13 research outputs found
Pengaruh Pengobatan Suportif Vitamin D Terhadap Konversi Sputum, Perubahan Kadar Tnf-Alfa Penderita Tuberkulosis Paru
Staf pengajar ilmu kesehatan masyarakat fakultas kedokteran Unibraw, Staf SMF ilmu Penyakit Paru Rumah Sakit Daerah dr. Saiful Anwar2. Mahasiswa program pendidikan dokter spesialis 1 Penyakit Paru Rumah Sakit Daerah dr. Saiful Anwar3. Tuberkulosis paru tetap menjadi problem kesehatan yang penting di Asia Tenggara terutama Indonesia. Kegagalan terapi tuberkulosis terutama karena gagal pengobatan dan terjadinya multiple drugs resistant.Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Vitamin D meningkatkan cathelicidin intraseluler yang berpotensi membunuh Mycobacterium tuberculosis. Panelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh Vitamin D sabagai terapi suportif pada tuberkulosis paru dengan parameter perbaikan konversi sputum, perbaikan gambaran radiologis dan kadar TNF-alfa diserum serta mengukur kadar 25-hidroksivitamin D. Penetitian ditakukan dengan desain Double-blind randomized control trial penderita tuberkulosis yang mendapatkan pengobatan tuberkulosis standar yang telah memenuhi kriteria inklusi dilakukan acak dan akan terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I tidak diberi vitamin D dan kelompok 2 diberi vitamin D(800iu/hari). Kedua kelompok dievaluasi menggunakan parameter konversi sputum, gambaran radiotogis setiap bulan selama dua bulan dan kadar TNF-alfa di serum. Dilakukan pengukuran kadar 25-hidroksivitamin D sebelum dan sesudah terapi tuberkulosis selama dua bulan. Pada bulan pertama kelompok dengan Vitamin D (67%) terjadi konversi sputum dibandingkan kelompok tanpa Vitamin D (34%; p=0,04). Terdapat perbaikan radiologis Iebih besar pada kelompok dengan Vitamin D (67%) dibandingkan dengan kelompok tanpa Vitamin (18%; p=0,002). Pada bulan kedua kelompok dengan Vitamin D terdapat jumlah konversi sputum yang lebih besar (95%)dibandingkan dengan kelompok tanpa Vitamin D(77%; p=0,18) tapi tidak bermakna. Perbaikan radiologis juga terjadi lebih banyak pada kelompok dengan Vitamin D (76%) dibandingkan dengan kelompok tanpa Vitamin D (45%; p=0,06) tapi juga tidak bermakna. Rerata kadar 25-hidroksivitamin D sebelum terapi terdistribusi rata antara kedua kelompok; p = 0,62, dan adanya peningkatan kadar 25-hidroksivitamin D pada kelompok dengan Vitamin D sebelum dan sesudah dua bulan setelah pengobatan berturut turut 19,52±8,99; 34,20±11,11;p value 0,00. Penelitian menunjukkan Vitamin D dapat meningkatkan kesembuhan penderita tuberkulosis yaitu dengan parameter percepatan konversi sputum dan perbaikan gambaran radioiog
Hubungn Kadar IFN-y dan IL-17 Dengan GambaranRadiologis Pasien Tuberkulosis Paru Sensitif Obat dan Tuberkulosis Paru Resisten Obat
Latar Belakang dan Tujuan: Insiden tuberkulosis di Indonesia adalah kedua terbesar di dunia. Masih belum jelas bagaimana peran sitokin dalam membentuk keparahan penyakit. Interferon-y (IFN-y) dan Interleukin-17 (IL-17) merupakan sitokin yang penting dalam respon imun terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis baik pada tuberkuosis paru sensitif obat maupun pada tuberkulosis paru resisten obat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan kadar kedua sitokin pada pasien Tb paru resisten obat dan sensitif obat, serta efeknya dalam membentuk derajat berat gambaran radiologis toraks. Metode: Studi deskriptif analitik. Limapuluh delapan subjek: 27 TB RO, 22 TB SO dan 9 kontrol sehat. Kadar INF-y dan IL-17 serum ditentukan dengan teknik ELISA. Foto toraks dilakukan pada pasien TB RO dan TB SO, derajat keparahan dinilai. Hasil: Kadar INF-y serum pasien TB RO dan TB SO: 439.87±552.029 pg/mL dan 336.688±511.951 pg/mL. Kadar IL-17 TB RO dan TB SO: 4.398±1.986 pg/mL dan 4.05±1.935 pg/mL. Kadar INF-y dan IL-17 pada Kontrol: 81,38±86,33 pg/mL dan 2,31±0,32 pg/mL. Kadar kedua sitokin ini tidak berbeda bermakna pada semua kelompok TB (p>0.05) namun berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kontrol. Kadar IFN-γ dan IL-17 tidak berbeda bermakna baik pada TB RO dan TB SO dalam hal keparahan gambaran foto toraks (p>0.05). Kesimpulan: Kadar IFN-γ dan IL-17 tidak berbeda bermakna pada kasus TB RO dan TB SO, namun berbeda bermakna dengan Kontrol sehat. Terdapat korelasi rendah tidak signifikan antara kadar IFN-γ dan IL-17 terhadap gambaran beratnya foto toraks baik pada TB RO maupun TB SO. Kadar kedua sitokon ini tidak dapat digunakan untuk membedakan keparahan foto toraks pada kasus TB RO dan TB SO
