331 research outputs found
The Role of Traditional Islamic Boarding School-Based Islamic Studies as Radicalism and Intolerance Flow’s Blocking Agent
In Indonesia, the attitude of radicalism and intolerance within Islam has flourished over the last few decades. There are several factors that encourage the emergence of it. One of them is the waning of Islamic Studies in various educational institutions today. As a result, Islam is only understood to be a matter of aqeedah and worship. Basically, many studies have been conducted to tackle radical and intolerant behavior with various approaches: social, political, economic, etc. In this paper, one offer of solutions through Islamic Studies in traditional Islamic Boarding School education institutions will be discussed. The findings in the field stated that the curriculum applied in Islamic Boarding School became one of the significant factors in the efforts of deradicalization. It can not be separated from the open-minded learning method and various teaching materials of Islamic Boarding School that made students to be familiar with diversity.[Di Indonesia, sikap radikalisme dan intoleranisme dalam Islam tumbuh subur selama beberapa dekade terakhir. Ada beberapa macam faktor yang mendorong munculnya hal tersebut. Salah satu di antaranya adalah memudarnya kajian Islamic Studies dalam berbagai lembaga pendidikan dewasa ini. Akibatnya, Islam hanya dipahami sebatas persoalan akidah dan ibadah saja. Pada dasarnya telah banyak studi dilakukan guna menanggulangi perilaku radikal dan intoleran dengan berbagai pendekatan: sosial, politik, ekonomi, dll. Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu tawaran solusi melalui Studi Islam dalam lembaga pendidikan pesantren tradisional. Temuan di lapangan menyatakan bahwa kurikulum yang diterapkan di pesantren menjadi salah satu faktor signifikan dalam upaya deradikalisasi. Hal ini tak lepas dari metode pembelajaran pesantren yang terbuka serta bahan ajar yang beragam sehingga menyebabkan santri terbiasa dengan perbedaan.
KERAPUHAN PENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA KELUARGA MUDA JAWA PERKOTAAN
Penggunaan bahasa Jawa mulai rapuh di kalangan penuturnya, terutama pada tataran
penguasaan dan penerapannya. Gejala kerapuhan ini berawal dari sikap ketidakpedulian
keluarga muda Jawa terhadap penggunaan bahasa Jawa sebagai sentra komunikasi.
Keluarga sebagai pintu gerbang pengenalan bahasa Jawa kurang dioptimalkan dalam
pewarisan. Muncul fenomena dalam keluarga muda Jawa justru optimalisasi terjadi pada
penguasaan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Titik kerapuhan menjadi berkelanjutan
manakala ada rasa keenganan keluarga muda Jawa dalam menjadikan bahasa Jawa sebagai
sebagai sentra komunikasi dalam kehidupan rumah tangga. Kerapuhan ini ditandai,
pertama penggunaan bahasa Jawa mulai tergantikan dengan bahasa Indonesia; kedua
bahasa Jawa ngoko lebih banyak difungsikan sebagai sapaan kasar daripada sapaan mesra;
ketiga kenyamanan menggunakan nama diri dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing
ketimbang bahasa Jawa; dan keempat sapaan pertalian persaudaraan telah bergeser dari
bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing
GENERASI MUDA JAWA PERKOTAAN KAGOK DENGAN BAHASA JAWANYA SENDIRI
Generasi muda Jawa sebagai pilar utama dalam pewarisan bahasa Jawa dan
keluarga sebagai pintu gerbang pertama kali pembelajaran bahasa Jawa secara natural.
Melalui dua kanal ini diharapkan bahasa Jawa dapat bertahan dan berkembang. Bertahan
sebagai bahasa Ibu dan berkembang sesuai nuansa Jawa yang tertanam dalam pranata dan
keharmonisan adab Jawa.
Bahasa Jawa sebagai identitas diri memiliki kandungan dan muatan budaya yang
tinggi, tercermin dalam perilaku komunikasi Jawa. Adab komunikasi Jawa ini diatur melalui
tingkat tutur. Lewat tingkat tutur inilah perilaku orang Jawa dapat dipotret, sehingga muncul
petuah: wong Jawa dikenal seka basane, basane kuwi ukuran Jawane. Manakala petuah ini
diabaikan dan lahirlah ungkapan paradoks wong Jawa lali basane, basane ora Jawa.
Akibatnya generasi muda Jawa mulai kagok dengan bahasa Jawanya sendiri.
