195 research outputs found
Lukisan I Dewa Putu Mokoh Yang Humorik
This writting focused on humoric themes this paintings
made by Dewa Putu Mokoh born in 1956 from Pengosekan, Mas,
Ubud, Gianyar village. His artwork attrack the art lovers attentions
because of his "New greathe" expressed with the development in
techical way and approachment into new themes which more
modernize and the unique of his paintings given more humoric sense.
It could be says that humoric thing is inspired I Dewa Putu Mokoh as
the inspiration source or back point view to create a paintings. He is
conseiouslly on unconsciouslly get and interpreted the traditional in
heritance and then improves the visual and themes through
modification process and deformation. These humor sense could give
identity, support and the soulness in his artwork.The bad things which
is contradictif into beautiful things but it doesn't means the emptyness
or the less of the charac-teristic of a thing is called beautiful because
it could raise a humoric emotions. The consideration to stand on
traditional art paintings is by doing inovation into an open world for
the further.
Key words: Lukisan Dewa Putu Mokoh, tema, tradisi and humor
Problem Ars Simia Naturae
Ciri khas seni menurut Plato maupun Aristoteles ialah mengupas alam dari hakekat yang sebenarnya, ia merupakan imitasi yang membawa pada kebaikan dari kenyataanya sehingga menjadi keindahan yang luar biasa. Keduanya menginginkan tauladan seni didalam keindahan universal, pasti, mutlak dan ideal
OTAK KANAN DAN KECERDASAN INTUISI (RESENSI BUKU)
Judul Tulisan : Misteri Otak Kanan Manusia
Penulis : Daniel H. Pink.
Alih Bahasa : Rusli
Penerbit : Think Yogyakarta
Cetakan : Maret 2008
Tebal : 336 halamn
Kelengkapan : Catatan-catatan, Ucapan Terima
Kasih, Tentang Penuli
Digitization of industrial quality control procedures applied to visual and geometrical inspections
Mestrado de dupla diplomação com a UTFPR - Universidade Tecnológica Federal do ParanáIndustries quality control procedures are usually dependent on gauge inspection tools, and these tools are used to inspect visual and geometrical tolerance conformity. Operators are guided during an inspection by using paper tutorials that assist them in performing their tasks and registering the result of the performed analysis. This traditional method of registering information may be misleading, lowering the effectiveness of the quality control
by providing inaccurate and error-prone inspection results. This work implements a system that uses emergent technologies (e.g., Human-Machine Interfaces, Virtual Reality,
Distributed Systems, Cloud Computing, and Internet of Things (IoT)) to propose a costeffective solution that supports operators and quality control managers in the realization and data collection of gauge inspection control procedures. The final system was deployed in an industrial production plant, with the delivered results showing its efficiency, robustness, and highly positive feedback from the operators and managers. The software may
offer a quicker and efficient execution of analysis tasks, significantly decreasing the setup time required to change the inspected product reference
Jejak Seksualitas dalam Lukisan Dewa Putu Mokoh dan Murniasih
Seks sering dianggap sesuatu tabu (pantang) untuk dibicarakan apalagi dikemukakan dalam bentuk karya seni yang dapat dilihat oleh masyarakat luas, lebih-lebih menyoal kelamin oleh sementara kalangan dipandang sebagai prahara melawan moralitas. Banyak kasus karya seni yang mencitrakan seks menuai protes, menyeruak tanpa dasar nalar dan logika apalagi mau mengerti tentang estetika.
Dalam konteks konsepsi, wacana-wacana yang menyasar tematika seks khususnya di Bali, berbagai varian ekspresi seksualitas lahir kedalam berbagai seni. Citra seks secara historis sesungguhnya telah berlangsung puluhan tahun dari jaman Megalitikum hingga Quantum. Bukti dari fakta tersebut bisa dipetakan dan dirunut yang jejaknya terlacak dalam berbagai peninggalan arkeologi
Interkultural Seni Lukis Wayang Kamasan
Abstrak
Modus regresentasi seni lukis wayang Kamasan berubah sejajar dengan transformasi mendalam dari pengetahuan teknis ataupun tearitis, dan sejajar pula dengan perubahan tata nilai masyarakat Desa Kamasan akibat evolusi fisik serta evolusi sistim tata nilai. Nyatanya dalam waktu genap satu abad seni lukis wayang Kamasan yang tadinya etnik, klasik, tradisional, baku, homogen, lokal dan kolektif berubah menjadi seni lukis yang variatif, heterogen, individu, dan internasional dengan sentuhan modern. Disinilah terjadi idiosing cracy (keanehan-keanahan / kebimbangan estetika).
