19 research outputs found

    TARI MAKEPUNG: SEBUAH REFLEKSI TRADISI BUDAYA MASYARAKAT JEMBRANA

    Get PDF
    Abstract Makepung is a Balinese term for denoting a buffalo race traditional held by agreecultural community of Jembrana regency. This race has become the characteristics of this regency with the name “Bumi Makepung”. This Makepung tradition has also inspired the local artist to create some dance creations, one of which is the Makepung dance. This is a new creation that reflects the process of the buffalo race, from its preparation and race itself. Makepung dance gets the sympathy of the local people because of its theme that reflects the Makepung traditions that can be seen from; its theme on Makepung; its vocabulary of movement mostly of the symbolic movement of the racers and their buffaloes; the costume worn in the dance are mostly of the assesories used by the racers and their buffaloes during the race; and the accompanying music of Makepung dance is the Jegog music instruments which is always used during the race. Seeing the above factors, it is can say that Makepung dance is a reflection of the Makepung cultural traditions of the local people of Jembrana

    Tugek Character in Topeng Carangsari

    Get PDF
    Purpose: Tugek is one of the characters in the prembon mask dance drama in Carangsari Village, Badung Regency, Bali. Luh Manik or popular as Tugek is a character who becomes the center of attention, because the message to be conveyed is delivered with a fresh joke. Research methods: This study aimed to examine Tugek character in the performance of Tugek Carangsari prembon mask dance drama. It uses qualitative methods, namely researchers collect data, process data, analyze data and then analyze descriptively interpretively. Result and discussion: The results shows that the character in Tugek Carangsari prembon dance drama performance used the TAT-SAT-SAT-TAT formula, which means “tatwa e anggo satwa, satwa e apang nyak metatwa” (tatwa/philosophy is used as a story so that the story contains tatwa). Implications: Tugek character can be seen from the variety of movements, fashion, make-up, musical accompaniment, dialogue, vocals/gending, performance structure and the time and place of the performance

    THE AESTHETICS OF RENTENG DANCE

    Get PDF
    Purpose: The Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali has a very simple form. As a work of art, this dance does not explicitly show beautiful power, but implicitly, it can create beauty based on the qualities it has. This research aims to reveal, describe and understand the aesthetics of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali. Research methods: The method used in this research is qualitative utilizing data collection techniques in the form of observation and documentation. The results of this research show that the aesthetics of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali can be seen through unity, diversity, and intensity. Findings: The aesthetics contained in the Renteng dance through its three beautiful characteristics illustrate that no matter how simple the dance is, it will still create an aesthetic experience. The aesthetic experience of this dance can be seen through the unity of the elements or forming elements which are intertwined as a whole and single, and have a strong detailed effect that is carried out repetitively to create harmony. Implications: The aesthetics contained in the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali, through the three characteristics of beauty that have been discussed, illustrate that no matter how simple or simple the dance is, it will still create an aesthetic experience. The aesthetic experience of the Renteng dance in Saren I Hamlet, Nusa Penida, Klungkung, Bali can be seen through the unity of the elements or forming elements which are woven wholly and singly, and have a strong detailed effect which is carried out repetitively, thus creating harmony

    Symbolic Meaning Relationship between the Condong Character and the Putri in the Gambuh Batuan Dance Drama

