Pengembangan Content Management System (CMS) Berbasis PHP Dengan Menggunakan Pendekatan Model View Controller (MVC)

HTML pada awalnya diciptakan sebagai bahasa yang sederhana untuk membangun format teks yang dipublikasi melalui sarana internet. Pada awal perkembangannya, HTML hanya terdiri dari tag-tag sederhana yang hanya berfokus pada bagaimana sebuah teks dapat disajikan dengan baik pada sebuah web. Salah satu alat bantu dalam mempublikasi konten web adalah Content Management System (CMS). Antarmuka merupakan bagian yang paling terlihat dalam suatu aplikasi web. Interaksi antara antarmuka dan pengguna ini, menjadi titik fokus developer dalam melakukan pengubahan aplikasi yang mempertimbangkan kemudahan penggunaan. Business logic yang rumit yang tidak terintegrasi secara baik dengan antarmuka pengguna, membuat pengubahan pada antarmuka pengguna menjadi lebih kompleks dan mudah terjadi kesalahan. Perubahan pada satu bagian memiliki potensi keterkaitan dengan keseluruhan aplikasi. Saat ini CMS memiliki varian-varian baru seperti Wordpress, Joomla dan lain sebagainya. Setiap varian tersebut menawarkan berbagai fasilitas dan kemudahan di segmen yang berbeda. Namun varian-varian CMS yang ada saat ini juga memiliki kelemahan dalam memisahkan business logic yang rumit dan antarmuka pengguna CMS. Oleh karena itu, perlu diciptakan CMS yang mengimplementasikan pendekatan Model View Controller (MVC) yang memisahkan antara bagian bussiness logic dan antarmuka pengguna dengan baik serta mengatur tata interaksi antar bagian tersebut. Aplikasi CMS yang dikembangkan ini meliputi Framework dasar CMS yang mengimplementasikan pendekatan MVC, manajemen user dan akses, manajemen menu, manajemen aset digital, serta manajemen extension

DETEKSI DAN IDENTIFIKASI JAMUR PATOGEN TERBAWA BENIH VARIETAS PADI LOKAL DI KABUPATEN KAPUAS: (Detection and Identification of seedborne pathogenic fungi in Local Rice Varieties in Kapuas Regency)

This study was aimed to detect and identify seed-borne pathogenic fungi in six local rice varieties of Siam Unus, Karangdukuh, Mayang, Gumpal Kuning, Gumpal Putih, and Siam Arjuna in Kapuas Regency. In addition, the objective of this study was also to determine the effect of seed pathogens on the physiological quality and the percentage of infected seeds. The research location was at the Agricultural Cultivation Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Palangka Raya, and the study was carried out from September 2020 to February 2021. Seed health testing used the filter method (blotter test), isolation and identification of seed-borne pathogenic fungi using the agar method. The variables observed included macroscopic morphology of pathogens in petri dishes and microscopic evaluation using a compound microscope, seed germination, percentage of infected seeds, frequency of microorganism findings and pathogenicity tests on seed germination. Based on the results of the study, the identified pathogenic fungi carried by local varieties of rice seeds in Kapuas district were Aspergillus spp., A. flavus, A. niger, Curvularia sp. and Oidium sp., however these pathogens did not affect seed germination. The highest numbers of microorganisms observed on the agar method was Aspergillus spp. (37.5%), followed by Curvularia sp. (29%), whereas in the blotter test method the frequency of the fungus Curvularia sp. only 5.6%. The frequency of finding A. flavus and A. niger on the agar method was lower at 21.8%, while the fungus Oidium sp. was detected in very low percentage for only 0.9%. The pathogenic fungus Oidium sp. showed the highest level of pathogenicity in seeds reaching 21.7%, while the pathogenic A. niger, Curvularia sp. and A. flavus showed a lower infection rate, at 13.9% to 17.8% respectively. These pathogenic fungi might cause the seeds to not germinate normally such as leading to necrosis of the hypocotyl and plumules, stunted germination growth, and death of seed germination. Keywords: Detection, identification, seed-borne pathogens, local rice varieties, Kapua

EFFECTS OF Al2O3 NANOPARTICLES ADDITION ON HARDNESS AND THERMAL PROPERTIES OF Al-Zr-Ce/Al2O3 WITH 3 Wt-% Mg NANOCOMPOSITE PRODUCED BY STIR CASTING