Kadar Prokalsitonin Dan Interleukin-6 Sebagai Biomarker Prognostik Pada Pasien Pneumonia Dengan Sepsis
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita pneumonia yang diteliti lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan wanita. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rivero-Calle et al. pada tahun 2016. Rivero-Calle et al. menunjukkan bahwa prevalensi pneumonia di Spanyol lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada wanita (51,7% dibandingkan 48,3%) (Rivero-Calle et al., 2016). Hal ini sedikit berbeda dengan prevalensi yang dilakukan oleh Riskesdas pada tahun 2007. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah laki-laki dan wanita dalam hal penderita pneumonia (Riskesdas, 2013)
Patients with secondary amenorrhea due to tuberculosis endometritis towards the induced anti-tuberculosis drug category 1
Tuberculosis (TB) is a disease which can affect various organs, including human's genital organs such as the endometrium. Tuberculosis endometritis can cause clinical symptoms of secondary amenorrhea and infertility. Infertility in genital TB caused by the involvement of the endometrium. The case presentation is 33-year-old woman from dr. Saiful Anwar Public Hospital to consult that she has not menstruated since 5 years ago (28 years old). The diagnosis was done by performing a clinical examination until the diagnosis of secondary amenorrhea due to tuberculosis endometritis is obtained. A treatment by using category I of anti-tuberculosis drugs was done for 6 months, afterward an Anatomical Pathology observation found no signs of the tuberculosis symptoms. Based on that, patient, who was diagnosed to have secondary amenorrhea due to tuberculosis endometritis, has no signs of tuberculosis process after being treated by using category I of anti-tuberculosis drugs for 6 months.Pan African Medical Journal 2016; 2
Perbandingan Lama Rawat Inap Pasien COVID-19 Derajat Berat dan Kritis dengan Komorbid Diabetes Melitus dan Hipertensi dan Komorbid Lain
Latar belakang: Coronavirus Disease-19 (Covid-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS CoV-2). Penyakit ini ditetapkan sebagai pandemi dunia pada tahun 2020. Per 2 Oktober 2021 terdapat 4.218.142 kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melaui udara maupun kontak mukosa tubuh. Dampak penyakit ini cukup beragam pada masing-masing individu. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama masa rawat inap pasien Covid-19 derajat berat dan kritis dengan komorbid diabetes melitus dan/atau hipertensid dan/atau komorbid lainnya di Ruang Perawatan Intensif Incovit RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan mengambil data sekunder dari rekam medis dan data keluar rumah sakit pasien yang dirawat di Ruang Perawatan Intensif Incovit. Data yang sudah dikumpulkan dilakukan uji normalitas menggunakan tes Saphiro-Wilk kemudian dilakukan uji Kruskal-Wallis dan uji Dunn sebagai uji lanjutan. Hasil: Penelitian ini didominasi oleh subyek dengan usia kurang dari 60 tahun, laku-laku, dan sebagian besar memiliki komorbid. Lama rawat inap yang memiliki nilai signifikansi p<0,05 adalah pasien dengan outcome meninggal. Lama rawat inap paling panjang didapatkan pada pasien tanpa komorbid dan pasien dengan komorbid diabetes melitus saja (Median: 7,5 hari). Sedangkan lama rawat inap paling pendek didapatkan pada pasien dengan komorbid selain diabetes melitus dan hipertensi (Median: 3,5 hari). Kesimpulan: Semakin banyak komorbid pasien, semakin berat pula keadaan pasien, sehingga lama rawat pada kelompok keluar rumah sakit akan semakin panjang, namun pada kelompok dengan outcome meninggal akan semakin pendek
