31 research outputs found

    INTERACTION BETWEEN DIETARY MINERAL AND PHYTASE ON BIOLOGICAL PERFORMANCES OF JAPANESE FLOUNDER, Paralichthys olivaceus. PART II. MINERAL DIGESTIBILITY AND VERTEBRAL MINERAL CONTENT

    Get PDF
    Interactive effects between dietary inorganic phosphorus (IP) and phytase (P) on mineral digestibility and vertebral mineral content were investigated in a 30 days feeding trial followed by three weeks digestibility trial with Japanese flounder, Paralichthys olivaceus. Eight experimental diets were formulated based on two levels of dietary Ca at 0% and 0.2% combined with either 0% or 0.25% of dietary IP and either with 0 and 2,000 fytase unit (FTU)/kg of phytase in diet, respectively. Result indicated that digestibility of total phosphorus significantly increased by three dietary compounds where the highest was observed in fish fed diet contained 0.25% IP and 2,000 FTU phytase/kg and dietary Ca also included in diet. Significant interaction was only detected between dietary IP and P on this parameter. Supplementation of IP and Ca not phytase significantly improved Ca digestibility. Ca digestibility was very poor when dietary IP and Ca were not supplemented in diet even with when phytase supplemented in diet. There was significant interaction between dietary IP and Ca on Ca digestibility. Vertebral total phosphorus, Ca, and Mg content as well as Ca:P ratio were significantly enhanced by dietary IP and phytase. Dietary Ca has significant effect only on vertebral total phosphorus. Interaction between dietary IP and Ca was significantly found on vertebral Ca content and Ca:P ratio. No significant second-order interaction was observed among the three dietary mineral on overall parameters. Based on total phosphorus and Ca digestibility as well vertebral phosphorus content found in this study, dietary IP, Ca, and phytase at rate of 0.25%, 0.2%, and 2,000 FTU phytase/kg diet, respectively are needed to supplement in diet for a better mineral absorption and bone mineralization

    FLUCTUATION OF POST-PRANDIAL PLASMA MINERAL LEVEL OF JUVENILE JAPANESE FLOUNDER, Paralichthys olivaceus FED DIETARY PHOSPHORUS AND PHYTASE SUPPLEMENTATION

    Get PDF
    In order to investigate the phytic acid degradation in the gut of post juvenile Japanese flounder, indirect method was carried out by measuring the pre-prandial and postprandial plasma mineral and alkaline phosphatase (ALP) level as well as liver phosphorus content. The experiment was designed into a Randomized Block in which experiment units were grouped according to sampling days at 10, 20 and 30 days of feeding time. Experimental diets contained three levels of dietary inorganic phosphorus at 0.0; 0.25 and 0.5% combined with two levels of dietary phytase at 0 and 2,000 FTU/kg diet. Juvenile Japanese flounder (IBW = 36.2 g) were randomly distributed into 6 tanks of a 200 L capacity with density of 15 fish/tank. Blood sampling was carried out at 0 hour (before feeding or pre-prandial) and at 1, 3, 6 and 12 hour post feeding (post-prandial) time in three sampling days, respectively. Plasma was measured for mineral and ALP levels, while liver was analyzed for P content. The observation showed that fish fed without both dietary IP and phytase supplements had the lowest postprandial plasma IP, Mg and ALP levels during 12-h postprandial period. Plasma IP level at 6-h post-feeding in groups fed dietary 0.25 and 0.5% IP were significant higher when diet supplemented with phytase than those without phytase supplement. Peak level of plasma IP in fish fed 0.25% IP was similar to fish fed 0.5% with the presence of dietary phytase. At 1 and 3-h post-feeding, plasma Ca level increased in all groups, but significant difference was only observed between group fed diet without both dietary IP and phytase and other groups. Similar to plasma IP level, peak of plasma Mg and ALP concentration occurred in fish fed 0.25% IP together with phytase, and did not significantly differ from fish fed with 0.5% IP even when phytase was included in diet

