205 research outputs found
Electron density fluctuations accelerate the branching of positive streamer discharges in air
Branching is an essential element of streamer discharge dynamics but today it
is understood only qualitatively. The variability and irregularity observed in
branched streamer trees suggest that stochastic terms are relevant for the
description of streamer branching. We here consider electron density
fluctuations due to the discrete particle number as a source of stochasticity
in positive streamers in air at standard temperature and pressure. We derive a
quantitative estimate for the branching distance that agrees within a factor of
2 with experimental values. As branching without noise would occur later, if at
all, we conclude that stochastic particle noise is relevant for streamer
branching in air at atmospheric pressure.Comment: 5 pages, 4 figure
Adolescent psychopathological profiles and the outcome of the COVID-19 pandemic: Longitudinal findings from the UK Millennium Cohort Study
Background: According to cross-sectional studies, public health measures to contain the spread of COVID-19 are associated with adverse effects, including high level of psychological distress, anxiety, and depression.
Aims: This study explored adolescent psychopathological profiles at age 17, and their role in predicting the impact of the COVID-19 pandemic at age 19.
Methods: The analyses used a sample of 904 participants (mean age = 19.17 years) from the Millennium Cohort Study (MCS) sweep 7 who completed the mental health questions from January 2018 to March 2019 (mean age = 17.18 years) and the COVID-19 Survey in May 2020. Adolescent psychopathological profiles were identified by means of latent class analysis.
Results: Four psychopathological profiles were identified: “low-symptom class” (60.17% of participants), “high-symptom class” (23.01% of participants), “substance/behavioural addictions class” (12.03% of participants), and “emotion-dysregulation class” (4.79% of participants). Adolescents in the high-symptom and emotional-dysregulation classes had the worst outcome during the lockdown. Specifically, they experienced more stress, conflict and loneliness, and lower levels of perceived social support than adolescents in the other psychopathological classes. Adolescents in the emotional-dysregulation class also consumed more alcohol and had worse financial situation during the lockdown compared to pre- lockdown period.
Conclusion: Adolescent psychopathological profiles predicted the mental health impacts of the COVID-19 outbreak.Depto. de Medicina Legal, Psiquiatría y PatologíaFac. de MedicinaTRUEpu
Positive and negative streamers in ambient air: modeling evolution and velocities
We simulate short positive and negative streamers in air at standard temperature and pressure. First, double-headed streamers in homogeneous electric fields of 50 kV cm^(−1) are briefly studied, and then we analyse streamers that emerge from needle electrodes with voltages of 10–20 kV in more detail. The streamer velocity at a given streamer length depends only weakly on the initial ionization seed, except in the case of negative streamers in homogeneous fields. We characterize the streamer evolution by length, velocity, head radius, head charge and maximal field enhancement. We show that the velocity of positive streamers is determined mainly by their radius and in quantitative agreement with recent experimental results both for radius and velocity. The velocity of negative streamers is dominated by electron drift in the enhanced field; in the low local fields of the present simulations, it is little influenced by photo-ionization. Initially it is puzzling that negative streamers can be slower than positive ones under similar conditions, both in experiment and in simulation, as negative streamer fronts always move at least with the electron drift velocity in the local field. We argue that this drift motion broadens the streamer head, decreases the field enhancement and ultimately leads to slower propagation or even extinction of the negative streamer
IMPLEMENTASI PROGRAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEEFEKTIFAN PROSES PEMBELAJARAN PADA SEKOLAH DASAR (Studi kasus di Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran Banyumas)
Pendidikan sangat mempengaruhi kualitas suatu bangsa. Secara empirik kita
bisa mengamati bahwa bangsa-bangsa di benua Eropa dan Amerika, bahkan beberapa
negara tetangga kita di kawasan Asia, seperti halnya Jepang dan Korea Selatan,
mampu menjadi bangsa-bangsa terkemuka di dunia karena rakyatnya secara umum
memang memiliki pendidikan yang baik dan berkualitas. Sebaliknya banyak bangsa
di belahan dunia lain menjadi bangsa yang jauh tertinggal akibat rakyatnya
berpendidikan rendah. Gambaran nyata dari kondisi tersebut dapat kita amati dari
bangsa-bangsa di belahan Afrika, Berdasarkan realita empirik tersebut maka
pendidikan harus mendapatkan prioritas tersendiri agar suatu bangsa bisa menjadi
maju dan menempati posisi terhormat di antara bangsa-bangsa lainnya.
