12 research outputs found

    The role of administrative actions in fighting the coronavirus pandemic in Iraq

    Get PDF
    The objective of this article is to assess the efficacy of preventive administrative actions for the containment of the coronavirus pandemic in Iraq. In particular, the article examines the extent to which administrative authorities can strike a balance between the constitutional rights of individuals and the public interest in their fight against this pandemic. Given its law-oriented nature, this article employs a qualitative, analytic research methodology. It builds on laws, constitutions, textbooks, journals and newspaper reports, as well as official publications by governments and international bodies. Specifically, it identifies administrative decisions, laws and other measures relevant to the coronavirus pandemic and proceeds to subject them to rigorous analysis. A key finding is that administrative actions can be effective in curbing the coronavirus pandemic in Iraq. However, they have two limitations. First, is the extent to which administrative procedures are subject to the principle of legality and judicial oversight. An important question is raised as to how to reconcile administrative actions meant to protect public health with constitutional rights guaranteed in Chapter II of the Iraqi constitution of 2005. Second, the formation of various committees, which issue diverse decisions to tackle the pandemic hinders coordination and consistency in decision-making. This article concludes that administrative actions would be more effective in combatting the coronavirus pandemic, if administrative authorities in Iraq remain bound by the law. It suggests that the present health situation should not be used as a justification for the abuse of authority under the pretext of public interest. To harmonise private interests protected by the law and the state’s interest in preserving public health, administrative actions must be properly coordinated, fair and equitable. In this context, the Iraqi administrative judiciary must exercise greater oversight over the actions of administrative authorities

    Tradisi Segheh Dalam Perkawinan Adat Lampung Perspektif ‘Urf dan Maslahah Mursalah

    Get PDF
    Penelitian bertujuan untuk mengetahui hukum tradisi segheh menurut ‘urf dan maslahah mursalah. Tradisi segheh sendiri adalah praktik pemberian materi berupa uang, hewan (kerbau atu sapi), emas ataupun benda-benda berharga yang diberikan dari pihak laki-laki pada pihak perempuan. Segheh diberikan laki-laki pada awal mengambil gadis Lampung Pepadun  marga Anak Tuha. Segheh diberikan atas kesepakatan antara laki-laki dan perempuan dimana kedudukan segheh menurut adat disamakan dengan mahar menurut hukum Islam. Pemberian segheh didasarkan pada status sosial atau Pendidikan calon mempelai wanita. Padahal dalam ketentuan hukum Islam penentuan mahar didasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan. Penelitian ini berbasis lapangan dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dengan tokoh adat dan pelaku segheh, observasi dan dokumentasi. Tradisi segheh dalam perspektif ‘urf dan maslahah mursalah dinilai ada dampak kemudaratan yang cukup banyak, seperti:  menumpuknya hutang suami istri dan juga keluarga, sebab tradisi segheh yang sifatnya wajib dalam pernikahan adat Lampung Pepadun marga Anak Tuha memaksa calon mempelai pria untuk melaksanakannya. Jika kondisinya adalah dalam keterbatasan kemampuan keuangan yang menyebabkan pihak laki-laki mencari uang dengan banyak cara diantaranya dengan berhutang, bahkan tidak sedikit yang menjual atau menggadai aset pokok. Kemudaratan yang terdapat dalam tradisi segheh menyebabkan tradisi segheh termasuk ke dalam kategori ‘urf fasid danmaslahah mulghah. Untuk itu tradisi segheh yang dipaksakan padahal secara kapasitas pihak calon mempelai pria suami tidak mampu memenuhi harus ditiadakan karna hal tersebut lebih banyak mendatang mudarat.  Jika secara finansial pihak laki-laki mampu melaksanakan tradisi segheh, maka hal tersebut diperbolehkan karena membawa manfaat bagi kehidupan rumah tangga kedua pasangan. Terutama dalam membantu menyiapkan perlengkapan rumah tangga

    Semakan Dasar Wanita Kelantan: penambahbaikan pelaksanaan ke arah mencapai matlamat pembangunan mampan