    Get PDF
    Gambuh is the oldest Balinese theatrical dance drama, with a rich repertoire of dance movements, music, dramaturgy, and costume design, making it the source of Balinese performing arts that emerged later. The main story is about the journey of Prince Panji to find his lover, Princess Candra Kirana. There are two important female characters, namely Condong (servant) and Putri (Princess), who have different social statuses but have a close relationship and play a key role at the beginning of the drama, making them the determinant of the success of the performance. The research aims to reinterpret the meanings contained in the Gambuh dance drama, especially the relationship between Condong and Putri, to offer a living interpretation of local wisdom, pass them on to the next generations, and contribute to building the character of the nation that has nobility and refinement of character. The research was conducted using a qualitative research method, including a literature review, participatory observation, and in-depth interviews in Batuan Village, Gianyar Regency, Bali. The research process begins with a formal description of the characters, dance movements, costumes, and antawacana (dialogue), then the symbolic meaning analysis is carried out using Aesthetic Theory and HG Gadamer and Paul Ricoeur's Hermeneutics approach. The results of the study show that the relationship between the two characters, Condong and Putri, carries the meanings of dedication, sincerity, ethics, and the strength of women - values that are local wisdom but very relevant to women today. The elements of Rwa Bhineda, which are two opposing forces, Trihita Karana, which is harmony with nature, God, and humans, and the Hindu concept of Satyam Sivam Shundaram, which embodies ethical and pure values wrapped in beauty in the Gambuh dance drama - are the essence of Gambuh that is relevant to the present day, making it universal, transcending time and distance

    SURAT PENCATATAN CIPTAAN Seni Pertunjukan: Tari Murdha Nata Sekar Gadung

    Get PDF

    SURAT PENCATATAN CIPTAAN Musik Karawitan: IRINGAN DRAMA TARI ARJA BALINGKANG

    Get PDF

    EH HO-CITTAKRAMA-ABYUDAYA DESA SWABUDAYA GADUNGAN

    Get PDF
    Om Swastyastu, Namobudaya, Salam Kebajikan, Rahayu, Terima kasih dihaturkan ke hadapan Hyang Widi Wasa atas asung kertha wara nugraha-Nya, pelaksanaan Nata Citta Swabudaya (NCS) Desa Gadungan dapat terlaksana dengan lancar, sukses, dan bermakna. NCS merupakan pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Pengembangan Pendidikan (LP2MPP) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar bermitra dengan Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Desa Gadungan dipilih sebagai mitra NCS karena potensi desa yang layak dikembangkan dalam bidang seni budaya. Adapun kegiatan NCS di Desa Gadungan terdiri atas penciptaan tari dan iringan (Murdha Nata Sekar Gadung), video profil Desa Gadungan, peletakan prasasti NCS ISI Denpasar dan buku monografi Desa Gadungan. Kegiatan NCS dilaksanakan dengan saling bersinergi dan bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat yang ada di Desa Gadungan. Buku monografi Desa Gadungan dengan judul Yeh Ho-CittakramaAbyudaya memberikan gambaran mengenai Desa Gadungan dengan potensi sumber daya alam yang dilintasi sungai Yeh Ho sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Desa Gadungan. Sungai Yeh Ho memberikan manfaat bagi lahan pertanian dan perkebunan warga sehingga potensi agro di Desa Gadungan menjadi potensi terbesar. Cittakrama berkaitan dengan latar belakang sejarah perjuangan kemerdekaan RI 1945. Desa Gadungan menjadi basis perjuangan dengan menghadirkan pejuang-pejuang tangguh yang membela persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dibuktikan dengan adanya monumen perjuangan. Abyudaya terkait dengan kemakmuran dan semangat hidup masyarakat. Potensi Desa Gadungan dikembangkan melalui program NCS sebagai upaya mendorong pemajuan perekonomian masyarakat setempat sejalan visi NCS, yakni mewujudkan ekosistem seni budaya berkelanjutan Seluruh tim NCS Desa Gadungan menghaturkan terima kasih kepada seluruh elemen masyarakat Desa Gadungan yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan NCS ini. Om Santih, Santih, Santih Om