Gelombang-gelombang perubahan terjadi dalam rentang waktu lama melalui beberapa tahap, dan paling mencolok terjadi akibat bergulirnya ekonomi serta budaya kapitalistis khususnya pariwisata. Pada waktu prakolonial lukisan merupakan narasi ditaktis berfungsi agama hingga pada waktu modernis nafas komersialisme menjamahnya untuk selalu melakukan inovasi/perubahan. Dari ruang sakral Pura dan Puri bergerak ke benda sovenir, interior hotel, busana bahkan interior dan eksterior mobil.
Pengembangan seni lukis Kamasan melalui inovasi tidak diartikan sebagai keterputusan (repture) atau diskontinuitas dari konteks lokal, akan tetapi sebaliknya, menghargai kembali nilai-nilai klasik (pastiche), tidak dengan jalan mengkonservasi¬nya secara kaku, tetapi melakukan proses reinterpretasi (reinterpretation) daa re¬kontekstualisasi (recontextualisation). Pengembangan seni lukis Kamasan untuk menghasillcan keunggulan lokal, telah berjalan dengan berbagai strategi: 1) reinter¬pretasi (reinterpretation) dalam konteks masa kini, 2) pelintasan esterik (tran¬sestheics), 3) dialogisme budaya (cultural dialogism), 4) keterbukaan-kritis (critical openness), 5) diferensiasi pengetahuan lokal (knowledge differentiation), 6) gaya hidup (life style), dan 7) semantika produk (product semantics).
Dipihak lain, bila seni lukis Kamasan sebagai budaya lokal tidak melakukan pengembangan diri, maka peluang penciptaan keunggulan lokal itu justru “diambil¬alih” oleh pihak-pihak luar yang berkepentingan, berupa `pencurian' dan `pen¬caplokan' budaya, untuk `dirubah' sesuai dengan ekonomi-kapitalistik global. Seni Lukis wayang kamasan bisa jadi dijadikan sebagai komoditi, yang dikemas dengaa kemasan komoditi tertentu, untuk kemudian dipasarkan di dalam pasar kapitalisme global;
Dalam situasi dilematis tersebut, upaya-upaya menciptakan `keunggulan lokal' (local genius) dapat dilihat sebagai sebuah strategi agar tetap survival dengan menciptakan ruang bagi pengembangan `kreativitas lokal' atau `inovasi kultural' dengan sumber-sumber kultural lainnya, di dalam sebuah ajang dialogisme kultural, untuk menghasilkan bentuk atau formasi-formasi yang kaya, berbeda dan beragam. Di dalam jalinan pertukaran tersebut terbentuk sebuah proses timbal balik saling memberi, saling mempengaruhi, sating memperkaya atau saling mendorong ke arah berbagai kemungkinan bentuk, ekspresi atau formasi yang baru tanpa harus mengorbankan nilai niai dasarnya.
Kata-kata kunci: Kamasan, recontextualisation dan cultural dialogism
KARYA SENI MONUMENTAL: “Perkawinan”
Berangkat dari pengamatan terhadap lingga-yoni dan setelah mendalaminya maka
muncul gagasan tentang ”Manunggaling Kala Desa, Melintas Fenomena Ruang dan
Waktu dalam Penciptaan Seni Lukis” sebagai tema. Yang ingin saya cermati di sini
ialah sudut-sudut psiko-antropologisnya pada lingga-yoni. Telaahnya hendaknya
dipandang sebagai upaya pembacaan kembali/reinterpretasi atas simbol lingga-yoni
untuk ditawarkan pada seni lukis. Persepsi saya terhadap lingga-yoni terkaitkan dengan
manunggaling kala desa tidak semata-mata diartikan sebagai kualitas pengindraan,
tetapi mengandaikan proyeksi diri atas nilai-nilai dengan melibatkan interpretasi.
