUMI (Studi pada Novel Jawa Prakemerdekaan Terbitan Balai Pustaka)

    Get PDF
    There is a relation of Orient, marginal, inferior, object and the Occident, central, superior, subject in the contact between the Dutch colonial and the indigeneous. The relation is seen as political policy representation of Dutch government in order to maintain the power as the colonialist to the colonialized. One of the power relation practices is in the Javanese novel published by Balai Pustaka. Through the works in Javanese language, the colonial government uses the language as the tool to picture the indigenous as the backward or conservative, rude, fraudulent, lazy, unobjective, stupid, gambler, drunker, disharmony or tend to be at odds people, and so on. Those are not the natural characters of the Javanese. Those characters are labelized and arranged by the Dutch colonial to the indigenous. The negative characters are represented in the relation of the Dutch clononial to the indigenous as they do the power domination practice so that the colonialized people seen it as the example of the advance and modern Western life. As the result, through the use of language and literature, the indigenous is formed to have role as the object and the disciple—even as slave—who need to learn or urge for guidance from the West who has positioned theirselves as the teacher or subject. In that way, the study of the literature from the Dutch colonial government era is never complete without relating it to the function of language and literature as a media to maintaining the political power of the Ducth colonial. Reading Balai Pustaka Javanese novel of pre-independence era, such as Sukaca (1923), Suwarso-Warsiyah (1926), Wisaning Agesang (1928), and Pameleh (1938), Katresnan (1920), Pepisahanan Pitu Likur Taun (1929), Mungsuh Munggwing Cangklakan (1929), and Gambar Mbabar Wewados (1932) would never reach to the comprehensive level of understanding without relating it to the function of the language and literature as the media to practice the power relation. Dalam relasi masyarakat pribumi-kolonial Belanda adalah hubungan antara the Orient, marginal, inferior, dan objek dengan the Occident, central, superior, dan subjek. Relasi itu sebagai representasi kebijakan politik pemerintah kolonial dalam melanggengkan kekuasaan sebagai penjajah atas masyarakat terjajah, yang salah satunya melalui pemanfaatan novel Jawa terbitan Balai Pustaka. Melalui karya bermedia bahasa Jawa itu, pemerintah kolonial memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk mendeskripsikan masyarakat pribumi sebagai masyarakat yang terbelakang atau kolot, kasar, curang, pemalas, tidak objektif, bodoh, penjudi, peminum, disharmoni atau cenderung berselisih, dan sebagainya. Karakter masyarakat seperti itu sebagai bentuk pelabelan yang direncanakan oleh kolonial Belanda terhadap pribumi dan bukan sebagai karakter alamiah masyarakat Jawa. Dalam relasi kolonial Belanda dan pribumi, pengambaran karakter secara negatif itu sebagai sebuah dominasi agar masyarakat terjajah mencontoh atau meladani serta meniru cara hidup Barat yang harus dipandangnya sebagai karakter modern atau maju. Akibatnya, melalui pemanfaatan bahasa dan sastra masyarakat pribumi dibentuk untuk berperan sebagai objek sekaligus muridi—bahkan budak--yang harus belajar atau memerlukan bimbingan dari Barat yang memposisikan diri sebagai guru atau subjek. Maka dari itu, pemahaman karya sastra pada masa pemerintah kolonial Belanda tida

    BAHASA, ETIKA, DAN PEMARTABATAN BANGSA

    Get PDF
    Abstrak: Bahasa diyakini sebagai media atau alat komunikasi sekaligus alat atau sarana berpikir dan perekat komunikasi antar suku dan atau antar negara. Selain itu bahasa juga merupakan identitas masyarakat/bangsa dan wadah kebudayaan sekaligus sebagai media pewarisan kebudayaan. Pada saat yang sama, bahasa merupakan produk budaya. Sejak lama bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa berkebudayaan tinggi. Karya sastra seperti La Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, HangTuah, Sejarah Melayu, dan Serat Centhini membuktikan kemajuan pengetahuan dan kecerdasan bangsa Indonesia dan mewadahi peradaban sekaligus pemakaian bahasa yang lahir dari budaya tinggi. Bahasa selalu terkait dan harus dikaitkan dengan dinamika perubahan masyarakat dan bangsa. Representasi bahasa juga mengacu terhadap tinggi dan rendahnya budaya sebuah bangsa. Jadi, dari segi bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa suatu masyarakat dan bangsa menandai tinggi-rendahnya peradaban masyarakat dan bangsa. Dapat ditarik dalam lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya bahasa seseorang menjadi bukti tinggi-rendahnya karakter seseorang tersebut. Terdapat gejala dinamika bahasa Indonesia yang semula berkembang dari bahasa berbudaya tinggi (salah satunya berbahasa santun) menuju bahasa berbudaya rendah (berbahasa kasar) yang terjadi di semua ranah kehidupan (politik, kuliner, kosmetika, busana, dll.). Kondisi seperti itu ditandai dengan pemakaian bahasa yang kasar dan kurang berbudaya. Tindak berbahasa harus dipandang sebagai ibadah. Bahasa cerminan seseorang dan masyarakat berbudaya sebagai manipestasi ibadah kepada Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya dapat dilakukan oleh sosok yang mampu berpikir positif (berprasangka baik atau khusnudzan), sebaliknya berbahasa kasar dan rendah itu gambaran pikiran negatif (prasangka burukatau suudzan). Secara otomatis berpikir positif akan menuntun pikiran penutur atau penulis terhadap pemakaian bahasa yang cerdas, santun, berbudaya, dan intelek. Sebaiknya, berpikir negatif akan menyeret seseorang untuk bertutur yang mencerminkan sikap curiga, kasar, bicara menyakitkan, dan tidak berbudaya, sekaligus berbahasa yang jauh dari nilai intelektual. Dalam konteks masyarakat yang religius, meyakini hidup di dunia adalah ladang menuju kehidupan akhirat yang hakiki, terdapat orientasi semua orang untuk mendapatkan posisi mulia di hadapan Tuhannya. Memuliakan manusia atau orang lain diwujudkan dalam performansi bahasa atau parole. Kesadaran religius itu diharapkan menjadi penggerak hati dan tindakan untuk berbahasa secara memadai. Kata kunci: bahasa, kesadaran religius, tingkat buday

