165 research outputs found

    PEMBATALAN NIKAH MENURUT HUKUM KANONIK DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SISTEM PERUNDANG – UNDANGAN DI INDONESIA

    Get PDF
    Persoalan pembatalan perkawinan merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin pesatnya pertumbuhan masyarakat menuju globalisasi saat ini membuat sehingga terjadi berbagai pergeseran nilai dan norma masyarakat. Di Indonesia pada khususnya, masyarakat sedang dalam masa transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Ada akibat positif dari perubahan ini, namun ada juga akibat negatif dari perubahan akibat masa transisi ini.[1] Sebagai akibat negatif, masyarakat mengalami degradasi nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan, temasuk nilai-nilai kehidupan perkawinan. Pembatalan perkawinan pun acap kali menjadi masalah yang muncul. Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan. Yang hanya dikenal adalah karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan yang berhubungan darah, berhubungan semenda, hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klan atau keturunan).[2]Dalam hukum Islam tidak ada lembaga pembatalan perkawinan sehingga jika suami isteri sudah merasa tidak ada kecocokan maka berhak mengajukan talak sehingga dapat diproses melalui sidang perceraian tanpa memalui pembatalan perkawinan. Untuk agama Budha sanagt diharapkan tidak terjadi pembatalan perkawinan tetapi seandainya terjadi harus memlalui Pandita Agama Buhda Indonesia.Untuk agama Hindu tidak mengakui adanya pembatalan perkawinan karena mengingat kepercayaan mereka mengenai kehidupan yang selanjutnya. Sedangkan untuk agama Katolik makna pembatalan nikah yaitu dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi.  Jadi dapat dikatakan pembatalan suatu pernikahan yang diakibatkan karena adanya alasan-alasan yang menyatakan pernikahan tersebut tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik, maka dapat diproses untuk pembatalan perkawinan melalui lembaga hukum Gereja Katolik. [1] Masyarakat transisi menurut istilah J. Useem dan R. H. Useem dinamakan “modernizing society.†Masyarakat seperti ini berbeda dengan “tradition orientedsociety†dan “modern society.†Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 102. [2]Ibid., hlm. 78

    Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasional Dan Organizational Citizenship Behavior Yang Dimediasi Oleh Kepuasan Kerja

    Get PDF
    Recently the growing of the hospital as the healthy services organization is increasing rapidly. This raises an intense competition between hospitals. Hospital not only compete each other but also with a practical tocologist, practical doctors and other healty services. The result of the research show that leadership transformation is significantly effect te job satisfaction. Leadership transformation is significantly effect the OCB. Job satisfaction issignificantly effect the organization commitment. Organization commitment is significantly effect the OC

    Pembatalan Nikah Menurut Hukum Kanonik Dalam Hubungannya Dengan Sistem Perundang – Undangan Di Indonesia

    Full text link
    Persoalan pembatalan perkawinan merupakan sebuah masalah yang dihadapi oleh kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin pesatnya pertumbuhan masyarakat menuju globalisasi saat ini membuat sehingga terjadi berbagai pergeseran nilai dan norma masyarakat. Di Indonesia pada khususnya, masyarakat sedang dalam masa transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Ada akibat positif dari Perubahan ini, namun ada juga akibat negatif dari Perubahan akibat masa transisi ini.[1] Sebagai akibat negatif, masyarakat mengalami degradasi nilai-nilai prinsipil dalam kehidupan, temasuk nilai-nilai kehidupan perkawinan. Pembatalan perkawinan pun acap kali menjadi masalah yang muncul. Pada umumnya masyarakat hukum adat di Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya hukum adat itu tidak berpegang pada persyaratan perkawinan yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai, batas umur, larangan poligami, cerai kawin berulang, dan juga waktu tunggu untuk melangsungkan perkawinan. Yang hanya dikenal adalah karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan yang berhubungan darah, berhubungan semenda, hubungan susuan dan hubungan kekerabatan (klan atau keturunan).[2]Dalam hukum Islam tidak ada lembaga pembatalan perkawinan sehingga jika suami isteri sudah merasa tidak ada kecocokan maka berhak mengajukan talak sehingga dapat diproses melalui sidang perceraian tanpa memalui pembatalan perkawinan. Untuk agama Budha sanagt diharapkan tidak terjadi pembatalan perkawinan tetapi seandainya terjadi harus memlalui Pandita Agama Buhda Indonesia.Untuk agama Hindu tidak mengakui adanya pembatalan perkawinan karena mengingat kepercayaan mereka mengenai kehidupan yang selanjutnya. Sedangkan untuk agama Katolik makna pembatalan nikah yaitu dibatalkan dan dianggap tidak pernah terjadi. Jadi dapat dikatakan pembatalan suatu pernikahan yang diakibatkan karena adanya alasan-alasan yang menyatakan pernikahan tersebut tidak sah menurut Hukum Gereja Katolik, maka dapat diproses untuk pembatalan perkawinan melalui lembaga hukum Gereja Katolik. [1] Masyarakat transisi menurut istilah J. Useem dan R. H. Useem dinamakan “modernizing society.” Masyarakat seperti ini berbeda dengan “tradition orientedsociety” dan “modern society.” Bandingkan Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 102. [2]Ibid., hlm. 78

