31 research outputs found

    Politisasi Hak Pengelolaan (Hpl) dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional

    Get PDF
    To facilitate the economic development, the government of the New Order era (1966-1998) practised the Agrarian Law politicization. Politicization of the policy include In setting the Management Authority (Hak Pengelolaan-HPL). HPL has no legal basis in accordance with the hierarchy of procedural legislation, and in substance are also contrary to the fundamental purpose of basic regulation. As a result, causes a lot of controversy and problems in practice. Many cases due to HPL, happens every where. The presence of HPL should be straightened out, especially in term of legal system, given the correct legal basis, or eliminated altogethe

    PEMAHAMAN TINDAK PIDANA TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM UNDANG-UNDANG NO 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

    Get PDF
    Through the Understanding of the Crime of Electronic Transactions in Law No. 19 of 2016 concerning Electronic Information and Transactions, any inappropriate actions in carrying out electronic transaction activities are very important in ensuring legal certainty. Until now, there is no legal uncertainty regarding electronic transaction behavior which is a big problem in the process of national and state activities. Through service activities with dedication techniques providing a thorough understanding and indicators of service results in the form of a questionnaire, it is hoped that the implementation process of the service can provide the best benefits for the implementation of community service activities and the process of higher education tridharma. This can be an indicator of the implementation of service which is not just a formality but also contributes to the enforcement of justice for the community. Based on the results of the service, it was found that the participants' awareness of the situation appeared to be a problem in order to utilize the information technology used appropriately. However, such awareness certainly needs provisioning in the field of appropriate invitation regulations so that the existing understanding will appear comprehensive referring to Law No. 19 of 2016 concerning Electronic Information and Transactions. Through the Understanding of the Crime of Electronic Transactions in Law No. 19 of 2016 concerning Electronic Information and Transactions, any inappropriate actions in carrying out electronic transaction activities are very important in ensuring legal certainty. Until now, there is no legal uncertainty regarding electronic transaction behavior which is a big problem in the process of national and state activities. Through service activities with dedication techniques providing a thorough understanding and indicators of service results in the form of a questionnaire, it is hoped that the implementation process of the service can provide the best benefits for the implementation of community service activities and the process of higher education tridharma. This can be an indicator of the implementation of service which is not just a formality but also contributes to the enforcement of justice for the community. Based on the results of the service, it was found that the participants' awareness of the situation appeared to be a problem in order to utilize the information technology used appropriately. However, such awareness certainly needs provisioning in the field of appropriate invitation regulations so that the existing understanding will appear comprehensive referring to Law No. 19 of 2016 concerning Electronic Information and Transactions. Keywords: Understanding, criminal acts, and electronic transaction

    Rekonstruksi Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Suatu Kajian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

    Get PDF
    Pemahaman diskresi atau kebebsan bertindak dalam negara hukum seperti Indonesia masih mengalami dilema akibat posisi dari kedudukan diskresi sebagai wujud pengambilan kebijakan masih dipahami secara parsial bukan hanya penyelenggara Negara akan tetapi juga penagak hukum. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kontradiksi dalam penyelenggaraan Negara. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utamanya yaitu memberikan kejelasan kedudukan terhadap pelaksanaan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu penelitian ini juga ingin mengalisis sejauah mana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pmerintah daerah mengatur keberlakuan diskresi sebagai salah satu instrument pembuatan kebijakan publik. Melalui pendekatan yuridis normative penelitian ini diharapkan melihat dan mengkaji sejauh mana keberlakuan norma dan asas yang seyogyanya perlu dibangun dalam konstruksi dasar diskresi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pendekatan tersebut kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan  dukungan data secunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum tertier dan bahan hukum secunder. Reposisi diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tentunya harus menempatkan diskresi sebagai wujud utuh penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hierarki perundang-undangan yang acapkali menjadi unsur hambatan dalam memahami implementasi diskresi perlu diluruskan sesuai dengan kerangka pedoman bahwa hierarki hukum hanya sebagai unsur alat produksi mendukung keadilan, sedangkan politiklah yang merupakan cikal bakal terciptanya esensi dari hukum yang bertujuan mencapai keadilan, kepastian dan kemanfaatan.Understanding the discretion or freedom act in countries such laws Indonesia is still have a dilemma due to the position of discretion position as a form of a policy still understood in partial not only the organizers State but also law enforcement. This is what then cause contradiction in the implementation of the State. This study was conducted by the ultimate goal is to provide clarity of the position of the implementation of the discretion in the implementation of the area. In addition to the research also want to analyze the extent of Law No. 23 Year 2014 on the Government the set in the discretion as one of the instrument of public policy. Through the juridical normative this research is expected to see and examines the extent apply the norm and asas that was supposed to be built in the construction of discretion against the implementation of the area. The approach is then do analysis in qualitative with the support of the data secondary consisting of the primary law, the legal tertiary and its laws secondary. The repositioning of discretion in the implementation of local government should certainly put discretion as a manifestation of the whole of the regional administration. The hierarchy of laws and regulations that often become obstacles element in understanding the implementation of discretion needs to be straightened out in accordance with the framework guidelines that the hierarchy of the law only as an element of the means of production in favor of justice, while through politics which is a forerunner to the creation of the essence of the law which aims to achieve fairness, certainty and expediency.&nbsp

