15 research outputs found

    KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR TONGKOL JAGUNG FERMENTASI MENGGUNAKAN CAIRAN RUMEN SEBAGAI INOKULAN

    Get PDF
    Tongkol jagung mengandung serat kasar yang tinggi dan nilai protein yang rendah. Teknologi fermentasi dengan menggunakan cairan rumen sebagai inokulan diharapkan mampu meningkatkan kualitas tongkol jagung.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian cairan rumen sapi sebagai inokulan terhadap nilai protein kasar dan serat kasar tongkol jagung.Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dengan 4ulangan. Perlakuan P0 : fermentasi tongkol jagung tanpa penambahan cairan rumen (Kontrol), P1 : Tongkol Jagung + Cairan Rumen 15%, P3 : Tongkol Jagung + Cairan Rumen 30%. Hasil analisis ragam menujukkan bahwa fermentasi tongkol jagung dengan menggunakan cairan rumen sapi sebagai inokulan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kandungan protein kasar tongkol jagung tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) terhadap kandunga serat kasar tongkol jagung. Hasil penelitian memperlihatkan rataan kandungan protein kasar perlakuan P0 : 2.78%, P1 : 3.11% dan P2 :3.08%, rataan kandungan serat kasar perlakuan P0 : 36.55%, P1 : 37.82% dan P2 : 40.51%. Kesimpulan, penambahan inokulan cairan rumen 15% (P1) lebih baik daripada perlakuan lainnya, memiliki kandungan protein kasar tertinggi dan mampu meningktakan kandungan protein kasar 0.33% dari perlakuan kontrol (P0). Semakin tinggi penambahan inokulan cairan rumen semakin meningkatkan kandungan serat kasar tongkol jagung fermentasi

    PENGUJIAN KARAKTERISTIK DAN KANDUNGAN LEMAK KASAR SILASE PAKAN KOMPLIT YANG BERBAHAN DASAR ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) DENGAN LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA

    Get PDF
    Eceng Gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu jenis gulma air yang memiliki potensi sebagai bahan pakan alternatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik dan kandungan lemak kasar silase pakan komplit berbahan dasar eceng gondok dengan lama fermentasi yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.Perlakuan P1 (lama fermentasi 0 hari atau kontrol), P2 (lama fermentasi 10 hari), P3 (lama fermentasi 20 hari) dan P4 (lama fermentasi 30 hari).Analisis statistik menunjukkan bahwa lama fermentasi yang berbeda berpengaruh nyata  (P<0,05) terhadap kandungan pH tetapi tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kandungan lemak kasar silase pakan komplit. Rataan kandungan pH yaitu P0 = 7; P1 = 5,32; P2 = 4,18; P3 = 4,21. Rataan kandungan lemak kasar adalah P0 = 0,93%; P1 = 1,25%; P2 = 1,22 %; dan P3 = 0,92 %. Dari penelitian disimpulkan bahwa silase pakan komplit yang berbahan dasar eceng gondok (Eichornia crassipes) termasuk dalam kategori baik berdasarkan pengujian karakteristik.Lama fermentasi 20 hari  adalah yang terbaik dalam pembuatan silase pakan komplit berbahan eceng gondok

    KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR SILASE PAKAN KOMPLIT BERBAHAN DASAR ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) PADA LAMA FERMENTASI YANG BERBEDA: Crude Protein and Crude Fiber Content Silage Complete Feed Based Hyacinth (Eichornia Crassipes) as Main Material With Different Fermented Period

    Get PDF
    This study aims to determine crude protein and crude fiber content of silage complete feed-based hyacinth (Eichornia crassipes). This study was designed based on a completely randomized design with 4 treatments 4 replications. Treatment P0 = fermented 0 days, P1 = fermented 10 days, P2 = fermented 20 days, P3 = fermented 30 days. The results showed an average of crude protein content is P0 = 11.96%, P1 = 12.97%, P2 = 14.68%,  and P3 = 12,76%  and crude fiber is P0 = 21.88%, P1 = 24.36%, P2 = 22.91% and P3 = 24.62%. Conclusion of fermented in silage complete feed-based hyacinth significantly affects crude protein and crude fiber silage complete feed. The best fermentation time is 20 days because it has the highest crude protein and crude fiber lows.  Keywords: Hyacinth, crude protein, crude fiber, and complete feed silage

    Kandungan NDF Dan ADF Silase Pakan Komplit Yang Berbahan Dasar Eceng Gondok (Eichornia Crassipes) Dengan Lama Fermentasi Berbeda

