11 research outputs found

    The Chinese and Crime in the Ommelanden of Batavia 1780-1793

    Full text link
    Batavia dan wilayah Ommelanden pada era akhir abad ke-18 berada dalam krisis keamanan di mana angka kriminalitas terus meningkat. Kejahatan dalam berbagai bentuk, mulai dari perampokan, pembunuhan, pencurian, sampai perkelahian antar-etnis menjadi suatu pemandangan yang biasa di wilayah ini. Kondisi VOC yang mulai runtuh saat itu berdampak pada runtuhnya keamanan publik di daerah koloni. Lebih jauh, kondisi ini merefleksikan semakin melemahnya kontrol administrasi pemerintah kolonial terhadap Batavia dan Ommelanden. Meningkatnya angka kriminalitas di wilayah Ommelanden juga memengaruhi masyarakat Cina, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban dari kejahatan tersebut. Kedudukan dan status mereka yang cenderung lebih tinggi dalam hal finansial dari masyarakat lokal menjadi sumber pemicu kebencian antaretnis di Ommelanden. Masyarakat Cina menjadi rentan terhadap tindak kejahatan. Paper ini mengeksplorasi berbagai kasus kriminal di Ommelanden Batavia yang terkait masyarakat Cina, baik sebagai korban maupun pelaku, yang terekam dalam arsip Schepenbank. Paper ini memberikan sebuah gambaran relasi masyarakat Cina dengan etnis lainnya di Ommelanden Batavia dalam kasus-kasus hukum, sifat dan kekhasan kriminalitas di Ommelanden Batavia, serta sistem yudisial VOC di Ommelanden Batavia

    Chinese Communities in Three Ports Cities in the 17th and the 18th Century: Batavia, Formosa and Nagasaki

    Get PDF
    Batavia, Formosa, dan Nagasaki merupakan tiga kota pelabuhan di Asia pada abad XVII, yang menghubungkan jaringan perdagangan Asia sampai ke Eropa. Kedatangan bangsa Belanda ke Asia pada awal abad XVII secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pertumbuhan ketiga kota ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana komunitas masyarakat China membangun ketiga kota ini dan menggarisbawahi peran, posisi mereka, lebih jauh persamaan dan perbedaan komunitas masyarakat ini di ketiga kota. Untuk mengetahui keberadaan komunitas masyarakat China, peran dan posisi mereka di setiap kota, alasan kedatangan mereka akan diungkapkan dan bagaimana situasi politik maupun ekonomi yang terjadi pada saat itu. Lebih jauh lagi, akan dijelaskan pula bagaimana pemerintah setiap kota memperlakukan komunitas masyarakat ini dalam konteks penerapan suatu kebijakan yang mengungkapkan persamaan dan perbedaan perilaku komunitas masayarakat China di Batavia, Nagasaki dan Tayouan di Formosa.Kata kunci: komunitas Cina, Batavia, Formosa, Nagasaki, Abad XVII-XVII

    Formosa 1662: The Dutch Great Loss

    Get PDF
    Penyerangan armada besar China ke Formosa di bawah pimpinan Cheng Cheng Kung atau lebih dikenal sebagai Coxinga pada bulan Mei tahun 1661 membawa kekalahan bagi Belanda (VOC) yang akhirnya menyerah pada bulan Februari tahun 1662. Penyerangan ini mengakhiri supremasi Kongsi Dagang Hindia Belanda di pulau ini. Belanda membangun pelabuhan di Formosa pada tahun 1642 yang terbukti memberi keuntungan berkat posisi strategisnya sebagai pelabuhan transit bagi jejaring pengiriman barang di Asia. Untuk memahami berbagai faktor penyebab kekalahan Belanda, perlu diketahui alasan kedatangan Belanda ke pulau itu dan posisinya di tengah kekuatan besar di Asia Timur, khususnya Dinasti Qing Manchu, Shogun Jepang dan Admiral Cheng. Tulisan ini sebagian besar bersumberkan dari materi sekunder tentang Formosa dari berbagai topik. Tulisan ini hendak mengulas lebih dalam dan bercerita lebih detil berbagai faktor yang mengakibatkan kekalahan Belanda di Formosa dengan perspektif lebih luas, terutama menyangkut posisi Belanda di Asia Timur dan pelbagai perubahan peristiwa di daerah sekitarnya.Katakunci: Formosa, Belanda, Coxinga, Cina

    THE HISTORICAL OVERVIEW OF QUAKE MANAGEMENT POLICY IN CHINA: FROM TANGSHAN, SICHUAN, TO YUNNAN

    Get PDF
    The earthquake is one of the deadliest natural disasters that hinder economic progress in China. The two biggest 20th century catastrophic quakes occurred in China are Tangshan in 1976 and Sichuan in 2008. Additionally, there are at least four massive earthquakes that struck China in the last five years. Hence, the disaster management is one of the main factor to be seriously administered by the Chinese government, both in the central level as well as to the regional and local level. Therefore, this paper aims to examine some policies issued by the Chinese government in the context of earthquake management and its effectiveness. The discussions on disaster management in China have been deeply explored by Asia Pacific Research Team at The Research Center for Regional Resources LIPI and published under the title of Disaster Management in China: History and Institutional Networks in 2010.Furthermore, the research team also conducted a research on the Sichuan earthquake and published a monograph entitled The Representation of Sichuan Earthquake: State Control, Museum, and The Role of the Army. We conduct both some in-depth interview and literature review concerning the historical process of initiating some earthquake policies, and its practical effectiveness. This paper discusses the disaster management based on various policiesand responses of two contemporary deadliest quake in Tangshan (1976) and Sichuan (2008), and two recent earthquakes occurred in Qinghai (2010) and Yunnan (2014). The paper claims that policies and regulations issued by the government in disaster management in China are successful to some extent though there is a lack of coordination, and some informational gaps in the existing institutions.Keywords: Tangshan earthquake, Sichuan earthquake, disaster management, China

