e-Journal Balitbangkumham
Not a member yet
477 research outputs found
Sort by
Evaluasi Pemenuhan Hak Atas Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Barat
The evaluation discusses the implementation by the Guidelines for the Community Health Insurance Year 2008, the health insurance for the poor has become reality. JAMKESNAS is a great agenda for realizing to fulfill the rights of health that is facilitated by the Ministry of Health and Local Government with funding sourced from the tax and the natural resources. The core issues are implementation and realization JAMKESMAS programs such as, basic health services and referrall health service, beside to show the response of poor society. This evaluation used qualitative methods with combine between juridical normative approach to review the legal and regulatory norms as well as policy analysis and implementation of study related any policy issued by the local government to fulfill rights of health for the poor. The result of evaluation show relatively successfully help poor communities in the province West of Nusa Tenggara to get free service of health in the context of human rights protection from the state, but still need more significant enhancements for optimal benefits. There are several problems that needs the way out such as : the distribution of cards is not on target; variety of drugs and patients’ needs. The limited-quality drugs to be a dilemma for Hospital in Mataram.Evalusi ini membahas pelaksanaan Jamkesmas dengan dikeluarkannya Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Tahun 2008, maka jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin telah menjadi kenyataan di lapangan. Jamkesmas adalah agenda besar dalam mengupayakan pemenuhan hak warga negara untuk dapat hidup sehat dan mendapatkan penyembuhan yang difasilitasi oleh Departemen Kesehatan dan Pemda yang pendanaannya bersumber dari pajak masyarakat dan hasil alam nusantara. Adapun permasalahan yang diangkat adalah penerapan atau realisasi program Jamkesmas berupa pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan di daerah penelitian, serta respon masyarakat miskin terhadap program pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan. Evaluasi ini mengunakan metode kualitatif, dengan menggabungkan antara pendekatan yuridis normatif yakni menelaah norma hukum dan peraturan serta pendekatan analisis kebijakan publik berupa telaah formulasi dan implementasi terkait ada tidaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif/Pemda dalam pemenuhan hak atas kesehatan bagi keluarga miskin. Hasil evaluasi Program Jamkesmas relatif berhasil membantu masyarakat miskin di daerah evaluasi Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis atau cuma-cuma dalam kontek penegakkan dan perlindungan HAM kelompok rentan oleh negara, namun masih memerlukan penyempurnaan agar manfaatnya lebih signifikan dan optimal. Ada beberapa kendala dan persoalan yang memerlukan pemecahan jalan keluar antara lain: distribusi kartu Jamkesmas ada yang belum tepat sasaran; kendala obat dan ragam kebutuhan pasien. Terbatasnya obat bermutu menjadi dilema bagi RSUD Mataram NTB
Pengakuan Hukum terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya
Recognition of the existence of customary rights by Article 3 of the Basuc Agrarian Law is a natural thing, because along with the customary rights of indigenous communities have existed before the formation of the state of Republic Indonesia. However, many cases of communal land which arise in the regional and national scale, will never obtain settlement completely without any objective criteria necessary as a benchmark determinants of the existence of customary rights and their implementation. Criteria for deciding about the existence of customary rights is composed of three elements, namely the existence of a particular customary law community, the presence of certain customary rights into the environment and the purpose of taking the lives of indigenous people, and the existence of customary law regarding the maintenance of order, control and use lands which apply and be adhered to by the indigenous peoples.Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh Pasal 3 UUPA merupakan hal yang wajar, karena hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara RI. Namun berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala regional maupun nasional, tidak pernah akan memperoleh penyelesaian secara tuntas tanpa adanya kriteria obyektif yang diperlukan sebagai tolak ukur penentu keberadaan hak ulayat dan implementasinya. Kriteria penentu tentang keberadaan hak ulayat terdiri dari tiga unsur, yakni adanya masyarakat hukum adat tertentu, adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu, dan adanya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat
Dinamika Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Memberikan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Maluku