    An exploratory study to improve the predictive capacity of the crop growth monitoring system as applied by the European Commission

    Get PDF
    The European Union (EU), through its Common Agricultural Policy (CAP), attempts to regulate the common agricultural market to, among others, secure food supplies and provide consumers with food at reasonable prices. Implementation and control of these CAP regulations is executed by the Directorate General for Agriculture (DG VI) of the EU. To manage this common market, to evaluate the consequences of these regulations and to estimate and control the subsidies to be paid, DG VI requires detailed information on planted area, crop yield and production volume.Information on land use, interannual land use changes and yields is routinely collected by the national statistical services, which convey this information to the statistical office of the European Commission, EUROSTAT. Collection and compilation of these agricultural statistics however, is time consuming and laborious; it often takes up to one or two years before this information is available in the EUROSTAT databases. At this late stage, these statistics are of limited use for evaluating policy or to estimate the amount of subsidies to be paid. Hence, more timely and accurate information is needed. To assist DG VI and EUROSTAT to collect this information, the MARS project was initiated, with the aim to develop methods to produce timely statistics on land use, planted area and production volumes for various crops within the EU.The MARS project applies remote sensing imagery and ground surveys to estimate the planted area. Since no proven methods to relate satellite imagery to quantitative crop yields were available at the beginning of the MARS project, a crop growth monitoring system (CGMS) based on the WOFOST crop growth simulation model was developed.In this thesis several variants of the current standard operational version of CGMS are explored. The standard CGMS version assumes that yield per unit area and planted area are independent of each other. In this thesis total production volume instead of yield per unit area is considered, hypothesizing that the annually planted area and the yield per unit area are mutually dependent and should therefore be analyzed simultaneously. It is assumed that weather and economic factors affect production volume variation. However, for two of the major wheat producing countries the analysis fails to demonstrate a relation between the soft wheat production volume and selling or intervention price. Furthermore, for soft wheat, for 5 out of the 10 investigated countries, and for durum wheat, for 3 out of the 4 investigated countries, the expenditure on crop protection agents is not significantly associated with the production volume. These results suggest that these parameters are not generally applicable and should therefore not be applied for production volume prediction. As an alternative to economic factors, the fertilizer application per unit area is examined. The analysis shows that this factor can account for the trend and production volume variation.Next, production volumes of soft and durum wheat are predicted and two types of prediction models were examined. The first type included the planted area in the prediction model, and production volume was predicted in one step. The second type predicted the production volume in two steps: first, yield per unit area was predicted and subsequently, this value was multiplied by an estimate for the planted area. Furthermore, two functions to describe the trend in yield and production volume series were tested: a linear function of time and a linear function of the fertilizer application. A hypothetical and an operational situation were studied. The hypothetical situation assumes that current year's information on planted area and fertilizer consumption is available, whereas the operational situation assumes that these two variables are not available and consequently have to be estimated.Comparison of the results from the one-step model with those from the two-step model demonstrates that in the operational situation in 14 out of 16 crop-country combinations the one-step model predicted more accurately when a linear time trend was applied. When fertilizer application was applied the one-step model in 10 out of 16 crop-country combinations provided more accurate results. Furthermore, when two-step prediction models were applied, crop simulation results were significant in approximately 30% of the cases (5% t-test). However, when models of the one-step type were used, this number increased to more than 80%.Although these results cannot be viewed as a proof that one-step models are really superior, they still give an indication and provide a direction for further research. It corroborates the assumption that variation in planted area and yield per unit area are not independent and therefore variation in production volume should be analyzed using models of the one-step type.Comparison among the one-step model results in the operational situation shows that in 50% of