33 research outputs found
Koefisien Seret Gaya Gelombang Pada Apo Dengan Tambahan Gedhek
Drag coefficient of wave force on APO without gedhek has been discussed in another paper. A series of model tests have been performed in a regular wave flume to investigate of it for APO using gedhek. APO models were made with four arch forms (P/B). The water depth, wave height and wave period were varied for all models. The generated wave heights ranged from 1 to 4 cm (12 to 48 cm in prototype scale). A model scale of 1:12 was selected. The result indicates that the wave force on the APO depends on water depth and wave height. The higher the water depth and wave height the higher is the wave force. Drag coefficient (CD) is lower as Reynold Number (Re) increases. Drag coefficient is not affected by P/B. The trend of curve for CD and F/E against Re are similar, however F/E tend to be higher than CD
Anatomi Kerukunan Masyarakat Islam dan Kristen di Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja
Kerukunan menjadi hal yang menarik ditengah masyarakat plural. Hidup berdampingan, saling menerima, saling menghormati, tolong menolong, dan bekerja sama antar pemeluk agama adalah suatu hal yang diinginkan oleh semuamasyarakat. Kehidupan yang berlangsung dinamis terkadang menimbulkan gesekangesekan yang kemudian mengarah pada pertentangan atau konflik. Kabupaten Toraja adalah salah satu kabupaten yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Kristen tetapi masyarakatnya hidup harmonis dan rukun, bahkan jauh dari kata konflik semua itu didukung oleh hubungan kekerabatan yang sangat kuat, tradisi yang sama, ikatan darah dan persamaan tempat tinggal. Selain itu, adat istiadat juga menjadi faktor utama terciptanya kerukunan pada masyarakat Toraja. Kerukunan pada masyarakat Toraja tidak didasari oleh paksaan tetapi sudah berlangsung lama
Wave Force on Breakwater Structure in North Kalimantan
Natural factors in the form of large sea waves occur on the beach located in Tanjung Aru Village, East Sebatik District, Nunukan, North Kalimantan, causing the beach This area is experiencing a decline in the coastline or what is commonly referred to as coastal erosion. In connection with these conditions, there has been a breakwater detached as an effort to solve this problem to protect coastal areas that are experiencing erosion. But before that, it is necessary to conduct a wave analysis of the design of the breakwater detached to be built. Based on the calculation analysis that has been done, the significant wave height (Hs) is 4,361 meters and the significant wave period (Ts) is 11.173 seconds. The pressure wave force (P) is 27.001 tons and the moment (Mp) is 92.612 tonmeters. Wave height measurements need to be carried out every month throughout the year in order to obtain a more representative picture of wave height. In addition, planning for the construction of breakwater needs to be considered again, especially on the dimensions of the breakwater structure. Moreover, the condition of the sea waves is fully developed
Quasi-2D transport model of suspended sediment in a wave flume
A quasi-2D model of hydrodynamics and sediment transport has been developed in this study. An\ud
eddy viscosity model with a function of artificial viscosity has been applied to the Boussinesq-type\ud
equations to produce wave decay as well as sediment transport due to breaking. Numerical results are\ud
then compared with laboratory experimental data in order to verify the applicability of the numerical\ud
model. The results demonstrate that the proposed eddy viscosity model can be used to simulate wave\ud
propagation in the surf zone as well as suspended concentration distribution. Erosion before the breaking\ud
point can be predicted fairly well. However, the bar crest and erosion in the surf zone can not be predicted\ud
accurately
Coupling of Boussinesq and sediment transport model in a wave flume
Boussinesq type equation has been coupled with sediment transport model to simulate sediment\ud
transport in a wave flume. A new eddy viscosity model has been applied to calculate wave decay as well\ud
as suspended sediment concentration. A bed load transport formula based on an energetic transport of\ud
Bagnold-type model combined with suspended load model was validated under the condition of a spilling\ud
wave. The applicability of both ??B and cf has been investigated. The result indicated that two sets of\ud
parameters cf = 0.017 with ??B = 0.21 and cf = 0.003 with ??B = 1.03 calculated a similar bed level change.\ud
Comparison of calculated and measured bed level change is fairly good in offshore and near breaking\ud