The problem of protecting and recognizing the rights of Customary Law Communities in Indonesia, including in Maluku, from the perspective of local government policies, is still being underestimated, even though Article 18 B paragraph (2) of the constitution has given recognition and respect to the unity of Customary Law Communities and their traditional rights, However is it that to get recognition of the status of customary villages in several negeri in the districts of Maluku and disputes over the mata rumah parentah still occur frequently. This study raises issues regarding legal protection and problems regarding the recognition of the rights of Customary Law Communities in districts/cities in Maluku by using statutory, conceptual approaches and case studies of court decisions relating to the rights of Customary Law Communities. Based on the results of the study it was found that the Provincial Government had issued a policy to provide customary law protection in Maluku which became the basis for establishing customary villages in Ambon City and Tual City, however, there are still regencies that have not provided recognition in the form of regional regulations for establishing customary villages, such as in West Seram Regency and Central Maluku Regency due to weak local government commitment and juridical problems.Masalah perlindungan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, termasuk di Maluku, dari perspektif kebijakan pemerintah daerah, masih dipandang sebelah mata, meskipun Pasal 18 B ayat (2) konstitusi telah memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisional mereka, Namun demikiankah untuk mendapatkan pengakuan status desa adat di beberapa negeri di Kabupaten Maluku dan sengketa mata rumah parentah masih sering terjadi. Penelitian ini mengangkat isu- isu mengenai perlindungan hukum dan permasalahan mengenai pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat di kabupaten/kota di Maluku dengan menggunakan pendekatan hukum, konseptual dan studi kasus putusan pengadilan yang berkaitan dengan hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Pemerintah Provinsi telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan perlindungan hukum adat di Maluku yang menjadi dasar pembentukan kampung adat di Kota Ambon dan Kota Tual, namun demikian masih terdapat kabupaten yang belum memberikan pengakuan berupa peraturan daerah untuk mendirikan desa adat, seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Maluku Tengah karena lemahnya komitmen pemerintah daerah dan masalah yuridis
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Provinsi Sulawesi Selatan
Health can be defined as a good and perfect condition physically, mentally and socially, hence cannot just be assumed as a condition of physical illness or infirmity. The right to health is guaranteed under Article 28 H (1) and Article 34 (3) of the fourth Amendment of the 1945 Constitution. This right is also universally recognized in various international instruments of human rights law, such as under Article 25 (1) of the UDHR, and Article 12 of the Covenant on ESC rights (economic , social , and cultural). The purpose of this study is to describe the government’s policy on health programs for the poor, and also describe several constraints in implementing the program. This study shows that the implementation of the local government’s policy concerning health insurance for the poor is yet to be optimal in fulfilling the right to health care for the poor. The health program set up by the local government including JAMKESMAS, Jamkesda, Jampersal, and Non-Quota Jamkesmas, is yet to be maximized and there are still many shortcomings that need to be improved. Kesehatan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang baik dan sempurna secara fisik, mental dan sosial dan bukan hanya kondisi penyakit atau kelemahan fisik belaka. Hak atas kesehatan dijamin dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 34 (3) dari Amandemen IV UUD 1945, hak ini juga diakui secara universal dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional, yaitu Pasal 25 (1) DUHAM kemudian diatur dalam ketentuan yang lebih mengikat pada Pasal 12 Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Tujuan penelitian untuk mengetahui secara signifikan antara program pemerintah untuk pemberian kesehatan bagi masyarakat miskin, dan kendala-kendala yang melatarbelakangi munculnya kasus-kasus ketidaksesuai dalam pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif yang berciri deskriptif analitis, dengan teknik pengumpulan data primer dan sekunder dari sumber data yang akurat, melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan data evaluasi menggunakan metode yuridis normatif dan empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah dalam pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin belum optimal untuk memberikan pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat miskin dengan beragam peraturan dan kebijakan reformasi kesehatan
Keadilan Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
The enactment of Law Number 11 of 2012 on juvenile criminal justice system on July 30, 2014, became beginning of a paradigm change in procedure and law enforcement officers in the handling of Children in Conflict with the Law. These changes put forward the completion of criminal cases involving child offenders, victims, family perpetrator / victim, and others to work together to find a fair settlement with emphasis on restoring victims and not merely retaliation. This study uses normative juridical approach by analyzing library materials that are used as the main ingredient, which include the primary legal materials, secondary, and tertiary associated with the process of dealing with juvenile justice law. Based on that through this paper the authors wanted to know how the position of juvenile criminal justice system in Indonesia and how the forms of justice for children in conflict with the law under the laws of the juvenile criminal justice system, and the role of law enforcement agencies in implementing the law. It can be concluded that the juvenile criminal justice system is part of the general judicial system that guide the implementation of the mechanism of justice for Children in Conflict with the Law. Justice for Children in Conflict with the Law Statutory juvenile criminal justice system not only not solely intended for the offender, but also to the victim with regard to the interests of the child. Therefore, the role of law enforcement officers directed the completion of criminal cases focus on supporting children through diversion to achieve restorative justice.Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pada tanggal 30 Juli 2014, menjadi awal dimulainya perubahan prosedur dan paradigma aparat penegak hukum dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Perubahan ini mengedepankan penyelesaian perkara tindak pidana anak dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan korban dan bukan semata-mata pembalasan. Berdasarkan hal tersebut melalui tulisan ini penulis ingin mengetahui bagaimana kedudukan sistem peradilan pidana anak (SPPA) dalam sistem peradilan pidana Indonesia dan bagaimana bentuk keadilan bagi anak berhadapan dengan hukum menurut undang-undang SPPA, serta peran aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan melakukan analisis bahan pustaka yang digunakan sebagai bahan utama, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang terkait dengan proses peradilan anak berhadapan dengan hukum. Dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan bagian dari sistem peradilan umum yang menjadi pedoman dalam mekanisme pelaksanaan peradilan bagi ABH. Keadilan bagi ABH menurut Undang-Undang SPPA tidak hanya tidak semata-mata ditujukan bagi pelaku, tetapi juga untuk korban dengan memperhatikan kepentingan bagi anak. Oleh karena itu peran aparat penegak hukum harus mengutamakan upaya penyelesaian perkara pidana anak melalui diversi untuk mencapai keadilan restoratif
Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Lebak
The objective of the research on the Rights of Freedom to Public Information Government Held is to determine the readiness of the Government of Lebak Regency in implementing the Act. 14 Year on year 2008 and factors inhibiting the implementation. The study was conducted with qualitative methods through descriptive analysis approach. The results of the research shows that the Government Lebak Regency basically ready to implement the Law Number 14 Year 2008 concerning Public Information Disclosure Regulation by enacting Local Regulation No. 6 of 2004 on Transparency and Participation in Governance and Development Management at the Commission Lebak Regency establishment of Transparency and Participation can accommodate the aspirations of the community in order to obtain information.Penelitian Pemenuhan Hak Atas Kebebasan Memperoleh Informasi Publik Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan bertujuan untuk mengetahui kesiapan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak dalam mengimplementasikan UU No. 4 Tahun 2008 serta faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaannya. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif melalui pendekatan deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak sudah siap dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terbukti dengan adanya Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Transparansi dan Partisipasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pengelolaan Pembangunan di Kabupaten Lebak yang dijadikan dasar pembentukan Komisi Transparansi dan Partisipasi yang dapat menampung aspirasi masyarakat dalam memperoleh informasi
Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dasar bagi Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Nusa Tenggara Timur
The purpose of the study was intended to determine the policy of the local government in the fulfillment of the right to basic education , and any obstacles encountered in the context of primary education in remote indigenous areas . The purpose of the study was intended to determine the policy of the local government in the fulfillment of the right to basic education , and any obstacles encountered in the context of primary education in remote indigenous areas . The data used in this study is a secondary data collected by literature search ( library research ) and primary data (field research ) that the data collected from each subject , in this case the informant Department of Education , Principals & teachers ( formal ) , organizers of non education informal ( outside of school ) , Community leader / religious , NGO , parents , and Children of primary school age ( which is still in school and dropping out of school ) . While the primary data collection tool was the interview will be made to suit the needs of the target group of the study. The study sample was taken from the whole group / unit Belu District Education Office in East Nusa Tenggara Province . Local Government Policy in the fulfillment of basic education rights to people in remote indigenous communities have been working to improve the quality and quantity of basic education primary school . At the local government level , there are efforts in basic education budget allocated in the budget although it has not reached 20 % as stated in the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 . Constraints faced in the provision of basic education in the region is limited infrastructure and educators both in quantity and quality . Agencies active in implementing basic education programs in addition to the education office is the Regional Office of Religious and Social Service programs through family expectations (PKH) .Tujuan penelitian dimaksudkan untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar, dan kendala apa saja yang dijumpai dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dasar di wilayah adat terpencil. Tujuan penelitian dimaksudkan untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar, dan kendala apa saja yang dijumpai dalam rangka menyelenggarakan pendidikan dasar di wilayah adat terpencil. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan berdasarkan penelusuran literatur (library research) dan data primer (field research) yang dikumpulkan dari setiap subjek data, dalam hal ini informan Dinas Pendidikan, Kepala sekolah & guru (formal), Penyelenggara pendidikan non-formal (luar sekolah), Tokoh adat/agama, LSM, Orang tua murid, dan Anak usia sekolah dasar (yang masih sekolah dan yang putus sekolah). Sedangkan alat pengumpulan data primer adalah wawancara akan dilakukan terhadap kelompok sasaran sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sampel penelitian ini diambil dari keseluruhan kelompok/unit Dinas Pendidikan di Kabupaten Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak pendidikan dasar untuk masyarakat komunitas adat terpencil sudah berupaya meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan kuantitas sekolah dasar. Di tingkat pemerintah daerah, ada upaya mengalokasikan anggaran pendidikan dasar di dalam APBD meskipun belum mencapai 20% sebagaimana dicantumkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kendala melaksanakan program pendidikan dasar selain dinas pendidikan adalah Kanwil Agama dan Dinas Sosial melalui program keluarga harapan (PKH). yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan dasar di wilayah ini adalah terbatasnya sarana dan prasarana dan tenaga pendidik baik secara kuantitas maupun kualitas. Instansi yang aktif dalam melaksanakan program pendidikan dasar selain dinas pendidikan adalah Kanwil Kementerian Agama dan Dinas Sosial melalui program keluarga harapan (PKH)
Peran Lembaga Penegak Hukum dalam Penerapan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Perlindungan Hak Atas Keamanan Pribadi bagi Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
The aim of this paper is to find out the practice conducted by the law enforcement institutions in implementing the Law No. 13 of the year 2006 on The Protection of Witness and Victim. The method used in this paper is descriptive qualitative which based on secondary data that is the research done at four provinces (Provinces of Papua, Bali, Nort Sumatera, and South Sulawesi). The result of the research shows that the mechanism of the witness and victim protection conducted by the law enforcement institutions (the police, district attorney and the court) have not given the maximum protection yet as the implementation of protection on the rirgt of personal security by the state. This condition is caused by the unavailable of the regulation to ensure the authority, mechanism, the form of protection and funding by the law enforcement institutions. With the existence of the Law No. 13 of the year 2006 on The Protection of Witness and Victim so the protection of the witness and victim as the implementation of the protection of the right of personal security will be more guaranted. In fact on lack of capacity from the law enforcement institutions, so that the police, district attorney and the court should work together with the Instution of Witness and Victim Protection, as the institutions formed based on the Law No. 13 of the year 2006, and other institutions that have function in witness and victim protection in order that the right on the protection of personal security of the citizen in the area of criminal justice process can be guaranted.Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui praktek yang selama ini dilakukan oleh lembaga penegak hukum dalam mengimplementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya dalam memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi saksi dan korban dalam proses peradilan Pidana. Metode yang digunakan dalam penulisan ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan data sekunder berupa hasil penelitian yang pernah dilakukan di empat provinsi yaitu Provinsi Papua, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan saksi dan korban oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan selama ini belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal sebagai implementasi terhadap hak atas perlindungan keamanan pribadi oleh negara. Hal ini disebabkan oleh tiadanya peraturan perundangan yang memadai untuk menjamin kewenangan, mekanisme, bentuk-bentuk perlindungan dan pendanaan oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Dengan terbitnya UU No 3 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maka perlindungan saksi dan korban sebagai implementasi dari perlindungan atas hak keamanan pribadi akan lebih terjamin. Namun demikian karena keterbatasan kemampuan lembaga penegak hukum maka disarankan lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan segera melakukan kerjasama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 3 Tahun 2006, serta lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan dan tugas-tugas perlindungan saksi dan korban agar hak-hak perlindungan atas keamanan pribadi warga negara dalam proses peradilan pidana akan dapat terjamin
