e-Journal Balitbangkumham
Not a member yet
592 research outputs found
Sort by
Strategi Perbatasan Suku Dayak Agabag dalam pemenuhan Hak Budaya di Ulu Sembakung, Kalimantan Utara
The local elites of the Dayak Agabag community are acutely aware of their minority status, which paradoxically presents them with unique opportunities. Situated as a frontier people within Indonesia, the Dayak Agabag have cultivated strong social bonds with the Murut Pensiangan community in Malaysia, fostering cultural cohesion that transcends national borders. These sociocultural ties, while beneficial for community solidarity, are viewed as a challenge to state sovereignty and nationalistic ideals. Ironically, local elites of the Agabag community have adeptly utilized their minority status to advocate for the development of modern-state infrastructure in their region. This article critically examines the cultural rights challenges confronting the Dayak Agabag along the Indonesia-Malaysia border, with a focus on the political agency of their local elites in shaping affirmative policies for marginalized communities and advocating for human rights. It sheds light on how both elite and community movements seek legitimacy in their endeavors. Through an ethnographic lens, the study reveals that Dayak Agabag's local elites have strategically asserted their political agency to carve out autonomy in countering state spatial domination and advocating for human rights as frontier people. Central to this analysis is the understanding that the political agency of Dayak Agabag's local elites enables them to maintain their minority status effectively, leveraging it to access political advantages and privileges across national borders. This agency offers valuable insights into how marginalized frontier communities can harness their indigenous political power to secure cultural rights, navigate cross-border dynamics, and maintain social legitimacy despite facing formal legal challenges. In conclusion, this article underscores the nuanced strategies employed by Dayak Agabag's local elites to navigate their geopolitical context, advocating for rights and infrastructure development while managing complex transnational relationships. It highlights the resilience and adaptability of frontier communities in utilizing their indigeneity to negotiate and assert their place in contemporary political landscapes.Kelompok Penguasa yang ada di suku Dayak Agabag sadar bahwa posisi mereka sebagai minoritas dapat mendatangkan peluang. Sebagai Masyarakat perbatasan, Dayak Agabag telah membentuk ikatan sosial yang solid dengan Murut Pensiangan, penduduk Malaysia, dengan cara membina ikatan budaya melintasi batas-batas negara. Ikatan sosial budaya ini dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan nasionalisme, yang ironisnya sering dieksploitasi oleh elite lokal untuk kepentingan mereka. Suku Dayak Agabag menggunakan status minoritas mereka untuk mengadvokasi pembangunan infrastruktur negara modern di wilayah mereka. Artikel ini menganalisis tantangan budaya yang dihadapi oleh Suku Dayak Agabag di perbatasan Indonesia-Malaysia, dengan tujuan untuk memahami peran politik Suku Dayak Agabag dalam membentuk kebijakan afirmatif untuk masyarakat yang terpinggirkan dan advokasi mereka terhadap hak-hak asasi manusia, dengan menyoroti pergerakan para elite dan masyarakat dalam upaya untuk mendapat legitimasi. Lensa etnografi yang digunakan dalam artikel ini menunjukkan bahwa perwakilan politik suku Dayak Agabag menciptakan aturan mereka sendiri untuk melawan dominasi teritorial negara, dalam memperjuangkan hak asasi manusia sebagai masyarakat perbatasan, yang memberikan mereka akses untuk mendapatkan keuntungan politik dan hak-hak istimewa di perbatasan. Perwakilan Suku Dayak Agabag memberikan wawasan tentang bagaimana Masyarakat perbatasan yang terpinggirkan dapat meningkatkan kekuatan pribumi politik mereka, memperoleh hak-hak budaya, dan mempertahankan mobilitas lintas batas yang sah secara sosial namun ilegal secara hukum
Situasi Genting Pengungsi dan Pekerja Migran di Malaysia yang Berkelanjutan Pasca-Covid-19
The COVID-19 pandemic exacerbated the vulnerabilities faced by refugees and migrant workers globally, and Malaysia was no exception, where these groups encountered significant challenges exacerbated by their marginalized legal status. Often perceived as illegal, refugees and migrant workers faced widespread discrimination and neglect during Malaysia's efforts to manage and contain the virus. This environment fostered xenophobic attitudes among both the government and the general population, undermining efforts to protect these vulnerable populations from abuse, exploitation, and discrimination. Compared to international standards, Malaysia's response to safeguarding the rights of refugees and migrant workers fell short, as evidenced by their inadequate protection measures during the pandemic. This paper seeks to shed light on the dire conditions experienced by these groups throughout the COVID-19 crisis and their ongoing precarious situation. Drawing from a range of primary and secondary sources including official statements, mainstream media reports, and findings from local and international organizations, the research underscores persistent challenges faced by refugees and migrant workers. The findings reveal that despite sporadic efforts, the fundamental situation for these vulnerable groups remains largely unchanged, with systemic issues of discrimination and neglect persisting. In response, the paper advocates for urgent reforms and the implementation of comprehensive policies by the Malaysian government to improve conditions and protect the rights of refugees and migrant workers effectively. These reforms