point. However, the model cannot predict accretion in swash zone
Quasi-2D sediment transport model combined with Bagnold-type bed load transport
Rahman, S., Mano, A. and Udo, K., 2013. Quasi-2D Sediment Transport Model Combined with Bagnold-type Bed\ud
Load Transport. In: Conley, D.C., Masselink, G., Russell, P.E. and O???Hare, T.J. (eds.), Proceedings 12th International\ud
Coastal Symposium (Plymouth, England), Journal of Coastal Research, Special Issue No. 65, pp. xxx-xxx, ISSN 0749-\ud
0208.\ud
Suspended load and bed load sediment transport are important component for the sediment transport in surf zone. The\ud
purpose of this study is to obtain a good model for sediment transport in surf zone by combining a quasi-2D sediment\ud
transport model and the Bagnold-type sediment transport model. The quasi-2D sediment transport model is used to\ud
simulate the suspended load transport, while the Bagnold-type for the bedload transport. A quasi-2D numerical wave\ud
model called Funwave was expanded to accommodate the sediment transport model. The model is validated by the\ud
published data for sediment transport in a wave flume. Two mode of morphological change is compared to evaluate the\ud
influence of wave-current (mode A) and instantaneous bottom velocity (mode B) in the third and forth velocity moment\ud
of Bagnold-type sediment transport model. Four sets of bed load transport parameters are evaluated to calculate bed\ud
level change. The evaluation shows that although eB exceeds one, it can produce bed level change similar to that by\ud
using the parameters proposed by Bailard. Parameters proposed by van der Molen calculated very high bed level\ud
change, while Gallagher???s parameter produced relatively small bed level change. The performance of two modes of\ud
morphological change shows that mode A produce much better morphological change than mode B in surf zone for the\ud
bedload transport component. While for the suspended load component, mode B produces very high erosion in surf\ud
zone. Coupling of mode B and a wave motion-induced suspended load transport gives comparable morphological\ud
change to the experimental data
Skema Mitigasi Tsunami Mendatang di Pelabuhan Garongkong, Barru, Sulawesi Selatan
Indonesia merupakan negara yang sangat rawan dilanda bencana gempa yang dapat diikuti oleh tsunami. Bencana tsunami merupakan fenomena alam ataupun bencana alam yang sama sekali tidak dapat diprediksi kapan tepatnya akan terjadi. Oleh karenanya karakteristik bencana tersebut tidak dapat diprediksi maka satu – satunya pilihan yang logis dan rasional adalah mengupayakan agar dampak bencana tersebut bisa diminimalisir. Pelabuhan Garongkong merupakan pelabuhan peengumpul. Posisinya berada bersebelahan dengan pelabuhan penyeberangan Andi Matalata, di pantai Garongkong. Kegiatan yang dilakukan di pelabuhan garongkong didominasi oleh kegiatan bongkar muat curah kering non pangan berupa batubara, klinker, sirtu gunung dan gipsum. Yang berarti pelabuhan garongkong memiliki peran penting untuk memajukan perekonomian wilayah Barru, Sulawesi Selatan. Upaya sistem peringatan dini dengan membuat skema mitigasi di suatu wilayah dengan berbagai perencanaan rekayasa pembangkit gempa bumi yang bermagnitude 5,1 - 5,6 SR dengan mekanisme bangkitan Dip-Slip-Strike tertentu. Kajian dilakukan dengan dua tahap. Dengan kajian tahap awal pengolahan data parameter gempa bumi pembangkit, yang dilanjutkan dengan pemodelan numerik menggunakan SiTProS, yang akan menghasilkan sebaran tinggi tsunami dan waktu tempuhnya. Kajian kedua ialah skema mitigasi yang dapat diterapkan di pelabuhan garongkong. Penelitian ini menghasilkan pemodelan tsunami dengan tinggi 3,22 m dengan jarak tempuh selama 34,78 menit, dan run-up dapat mencapai 11.26 m. Hasil simulasi ini kemudian dijadikan acuan untuk menentukan skema mitigasi tsunami mendatang yang sesuai untuk pelabuhan garongkong. Skema mitigasi terebut berupa sistem peringatan dini, mitigasi struktural (berupa pembuatan greenbelt dan sistem perlindungan buatan), mitigasi non struktural (berupa pembuatan peta zona rawan bencana dan melakukan sosialisasi dan tsunami drill), mitigasi menggunakan metode evakuasi dan mitigasi vertikal yang merupakan pilihan terbaik untuk mitigasi bencana tsunami mendatang di Pelabuhan Garongkong
STUDI EKSPERIMENTAL PENGARUH PANJANG STRUKTUR HANGING BREAKWATER TERHADAP TRANSMISI GELOMBANG