Lahir tiga kelompok masyarakat Jawa dalam menyikapi perkembangan bahasa Jawa:
kelompok sumelang, kelompok legawa, dan kelompok lila. Kelompok legawalah yang
bersikap positif atas kondisi bahasa Jawa saat ini. Generasi muda Jawa perkotaan telah
kagok dengan bahasa Jawanya sendiri. Kekagokan ini mencakup aspek: kesulitan melafalkan
kosakata, kesulitan dalam berujar Jawa, dan kesulitan memahami tuturan Jawa. Hasil
penelitian menunjukkan 83% generasi muda kagok dalam melafalkan kosakata yang diujikan
PERGESERAN PENEMPATAN LEKSIKAL DASAR DALAM DERET SINTAGMATIK PADA TUTURAN JAWA PESISIR
The unique of the coastal Javanese speech signed with the transfer placement of basic lexical in the
syntagmatic relationship. The transfer placement is colored with the arrangement of norm used and the
socio cultural context. Through the analysis of syntagmatic relationship to the basic lexical which is
examined will shows anew phenomenon on the speech occurred in the coastal Javanese society. These
are: (1) The shows of loosing placement of krama lexical in speech. (2) The out date of cultured degree of
krama inggil lexical in speech, and (3) The mixing occurred between ngoko- krama-krama inggil form in
every speech
Kelonggaran Posisi Leksikal Krama dalam Tuturan Jawa sebagai Tanda Kedinamisan Masyarakat Jawa Pesisir dalam Bersantun
Setiap tuturan yang terujar dalam peristiwa tutur akan mengekspresikan nilai-nilai budaya yang tertanam dan melekat dalam tatanan hidup masyarakatnya. Apa yang yang diujarkan sebenarnya itulah yang dipikirkan dan apa yang dipikirkan itulah dunianya. Kelonggaran penempatan leksikal krama pada tuturan Jawa di wilayah pesisir merupakan ciri kedinamisan kehidupan masyarakat pesisir, sekaligus sebagai cermin atas dunianya. Hal ini telah diperlihatkan pada penggunaan leksikal krama sare ‘tidur' dan siram ‘mandi' pada tuturan sehari-hari
PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN PRINSIP MENGENAL NASABAH SEBAGAI UPAYA PERBANKAN MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan penerapan prinsip kehati-hatian dan prinsip mengenal nasabah Bank dan bagaimana upaya perbankan mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang yang dengan metodd penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Prinsip kehati-hatian (prudential principle), dan prinsip mengenal nasabah (know your customer principle) adalah kedua prinsip yang penting dalam perbankan guna mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Arti pentingnya penerapan kedua prinsip tersebut, dari aspek pencegahannya ialah ketika calon Nasabah berhubungan dengan bank, maka dilakukan penelitian dan pemeriksaan mendalam mengenai aspek-aspek identitas dan kegiatan usaha nasabah. 2. Tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana khusus yang banyak menggunakan lembaga perbankan sebagai sarana melakukan kejahatan pencucian uang, yakni menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang yang semula merupakan uang haram menjadi seakan-akan uang yang diperoleh dari hasil usaha yang legal (sah).Kata kunci: kehati-hatian; nasabah; pencucian uang
Evaluasi Pertumbuhan Dan Daya Hasil Enam Klon Bawang Merah Di Dataran Rendah Donggala Evaluation of Growth and Yield Potential of Six Shallot Clones at Donggala Low Land
Tujuan percobaan ini adalah untuk memperoleh klon bawang merah yang mampu beradaptasi dengan baik di dataran rendah Donggala. Enam klon bawang merah (Lokal Palu, Sumenep, Lokal Tinombo, Bima, Philippina, dan Lokal Napu) ditanam di dataran rendah (Donggala) (±50 m dpl) dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok, masing-masing perlakuan diulang 4 kali, dari bulan Desember 2001 - Maret 2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon lokal Napu merupakan klon bawang merah yang dapat beradaptasi dengan baik serta mempunyai penampilan pertumbuhan yang baru dan hasil yang tinggi di dataran rendah Donggala. Kajian kesukaan konsumen masih diperlukan, apakah klon bawang merah lokal Napu dapat dikembangkan secara komersial
Scale Up Dan Uji Teknis Alat Pengering Tipe Fluidized Bed [Scale Up and Technical Test of Fluidized Bed Dryer]
Alat pengering Fluidized Bed yang tersedia memiliki kapasitas pengeringan yang rendah sehingga diperlukan peningkatan ukuran dimensi alat untuk meningkatkan kapasitas pengeringan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan ukuran dimensi alat pengering Fluidized Bed, menentukan kapasitas pengeringan dan melakukan uji teknis. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Daya dan Mesin Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental dengan pendekatan matematis. Parameter yang digunakan pada penelitian ini adalah parameter Scale Up dan parameter uji teknis. Scale Up alat pengering Fluidized Bed dilakukan pada bagian ruang pengering yang meliputi dimensi ruang pengering dan kapasitas pengeringan. Uji teknis meliputi kecepatan aliran udara, kecepatan minimum fluidisasi, suhu, waktu pengeringan, dan efisiensi ruang pengering. Ruang pengering berbentuk silinder dengan diameter 40 cm, tinggi 200 cm, dan luas alas 0,1256 m2. Kapasitas alat pengering Fluidized Bed sebelum Scale Up adalah 4 kg dan kapasitas setelah Scale Up sebesar 8 kg. Kecepatan aliran udara yang melewati ruang pengering adalah 3 m/s. Sebaran suhu selama proses pengeringan berkisar antara 40-50℃ dan 50-60℃. Berdasarkan hasil penelitian semakin banyak massa yang dikeringkan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan tersebut. Efisiensi ruang pengering yang paling besar terdapat pada kisaran suhu 50-60℃ dengan nilai 94,04%.
Kata kunci: fluidized bed, scale up, uji tekni
- …