    Get PDF
    Eceng gondok adalah tanaman yang mengandung selulosa tinggi dengan populasinya yang begitu melimpah. Kandungan eceng gondok yaitu 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan 17% lignin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan NDF dan ADF silase pakan komplit berbahan dasar eceng gondok dengan lama fermentasi berbeda.  Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuandan 4 ulangan. Perlakuan P0 (lama fermentasi 0 hari), P1 (lama fermentasi 10 hari), P2 (lama fermentasi 20 hari) dan P3 (lama fermentasi 30 hari).  Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama fermentasi yang berbeda tidak berpengaruh nyata  (P>0,05) terhadap kandungan NDF dan ADF silase pakan komplit. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa Lama fermentasi yang terbaik pada pembuatan silase pakan komplit berbahan dasar eceng gondok adalah 20 hari, dengan memiliki kandungan NDF dan ADF yang terndah dibandingkan dengan perlakuan lainnya

    PENGARUH EKSTRAK DAUN JARAK (Jatropa curcas L) TERHADAP MORTALITAS CACING Haemonchus contortus YANG DIUJI SECARA IN VITRO

    Get PDF
    Ternak yang terkena cacing umumnya akan berdampak pada produktivitasnya dan merupakan masalah utama yang harus diselesaikan karena menimbulkan berbagai macam kerugian baik secara klinis maupun ekonomi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun jarak (Jatropa curcas L) terhadap mortalitas cacing Haemonchus contortus yang diuji secara in vitro. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, dengan perlakuan R0 (NaCl fisiologis 0,9%), R1 (Albendazole 10 mg/ml), R2 (Ekstrak daun jarak konsentrasi 10%), R3 (Ekstrak daun jarak konsentrasi 25%), R4 (Ekstrak daun jarak konsentrasi 50%) dan R5 (Ekstrak daun jarak konsentrasi 100%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan R0 tidak ada kematian cacing sampai jam ke-4, R1 mortalitas cacing 100% pada jam ke2, R2 dan R3 mortalitas cacing 100% pada jam ke-4, R4 dan R5 mortalitas cacing 100% pada jam ke-2 setelah pemberian ekstrak daun jarak. Kesimpulan, perlakuan R2 (10%) dan R3 (25%) mampu mematikan cacing Haemonchus contortus 4 jam setelah pemberian ekstrak daun jarak (Jatropa curcas L). Tidak ada perbedaan waktu kematian antara R4 (50%) dan R5 (100%) dengan R1 (pemberian Albendazole) mampu mematikan cacing 100% pada jam ke 2. Kata kunci: ekstrak daun jarak, obat cacin

    Kandungan Tanin, VFA dan Amonia pada Sistem Rumen in Vitro Daun Maja (Aegle marmelos) dan Daun Gamal (Gliricidia sepium)

    Get PDF
    Tanin adalah zat antinutrisi yang terdapat pada tanaman hijauan, tetapi memiliki dampak positif dalam proses pencernaan ternak yaitu meningkatkan bypass protein. VFA (volatile fatty acids) adalah hasil perombakan dari karbohidrat dimana karbohidrat diperlukan oleh tubuh ternak sebagai sumber energi dan amonia adalah hasil perombakan dari protein dalam proses fermentasi dalam rumen ternak yang dipengaruhi oleh tanin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perbandingan kandungan VFA dan amonia daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium) sebagai bahan pakan alternatif secara in vitro. Penelitian dianalisis menggunakan uji T dengan 2 bahan daun maja (Aegle marmelos) dan daun gamal (Gliricidia sepium). Hasil penelitian menunjukkan kandungan tanin rata-rata untuk daun maja (1.11%) dan daun gamal (0.82%). Kandungan amonia daun gamal (39.8 mM) dan daun maja (35.82 mM), dan kandungan VFA daun maja (103.28 mM) dan daun gamal (93.42 mM). Disimpulkan bahwa kandungan tanin lebih tinggi pada daun maja dibanding dengan daun gamal, kandungan VFA daun maja lebih tinggi daripada daun gamal dan masih pada kisaran normal. Kandungan amonia daun gamal lebih tinggi dibandingkan dengan daun maja dan berada di atas kisaran normal

    KANDUNGAN PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR SILASE RANSUM KOMPLIT PADA BERBAGAI BENTUK DAN LAMA PENYIMPANAN