    PERFORMA FOTOSINTESIS Kappaphycus sp. (strain Sumba) YANG DIUKUR BERDASARKAN EVOLUSI OKSIGEN TERLARUT PADA BEBERAPA TINGKAT SUHU DAN CAHAYA

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan cahaya terhadap laju fotosintesis Kappaphycus sp. (strain Sumba) yang diukur berdasarkan perubahan oksigen terlarut. Pengukuran laju fotosintesis Kappaphycus sp. pertama-tama dilakukan pada suhu 20oC, 24oC, 28oC, dan 32oC pada tingkat cahaya 353 Όmol photons m-2 s-1 untuk mendapatkan kurva fotosintesis versus suhu (kurva P-T). Selanjutnya, pengukuran laju fotosintesis dilakukan pada suhu 20oC, 24oC, dan 28oC dengan intensitas cahaya 9, 22, 46, 58, 87, 137, 245, 353, 487, 608, dan 789 Όmol photons m-2 s-1 dan juga pengukuran laju respirasi pada tingkat cahaya 0 Όmol photons m-2 s-1 untuk menghasilkan kurva fotosintesis versus cahaya (kurva P-I). Beberapa parameter fotosintesis yaitu: laju fotosintesis maksimum (Pmax), koefisien fotosintesis (α), intensitas cahaya jenuh (Ek), dan intensitas cahaya kompensasi (Ec) dihitung dengan cara memplotkan kurva P-I terhadap model persamaan regresi non linear P = {Pmax x tanh (α / Pmax x I)} + Rd. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa laju fotosintesis tertinggi sebesar 6,92 Όg O2 gww-1 min-1 dicapai pada suhu 28oC dengan tingkat cahaya 353 Όmol photons m-2 s-1. Pada suhu 20oC, 24oC, dan 28oC, laju fotosintesis mencapai tingkat maksimum (Pmax) pada intensitas cahaya (Ek) 86,1; 154,2; dan 162,4 Όmol photons m-2 s-1. Suhu yang optimum untuk aktivitas fotosintesis berkorelasi erat dengan suhu pada lingkungan budidaya di alam

    Pola Serangan Penyakit Komplikasi EHP dan WSSV Pada Litopenaeus vannamei di Tambak Intensif

    Get PDF
    Tambak udang intensif terkadang mengalami kasus kematian udang akibat infeksi berbagai patogen, dan salah satu penyakit tersebut adalah EHP atau disebut white peces disease (WFD) dan WSSV (white spot  syndrome virus)  atau disebut bintik putih. Umumnya pembudidaya akan segera panen jika kedua penyakit ini menyerang udang di tambak. Namun pada kegiatan ini, dilakukan upaya mempertahankan pemeliharaan udang hingga mencapai masa panen yang layak. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya pengetahuan mengenai pola serangan penyakit udang dan kondisi kualitas air tambak agar penyakit tersebut dapat dikurangi dampaknya. Sampai saat ini masih kurang informasi mengenai gambaran kondisi pertumbuhan udang dan kualitas lingkungan saat terjadi kasus penyakit infeksi EHP dan WSSV pada udang tambak intensif. Informasi tersebut akan sangat bermanfaat bagi pembudidaya dalam menentukan langkah yang harus dilakukan agar tidak mengalami kerugian yang besar. Hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa kasus infeksi penyakit EHP dan WSSV pada udang vanname di tambak intensif terjadinya bersamaan di pekan ke-3 atau DOC 19. Munculnya penyakit EHP dan WSSV tersebut disertai dengan meningkatknya kasus nekrosis pada kaki renang, meningkatnya infeksi bakteri filamen (Leucotrix sp), meningkatnya suhu air tambak, penurunan nilai pH air satu pekan sebelumnya,  meningkatnya nilai alkalinitas air, dan meningkatnya total bakteri dalam air tambak. Meskipun pada masa pemeliharaan ini telah terbukti telah terinfeksi penyakit EHP dan WSSV, namun pemeliharaan dapat dilanjutkan hingga pekan ke-13 atau DOC 75 dan akhir panen  sebanyak 937 kg, SR 73,5%, dan FCR 1,69