Perbandingan Ketentuan Pidana Legislasi Nasional Negara Sponsor Deep-Seabed Mining
National legislation is the requirement established by the International Seabed Authority (ISA) for each country sponsoring Deep-seabed Mining (DSM) and criminal provisions and sanctions are an inseparable part of it. A total of 38 states are listed as sponsoring states, while Indonesia, with its potential as a maritime country and member of UNCLOS 1982, has not participated in DSM activities. This article aims to explore and compare the criminal provisions in the national legislation of sponsoring states that have been approved by the ISA so that the formulation of sanctions in Indonesian national legislation can be illustrated in order to prepare Indonesia’s contribution as a sponsoring state for DSM activities in the International Seabed Area. The research method used is normative juridical with a statute and comparative approach. The research results show that the majority of sponsoring states in their criminal provisions stipulate criminal sanctions in the form of fines as well as the possibility of imprisonment and several administrative sanctions. Based on the results of this comparative study, it can be concluded that the formulation of sanctions that can be regulated in Indonesian national legislation is a maximum fine of more than 100 billion Rupiah and a maximum prison sentence of not less than 5 years, as well as additional criminal penalties and administrative sanctions in the form of termination or revocation of DSM activity permits, confiscation of profits resulting from illegal DSM acquisition, and compensation for environmental damage caused by DSM activities.Legislasi nasional menjadi suatu persyaratan International Seabed Authority (ISA) kepada setiap negara sponsor Deep-seabed Mining (DSM) dan ketentuan pidana berikut sanksi menjadi bagian yang tidak terpisahkan didalamnya. Sebanyak 38 negara tercantum sebagai negara sponsor, sementara Indonesia dengan potensinya sebagai negara Maritim dan anggota UNCLOS 1982 belum berpartisipasi dalam aktivitas DSM. Artikel ini bertujuan mengeksplorasi dan membandingkan ketentuan pidana pada legislasi nasional negara-negara sponsor yang telah disetujui oleh ISA sehingga dapat tergambar formulasi sanksi dalam legislasi nasional Indonesia guna mempersiapkan kontribusi Indonesia sebagai negara sponsor aktivitas DSM di Area Dasar Laut Internasional. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang- undangan dan perbandingan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa mayoritas negara sponsor dalam ketentuan pidananya menetapkan sanksi pidana berupa denda serta kemungkinan pidana penjara dan beberapa sanksi administratif. Berdasarkan hasil studi komparatif tersebut dapat disimpulkan bahwa formulasi sanksi yang dapat diatur dalam legislasi nasional Indonesia yaitu maksimal pidana denda lebih dari 100 miliar rupiah dan maksimal pidana penjara tidak kurang dari 5 tahun, serta dilengkapi pidana tambahan dan sanksi administratif berupa penghentian atau pencabutan izin aktivitas DSM, penyitaan keuntungan hasil perolehan DSM illegal, dan kompensasi kerusakan lingkungan disebabkan aktivitas DSM
Peranan Lembaga Adat dan Kearifan Lokal dalam Upaya Pencegahan dan Penyelesaian Konflik Horizontal di Provinsi Jambi
Conflict between people or between groups of people is a situation that shall always exist in every social interaction. Customary institutions (Lembaga Adat) and local knowledge as part of the structure of a society play a role in influencing conflict attitude and behavior, which may potentially amount to violence. The existence of customary institutions and local knowledge has become one of the community robustness pillars that are expected to overcome any social problems, or to switch people's violent behavior into a positive one without injuring others or the community at large. The role of traditional institutions, based on the functioning of the community in general, is as a common body whenever a situation requires a traditional affirmative action in the society. Traditional institution, as a component of society, is thus essential for the integrity of the structure of society itself, without which a community could lose its identity as a civilized society along with local wisdom within.Konflik antar manusia atau antar kelompok masyarakat adalah suatu situasi yang akan selalu ada dalam interaksi sosial. Lembaga adat dan kearifan lokal sebagai bagian dari struktur masyarakat mempunyai peranan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku konflik terutama yang berpotensi terhadap terjadinya kekerasan. Keberadaan lembaga adat dan kearifan lokal ini menjadi salah satu pilar kekokohan masyarakat yang diharapkan mampu mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan atau mengubah perilaku kekerasan masyarakat menjadi perilaku positif dan tidak merugikan satu dengan yang lainnya atau masyarakat pada umumnya. Peran lembaga adat sesuai dengan fungsi kemasyarakatan secara umum adalah harapan bersama ketika suatu situasi menghendaki perilaku aktif dari lembaga adat di dalam masyarakat. Lembaga adat sebagai salah satu komponen masyarakat adalah struktur yang penting bagi keutuhan masyarakat itu sendiri. Tanpa keberadaan dan perannya, suatu masyarakat bisa kehilangan jati diri sebagai suatu masyarakat yang berbudaya dengan nilai-nilai kebaikan yang dimilikinya