Secara prinsip, pemerintah Indonesia memiliki atensi besar pada masalah
pendidikan. Dimasukkannya pendidikan dalam pasal konstitusi dasar (UUD 1945)
serta penegasan dalam mukadimah konstitusi tersebut (alinea IV) bahwa
”mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan salah satu tujuan nasional, menjadi
bukti-bukti yang tak terbantah. Selain itu, GBHN sebagai landasan operasional
pembangunan nasional yang berkelanjutan, senantiasa menempatkan pendidikan
sebagai salah satu materi pokok dalam implementasi pembangunan. Akan tetapi
ketika kita masuk pada dataran lain, yaitu mengenai kondisi pendidikan, muncul
sebuah ironi karena kualitas pendidikan yang ada ternyata masih jauh dari wacana
ideal yang selama ini didengung-dengungkan melalui undang-undang pendidikan,
atau yang tersurat dalam GHBN.
Indikasi dari paparan di atas adalah mutu pendidikan dasar di Indonesia yang
secara rata-rata masih rendah. Menurut Organisasi International Education
Achievment bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar di Indonesia tahun
2002 berada pada urutan ke 38 dari 39 negara peserta yang diteliti, sedangkan
menurut penelitian mutu pendidikan yang dilakukan oleh The Third International
Mathematics and Science Study Report (TIMSS-R) pada tahun 1999 berada pada
urutan ke 34 dari 38 negara yang diadakan penelitian untuk mata pelajaran
Matematika, dan untuk mata pelajaran IPA pada urutan ke 32 dari 38 negara yang
diteliti. Data diambil dari buku Pedoman Pelaksanaan Tes Kemampuan Dasar bagi
siswa kelas 3 SD/MI (Dirjen Dikdasmen, 2002:2). Hal ini juga diperkuat oleh
pendapat Suparman (2001:1) bahwa salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi
saat ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Kondisi tersebut perlu dibenahi secepatnya. Terlebih lagi di masa mendatang
diyakini bahwa persaingan global semakin ketat sehingga bangsa dengan kualitas
sumber daya manusia yang rendah akan mudah tergilas oleh bangsa lainnya dengan
kondisi SDM-nya lebih baik. Hal ini seperti ditegaskan Tampubolon (2002:1) bahwa
hanya bangsa yang memiliki SDM unggullah yang akan memenangkan kompetisi
global dan memiliki tiket untuk survive di masa depan.
Dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar maka pemerintah
telah menempuh berbagai kebijakan dimana salah satunya adalah melalui Program
Manajemen Berbasis Sekolah. Menurut analisis Suparman (2001:1), yang
melatarbelakangi adanya Program Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah adalah rendahnya mutu pendidikan yang ada, sedangkan
faktor-faktor yang menjadi penyebab kondisi demikian adalah :
Pendidikan dengan pendekatan Education Productional Function, yang
mengedepankan input dan output dari suatu lembaga pendidikan sebagai
tolok ukur keberhasilannya (terutama pada sekolah/lembaga pendidikan
dasar)
Sistem pendidikan dengan pendekatan sentralistis yang pengaturan dan
kewenangannya terpusat, sehingga kebijakan pendidikan yang ada sulit
dilaksanakan, bahkan kadang bertentangan dengan kondisi di daerah. Hal
ini sering menjadikan pihak sekolah bersikap ABS (Asal Bapak Senang)
dengan cara memanipulasi adminitasi yang seolah-olah berkesan
kebijakan itu lancar dan sukses.