    Pengaruh Lama Pemaparan Thalus Rumput Laut Gracillaria SP terhadap Pelepasan Spora

    Get PDF
    Pembibitan rumput laut secara spora merupakan teknik pembibitan dengan memanfaatkan sifat siklus hidup rumput laut Gracillariasp sesuai  perkembangbiakannya secara generative yaitu spora, dapat dilakukan tanpa tergantung kondisi alam sehingga ketersediaan bibit dapat berkesinambungan.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh  lama waktu pemaparan terhadap jumlah dan derajat pelekatan karpspora rumput laut Gracillariasp secara terkontrol. Penelitian dilakukan dengan metode eksprimen dan  didisain dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuanm ( lama waktu  pemaparan 0, 5, 15, dan 30 menit),  masing-masing perlakuan diulang 3 kali.  Hasil peneltian menunjukkan bahwa  lama waktu pemaparan terbaik adalah  15 menit karena  memberikan pengaruh lebih baik   (anova pada α =0,05) dibanding perlakuan lainnya.  Perlakuan lama waktu pemaparan  15 menit  menghasilkan jumlah karpospora945 lebih tinggi dari perlakuan lainnya  secara berturut-turut lama waktu pemaparan 0 menit menghasilkan 893 karpospora, 15 menit  (928spora) dan 30 menit (610 karpospora).   Perlakuan  pemaparan thallus juga dapat mempercepat pelepasan spora,  tertinggi jumlah karpospora sampai   hari kedua pada setiap perlakuan dibandingkan perlakuan 0 menit (control).  selanjutnya menurun sampai hari keempa

    SUPLEMENTASI RAGI ROTI (Saccharomyces cerevisiae) DALAM PAKAN PEMBESARAN IKAN BARONANG (Siganus guttatus)

    Get PDF
    Pemanfaatan Saccharomyces cerevisiae yang disuplementasikan dalam pakan buatan berbasis protein nabati mampu meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis ikan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi S. cerevisiae dalam pakan pembesaran ikan baronang. Hewan uji yang digunakan adalah ikan baronang dengan bobot awal antara 30-32 g/ekor. Perlakuan yang dicobakan adalah pakan dengan: tanpa suplementasi S. cerevisiae (S0; kontrol), suplementasi S. cerevisiae 2% (S2), suplementasi S. cerevisiae 4% (S4), dan suplementasi S. cerevisiae 6% (S6). Wadah penelitian yang digunakan adalah waring hitam berukuran 1 m x 1 m x 2 m, dengan kedalaman air 1,5 m; ditebari ikan uji dengan kepadatan 20 ekor/wadah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari sebanyak 4% dari biomassa ikan uji. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 2% S. cerevisiae dalam pakan memberikan respons pertambahan bobot dan laju pertumbuhan spesifik yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai koefisien kecernaan total pakan relatif sama antara perlakuan S2, S4, dan S6, namun ketiganya lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (S0). Jumlah sel darah merah (eritrosit) dan aktivitas fagositosis mengalami peningkatan secara signifikan (P<0,05) seiring dengan penambahan S. cerevisiae dibanding kontrol (S0). Suplementasi S. cerevisiae dapat dilakukan sebanyak 2% dalam formulasi pakan ini untuk pembesaran ikan baronang.The utilization of Saccharomyces cerevisiae supplemented in artificial feed of protein plant-based can increase the growth of several of aquaculture fish species. This study was aimed to evaluate the effect of S. cerevisiae supplementation in artificial diet on the growth performance of rabbitfish. The test animals used were rabbitfish with an initial weight of 30-32 g/fish. The treatments tried were artificial diets with: no supplementation of S. cerevisiae (S0; control), supplementation of S. cerevisiae 2% (S2), supplementation of S. cerevisiae 4% (S4), and supplementation of S. cerevisiae 6% (S6). The fish were reared in twelve net cages of 1 m x 1 m x 2 m, with a density of 20 ind./cage. Completely randomized design was used in this experiment. The fish were fed with test diets twice a day as much as 4% of total biomass. The results showed that the supplementation of 2% S. cerevisiae in diet gave higher weight gain and specific growth rate (P<0.05) than those of other treatments. The value of total feed digestibility coefficient was relatively the same between treatments S2, S4, and S6, but the three of them were higher and significantly different (P<0.05) than the control (S0). The number of red blood cells (erythrocytes) and phagocytic activity increased significantly (P<0.05) along with the supplementation of S. cerevisiae compared to control (S0). Supplementation of S. cerevisiae could be done as much as 2% in feed formulation for grow-out of rabbitfish.