    SEJARAH SENI PERTUNJUKAN KABUPATEN GIANYAR

    Get PDF
    KATA PENGNATAR Kabupaten Gianyar telah dikenal oleh masyarakat dunia baik dalam maupun luar negeri sebagai daerah seni, termasuk di dalamnya seni lukis, seni pertunjukan, seni patung, seni kria maupun seni tenun. Gianyar juga memilki berbagai macam makan tradisional (kulimer) dan yang paling khas aalah Babi Guling. Untuk membangkitkan dan mengembangkan potensi seni yang ada, maka Pemerintah Kabupaten Gianyar telah menjalin kerjasama dengan Insititut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Salah satu realisasi dari kerjasama itu dilakukan penulisan buku dengan judul Sejarah Seni Pertunjukan Kabupaten Gianyar. Penulisan buku ini dicanangkan dalam untuk menyongsong ditetapkannya kota Gianyar sebagai Word Craf City (WCC). Untuk menulis buku ini, semula kami sebagai tim penulis merasa sangat sulit menyelasaikanya. Kesulitan utama adalah sumber karena, landasan utama penulisan sejarah adalah sumber. Sumber tentang seni pertunjukkan sangat langka, biasanya penulis sejarah seni pertunjukan berpegang pada prasasti dan artefak. Sumber prasasti bisanya mencantumkan secara singkat tentang jenis kesenian dan kebijakan raja, sedangkan artefak hanya memberikan ilustrasi keberadaan seni pertunjukan pada jaman Bali Kuna. Kenyataanya seni pertunjukan hidup dan diwarisi di daerah Gianyar mengandung makna sebagai pedoman prilaku, yang dapat diliterasi melalui gerak simbolik yang ditampilkan dan cerita yang digunakan. Melalui gerak dan cerita serta perubahan jiwa jaman sejarah seni pertunjukan di Gianyar dapat jelaskan yang akhirnya penulisan buku ini dapat diselesaikan. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan ini masih banyak yang perlu disempurnakan tetapi dapat dijadikan petunjuk untuk menuliskan sejarah seni pertunjukan berikutnya. Oleh karena itu, rasa bakti dan puji syukur kami aturkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan jalan yang tak dapat dijelaskan untuk menyelesaikan buku ini. Penulisan bisa berjalan sesuai dengan harapan karena dibiaya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar, karena itu ucapan terima kasih yang dari lubuk hati yang terdalam kami aturkan kepada Bapak Bupati Gianyar, I Made Mahayastra, SST. Par. MAP. Ucapan terima kasih juga kami aturkan kepada Bapak Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.SKar., M.Hum yang telah memberikan semangat dan dorongan yang sangat kuat untuk menyelesaikan penulisan ini. Kepada Ibu Ida Ayu Surya Mahayastra juga saya ucapkan banyak terima kasih selaku Dewan Kerajinan Nasional Kabupaten Gianyar yang telah memberikan semangat dan doringan yang kuat dalam menyelesaikan penulisan buku ini. Kepada Bapak Kepala BAPEDA daerah Kabupaten Gianyar, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan kami ucapkan banyak terima kasih karena telah berjuang dan bersusah payah memperlancar perjalanan penulisan buku ini. Kepada berbagai pihak terutama rekan-rekan di ISI Denpasar yang telah mendukung secara moral maupun tenaga juga kami ucapkan banyak terima kasih. Dalam kata pengantar ini perlu kami sampaikan bahwa penulisan ini berpedoman pada asumsi sejarah berdasarkan perubahan jiwa jaman. Setiap jaman akan menawarkan sistem budaya sebagai landasan normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Landasan normatif akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan jiwa jaman yang berimplikasi pada munculnya seni pertunjukan. Perubahan landasan normatif itulah dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan perkembangan seni pertunjukan dari masa lampau sampai ke masa kini. Perubahan jiwa jaman akan merubah sistem budaya yang berimplikasi pada perubahan kreavitas manusia dalam bidang seni pertunjukan. Ketika keyakinan masyarakat Gianyar yang sangat kuat terhadap roh gaib dapat mengganggu ketentraman masyarakat, berimplikasi pada munculnya berbagai jenis seni pertunjukan sebagai media pemujaan pada roh gaib. Jenis-jenis seni pertunjukan itu dapat diasumsikan dengan munculnya berbagai jenis tari Sanghyang. Tari Sanghyang merupakan tari kesurupan, dimana penarinya di rasuki kekuatan gaib, sehingga dalam kitidak sadarnya mereka menari. Kata hyang dalam masyarakat Bali dianalogikan dengan roh gaib, sehingga tari Sanghyang adalah tari yang dimasuki roh gaib. Sebutan tari Sanghyang dikaitan dengan roh yang memasukinya, sehingga ada tari Sanghyang Dedari, Sanghyang Jaran, Sanghyang Kambing, Sanghyang Celeng, Sanghyang Bojog, dll. Dengan munculnya sistem kerajaan di Gianyar, maka sistem budaya yang dilembagakan juga mengalami perubahan, sehingga muncul dikotomi budaya yaitu budaya kerajaan dan budaya kerakyatan. Sistem budaya ini berimplikasi pada ratu dan panjak (kaulagusti) yang pada prinsipnya bertujuan untuk menguatkan (legitimasi) kekuasaan raja. Sistem budaya yang dilembagakan ini juga berimplikasi pada munculnya berbagai jenis seni pertunjukan dengan mengambil sumber cerita tentang kerajaan dan nilai moral keagamaan. Seni pertunjukan itu dapat diasumsikan antara lain, Dramatari Gambuh, Wayang Wong, Parwa, Arja dan Legong Keraton. Perubahan jiwa jaman dari jaman kerajaan kejaman demokrasi, muncul berbagai kreativitas seni pertunjukan yang mengarah pada kebebasan berekpresi dan berinovasi. Dengan demikian maka muncul berbagai jenis seni kreasi baru dan seni pertunjukan kontemporer, sebagai hasil kemasan terhadap seni tradisi atau perpaduan antara berbagai unsur seni yang datang dari luar. Dengan selesainya penulisan buku ini akan dapat disadari bahwa daerah Kabupaten Gianyar memiliki berbagai jenis seni pertunjukan yang diwarisi dari jaman Bali Kuna sampai sekarang. Pewarisan itu tidak hanya dalam bentuk pertunjukan tetapi fungsi dan maknanya sebagai pembentuk karakter bangsa. Berbagai nilai ditawarkan oleh seni pertunjukan yang dapat digunakan sebagai pedoman prilaku dalam kehidupan masyarakat. Gianyar, …………2019 Tim Penulis