Persepsi saya dapat menghayati lingga-yoni menjadi bermakna, sehingga dapat
menyadari hubungannya dengan ruang (desa) dan waktu (kala). Persepsi tidak semata-
mata ditujukan kepada pencapaian pengetahuan kognitif semata, tetapi membawa
muatan pada feeling yang berkaitan dengan nilai-nilai, seperti nilai estetik, nilai moral,
dan nilai religius. Pada konteks itulah, saya menempatkan eksplorasi kreatif penciptaan
karya seni lukis sebagai upaya refleksi kritis melintas fenomena ruang dan waktu
dengan tajuk ”manunggaling kala desa”. Di dalam ketegangan kreatif serupa itu saya
ingin mengkritisi kondisi Bali yang telah menjadi ajang “pertempuran” berbagai
ideologi akibat globalisasi. Manunggal secara teknis melukis juga berarti
menggabungkan unsur-unsur/elemen-elemen seni rupa, media berbeda serta beragam
teknik menjadi satu kesatuan yang harmoni. Semakin jelaslah, bahwa azas fragmentaris
merupakan fondasi dari entitas yang diwujudkan. Di samping itu diperlukan
kemampuan menata segenap unsur rupa tidak saja di dalam kepentingan hukum
komposisi, melainkan pula pada kepentingan makna dan ekspresi.
Dalam pembentukan menggali dan aspek memanfaatkan nilai-nilai probabilitas
dari berbagai aspek dan yang terkait dengan aspek visual maupun teknik artistik
lainnya serta representasi konsep estetikanya. Dengan menggali dan membuka berbagai
kemungkinan mampu memunculkan gagasan, imajinasi dan berbagai pencitraan yang
bersifat simbolik dan metaforik dalam kerangka untuk melahirkan jati diri/keunikan.
Proses penciptaan karya seni lukis ini difokuskan pada pendekatan hermeneutik
yaitu dengan melakukan pengamatan, pencermatan terhadap tanda-tanda, dan
menafsirkannya atau menginterpretasi dengan pemaknaan terhadap subyect matter
dengan jukstaposisi dan sintesis. Dalam perwujudannya ke dalam karya seni lukis,
kajian estetik sebagai suatu pendekatan yang utama berkaitan dengan tujuan
penciptaan.
Kata-kata kunci: lingga-yoni, manunggal, kala desa, ruang, dan waktu
Intercultural Balinese Painting from the Classic to the Modern
This article examines the representation mode painting like a change parallel to the profound transformation
of the technical or theoretical knowledge, and also parallel to changes in the Balinese society values due to
the physical evolution and the evolution of the system of values. In fact, within one century of painting it
has been like moving from the classical, traditional, standard, homogeneous, local, and collectively turned
into a painting that has been varied, heterogeneous, individual, and internationally with a modern twist.
These waves of change occurred in the span of time through several stages, and most striking result from
cash capitalistic economy and culture, especially tourism. In pre-colonial time the painting is a narrative
religious functions until the time of breath commercialism modernist touches to always make innovations or
changes. From the sacred space of temples and palaces to moving objects souvenirs, hotel interiors, fashion
and even interior and exterior car.
Developments of painting through innovation should not be interpreted
as a discontinuity (rapture) or discontinuity of the local context, but on the contrary,
to appreciate
again
the classical values (pastiche), not by road of preserving it rigidly,
but the process of reinterpretation
and
re-contextualization.
Keywords: Intercultural, reinterpretation and recontextualisatio
Water Cycle
“The hydrological cycle of water emergence originates from sea water vapor that gathers in the form of clouds and water
falling from the sky in the form of rain over the mountains. After falling to the ear th it burrows into the ground through the
holes created by countless tiny creatures (micro-organisms). Water moves through the canal chambers through layers of
sand and soil and rocks. When the water finally reaches a layer of hard clay or stone bed, the water drops collect and flow
as springs (teletuan) and then flow through various types of watercourses such as tributaries, then several tributaries join to
form the main river leading to the sea, once again to be evaporated into the atmosphere. That’s the’’journey of water on ear th.
In mythology, the river as the pulse of the water cycle is Naga Basuki, an incarnation of Lord Vishnu. The dragon’s head is
the sea, its tail is the mountain and its body is the river. The dragon’s head goes into the sea to move the sea water until
it evaporates to become cloudy. The clouds continued to rain, then the rain was accommodated by a mountain in the
form of a dragon’s tail. Mountains store rainwater and then flow it into springs, lakes, rivers and continue to the ocean
- …