Bedaquiline Effect on QT Interval of Drugs-Resistant Tuberculosis Patients: Real World Data
Background: Bedaquiline (BDQ) is effective as part of treatment regimen for drug-resistant tuberculosis (DR-TB), but the cardiac safety profile of BDQ is not fully elucidated. This study aimed to analyse the cardiac safety of BDQ by examining its effect on the QT interval of DR-TB patients. Methods: This is a retrospective study cohort conducted in two DR-TB referral hospitals in Indonesia. The QT interval before and after therapy using BDQ was measured manually and corrected using the Fridericia formula (QTcF). The QT interval profile was analysed over time during BDQ treatment. Results: A total of 105 subjects participated in the study. The maximum mean difference (standard deviation) of QTcF after treatment with the baseline (∆QTcF) is 34,06 (52,92) ms after three months of therapy. During BDQ treatment, clinically significant QTcF prolongations was observed in 37.1% subjects with neither arrhythmia nor any other adverse cardiac event occurred. The interval QT prolongation led to BDQ discontinuation in 15.2% subjects temporarily and in 6.7% subjects permanently. There were seven deaths (6.7%) during the treatment. Conclusion: During BDQ treatment, maximum QT prolongation was observed after three months of BDQ therapy. Therefore, more intensive cardiac monitoring is recommended during this period and afterwards
Pengaruh Obesitas terhadap Kadar Interleukin-6, Status Faal paru, dan Risiko Obstructive Sleep Apneu
Latar Belakang: Obesitas adalah kondisi peradangan kronis tingkat rendah yang terkait dengan berbagai kondisi medis, seperti peningkatan sitokin inflamasi. Interleukin-6 (IL-6) memainkan peran sentral dalam regulasi inflamasi, hematopoiesis, dan respon imun. IL-6 juga dikaitkan dengan tingkat fungsi paru yang lebih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh obesitas terhadap kadar IL-6, status faal paru, dan risiko OSA. Metode: analitik cross- sectional. Ada 127 peserta dengan 103 peserta obesitas dan 24 peserta non obesitas. Partisipan diwawancarai dengan kuesioner Epworth dan STOP-BANG, skor Epworth > 10 dan skor STOP-BANG 5 mengindikasikan OSA berisiko tinggi. Penilaian fungsi paru menggunakan spirometri, FVC <80% menunjukkan kelainan restriksi dan FEV1/FVC <70% menunjukkan gangguan obstruksi. Kadar serum IL-6 diukur menggunakan kit ELISA. Hasil: Sebanyak 59 partisipan obesitas (46,5%) mengalami gangguan restriksi. Terjadi peningkatan kadar IL-6 pada kelompok obesitas sebesar 221,30 (1.61 - 562.48) pg/dl (p=0,359). Subjek dengan obesitas tipe 3 (5%) memiliki risiko OSA lebih tinggi dengan skor STOP BANG 5 (P = 0,003). Terdapat perbedaan bermakna kadar IL-6 456.94 (3.62 – 542.38) pg/dl pada subjek dengan risiko OSA tinggi dibandingkan dengan risiko rendah dan sedang (P = 0,011). Kadar IL-6 tertinggi pada kelompok partisipan dengan gangguan paru obstruktif sebesar 540.65 (538.94 – 542.38) Kesimpulan: Obesitas menyebabkan peningkatan kadar IL-6, gangguan fungsi paru, dan peningkatan risiko OSA. Peningkatan kadar IL-6 berhubungan dengan gangguan fungsi paru dan peningkatan risiko OSA pada obesita
Pengaruh Pemberian N-Acetylcysteine Sebagai Terapi Adjuvan Terhadap Hipoksemia Pada Pasien Covid-19, Dinilai Dari Kadar Interleukin-6 Dan Rasio Pa02/Fio2
Latar Belakang: Interleukin 6 (IL-6) adalah sitokin yang memainkan peran penting dalam kerusakan paru-paru dan kematian. Rasio PaO2 / FIO2, juga dikenal sebagai indeks Horowitz, adalah ukuran hipoksemia pada kegagalan pernapasan. N-Acetylcysteine (NAC) berguna dalam tatalaksana pasien coronavirus disease 2019 (COVID-19) dengan mengurangi badai sitokin yang akan menyebabkan penurunan derajat keparahan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efek NAC sebagai terapi adjuvan pada tingkat IL-6 dan rasio PaO2 / FiO2 pada pasien COVID-19. Metode: Penelitian ini menggunakan quasi-experimental, non-equivalent control group