the investigated crop-country combinations the model that applied simulation results plus either a linear time trend or fertilizer application, predicted more accurately than the model that did not apply simulation results. In the hypothetical situation the two-step model that uses the fertilizer application provided the most accurate results. However, analysis also demonstrates that in the operational situation this model yielded the least accurate results. In this situation, the one-step models provided the most accurate results since they are less sensitive to errors in the planted area estimates.Although the prediction results obtained with simulation results are not always more accurate when compared to results derived from trend extrapolations or simple averages, the use of simulation results in combination with a trend function certainly holds a promise for further improvement.Next, a method to estimate daily global radiation was developed and tested. This method uses cloud cover and the temperature range as input. It provides less accurate results than the Ångström-Prescott equation, but the differences are small. This method may be used as an alternative for the Ångström-Prescott method when sunshine duration observations are not available. A hierarchical method is proposed to introduce global radiation in CGMS. If observed global radiation is available it will be used, if only sunshine duration is available the Ångström-Prescott method will be used, if neither radiation nor sunshine is available, the method developed here may be applied. This method was tested and the prediction results were slightly more accurate than the results obtained with the standard operational version of CGMS.Furthermore, an additive and a multiplicative model are compared. An additive model assumes that variation in production volume as a result of weather variation is similar under high production systems and low production systems. The multiplicative model assumes that variation in production volume over the years is proportional to the mean production level. Wheat production volumes for France were predicted at subregional, regional and national level. The predictions at subregional and regional level were aggregated to national values.The results suggest that more accurate predictions of total national production volume can be obtained when predictions executed at regional or subregional level are aggregated into a national value instead of estimating this value in one step. This may be the result of the applied aggregation procedure. Presumably, local weather effects are obscured in the aggregated values. Another explanation could be that errors in the production volumes of the individual regions or subregions compensate each other when summed to a total national value. These results also provide some evidence that aggregated predictions derived from the multiplicative model are more accurate than those derived from the additive model, suggesting that effects of weather on crop growth depend on the magnitude of the annual mean yield.Finally, data obtained from the field surveys executed in the framework of the MARS are analyzed with the aim to increase insight in sowing strategies of rainfed barley in semi-arid regions. The hypothesis is that in CGMS sowing date variation should be accounted for: CGMS assumes per crop and per region one sowing and one flowering date, hypothesizing that sowing and flowering date variation have limited effects on the regional production volume. The results, at least for barley grown under rainfed conditions, support this hypothesis: no association could be demonstrated between (i) sowing date variation and yield per unit area; (ii) sowing date variation and the precipitation amount; (iii) flowering date variation and yield per unit area. Farmers may base their sowing strategy on the fact that sowing at the presumed beginning of the rainy season will give higher yields than when sowing is delayed, provided rainfall during the growing season is sufficient. In dry years, when available water is the main yield-limiting factor, effects of sowing date variation on yield are not noticeable. The need to synchronize seasonal rainfall and phenology of the selected barley cultivars may also limit the possibilities to postpone sowing.EvaluationThe principal objective of this study was to explore possibilities to improve CGMS in such a way that it may be applied for quantitative yield prediction for all EU member states. Various options have been explored. Although some interesting results have been obtained, only two concrete suggestions for such an improvement can be given: (i) predictions should be executed at lower administrative level and subsequently aggregated to national values, (ii) planted area should be included in the analysis and prediction model. More research is needed to identify tangible points for improvements in CGMS.</p

    Manual for generation of daily weather data

    Get PDF

    PERENCANAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI DESA TONDEI II KECAMATAN MOTOLING BARAT KABUPATEN MINAHASA SELATAN