EFFECTS OF Al2O3 NANOPARTICLES ADDITION ON HARDNESS AND THERMAL PROPERTIES OF Al-Zr-Ce/Al2O3 WITH 3 Wt-% Mg NANOCOMPOSITE PRODUCED BY STIR CASTING. Al-Zr-Ce alloy reinforced with Al2O3 nanoparticles with 3wt% Mg addition is proposed as one of the alternative material to replaceACSR as aluminum conductor. The composition of the nanocomposite consists of 0.12% Zr, 0.15% Ce, 3% Mg and 0.5-1.5 vf-% Al2O3. Fabrication of the nanocomposite is using stir casting method. Master alloy which consists of aluminum alloyed with Zr and Ce was manufactured. The master alloy was then melted and 3% Mg along with the reinforcement was blended inside the molten metal by stirring with rotational speed of 500 rpm at 850°C in an inert Ar gas environment. Chemical composition test confirmed the composition of alloying elements were close to the design except Ce, that could be related to limitation of OES and fading effect. The density of nanocomposite was decreased, while the porosity was increased with the addition of Al2O3. Nanocomposites’ hardness testing shows hardness increases with further addition of Al2O3, except the composite with 1.5 vf% of reinforcement that had lower hardness. Further addition of Al2O3 reinforcement to nanocomposite reduced its thermal expansion coefficient. SEM observation indicated that the Al2O3 nano particles were agglomerated and did not react to form interface layer. Nanocomposite 1.2 vf-% SEM observation shows that Ce inside of themicro structure did not segregate with Fe and Si, but seemed to react with Mg and Zr

STUDI KEBUTUHAN ANGKUTAN UMUM KOTA DI KECAMATAN PAMEKASAN – KABUPATEN PAMEKASAN

Belum adanya angkutan umum bermesin di Kecamtan Pamekasan memerlukan kajian awal untuk mengetahui potensi kebutuhan angkutan umum kota di Kecamatan Pamekasan. Dengan itu dapat diketahui karakteristik sosial-ekonomi dan karakteristik perjalanan,model pemilihan moda antara kendaraan pribadi dengan angkutan umum kota, dan potensi kebutuhan angkutan umum kota. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penyebaran kuesioner karakteristik sosial ekonomi responden, karakteristik perjalanan dan kuesioner yang disusun dengan menggunakan teknik stated preference dengan atribut selisih biaya perjalanan, selisih waktu tempuh perjalanan, dan selisih frekuensi keberangkatan antara angkutan umum kota dan kendaraan pribadi. Responden yang dibutuhkan sebanyak 100 responden, dengan 40 responden kendaraan pribadi roda 4  dan 60 responden kendaraan pribadi roda 2. Pengumpulan data juga dilakukan dengan kuesioner Analytic Hierarchy Process (AHP) sebanyak 30 responden dari beberapa instansi Kabupaten Pamekasan, yaitu Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Polres, dan Akademisi. Hasil pemodelan pemilihan moda dengan menggunakan metode stated preference adalah sebagai berikut: 1.Selisih biaya perjalanan (ΔX1): UAK – UKP = -0,08033 – 0,00157ΔX1 dengan R2 = 36,1% (roda dua) UAK – UKP = -1,68991 – 0,00098ΔX1 dengan R2 = 28,045% (roda empat) 2. Selisih waktu tempuh (ΔX2): UAK – UKP = 0,83704 – 0,15834ΔX2 dengan R2 = 23,55% (roda dua) UAK – UKP = -0,07394 – 0,12441ΔX2 dengan R2 = 35,55% (roda empat) 3. Selisih frekuensi keberangkatan (ΔX3): UAK – UKP = 0,62091 + 0,02341ΔX3 dengan R2 = 0,626% (roda dua)UAK – UKP = 0,58382 – 0,00673ΔX3 dengan R2 = 0,039% (roda empat) Potensi perpindahan pengguna kendaraan pribadi roda dua ke angkutan umum kota sebesar 18 orang/jam puncak. Sedangkan potensi penumpang rata-rata/hari adalah 127 orang/hari, dan per jamnya 11 orang/jam. Sedangkan dengan metode Analytic Hierarchy Process adalah aspek keselamatan merupakan yang tertinggi (34,532%) dan perlu pengadaan angkutan umum kota > 5 tahun. Kata kunci: Kendaraan pribadi, angkutan umum kota, Stated Preference, Analytic Hierarchy Process (AHP), Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasa

STUDI KEBUTUHAN ANGKUTAN UMUM KOTA DI KECAMATAN PAMEKASAN – KABUPATEN PAMEKASAN

Belum adanya angkutan umum bermesin di Kecamtan Pamekasan memerlukan kajian awal untuk mengetahui potensi kebutuhan angkutan umum kota di Kecamatan Pamekasan. Dengan itu dapat diketahui karakteristik sosial-ekonomi dan karakteristik perjalanan,model pemilihan moda antara kendaraan pribadi dengan angkutan umum kota, dan potensi kebutuhan angkutan umum kota. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penyebaran kuesioner karakteristik sosial ekonomi responden, karakteristik perjalanan dan kuesioner yang disusun dengan menggunakan teknik stated preference dengan atribut selisih biaya perjalanan, selisih waktu tempuh perjalanan, dan selisih frekuensi keberangkatan antara angkutan umum kota dan kendaraan pribadi. Responden yang dibutuhkan sebanyak 100 responden, dengan 40 responden kendaraan pribadi roda 4  dan 60 responden kendaraan pribadi roda 2. Pengumpulan data juga dilakukan dengan kuesioner Analytic Hierarchy Process (AHP) sebanyak 30 responden dari beberapa instansi Kabupaten Pamekasan, yaitu Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Polres, dan Akademisi. Hasil pemodelan pemilihan moda dengan menggunakan metode stated preference adalah sebagai berikut: 1.Selisih biaya perjalanan (ΔX1): UAK – UKP = -0,08033 – 0,00157ΔX1 dengan R2 = 36,1% (roda dua) UAK – UKP = -1,68991 – 0,00098ΔX1 dengan R2 = 28,045% (roda empat) 2. Selisih waktu tempuh (ΔX2): UAK – UKP = 0,83704 – 0,15834ΔX2 dengan R2 = 23,55% (roda dua) UAK – UKP = -0,07394 – 0,12441ΔX2 dengan R2 = 35,55% (roda empat) 3. Selisih frekuensi keberangkatan (ΔX3): UAK – UKP = 0,62091 + 0,02341ΔX3 dengan R2 = 0,626% (roda dua)UAK – UKP = 0,58382 – 0,00673ΔX3 dengan R2 = 0,039% (roda empat) Potensi perpindahan pengguna kendaraan pribadi roda dua ke angkutan umum kota sebesar 18 orang/jam puncak. Sedangkan potensi penumpang rata-rata/hari adalah 127 orang/hari, dan per jamnya 11 orang/jam. Sedangkan dengan metode Analytic Hierarchy Process adalah aspek keselamatan merupakan yang tertinggi (34,532%) dan perlu pengadaan angkutan umum kota > 5 tahun. Kata kunci: Kendaraan pribadi, angkutan umum kota, Stated Preference, Analytic Hierarchy Process (AHP), Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasa

No evidence for trade-offs between bird diversity, yield and water table depth on oil palm smallholdings: Implications for tropical peatland landscape restoration

Abstract Tropical peat swamp forests retain large carbon stocks and support unique biodiversity, but clearance and drainage for agriculture have resulted in fires, carbon emissions and biodiversity losses. Initiatives to re‐wet cultivated peatlands may benefit biodiversity if this protects remaining forests from fire and agricultural encroachment, but there are concerns that re‐wetting could reduce yields and damage livelihoods, as relationships between drainage, on‐farm biodiversity, and crop yields have not been studied. We examined oil palm fruit yields and bird diversity on 41 smallholder farms in Jambi (Sumatra, Indonesia), which varied in drainage intensity (12‐month mean water table per plot from August 2018 to August 2019: −52 to −3 cm below‐ground). We also compared farm bird diversity with a neighbouring area of protected peat swamp forest (11,000 ha, 21 plots; mean water table per plot −3 to +15 cm). Bird species richness (3–18 species per plot), species composition and oil palm yields (4.5–19.2 t fresh fruit bunch ha−1 year−1) varied among farms, but were not detectably affected by water table depth, although ground‐level vegetation was more complex on wetter farms. Bird richness in oil palm (mean = 10.3 species per plot) was &lt;50% of that in forest (26 species per plot), and only 3 of 35 conservation‐priority species found in forest were recorded in oil palm. Synthesis and applications. Tropical peatlands in Indonesia have been drained to allow farmer access and improve farm yields, but we found no trade‐offs between drainage depth, yields and bird diversity on smallholder oil palm farms in our study landscape within the studied range of drainage depths. Current restoration initiatives to re‐wet peat may benefit farmers by reducing fire risk, without affecting yields. Wetter farms had increased understorey vegetation complexity, but this did not affect bird diversity, so we find no evidence that re‐wetting improves on‐farm biodiversity. However, on‐farm fire reduction efforts in cultivated peatlands, including re‐wetting, will be vital for reducing the risk of fires escaping into nearby forests, which contain unique and diverse bird species assemblages. Protection of remaining peatland forests from fire and clearance is key for biodiversity conservation, and for providing a source of seed dispersers and genetic material for future forest and landscape restoration efforts. Restoration of more biodiversity‐friendly land covers will improve landscape permeability and help conserve species and the ecosystem services they deliver. </jats:p