    Get PDF
    Hal ehwal kebajikan, wanita dan kanak-kanak merupakan salah satu daripada perkara yang terletak di bawah Senarai Bersama Perlembagaan Persekutuan. Ini bermakna, walaupun di peringkat persekutuan, Malaysia mempunyai Dasar Wanita Negara, negeri juga boleh memainkan peranan dalam perkara tersebut. Kerajaan Kelantan telah melancarkan dan melaksanakan Dasar Wanita Kelantan lebih daripada sedekad. Ternyata Kerajaan Kelantan turut mengambil berat tentang aspek pembangunan wanita dan keluarga. Sungguhpun begitu ianya telah memilih pendekatan yang berbeza dalam berbanding negeri-negeri lain di Malaysia. Kerajaan Kelantan telah memilih dasar Membangun Bersama Islam berteraskan ‘Ubudiyah (perhambaan kepada Allah), Masuliyah (tanggungjawab) dan Itqan (ketekunan). Daripada dasar tersebut adalah jelas Kerajaan Kelantan mensasarkan suatu pembangunan yang berteraskan Islam dan Syariah. Pelbagai pencapaian telah diukir dalam tempoh pelaksanaan dasar tersebut. Selepas lebih sedekad satu penilaian semula telah dibuat ke atas Dasar Wanita Kelantan untuk menambahbaik peruntukan yang sedia ada. Tambahan pula, Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) telah melancarkan Matlamat Pembangunan Mapan (SDG) untuk memastikan semua negara anggota merangka pelan pembangunan masing-masing dengan mengambil kira pelbagai aspek termasuklah kelestariannya. Semakan ke atas Dasar Wanita Kelantan perlu mengambilkira SDG agar pelaksanaannya seiring dengan kehendak global namun dalam masa yang sama tidak mengorbankan nilai asal dasar iaitu Islam. Kertas kerja in bertujuan untuk, pertama, menjelaskan sepintas lalu apa yang telah dicapai oleh wanita Kelantan melalui Dasar Wanita Kelantan dan kedua, mengemukakan cadangan penambahbaikan ke atas dasar tersebut yang selari dengan Matlamat Pembangunan Mapan (SDG)

    Semakan Dasar Wanita Kelantan: penambahbaikan pelaksanaan ke arah mencapai matlamat pembangunan mampan

    Get PDF
    Hal ehwal kebajikan, wanita dan kanak-kanak merupakan salah satu daripada perkara yang terletak di bawah Senarai Bersama Perlembagaan Persekutuan. Ini bermakna, walaupun di peringkat persekutuan, Malaysia mempunyai Dasar Wanita Negara, negeri juga boleh memainkan peranan dalam perkara tersebut. Kerajaan Kelantan telah melancarkan dan melaksanakan Dasar Wanita Kelantan lebih daripada sedekad. Ternyata Kerajaan Kelantan turut mengambil berat tentang aspek pembangunan wanita dan keluarga. Sungguhpun begitu ianya telah memilih pendekatan yang berbeza dalam berbanding negeri-negeri lain di Malaysia. Kerajaan Kelantan telah memilih dasar Membangun Bersama Islam berteraskan ‘Ubudiyah (perhambaan kepada Allah), Masuliyah (tanggungjawab) dan Itqan (ketekunan). Daripada dasar tersebut adalah jelas Kerajaan Kelantan mensasarkan suatu pembangunan yang berteraskan Islam dan Syariah. Pelbagai pencapaian telah diukir dalam tempoh pelaksanaan dasar tersebut. Selepas lebih sedekad satu penilaian semula telah dibuat ke atas Dasar Wanita Kelantan untuk menambahbaik peruntukan yang sedia ada. Tambahan pula, Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) telah melancarkan Matlamat Pembangunan Mapan (SDG) untuk memastikan semua negara anggota merangka pelan pembangunan masing-masing dengan mengambil kira pelbagai aspek termasuklah kelestariannya. Semakan ke atas Dasar Wanita Kelantan perlu mengambilkira SDG agar pelaksanaannya seiring dengan kehendak global namun dalam masa yang sama tidak mengorbankan nilai asal dasar iaitu Islam. Kertas kerja in bertujuan untuk, pertama, menjelaskan sepintas lalu apa yang telah dicapai oleh wanita Kelantan melalui Dasar Wanita Kelantan dan kedua, mengemukakan cadangan penambahbaikan ke atas dasar tersebut yang selari dengan Matlamat Pembangunan Mapan (SDG)

    Intergovernmental relations in the administration of Islamic matters in Malaysia: strengthening cooperative federalist framework