    Gusti ora sare 90 Mutiara Nilai Keraifan Budaya Jawa

    No full text
    Buku ini memuat khasanah kearifan nilai-nilai budaya Jawa. Disajikan pula sembilan puluh peribahasa atau ungkapan yang menjadi pemikiran para leluhur masayarakat Jawa. Kesemuanya di ulas dengan ringan namun jelas, dan disertai contoh-contoh yang kontekstual dan memadai. Dengan membaca buku ini diharapkan dapat membantu masyarakat menyerap lebih banyak lagi konsep-konsep pemikiran para leluhur masyarakat Jawa

    Masyarakat Jawa dan Budaya Barat : Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial

    No full text
    Kolonialisme tidak jarang menampakkan diri sebagai kekuatan yang mengubah mainstream kebudayaan. Penaklukan wilayah Nusantara oleh Belanda, misalnya, bukan saja menggoncangkan masyarakat Indonesia, tetapi juga mengikis sendi-sendi budayanya. Gejala kultural seperti ini tampak menonjol sejak awal abad ke-20, khususnya setelah diberlakukannya Politik Etis (etische politiek) oleh Belanda. Melalui strategi kebudayaan yang bersifat asosiatif, Belanda berusaha menghilangkan jurang pemisah antara bangsa penjajah dan bangsa yang dijajah dengan cara melenyapkan kebudayaan bangsa yang terjajah dan menggantinya dengan kebudayaan bangsa penjajah. Naskah-naskah sastra masa kolonial, khususnya naskah sastra Jawa, memotret dengan sangat jelas pergulatan kultural tersebut. Sebagaimana dijelaskan di dalam buku ini, karya-karya novel Jawa era 1920-an terbitan Balai Pustaka � sepertiKatresnan, Saking Papa Dumugi Mulya, Gawaning Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados � secara kuat merefleksikan sikap kultural masyarakat Jawa atas benturan budaya yang terjadi pada waktu itu: bahwa terhadap budaya kolonial, sebagian masyarakat Jawa lebih banyak bersikap meniru (mimikri). Terlebih dengan dilandasi oleh sikap permisif, proses akulturasi itu tidak berjalan di atas strategi sinkretisme yang merupakan benteng kultural masyarakat Jawa, melainkan justru cenderung menguatkan dominasi budaya Barat. Proses yang sering dikenal sebagai westernisasi ini begitu mudahnya menyelimuti kehidupan masyarakat Jawa, sementara di sisi lain, budaya Jawa mulai kehilangan eksistensinya sebagai perekat sistem sosial dan pralambang status sosial. Sebagai kajian sastra, bahasan buku ini memberikan temuan-temuan penelitian yang amat bernilai bagi telaah lanjutan perihal reaksi kultural masyarakat pribumi (Jawa) atas benturan budaya di masa kolonial. Telaah seperti ini, di samping memperkaya khasanah kesastraan dan kajian keilmuan, juga memberikan manfaat strategis bagi penyusunan strategi kebudayaan yang mampu meneguhkan ketahanan budaya bangsa Indonesia di masa kini dan masa mendatang.**