    Patrawidya Vol.15 No.3

    Get PDF
    1. Westernisasi dan Gaya Hidup Bangsawan di Kadipaten Pakualaman pada Masa Paku Alam V 2. Gerakan Kiri di Klaten: 1950 - 1965 3. Kedaulatan Rakyat dan Solopos: Pilar Kehidupan Bahasa Jawa dan Kebudayaan Lokal Masyarakat 4. Menjadi Melayu : Perempuan Jawa sebagai Agen Transformasi Sosial dalam Masyarakat Jawa di Semenanjung Malaya Tahun 1900-2000 5. ….Selanjutnya Kami Memilih Pergi … Kisah-kisah Etnis Tionghoa Asal Indonesia yang Kembali ke Taiwan 1950-1960an 6. Strategi Peningkatan Pendapatan Melalui Budidaya Rumput Laut di Kecamatan Talango, Pulau Poteran, Sumenep 7. Usaha Gula Kelapa : Pertukaran dalam Produksi dan Distribusi 8. Dampak Pembangunan Jembatan Suramadu Terhadap Mobilitas dan Kondisi Sosial Budaya Penduduk (Kasus Lima Keluarga di Desa Pangpong, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan

    PENANGANAN BENCANA DAN TRANSFORMASI PENGETAHUAN TENTANG KEGEMPAAN DI MASA KOLONIAL

    No full text
    Disasters are human tragedy. They are close to us, but always considered as new experience since they have not become integrated yet as knowledge and experience in society and policies. The idea of disaster has gone through three important phases, namely act of God, act of nature and act of men and women. As well as other disasters, earthquakes force society to account for the incomprehensible things. Thus, learning from the historical experience can provide useful insights into the problems posed by the threat of earthquakes. The paper discusses the two major quakes during the Dutch colonialism in Padang in 1926 and in Yogyakarta during Japanese occupation in 1943. By doing so, we learn and understand the way in which the colonial governments responded to the catastrophes. Additionally it also explores the process of transforming the knowledge among the colonial governments and the natives. Key words: earthquake, disaster mitigation, transformation of knowledge Bencana adalah tragedi kemanusiaan. Mereka dekat dengan kita, tetapi selalu dianggap sebagai hal yang baru karena mereka belum terintegrasi sebagai pengetahuan dan pengalaman di masyarakat maupun kebijakan yang ada. Bencana terjadi melalui tiga fase penting, yaitu hukum Tuhan, hukum Alam dan tingkah laku laki-laki dan perempuan. Seperti halnya bencana-bencana yang lain, gempa bumi memaksa masyarakat menjadikannya hal yang sangat sukar dimengerti. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman sejarah dapat memberikan wawasan yang berguna terhadap masalah-masalah yang disebabkan oleh ancaman gempa bumi. Makalah ini membahas dua gempa besar yang terjadi, yaitu pada masa kolonialisme Belanda di Padang pada tahun 1926 dan di Yogyakarta selama masa pendudukan Jepang pada tahun 1943. Dengan demikian, kita dapat belajar dan mengerti bagaimana tanggapan pemerintah kolonial terhadap malapetaka yang terjadi. Di samping itu, makalah ini juga menggali proses transformasi pengetahuan di antara pemerintah kolonial dan orang pribumi. Kata kunci: gempa bumi, mitigasi bencana, transformasi pengetahuan</p

    The Development of foreign workers policies

    No full text
    vi + 172 hlm.; 14.8 x 21 c

    Studi dinamika identitas di Asia dan Eropa: Kumpulan tulisan

    No full text
    Identitas merupakan hal lazim yang dimiliki setiap manusia. Secara harfiah, identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik sedara fisik maupun secara non-fisik. Terkait dengan hal tersebut, identias menjadi penting artinya sebagai penanda dan pembeda antara satu individu dengan lainnya

    Multiculturalism and nation state building in china

    No full text
    233 hlm.; 21 c

    The fading of disaster memory in Pulau Sebesi: A historical construction

    No full text
    The island has been impacted by volcanic eruptions which led to tsunami in a different scale, where in 1883 claimed 36000 lives, subsequently in 2018 took one victim. Some island communities succeed in pertaining memory of tsunami through oral tradition, namely Simeulue, differently Sebesi communities fail to maintain its memory on tsunami. The gap of 138 years seems to bury the memory of tsunami in Sebesi island. This paper aims to explore why the Sebesi communities fail to maintain the disaster memory. To build an understanding the way in which the Sebesi forgetting their past disaster, this paper uses longue durée approach, oral history framework and archival studies to analyses the structures—both environmental structures and socio-politic and cultural structures—that play roles in the disappearance of disaster memory. The study revealed that none of survivor during its catastrophic tsunami in 1883 and repopulation of this island occurred only after 1940s. This resulted to the formation of community without disaster memory. Only after the 2018 tsunami, the community of Sebesi Island began to aware that there are hazards among their environments. Uncovering the fading of disaster memory in Pulau Sebesi elucidates lessons to pursue resilient development trajectory on the island
    corecore