    PENGARUH INTERVAL PERENDAMAN Eucheuma denticulatum DALAM PUPUK PROVASOLI’S ENRICH SEAWATER (PES) TERHADAP PERTUMBUHAN SECARA IN VITRO

    Get PDF
    Rumput laut menjadi salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Pemupukan rumput laut dengan metode perendaman dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi interval perendaman rumput laut Eucheuma denticulatum menggunakan pupuk PES secara “in vitro”. Rancangan percobaan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan interval perendaman 0, 6, 12, 18, 24, dan 30 hari sekali. Perendaman dengan 0 jam adalah kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval perendaman dalam larutan PES memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap laju pertambahan panjang dan bobot rumput laut E. denticulatum. Interval perendaman dalam larutan PES pada perlakuan D (24 hari sekali) dapat memberikan pertumbuhan maksimal dengan laju pertambahan bobot mutlak 92,8% dan laju pertambahan panjang mutlak 43,8 %, laju pertumbuhan bobot relatif 1,37% dan laju pertumbuhan panjang relatif 0,76%. Rumput laut yang direndam dengan PES 24 hari sekali memiliki pertumbuhan terbaik dibanding dengan perlakuan lainnya.Rumput laut menjadi salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Pemupukan rumput laut dengan metode perendaman dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi interval perendaman rumput laut Eucheuma denticulatum menggunakan pupuk PES secara “in vitro”. Rancangan percobaan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan interval perendaman 0, 6, 12, 18, 24, dan 30 hari sekali. Perendaman dengan 0 jam adalah kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interval perendaman dalam larutan PES memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap laju pertambahan panjang dan bobot rumput laut E. denticulatum. Interval perendaman dalam larutan PES pada perlakuan D (24 hari sekali) dapat memberikan pertumbuhan maksimal dengan laju pertambahan bobot mutlak 92,8% dan laju pertambahan panjang mutlak 43,8 %, laju pertumbuhan bobot relatif 1,37% dan laju pertumbuhan panjang relatif 0,76%. Rumput laut yang direndam dengan PES 24 hari sekali memiliki pertumbuhan terbaik dibanding dengan perlakuan lainnya

    Ujicoba Lama Perendaman Tirisan Rumput Laut Pasca Panen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii

    Get PDF
    Bertujuan untuk mengetahui manfaat dan menganalisis kandungan cairan tirisan rumput laut serta mengetahui optimasi lama perendaman dengan menggunakan cairan tirisan rumput laut pasca panen sebagai pupuk cair. Pemberian cairan hasil tirisan rumput laut menitikberatkan pada lama peredaman. Perendaman media cairan tirisan rumput laut dilakukan dengan perlakuan A (4 jam), B (6 jam), dan C (8 jam) serta D (0 jam) sebagai kontrol. Hasil percobaan menunjukkan pertambahan bobot basah rata-rata rumput laut K.alvarezii terjadi peningkatan hari ke-7 sampai ke-21 pada semua. Pada perlakuan A (4 jam) pertambahan bobot rata-rata pada hari ke-21 (12,07±1,28 g) lebih tinggi jika di bandingkan dengan perlakuan B yang menunjukkan pertambahan bobot rata-ratanya hanya 10,72±0,77 g, perlakuan C sekitar 11,18±0,29 g, dan D (pertambahan bobot rata-rata hanya 10,99±0,96 g. Selanjutnya perlakuan A diperoleh pertumbuhan biomass tertinggi 9,543±3,04 g dan terendah pada perlakuan D tanpa perendaman sebagai kontrol hanya 7,150±0,72 g lebih rendah jika dibanding dengan pertumbuhan biomass perlakuan B dan C masing-masing 7,413±0,43 g dan 8,127±1,43 g. Perlakuan A yang dianggap optimal dalam penyerapan unsur hara bagi pertumbuhan biomassa K. alvarezii. Namun demikian, belum dapat dibandingkan dengan jelas lama perendaman tirisan rumput laut yang terbaik untuk laju pertumbuhan harian dan produksi K. alvarezii. Selain itu, perlakuan lama perendaman dikatakan berpengaruh terhadap pertumbuhan walaupun tidak signifikan. Oleh karena itu, cairan hasil tirisan rumput laut dalam kegiatan tersebut memiliki peranan yang cukup dalam proses pemanjangan tallus dan pertambahan bobot.Kata Kunci : Tirisan rumput laut, Pertumbuhan, Biomassa, Kappaphycus alvareziiBertujuan untuk mengetahui manfaat dan menganalisis kandungan cairan tirisan rumput laut serta mengetahui optimasi lama perendaman dengan menggunakan cairan tirisan rumput laut pasca panen sebagai pupuk cair. Pemberian cairan hasil tirisan rumput laut menitikberatkan pada lama peredaman. Perendaman media cairan tirisan rumput laut dilakukan dengan perlakuan A (4 jam), B (6 jam), dan C (8 jam) serta D (0 jam) sebagai kontrol. Hasil percobaan menunjukkan pertambahan bobot basah rata-rata rumput laut K.alvarezii terjadi peningkatan hari ke-7 sampai ke-21 pada semua. Pada perlakuan A (4 jam) pertambahan bobot rata-rata pada hari ke-21 (12,07±1,28 g) lebih tinggi jika di bandingkan dengan perlakuan B yang menunjukkan pertambahan bobot rata-ratanya hanya 10,72±0,77 g, perlakuan C sekitar 11,18±0,29 g, dan D (pertambahan bobot rata-rata hanya 10,99±0,96 g. Selanjutnya perlakuan A diperoleh pertumbuhan biomass tertinggi 9,543±3,04 g dan terendah pada perlakuan D tanpa perendaman sebagai kontrol hanya 7,150±0,72 g lebih rendah jika dibanding dengan pertumbuhan biomass perlakuan B dan C masing-masing 7,413±0,43 g dan 8,127±1,43 g. Perlakuan A yang dianggap optimal dalam penyerapan unsur hara bagi pertumbuhan biomassa K. alvarezii. Namun demikian, belum dapat dibandingkan dengan jelas lama perendaman tirisan rumput laut yang terbaik untuk laju pertumbuhan harian dan produksi K. alvarezii. Selain itu, perlakuan lama perendaman dikatakan berpengaruh terhadap pertumbuhan walaupun tidak signifikan. Oleh karena itu, cairan hasil tirisan rumput laut dalam kegiatan tersebut memiliki peranan yang cukup dalam proses pemanjangan tallus dan pertambahan bobot.Kata Kunci : Tirisan rumput laut, Pertumbuhan, Biomassa, Kappaphycus alvarezi
    corecore