    Masyarakat jawa & budaya barat: Kajian sastra Jawa masa kolonial

    No full text
    Kolonialisme tidak jarang menampakkan diri sebagai kekuatan yang mengubah mainstream kebudayaan. Penaklukan wilayah Nusantara oleh Belanda, misalnya, bukan saja menggoncangkan masyarakat Indonesia, tetapi juga mengikis sendi-sendi budayanya. Gejala kultural seperti ini tampak menonjol sejak awal abad ke-20, khususnya setelah diberlakukannya Politik Etis (etische politiek) oleh Belanda. Melalui strategi kebudayaan yang bersifat asosiatif, Belanda berusaha menghilangkan jurang pemisah antara bangsa penjajah dan bangsa yang dijajah dengan cara melenyapkan kebudayaan bangsa yang terjajah dan menggantinya dengan kebudayaan bangsa penjajah. Naskah-naskah sastra masa kolonial, khususnya naskah sastra Jawa, memotret dengan sangat jelas pergulatan kultural tersebut. Sebagaimana dijelaskan di dalam buku ini, karya-karya novel Jawa era 1920-an terbitan Balai Pustaka - sepertiKatresnan, Saking Papa Dumugi Mulya, Gawaning Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados - secara kuat merefleksikan sikap kultural masyarakat Jawa atas benturan budaya yang terjadi pada waktu itu: bahwa terhadap budaya kolonial, sebagian masyarakat Jawa lebih banyak bersikap meniru (mimikri). Terlebih dengan dilandasi oleh sikap permisif, proses akulturasi itu tidak berjalan di atas strategi sinkretisme yang merupakan benteng kultural masyarakat Jawa, melainkan justru cenderung menguatkan dominasi budaya Barat. Proses yang sering dikenal sebagai westernisasi ini begitu mudahnya menyelimuti kehidupan masyarakat Jawa, sementara di sisi lain, budaya Jawa mulai kehilangan eksistensinya sebagai perekat sistem sosial dan pralambang status sosial. Sebagai kajian sastra, bahasan buku ini memberikan temuan-temuan penelitian yang amat bernilai bagi telaah lanjutan perihal reaksi kultural masyarakat pribumi (Jawa) atas benturan budaya di masa kolonial. Telaah seperti ini, di samping memperkaya khasanah kesastraan dan kajian keilmuan, juga memberikan manfaat strategis bagi penyusunan strategi kebudayaan yang mampu meneguhkan ketahanan budaya bangsa Indonesia di masa kini dan masa mendatang

    Masyarakat jawa & budaya barat: Kajian sastra Jawa masa kolonial

    No full text
    Kolonialisme tidak jarang menampakkan diri sebagai kekuatan yang mengubah mainstream kebudayaan. Penaklukan wilayah Nusantara oleh Belanda, misalnya, bukan saja menggoncangkan masyarakat Indonesia, tetapi juga mengikis sendi-sendi budayanya. Gejala kultural seperti ini tampak menonjol sejak awal abad ke-20, khususnya setelah diberlakukannya Politik Etis (etische politiek) oleh Belanda. Melalui strategi kebudayaan yang bersifat asosiatif, Belanda berusaha menghilangkan jurang pemisah antara bangsa penjajah dan bangsa yang dijajah dengan cara melenyapkan kebudayaan bangsa yang terjajah dan menggantinya dengan kebudayaan bangsa penjajah. Naskah-naskah sastra masa kolonial, khususnya naskah sastra Jawa, memotret dengan sangat jelas pergulatan kultural tersebut. Sebagaimana dijelaskan di dalam buku ini, karya-karya novel Jawa era 1920-an terbitan Balai Pustaka - sepertiKatresnan, Saking Papa Dumugi Mulya, Gawaning Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados - secara kuat merefleksikan sikap kultural masyarakat Jawa atas benturan budaya yang terjadi pada waktu itu: bahwa terhadap budaya kolonial, sebagian masyarakat Jawa lebih banyak bersikap meniru (mimikri). Terlebih dengan dilandasi oleh sikap permisif, proses akulturasi itu tidak berjalan di atas strategi sinkretisme yang merupakan benteng kultural masyarakat Jawa, melainkan justru cenderung menguatkan dominasi budaya Barat. Proses yang sering dikenal sebagai westernisasi ini begitu mudahnya menyelimuti kehidupan masyarakat Jawa, sementara di sisi lain, budaya Jawa mulai kehilangan eksistensinya sebagai perekat sistem sosial dan pralambang status sosial. Sebagai kajian sastra, bahasan buku ini memberikan temuan-temuan penelitian yang amat bernilai bagi telaah lanjutan perihal reaksi kultural masyarakat pribumi (Jawa) atas benturan budaya di masa kolonial. Telaah seperti ini, di samping memperkaya khasanah kesastraan dan kajian keilmuan, juga memberikan manfaat strategis bagi penyusunan strategi kebudayaan yang mampu meneguhkan ketahanan budaya bangsa Indonesia di masa kini dan masa mendatang

    MASYAAKAT JAWA & BUDAYA BARAT KAJIAN SASTRA JAWA MASA KOLONIAL

    No full text
    21 cm ; 234 ha

    Sang Pemimpin

    No full text
    19cm;xviii;242ha
    corecore