Peran masyarakat pada bidang pendidikan (terutama SD/MI) masih rendah,
baik dilihat dari perhatian maupun peran serta masyarakat pada dunia
pendidikan secara umum.
Program Manajemen Berbasis Sekolah merupakan wujud kerja sama antara
Pemerintah Indonesia dengan organisasi dunia yaitu UNICEF dan UNESCO. Secara
konseptual, program ini merupakan suatu bentuk kebijakan yang memberikan
wewenang luas kepada sekolah untuk menentukan kebutuhan dan program sekolah
dengan memberdayakan sumber daya yang ada di dalam maupun di luar sekolah,
untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan di sekolah dengan tidak
mengesampingkan tujuan Pendidikan Nasional. Dengan demikian pelaksanaan
Program Manajemen Berbasis Sekolah diharapkan mampu mengatasi permasalahanpermasalahan
yang dihadapi sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan pada
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Di samping itu, implementasi program juga
diharapkan mampu mempertinggi tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat.
Untuk dapat merealisasikan semua itu secara optimal jelas tidak semudah
membalik telapak tangan dan sangat mungkin jauh lebih sulit daripada menyusun
konsep programnya. Apalagi program tersebut tidak hanya melibatkan program
pihak-pihak intern dalam struktur kelembagaan pendidikan, seperti sekolah dan
instansi pendidikan terkait, tetapi juga masyarakat adanya peran serta aktif dari
masyarakat luar selaku stakeholders, baik secara perorangan maupun
organisasi/kelembagaan. Padahal dari kedua pihak tersebut masih dijumpai sejumlah
kendala. Dalam kelembagaan pendidikan, tingkat kesejahteraan guru, aspek kualitas,
maupun penyebarannya yang antar daerah kurang merata, menjadi permasalahan
yang sering mengemuka. Kemudian dari perspektif masyarakat, kepedulian dan
partisipasi aktif dari masyarakat secara umum masih rendah dan jauh dari harapan.
Dengan kondisi tersebut maka banyak tantangan yang harus dihadapi dalam
mendukung suksesnya implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah.
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah yang telah ditunjuk untuk
melaksanakan perintisan Program Manajemen Berbasis Sekolah. Implementasi
Program Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah di
Kabupaten Banyumas merupakan salah satu upaya untuk mengatasi rendahnya mutu
pendidikan SD/MI di daerah ini. Di samping itu, keberadaan program ini sejalan
dengan kebijakan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah di
Kabupaten Banyumas yang memprioritsakan pada bidang peningkatan mutu,
pemerataan kesempatan, efisiensi dan efektifitas serta relevansi pendidikan.
Implementasi Program Manajemen Berbasis Sekolah di Kabupaten Banyumas
dimulai sejak tahun pelajaran 1999/2000, khususnya di Kecamatan Banyumas ada 8
(delapan) Sekolah Dasar yang ditunjuk sebagai sekolah rintisan MBS. Adapun
keberadaan dan perkembangan 8 (delapan) SD tersebut sangatlah beragam dan tidak
sama antara sekolah yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor, baik faktor dari dalam maupun dari luar. Sekolah Dasar Negeri 1 Sudagaran
adalah sekolah yang paling menonjol keberhasilannya baik dari segi akademik
maupun non akademik
Adapun fokus dalam penelitian ini adalah implementasi program MBS di
bidang manajemen, kinerja kepala sekolah / guru dan peran serta masyarakat,serta
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan ( PAKEM )
Climatic and land use changes on the NW of Iberian Peninsula recorded in a 1500-year record from Lake Sanabria
L'estudi de diversos descriptors paleoambientals com ara el
pol·len, les diatomees i la sedimentologia, realitzat en sediments
procedents del llac de Sanabria (NO de la península Ibèrica),
ha aportat informació sobre les oscil·lacions climàtiques
atribuïdes als períodes càlids tardoromà i medieval, així com a
la petita edat del gel. Entre els anys 440 i 950 dC, el clima es
caracteritzà per temperatures suaus i un règim de precipitacions
mediterrani, malgrat l'existència de pulsacions més fredes
vers els anys 530 i 700 dC. Les evidències pol·líniques dels
usos del sòl indiquen l'extensió d'activitats ramaderes i agrícoles.