    KEWENANGAN POLRI DALAM PEMBUBARAN ORMAS YANG TELAH DIBATALKAN STATUS HUKUMNYA

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membahas kewenangan Polri dalam  pembubaran ormas yang telah dibatalkan status hukumnya, Untuk menganalisis dan membahas kendala dan solusi atas kewenangan Polri dalam  pembubaran ormas yang telah dibatalkan status hukumnya. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. setiap orang berhak atas kebebasan hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, penjelasan dalam Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945. Penerbitan Perppu 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, merupakan landasan dalam pencabutan status HTI. Kepolisian berwenang mengambil tindakan tegas atas setiap dugaan pelanggaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Kemasyarakatan. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Kepolisian berwenang mengambil tindakan tegas atas setiap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh ormas yang tidak taat terhadap peraturan yang ada, termasuk  kepada anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang lembaganya telah dibubarkan pemerintah.Hak memberikan sanksi pidana ada di tangan polisi sebab Perppu merupakan produk hukum yang setara dengan Undang-undang. Penerapan sanksi atas pelanggaran Undang-Undang dimiliki aparat kepolisian. Perjalanan penerapan perppu ada pelanggaran hukum yang menjurus ke aspek pidana, maka nanti tugasnya polisi bukan Satpol PP. Dalam menjalankan kewenangan Polri terdapat beberapa  hambatan, yaitu sebagai berikut : faktor hukum, faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat, faktor kebudayaan. Dalam mengatasi hambatan yaitu memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang pelaksanaan tugas dan kewenangan Polri dalam mengawasi ormas dan menindak ormas yang melakukan tindak pidana, diantaranya dilakukan dengan cara:tindakan preemtif, preventif dan represif. 

    IMPLIKASI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisis implikasi UU No. 11 tahun 2020 (UU Cipta Kerja) terhadap peraturan Bupati Kudus No. 43 tahun 2018. Masalahnya, mengapa pembentukan peraturan, khususnya di Kabupaten Kudus memakai peraturan bupati. Urgensinya penulisan ini adalah karena perkada tentang pembentukan produk hukum daerah sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif/penelitian hukum doctrinal. Kebaharuan penelitian yaitu belum ada penelitian terdahulu yang membahas Peraturan Bupati Kudus No. 43 tahun 2018. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pembentukan produk hukum daerah, khususnya di Kabupaten Kudus melalui Perkada contohnya Peraturan Bupati Kudus No. 43 tahun 2018 adalah sesuatu yang tampaknya kontroversil mengingat Perdanya saja di Kabupaten Kudus dibentuk oleh DPRD Kabupaten Kudus dengan persetujuan bersama Bupati Kudus. Hal ini seakan-akan kontradiksi. (2) Implikasi dengan adanya revisi Pasal 250 UU Pemda No. 23 tahun 2014 oleh Pasal 250 dan Pasal 252 UU Cipta Kerja, maka Peraturan Bupati Kudus No. 43 Tahun 2018 harus menyesuaikan dengan Pasal 250 dan Pasal 252 UU Cipta Kerja

    PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF UANG DI INDONESIA

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis pengembangan wakaf uang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Wakaf. Wakaf uang adalah salah satu bentuk wakaf yang baru di Indonesia, yang mana pengembangannya layak dilakukan  terutama ketika perekonomian bangsa Indonesia sedang lemah. Metode pendekatan adalah yuridis normatif, sumber data adalah data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan wakaf uang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mencakup penghimpunan dana wakaf, pengelolaan wakaf uang dan pendistribusian hasil wakaf tunai. Kendala pengembangan wakaf uang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai wakaf uang dengan solusi BWI bersama pihak terkait dalam hal ini adalah LKS-PWU maupun Nazhir harus terus menyosialisasikan hukum wakaf tunai pada masyarakat; kurang profesionalnya Nazhir dalam pengelolaan wakaf uang solusinya adalah peningkatan kualitas nazhir agar profesional dan amanah dalam pengelolaan wakaf uang; kurangnya pemahaman dan kemampuan praktisi wakaf dalam  pengembangan wakaf uang dengan solusi peningkatan kemampuan semua praktisi wakaf terlebih Nazhir sehingga mampu mengelola dan mengembangkan wakaf secara profesional dan amanah serta sinergitas sehingga pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia sukses

    KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI INDONESIA

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatatnegaraan di Indonesia. Salah  satu  hasil  dari  Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD Negara RI Tahun 1945 adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga  negara.   Penelitian ini menggunakan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Perkembangan  konsep   trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keberadaan yang keberadaannya dalam struktur ketatanegaraaan di negeri ini sering menjadi perdebatkan oleh berbagai pihak karena Komisi Pemberantasan Korupsi Sifat yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan.  Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah  Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia saat ini dan Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang seharusnya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia,teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah trias politica dan kepastian hukum,  penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.  Kesimpulan penelitian ini adalah keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan  Korupsi secara yuridis adalah sah berdasarkan konstitusi dan secara sosiologis telah menjadi kebutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan Komisi Pemberantasan Kosupsi bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dan Kedududukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaran di Indonesia akan menjadi lebih kuat maka kedudukannya menjadi organ konstitusi (constitusional organs)  atau masuk kedalam konstitusi maka di perlukan Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN POLITIK UANG PADA PEMILU 2019