    Get PDF
    Desa Tondei II, terletak di Kecamatan Motoling Barat Kabupaten Minahasa Selatan. Penduduk Desa Tondei II pada tahun 2020 berjumlah 1121 jiwa. Desa Tondei II memliki potensi mata air, namun belum dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu perlu direncanakan suatu sistem penyediaan air bersih agar dapat memenuhi kebutuhan air penduduk. Sistem penyediaan air bersih di Desa Tondei II direncanakan untuk memenuhi kebutuhan hingga tahun 2030. Untuk memprediksi jumlah kebutuhan air bersih maka digunakan proyeksi jumlah penduduk dengan analisis regresi. Hasil survey dan analisis menunjukkan bahwa jumlah pertumbuhan penduduk Desa Tondei II hingga tahun rencana 2030 adalah 1252 jiwa, dengan jumlah kebutuhan air bersih sebesar 1,280 liter/detik. Sumber air yang digunakan berasal dari mata air dengan debit sebesar 2,1 liter/detik, lebih besar dari kebutuhan air total. Karena elevasi mata air lebih tinggi dari Lokasi Desa maka digunakan sistem pengaliran gravitasi. Dalam perencanaan ini untuk menangkap air dari mata air dibuat bronkaptering dan kemudian air dialirkan melalu pipa transmisi ke Bak Pelepas Tekan. Perpipaan dihitung dengan menggunakan persamaan Hazen-Williams dan menggunakan pipa HDPE. Untuk melayani kebutuhan air bersih penduduk Desa Tondei II sampai tahun 2030, dibutuhkan 13 Keran Umum. Kata Kunci: Desa Tondei II, Air Bersih, Sistem Penyediaan, Pengaliran Gravitasi

    ANALISIS KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI PINOBIAN DESA TUMANI KECAMATAN MAESAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN

    Get PDF
    Sungai Pinobian merupakan salah satu sungai di Kecamatan Maesaan yang pernah meluap dan membanjiri beberapa daerah yang dilewati oleh sungai Pinobian yang sebagian besar merupakan lahan perkebunan dan lahan persawahan. Oleh karena itu dibutuhkan data mengenai besar debit banjir dan tinggi muka air yang dapat terjadi. Analisis dimulai dengan mencari frekuensi hujan menggunakan metode Log Pearson III. Adapun data hujan yang digunakan berasal dari pos hujan Tompaso Baru. Data curah hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian maksimum dari tahun 2009 s/d 2018. Setelah didapat besar hujan, dilakukan simulasi hujan aliran dengan HSS SCS menggunakan program komputer HEC-HMS. Setelah itu debit puncak hasil simulasi dimasukkan dalam program komputer HEC-RAS untuk simulasi tinggi muka air pada penampang yang telah diukur. Hasil simulasi menunjukkan bahwa hampir semua penampang sungai Pinobian yang ditinjau, sudah tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi untuk kala ulang 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 50 tahun dan 100 tahun. Kecuali penampang sta 0 dan sta 20 yang tidak terjadi luapan di setiap kala ulang 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, 50 tahun dan 100 tahun.  Kata Kunci: Sungai Pinobian, Debit Banjir, Kapasitas Penampang Sungai, Tinggi Muka Air, HEC-HMS, HEC-RA

    PERENCANAAN SISTEM JARINGAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI KELURAHAN BANJER LING.V KECAMATAN TIKALA

    Get PDF
    Kelurahan Banjer Linkungan V belum memiliki sistem jaringan air limbah dan Sistem Pengolahan Air Limbah (SPAL). Air limbah domestik di Kelurahan ini langsung dibuang ke saluran drainase, sungai, bahkan mengalir di pekarangan dan jalan. Kondisi ini sangat merusak estetika, gangguan terhadap kehidupan biotik, dan media penyebaran penyakit yang berakibat pada menurunnya tingkat kesehatan penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dibuat perencanaan sistem pengolahan air limbah domestik agar dapat mengatasi permasalahan lingkungan.Perencanaan ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Dari peta topografi dan layout eksisting didapatkan arah-arah aliran sesuai dengan kontur. Selanjutnya, data jumlah rumah dan sektor lainnya digunakan untuk menghitung pemakaian air dan debit air limbah yang akan melewati setiap saluran untuk mendapatkan diameter saluran dan kemiringan. Perhitungan debit puncak dilakukan untuk menentukan dimensi bak pengolahan air limbah.Dari hasil perencanaan didapatkan metode yang dipakai dalam SPAL ini adalah sistem terpusat (Off Site System) yang dialirkan secara gravitasi. Sistem ini melayani 3974 orang atau 575  bangunan. Jenis saluran yang digunakan adalah saluran bulat lingkaran dengan berbagai variasi ukuran penampang yang mengalirkan air limbah sebesar 476,880 liter/hari. Proses pengolahan air limbah menggunakan proses Biofilter Anaerob-Aerob. Ukuran bak Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 18 m x 5,4 m. Kata kunci: Kelurahan Banjer Linkungan V, air limbah domestik, dan SPA
    corecore