designed study pasien COVID-19 terkonfirmasi derajat sedang hingga kritis di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Terdapat 75 subjek yang menerima NAC intravena 5000mg / 72 jam sebagai terapi adjuvan selama 7 hari dan 16 subjek dalam kelompok kontrol. Tingkat IL-6 dan rasio PaO2 / FiO2 diukur pada hari 1 dan hari 8 di kedua kelompok dari sampel darah. Wilcoxon, Mann-Whitney U Test dan korelasi Pearson dilakukan untuk analisis statistik. Hasil: Penurunan kadar IL-6 pada hari 1 hingga 8 pada kelompok NAC secara signifikan lebih rendah (94,49±253,51) dibandingkan dengan kelompok kontrol (p = 0,002). Peningkatan rasio PaO2 / FiO2 dari hari ke 1 hingga hari 8 pada kelompok NAC meningkat secara signifikan (126,94±76,05) sama dengan kelompok kontrol (p<0,001). Terdapat korelasi lemah antara tingkat IL-6 dan rasio PaO2 / FiO2 setelah pemberian NAC (p = 0,186)
Kesimpulan: Terdapat penurunan yang signifikan dari tingkat IL-6 setelah pemberian NAC, NAC memiliki efek yang tidak signifikan pada hipoksemia pada pasien COVID-19
Comparison of QTc interval changes in drug-resistant tuberculosis patients on delamanid-containing regimens versus shorter treatment regimens
BACKGROUND:Delamanid (DLM) is a relatively new drug for drug-resistant tuberculosis (DR-TB) that has been used in Indonesia since 2019 despite its limited safety data. DLM is known to inhibit hERG potassium channel with the potential to cause QT prolongation which eventually leads to Torsades de pointes (TdP). OBJECTIVE:This study aims to analyse the changes of QTc interval in DR-TB patients on DLM regimen compared to shorter treatment regimens (STR). METHODS:A retrospective cohort was implemented on secondary data obtained from two participating hospitals. The QTc interval and the changes in QTc interval from baseline (ΔQTc) were assessed every 4 weeks for 24 weeks. RESULTS:The maximum increased of QTc interval and ΔQTc interval were smaller in the DLM group with mean difference of 18,6 (95%CI 0.3 to 37.5) and 31.6 milliseconds (95%CI 14.1 to 49.1) respectively. The proportion of QTc interval prolongation in DLM group were smaller than STR group (RR=0.62; 95%CI 0.42 to 0.93). CONCLUSION:This study has shown that DLM regimens are less likely to increase QTc interval compared to STR. However, close monitoring of the risk of QT interval prolongation needs to be carried out upon the use of QT interval prolonging antituberculoid drugs
Hubungan Polimorfisme Gen IL-23 R rs 7518660 Dengan Kerentanan Dan derajat Keparahan Tuberkulosis Paru.
Pendahuluan: Tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan dunia. Dari yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (Mtb) hanya sebagian kecil yang berkembang menjadi TB paru. Faktor genetik mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap infeksi TB paru. IL 23 merupakan sitokin yang berperan dalam patogenesis infeksi TB. Tujuan dari penelitian ini menentukan hubungan polimorfisme gen IL-23 R rs 7518660 dengan kerentanan dan derajat keparahan TB paru. Metode: Studi pada penelitian ini menggunakan case control yang melibatkan 105 subyek, yang terdiri dari 31 subyek pasien TB paru Sensitif Obat,
40 pasien TB paru Resisten Obat dan 34 subyek sehat sebagai kontrol. Polimorfisme gen IL-23 R rs7518660 dideteksi menggunakan metode multiplex Polymerase Chain Reaction (PCR). Analisis data menggunakan Chi-square test dan Odds Ratio. Hasil: Berdasarkan hasil analisis data, menunjukkan bahwa polimorfisme gen IL-23 R rs 7518660 alel G meningkatkan kerentanan terhadap TB paru SO ataupun RO (OR = 0.127) beresiko 7,87 kali lebih tinggi menjadi TB paru daripada pasien dengan genotip AA. Alel A dan G, genotip AA dan AG menunjukkan (p value >0.05) pada uji hubungan terhadap derajat keparahan TB berdasarkan lesi pada foto toraks dan jumlah kuman Mtb yang terdeteksi pada sputum. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara polimorfisme gen IL-23 R rs 7518660 alel G dengan kerentanan TB paru, tetapi tidak didapatkan hubungan yang signifikan terhadap derajat keparahan