    Get PDF
    Ransum dapat dinyatakan berkualitas apabila mampu memberikan seluruh kebutuhan nutrien secara tepat, baik jenis, jumlah, serta imbangan nutrien bagi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bentuk dan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar pada ransum komplit. Penelitian ini menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor diantaranya faktor A (Betuk silase ransum komplit) yaitu : silase, pellet dan blok; faktor B (Lama penyimpanan) yaitu 0, 1 dan 2 bulan, setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bentuk silase ransum komplit tidak berpengaruh nyata (P>0,05), Namun lama penyimpanan memiliki pengaruh yang nyata (P<0,05), ini membuktikan bahwa tidak ada interaksi yan terjadi antara bentuk ransum komplit dengan lama penyimpanan terhadap kandungan protein kasar, akan tetapi jika dilihat pada kandungan serat kasar terdapat interaksi yang terjadi pada bentuk ransum dan lama penyimpanan. Hasil penelitian ini diperoleh kandungan protein kasar berkisar antara 10.79% -13,86% yang tertinggi pada penyimpanan 0 bulan dan kandungan serat kasar yaitu 14,24% -18,93% yang tertinggi pada penyimpanan 2 bulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semakin lama penyimpanan ransum komplit maka kandungan protein kasar akan semakin menurun dan kandungan serat kasar akan semakin meningkat. Silase ransum komplit dalam semua bentuk masih mempunyai kualitas yang baik pada penyimpanan 2 bula

    Aflatoxin M1 in Milk: Occurrence and Its Risk Association: A Review

    Get PDF
    Aflatoxin M1 (AFM1) is the main secondary metabolites of aflatoxin B1 (AFB1) framed in the liver and discharged into milk when people and animals polish off AFB1-polluted food. The persist from feed to milk in dairy cows is affected by different dietary and physiological elements, including taking care of regimens, rate of ingestion, rate of absorption, animal health, hepatic biotransformation limit, and real milk production of the animals. AFM1 exposure might cause both intense and constant toxicity. In humans, AFM1 exposure is related with cancer-causing nature, genotoxicity, mutagenicity, and teratogenicity. In dairy animals, persistent openness to AFs can decrease execution, debilitate liver capability, compromise invulnerable capability, and increment sickness susceptibility. AFM1 openness represents a worry for the worldwide populace, especially for babies and youngsters who drink milk in bounteous amounts and thus, are more powerless to unfavorable impacts. The identification and quantification of AFs represents a critical test in food handling confirmation, since even a low AF concentration is hazardous for people and domesticated animals. Consistent human openness through dietary courses has prompted the burden of most extreme cut off points for AFM1 in milk and dairy products, taking into account that this is a gathering of products with exorbitant premium, particularly for babies and youngsters. Likewise, as per different examinations it is additionally very much felt that youthful animals are additionally observed to be more vulnerable to aflatoxin than grown-ups. Consequently; the defilement of cow milk and milk products by AFM1 ought to be perceived as unfortunate for youthful human and animals. Thus, the point of this paper is to review the occurrence of aflatoxin and its adverse results on animals and human health over the time

    Potential Development of Cow Hair Waste as Alternative Feed Protein Source for Poultry in South Sulawesi Province, Indonesia

    Get PDF
    Cow hair waste (CHW) is one of the wastes produced by the cowhide cracker processing industry. In South Sulawesi Province, every year, approximately 55.6 tons of CHW produced from this industry. The problem, the digestibility of CHW is very low so that the process requires certain technologies. The low of digestibility caused by the presence of disulfide bonds (S-S) in the protein component (keratin). The application of CHW as a protein source feed affects the productivity and quality of poultry meat. The study was aims to evaluate the productivity and quality of poultry meat (quail) which was added with CHW meal at various levels. A total of four levels of CHW meal (0%25 (control)%253B 2%25, 4%25 and 6%25)(w%252Fw) were applied to the composition of the quail (Coturnix-coturnix) feed rations that were kept in cages for 6 weeks. The results showed no significant effect (pgt%253B0,05) on the body weight (BW), meat shear force (MSF) and cooking loss (CL) with increasing levels of CHW meal administration. In general, it can be concluded that CHW can be applied in the composition of poultry feed at level of 0-6%25 (w%252Fw)

    Analysis of Beef Marketing Channels in Makassar City Slaughterhouses, South Sulawesi Province, Indonesia

    Get PDF
    Makassar City Slaughterhouses (RPH) have the role of being a cattle barn before slaughter, slaughtering beef cattle belonging to wholesalers (middlemen) and also beef marketing activities. The research aims to identify beef marketing channels in Makassar City Slaughterhouses. The research was conducted in July 2022. The results showed that there were 2 patterns of marketing channels for beef at RPH in Makassar city, namely: (1) Cattle Breeders - Inter-Regional Traders - Butcher Entrepreneurs - Retailers - Final Consumers and (2) Cattle Farmers - Inter-Regional Traders - Butcher Entrepreneurs - Final Consumers
    corecore