    No full text
    © 2016 Dr. Nurhafilah MusaCooperative federalism is closely connected to the concept of intergovernmental relations. Both subjects have not been much researched in Malaysia, although several intergovernmental institutions are mentioned in the Malaysian Constitution. The administration of Islamic matters is a critical area affecting more than 60 percent of the total Malaysian population. Despite the distribution of powers stated in the Malaysian Constitution, there are many areas where there are problems in the administration of Islamic matters and their impact is not limited to Muslims. There are existing inter-governmental coordination and cooperation in the administration of Islamic matters in Malaysia. Although these inter-governmental arrangements (IGAs) are sometimes effective, they are not officially recognized as constitutional mechanism. The overall argument of the thesis is that inter-governmental relations in the administration of Islamic matters in Malaysia needs to be strengthened towards establishing a cooperative federalist framework in order to overcome some of the problems caused by the distribution of powers in the administration of Islamic matters in Malaysia. The existence of intergovernmental relations in the form of cooperative federalism in the administration of Islamic matters in Malaysia can be found in the constitutional distribution of powers in the administration of Islamic matter, the constitutional function of the Conference of Rulers, the administrative frameworks at the federal and state levels for the administration of Islamic matters, the efforts made by the Technical Committee of Syariah and Civil Laws towards uniformity of Islamic laws in Malaysia and the intergovernmental relations in the exercise of legislative and executive powers in the administration of Islamic matters. Data from library research and interviews conducted with a number of officers involved in the administration of Islamic matters at the Federal and State Islamic Religious Departments is used to explain and understand how the existing cooperative federalism operates. This study identified two current problems in the administration of Islamic matters where cooperative federalism has potential to provide solutions. The first problem is non-uniformity. The problem of non-uniformity is divided into two: the non-uniformity of regulations pertaining to the admission of Syariah Court lawyer to the States’ Syariah Courts and fatwa and its enforcement. The second problem relates to Islamic matters involving non-Muslims when one of the spouses in a non-Muslim marriage converts to Islam. The effects of conversion to Islam to the non-Muslim marriage is discussed including the marital status, the right to custody and guardianship, the maintenance obligation and the right to inheritance. A number of formalized cooperative federalism mechanisms can be implemented in order to overcome some of the existing problems and improve the administration of Islamic matters at the federal and state level. There are several challenges that need to be dealt if the cooperative federalist framework proposed is going to be implemented. These challenges are not insurmountable if all levels of governments are in agreement on working towards establishing a formalized cooperative federalist framework in the administration of Islamic matters in Malaysia

    Tanggungjawab wali terhadap pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak : satu penelitian menurut hukum syarak

    No full text
    Wali dalam Islam adalah merupakan individu yang paling berhak dan menggalas tanggungjawab utama untuk mendidik kanak-kanak dari sudut ilmu keagamaan. Tanggungjawab tersebut wajib dilaksanakan dengan penuh keprihatinan dan berhikmah supaya dapat membentuk sahsiah dan akhlak mulia dalam diri kanak-kanak. Malangnya pada zaman moden kini, kebanyakan golongan wali tidak berjaya menggalas tanggungjawab tersebut sebaiknya dan kurang memahami konsep pendidikan keagamaan yang wajib diberikan kepada kanak-kanak. Maka penulisan artikel ini adalah bertujuan untuk menjelaskan tentang hubungan konsep perwalian dengan tanggungjawab mendidik kanak-kanak. Artikel ini juga memfokuskan tentang bentuk-bentuk pendidikan keagamaan yang wajib diajarkan kepada kanak-kanak bagi menyempurnakan pemahaman mereka mengenai agama yang dianuti. Kaedah kajian kepustakaan digunakan bagi mengumpulkan data untuk dianalisis mengikut metode analisis kandungan. Hasil penulisan menunjukkan bahawa golongan wali seharusnya memainkan peranan yang paling utama dalam mendidik kanak-kanak dari sudut ilmu pengetahuan keagamaan. Tanggungjawab tersebut tidak seharusnya diserahkan secara mutlak kepada pihak lain dalam apa juga keadaan sekalipun. Ini adalah kerana wali merupakan individu yang berkuasa untuk menentukan hala tuju keagamaan dalam diri kanak-kanak

    Judicial Control over Administrative Discretion in Iraq

    Get PDF
    Discretionary powers allow administrative authorities to fulfil public interest through their flexibility to act in circumstances not anticipated by law. Yet, in Iraq discretionary power remains contentious as it may undermine individual rights. This article examines the concept of discretionary powers, particularly how Iraq's administrative authorities exercise such powers and the role of Iraq's administrative judiciary in reviewing any administrative decisions. Analysis of material from primary and secondary sources reveals that Iraq's legal system permits administrative authorities to exercise broad discretionary decision-making powers. This precipitate abuses. Further, the restriction of Iraq's administrative judiciary and the absence of suitable legislation prevent administrative court judges from effectively curbing administrative arbitrariness. Legal transformations are necessary to streamline the scope for discretion by requiring Iraq's administrative authorities to provide reasoned decisions and better empower the administrative judiciary to check the administration's arbitrariness. As well, judges need more training on the operations of administrative courts

    Malaysian federalism: issues and acceptance

    No full text
    After the 2008 General Election, Malaysians were witnessing dynamics of a federal system of government after being ruled by the same coalition parties of Barisan Nasional (National Front) since Independence. When the coalition of Pakatan Rakyat (People’s Front) won five states in the 2008 General Election, many intergovernmental conflicts occurred. Pre-2008, the conflict was confined to family matters such as legal effects of conversion to Islam in a non-Muslim marriage. Post 2008, the federal conflict entered the public law sphere involving a legal tussle between the federal government and the state of Kelantan in the petroleum royalty issue. These federal conflicts have been highlighted in the mass media, catapulting the public from being ignorant about federalism to being curious as to which level of government actually has the power to manage the issues raised. A quantitative study was conducted to find out Malaysians’ level of knowledge, understanding, acceptance and perception towards the federal system in the country. The paper discusses some of the outcomes of the study
    corecore