7 research outputs found
Urgensi Ketentuan Carry-Over dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Munculnya ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan penerapan mekanisme carry-over dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia. Akibatnya, agenda Program Legislasi Nasional yang hanya berlaku selama 5 (lima) tahun sesuai dengan satu periode masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat dapat dilanjutkan pembahasannya pada agenda Program Legislasi Nasional periode masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya. Tujuan penulisan ini adalah mengkaji urgensi penerapan mekanisme carry-over dalam pembentukan undang-undang Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum dalam literatur untuk memperdalam pemahaman urgensi penerapan mekanisme carry-over di Indonesia. Dari tulisan ini dapat diketahui bahwasanya carry-over dipandang sebagai bentuk efektivitas dalam good governance, efisiensi APBN, dan perlindungan hak asasi manusia. Maka dari itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme carry-over sebagai alas hak dalam penerapannya
Urgensi Ketentuan Carry-Over dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Munculnya ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan penerapan mekanisme carry-over dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia. Akibatnya, agenda Program Legislasi Nasional yang hanya berlaku selama 5 (lima) tahun sesuai dengan satu periode masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat dapat dilanjutkan pembahasannya pada agenda Program Legislasi Nasional periode masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya. Tujuan penulisan ini adalah mengkaji urgensi penerapan mekanisme carry-over dalam pembentukan undang-undang Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum dalam literatur untuk memperdalam pemahaman urgensi penerapan mekanisme carry-over di Indonesia. Dari tulisan ini dapat diketahui bahwasanya carry-over dipandang sebagai bentuk efektivitas dalam good governance, efisiensi APBN, dan perlindungan hak asasi manusia. Maka dari itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme carry-over sebagai alas hak dalam penerapannya
Hak Konstitusional Lembaga Kepresidenan Dalam Penolakan Pengesahan RUU APBN Oleh DPR
Setiap negara tentulah memiliki sebuah konstitusi yang pada umumnya digunakan sebagai pedoman pada saat menjalankan roda pemerintahannya. Dalam konstitusi di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensiil, menggunakan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) antar lembaga yang digunakan dalam rangka menjalankan prinsip pemerintahan dengan checks and balances. Salah satunya adalah terhadap hal pengelolaan keuangan negara yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden sebagai lembaga eksekutif dalam mengajukan RAPBN serta memberikan sebuah kewenangan kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Penyetujuan DPR atas RAPBN dianggap sebagai hal yang krusial dalam pembentukan dan penetapan APBN sehingga dalam tulisan ini akan mengemukakan problematika apabila terjadi penolakan terhadap RAPBN oleh DPR serta upaya yang dapat ditempuh oleh eksekutif dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Metode penelitian menggunakan penelitian hokum normatif dan simpulan dari tulisan ini adalah hubungan antara pemerintah dengan DPR berupa hubungan check and balances dan pemerintah dapat mengambil opsi dengan mewujudkan Perpu APBN dalam hal terjadi penolakan RUU APBN oleh DPR
CONSTITUTIONAL REVIEW DI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-IX/2011: DARI NEGATIVE LEGISLATOR MENJADI POSITIVE LEGISLATOR
The Constitutional Court carrying out its duties regarding the constitutional review acts as a negative legislator which canceling laws that are contrary to the 1945 Constitution. This study examines the political shift of constitutional review law where the Constitutional Court only acts as a negative legislator, but nowadays Constitutional Court acts as a positive legislator. The research method used is normative research. The results of this study conclude that the Constitutional Court Ruling reflects the role of a positive legislator is a progressive and responsive decision to avoid legal chaos due to legal vacuum in society. However, it does not mean that the decision of the Constitutional Court can always be a positive legislator. Only in circumstances based on 3 (three) indicators, namely: a) Justice and benefit of the community; b) An urgent situation; c) Filling out legal vacancies (rechtvacuum) to avoid chaos or legal chaos in the community, then the Constitutional Court Decision can be a positive legislator so that there is still a balance in the check and balances system. Keywords: Constitutional Review, Positive Legislator, Negative Legislato
Mekanisme Carry-Over Untuk Menjamin Pembentukan Undang-Undang Yang Berkelanjutan Pada Pergantian Periode Jabatan Dewan Perwakilan Rakyat
Keberlakuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) menyebabkan pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) hanya berlaku selama masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yakni 5 tahun. Akibatnya, banyak
pembahasan RUU yang dihentikan secara serta merta pada lintas periode masa jabatan DPR. Hal tersebut dipandang sebagai inefektivitas, inefisiensi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), hingga pengabaian hak asasi manusia. Maka dari itu diperlukan sebuah mekanisme carry-over untuk menjamin pembentukan undang-undang yang berkelanjutan di parlemen seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU
12/2011. Selain itu perlu digagas lebih lanjut mengenai penerapan mekanisme carry-over di Indonesia dengan berkaca pada penerapannya di Belanda dan Inggris
A Constitutional Dilemma: Local Elections amid of the Covid-19 Pandemic
On December 9, 2020, regional elections will be held simultaneously in 270 electoral districts across Indonesia. However, during this period the elections will be held amid the Covid-19 pandemic. This decision raised problems because the Government seemed to clash the protection of the right to health and the right to life due to the pandemic with political rights in the name of democracy. This clash ultimately created a constitutional dilemma. Elections has the potential to create election clusters considering the number of Covid-19 spread and transmission in Indonesia is still high and has not shown a significant decline. The General Election Commission (KPU) stated that the elections would implement health protocols. Nevertheless, holding elections is not just a matter of thorough preparation, but it is high risk, and also expensive. There will be a possible low voter turnout which could affect the legitimacy of the elections results. Facing this constitutional dilemma, an alternative to postponing elections through representative democracy can be an option. If it continues to be held, at least the Government must consider the safety of citizens first by controlling the Covid-19 pandemic, which clearly the mandate of constitutional rights as non-derogable rights, rights that cannot be reduced