    ANDIR AS A SCARED DANCE AT TISATA VILLAGE, KERAMBITAN, TABANAN REGENCY

    No full text
    Tariandir in the village Tista is a form of Legong Kraton tarisejenis the Tista community called andir.Strukturkoreografinyasangatdekatdengantarilegongkeraton , tetapitari Andir only flourish in the village Tista Kerambitan.Tari inidifungsikan as guardian and bebali art that in the play always involves Rangda sungsungan society , baikditampilkansebagaibagiandariceritamaupunhanyasebagai " witness " pementasannya . Qualitative research by applying the theory of representation , ideology theory , aesthetic theory , and the theory of semiotics examines the main problems that dance andirsebagai sacred art in the village Tista Kerambitan . The results showed that as the art sakraltari Andir related to : ( 1 ) the use of equipment ( sacred objects ) in the form of engagement rangdasungsungan ( Ratu Ayu Lingsir and Ratu Ayu Anom ) , yangdipercayamemilikikekuatanmagis which dapatmelindungimasyarakatTista ; ( 2 ) any activity that is carried out is always through a process with the ceremony accompanying the various upakara ; ( 3 ) the culprit is the elect ( chosen girls who have not experienced puberty and is seen as a dancer who kesenengin chosen and blessed by God ) ; ( 4 ) where the play is holy places associated with yadnya ceremony at the local and pretended to be done every 210 days ( every six months in Bali or six times thirty- five days ) ; ( 5 ) the play time is the time it was considered kramat (sacred time ) and associated with yadnyadan ceremony ( 6 ) community supporters ( who believes that dance is a dance sacred Andir kesakralannya sourced from sungsungan Rangda .</pre
    corecore