Aquesta fase correspon al final del període càlid romà i al
període càlid medieval. El canvi de condicions climàtiques es
produeix entre els anys 950 i 1100 dC, moment en què els valors
mínims de matèria orgànica, pol·len arbori, concentració
de diatomees, nitrogen total (TN) i mida del gra indiquen temperatures
més baixes i un règim de precipitacions més regular.
Aquest període correspon a la petita edat del gel, que finalitzà
vers l'any 1590 dC. Posteriorment, la productivitat del llac tendeix
a recuperar els valors previs, malgrat que es produeixen
episodis freds i curts.
Els valors de carbó orgànic total, TN i diatomees covarien
amb els índexs de temperatura del NO de la península Ibèrica i
posarien de manifest que, amb anterioritat a l'era industrial, el
sistema lacustre de Sanabria estava controlat principalment
per les condicions climàtiques. Des de l'any 1920 dC, la productivitat
del llac està influenciada per l'activitat humana.This multi-proxy paleoenvironmental study from Lake Sanabria
(NW Iberian Peninsula), based on pollen, diatom, and sedimentology,
provides evidences of climatic oscillations attributed to
the Late Roman and Medieval Warm Periods as well as the Little
Ice Age (LIA). From 440 to 950 AD, the climate was characterized
by mild temperatures and a Mediterranean rainfall
regime, although climatic cold periods were recorded at ca.
530 and 700. Evidence from pollen indicators of land-use suggests
that grazing and farming were widespread activities. This
period corresponds to the end of the Roman Warm Period and
the Medieval Warm Period. The onset of new climate conditions
occurred between 950 and 1100 AD, as minimum values
of organic matter, arboreal pollen, diatom concentration, total
nitrogen (TN), and grain size indicate low temperatures and a
more regular rainfall regime. This period corresponds to the LIA
and ended at 1590 AD, when lake productivity tended to recover
to previous values in spite of the occurrence of cool
events. Total organic carbon, TN, and diatom content covary
with the temperature index for the NW Iberia, suggesting that
Lake Sanabria was mainly controlled by climate before the industrial
period. Since 1920 AD, lake productivity has been
mainly influenced by human activity
Photoionization in negative streamers: Fast computations and two propagation modes
Streamer discharges play a central role in electric breakdown of matter in pulsed electric fields,
both in nature and in technology. Reliable and fast computations of the minimal model for
negative streamers in simple gases like nitrogen have recently been developed. However,
photoionization was not included; it is important in air and poses a major numerical challenge.
We here introduce a fast and reliable method to include photoionization into our numerical
scheme with adaptice grids, and we discuss its importance for negative streamers. In particular,
we identify different propagation regimes where photoionization does or does not play a role
On the emergence mechanism of carrot sprites
We investigate the launch of negative upward streamers from sprite glows. This phenomenon is readily observed in high‐speed observations of sprites and underlies the classification of sprites into carrot or column types. First, we describe how an attachment instability leads to a sharply defined region in the upper part of the streamer channel. This region has an enhanced electric field, low conductivity and strongly emits in the first positive system of molecular nitrogen. We identify it as the sprite glow. We then show how, in the most common configuration of a carrot sprite, several upward streamers emerge close to the lower boundary of the glow, where negative charge gets trapped and the lateral electric field is high enough. These streamers cut off the current flowing toward the glow and lead to the optical deactivation of the glow above. Finally, we discuss how our results naturally explain angel sprites
- …