Pemecah gelombang merupakan konstruksi pemecah gelombang yang sangat efektif yang dapat digunakan untuk melindungi perairan pelabuhan karena dapat mengganggu energi gelombang yang berasal dari laut dalam. Pemecah gelombang yang banyak digunakan saat ini adalah jenis tiang pancang, baik alami maupun buatan. Kelemahan pemecah gelombang batuan adalah ukurannya yang besar dan oleh karena itu sangat mahal untuk diterbitkan. Oleh karena itu, diperlukan pemecah gelombang jenis baru yang ukurannya lebih kecil dan biaya pembangunannya lebih murah. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah pemecah gelombang tersuspensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh parameter gelombang terhadap koefisien transmisi gelombang melalui hanging breakwater. Penelitian dilakukan di Laboratorium Riset Teknologi Kelautan Universitas Hasanuddin. Parameter dalam penelitian ini dilakukan dengan 5 variasi tinggi gelombang, 5 variasi periode gelombang (T), dan 3 variasi panjang model (L). Dari hasil penelitian yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien transmisi (Kt) berbanding terbalik dengan kecuraman gelombang (Hi/L). Dari gambar 3 menunjukkan bahwa apabila dibandingkan antara variasi model (L1 = 40 cm; L2 = 50 cm; dan L3 = 60 cm) dengan kondisi kedalaman (d = 70 cm) dan dengan variasi periode (T 1; T 1,2; T 1,5; T 1,8 dan T2 dtk) maka dapat dilihat bahwa nilai Kt condong lebih rendah pada variasi model ke tiga yaitu L3 = 60 cm dengan nilai 0,095 < Kt < 0,530 dan L2 = 0,108 < Kt < 0,608 serta L1 = 0,163 < Kt < 0,584 . Hal ini menunjukkan bahwa Pemecah Gelombang tipe hanging breakwater lebih efektif jika semakin lebar model uji yang diberikan
Pengaruh Fenomen Global Pacific Decadal Oscillation Dengan Madden-Julian Oscillation Di Provinsi Papua
Tropical areas such as Indonesia are ocean areas that show convective activity responses that affect the global climate balance in space and time. The equatorial region, especially Indonesia, is subject to very complex ocean-atmospheric phenomena which are influenced by many factors and phenomena such as the Monsoon/Tropical Convergence Zone (ITCZ), El Niño Southern Oscillation (ENSO), Madden-Julian Oscillation (MJO), Tropical Cyclone. /Temperate Forcing, Indian Ocean Dipole Mode (IODM), and Pacific Decadal Oscillation (PDO). This journal focuses on discussing two phenomena, namely the Madden-Julian Oscillation (MJO) and the Pacific Decagonal Oscillation (PDO) in Papua (East Indonesia). This study uses an empirical approach with statistical calculations based on the PDO variable in the form of the PDO index, the amplitude variable which represents the MJO data and the rainfall for the province of Papua. Data for these two variables were obtained from NOAA and BoM, as well as rainfall data obtained from NASA. The data period analyzed was 40 years from 1981 to 2020. Two dates were filtered and correlations were analyzed using a simple linear regression method. The results of this research show that PDO is associated with MJO in Papua. This is clearly seen from the results of the correlation of the two phenomena. In addition, these two phenomena also affect the increase or decrease in rainfall in Papua. The second impact of this phenomenon on Papua (eastern part of the archipelago) is caused by the circulation of sea water from the Pacific Ocean through the Indonesian Toughflow.Kawasan tropis seperti Indonesia merupakan kawasan lautan yang menunjukkan respon aktivitas konvektif yang mempengaruhi keseimbangan iklim global dalam ruang dan waktu. Wilayah khatulistiwa, khususnya Indonesia, tunduk pada fenomena atmosfer-laut yang sangat kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor dan fenomena seperti Monsoon/Tropical Convergence Zone (ITCZ), El Niño Southern Oscillation (ENSO), Madden-Julian Oscillation (MJO), Tropical Cyclone/Temperate Forcing, Indian Ocean Dipole Mode (IODM), dan Pacific Decadal Oscillation (PDO). Jurnal ini berfokus pada pembahasan dua fenomena global yaitu Madden-Julian Oscillation (MJO) dan Pacific Decagonal Oscillation (PDO) di Papua (Indonesia Timur). Penelitian ini menggunakan pendekatan empiris dengan perhitungan statistik berdasarkan variabel PDO berupa indeks PDO, variabel amplitudo yang mewakili data MJO dan curah hujan provinsi Papua. Data kedua variabel tersebut diperoleh dari NOAA dan BoM, serta data curah hujan diperoleh dari NASA. Periode data yang dianalisis adalah 40 tahun dari tahun 1981 sampai dengan tahun 2020. Dua tanggal disaring dan korelasi dianalisis menggunakan metode regresi linier sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PDO berasosiasi dengan MJO di Papua. Hal ini terlihat jelas dari hasil korelasi kedua fenomena tersebut. Selain itu, kedua fenomena tersebut juga mempengaruhi peningkatan atau penurunan curah hujan di Papua. Dampak kedua dari fenomena ini di Papua (bagian timur nusantara) disebabkan oleh sirkulasi air laut dari Samudra Pasifik melalui aliran Indonesian Toughflow