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan  untuk mengkaji dan menganalisis penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang pada Pemilu 2019 dan kendala serta penegakan hukum yang ideal terhadap pelanggaran politik uang pada Pemilu 2019. Metode penlitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah “penegakan hukum dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhinya beberapa faktor, yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana, masyarakat, dan budaya”. Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran politik uang ialah “sulitnya pembuktian dalam upaya mengungkap kegiatan politik uang pada Pemilu 2019”. Kesulitan mengenai pembuktian terhadap kasus politik uang perlu diupayakan proses penegakan hukum yang ideal. Penegakan hukum ideal terhadap pelanggaran politik uang pada pemilu 2019 adalah “harus berdasarkan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan”

    REPOSISI KEWENANGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM PENGATURAN TERKAIT PERTAHANAN KEAMANAN KEMARITIMAN NASIONAL

    Get PDF
    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana posisi kewenangan antar lembaga negara dalam  pengaturan terkait pertahanan  keamanan kemaritiman nasional dan bagaimana reposisi kewenangan antar lembaga negara dalam  pengaturan terkait pertahanan keamanan kemaritiman nasional. Posisi dan reposisi tentang kewenangan antar lembaga negara yang terkait dengan pertahanan keamanan maritim nasional sangat berpengaruh kepada kedaulatan maritim nasional menuju Indonesia sebagai poros maritim dunia. Indonesia dapat digolongkan sebagai negara kepulauan tetapi belum dapat digolongkan sebagai negara maritim karena kewenangan dalam pertahanan keamanan maritim masih terjadi tumpang tindih kewenangan. Sehingga perlu dilakukan  reposisi kewenangan antar lembaga negara dalam  pengaturan terkait pertahanan keamanan kemaritiman nasional. Metodelogi penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Berdasar analisa terdapat lima lembaga negara yang benar-benar terkait dengan pertahanan dan keamanan maritim di perairan Indonesia yang terdiri dari TNI AL,Badan Keamanan Laut,Kepolisian,Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai, Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan. Kedua peraturan perundangan ini secara spesifik menggarisbawahi pentingnya menciptakan sistem pertahanan keamanan maritim, dan kewajiban dalam menjaga keselamatan pelayaran. Pendekatan teoritik dilakukan mellaui Teori Sistem Hukum, Teori Kedaulatan dan Teori Kewenangan. Hasil yang didapatkan dalam reposisi kewenangan antar lembaga negara adalah : menempatkan TNI AL sebagai lembaga militer murni di wilayah maritim sebagai komponen utama  pertahanan maritim nasional  seperti diamanatkan pada Pengaturan Tata Ruang Laut yang tercantum dalam UU Nomor 17 tahun 1985 tentang ratifikasi UNCLOS 1982. Serta optimalisasi Bakamla sebagai koordinator tunggal lembaga sipil negara dalam keselamatan dan keamanan laut (sea and coast guard). Sekaligus sinegitas TNI dengan Bakamla sebagai reperesentasi lembaga militer dan lembaga sipil negara.

    KEWENANGAN POLRI DALAM MENEGAKKAN KODE ETIK ANGGOTA POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOBA

    Get PDF
     Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kewenangan Polri dalam menegakkan Kode Etik  Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba suatu kajian Peraturan Kapolri  No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian dan bagaimana reposisi kewenangan Polri dalam menegakkan kode etik anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba suatu kajian Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Kepolisian. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah  Kode Etik Kepolisian sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 sudah berfungsi terhadap anggota kepolisian selaku aparat penegak hukum. Sehingga dengan berfungsinya kode etik kepolisian tersebut maka bisa menekan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik kepolisian yang berkaitan dengan etika kenegaraan, etika kelembagaan, etika kemasyarakatan dan etika kepribadian.dan setiap anggota kepolisian tersebut harus tunduk. Kewenangan Kepolisian Daerah Jawa Tengah dalam menegakkan Kode Etik Kepolisian yang melakukan tindak pidana Narkoba melalui sidang kode etik dan apabila terbukti dilakukan peradilan umum serta pemecatan dari dinas kepolisian apabila terbukti melakukan tindak pidana Narkoba. Reposisi terhadap penegakan hukum terhadap anggota Kepolisian yang melanggar kode etik dengan melakukan tindak pidana Narkoba, Kepolisian  Daerah Jawa Tengah mengacu pada Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Peraturan disiplin anggota Polri diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003, Kode Etik Profesi Polri yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011. Apabila di sidang kode etik terbukti bersalah maka dilakukan peradilan umum dengan mengacu pada undang-undang narkotika No. 35 Tahun 2009  dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penyidikan terhadap tindak pidana
    corecore