are essential not only for meeting international human rights standards but also for fostering a more inclusive and equitable approach to public health crises and broader social welfare policies.Pandemi COVID-19 menempatkan populasi global dalam keadaan yang tidak menentu dan yang paling rentan adalah para pengungsi dan pekerja migran. Sudah menjadi narasi umum bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperlakukan mereka dengan acuh tak acuh karena status ilegal mereka sehingga menciptakan lingkungan xenofobia terhadap mereka. Situasi serupa terjadi pada kelompok rentan di Malaysia selama penanganan dan mitigasi penyebaran COVID-19 yang mengakibatkan pemerintah Malaysia mengabaikan hak asasi manusia yang mendasar untuk melindungi pengungsi dan pekerja migran dari diskriminasi, pelecehan, dan eksploitasi. Berdasarkan standar internasional, Malaysia masih jauh dari membela hak-hak kelompok rentan, khususnya para pengungsi dan pekerja migran. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menyoroti dan mendiskusikan kondisi para pengungsi dan pekerja migran selama COVID-19 dan situasi genting yang terus menerus menimpa mereka. Data dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder seperti pernyataan resmi, media arus utama, dan laporan dari organisasi lokal dan internasional. Temuan menunjukkan bahwa situasi genting masih tetap sama bagi kelompok rentan ini, oleh karena itu pemerintah Malaysia harus secara serius mengambil kebijakan yang komprehensif untuk meringankan kondisi buruk yang menimpa mereka
Manajemen Perbatasan Maritim: Strategi Pengawasan dan Pemeriksaaan Keimigrasian di Perairan Indonesia
Maritime immigration control and inspection at Indonesia's sea borders encounter significant difficulties due to poor coordination and collaboration among border authorities. This study explores the implementation of maritime immigration regulations in Indonesia, highlighting their lack of alignment with international standards, particularly in terms of border immigration management and inter-agency cooperation. The research aims to assess the existing legal framework and procedures for immigration control and inspection at Indonesia's maritime borders. The methodology applies both internal and external policy evaluations, conducted through an analysis of national regulations and interviews with relevant agencies. The findings show discrepancies between national regulations and international standards, along with weak border immigration management and inadequate coordination, leading to inefficiencies in maritime border control and inspection. This study contributes to providing a framework for maritime border management, the aspects of control and inspection at Indonesia's maritime borders, and redefining the phases of immigration control and inspection in these areas.Pengawasan dan pemeriksaan keimigrasian maritim di perbatasan laut Indonesia menghadapi tantangan signifikan akibat kurangnya koordinasi dan kerja sama antar-otoritas perbatasan. Penelitian ini mengkaji implementasi regulasi keimigrasian maritim di Indonesia yang belum sepenuhnya sesuai dengan standar internasional, termasuk manajemen keimigrasian di perbatasan maritim dan kolaborasi antar-lembaga. Riset ini bertujuan untuk mengevaluasi kerangka hukum dan prosedur pengawasan dan pemeriksaan keimigrasian di perbatasan maritim Indonesia. Metodologi yang digunakan adalah evaluasi kebijakan, baik internal maupun eksternal, melalui analisis peraturan nasional dan wawancara dengan instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi nasional dan standar internasional, lemahnya manajemen keimigrasian di perbatasan maritim serta kurangnya koordinasi yang menyebabkan ketidakefektifan dalam pengawasan dan pemeriksaan perbatasan maritim. Kesimpulannya, terdapat inkonsistensi regulasi kelautan dan kurangnya koordinasi antar-lembaga maritim dapat menghambat upaya menjaga keamanan perbatasan dan mengelola migrasi internasional secara efektif. Rekomendasi dalam riset ini mencakup kerangka manajemen perbatasan maritim, aspek pengawasan dan pemeriksaan di perbatasan maritim Indonesia, serta rekonsepsi fase pengawasan dan pemeriksaan keimigrasian di perbatasan maritim Indonesia
Remisi hukuman dan konstitusionalitas hukuman penjara seumur hidup di Seychelles
This article critically examines the legal framework surrounding life imprisonment in Seychelles, particularly in light of recent legislative and judicial developments. Historically, Seychelles' legal landscape allowed for the remittance of sentences for all prisoners except those serving life terms or convicted of severe drug offenses. Prior to 2021, ambiguity existed regarding whether life imprisonment necessitated incarceration for the entirety of an offender's life, leading to varied interpretations and inconsistent practices wherein some individuals were released after 15 to 20 years of imprisonment. This uncertainty was addressed by an important decision of the Seychelles Court of Appeal, which asserted that life imprisonment should indeed mean incarceration for the remainder of the convict's natural life. Subsequently, legislative amendments in 2021 codified this understanding within the Criminal Procedure Code, expressly defining life imprisonment as confinement for the duration of the offender's life. However, the article argues that such a statutory definition and practice may contravene fundamental human rights principles, particularly concerning human dignity and protection from inhuman or degrading treatment. Drawing on comparative jurisprudence from various African jurisdictions, decisions of the European Court of Human Rights, and standards articulated by international human rights bodies, the author contends that indefinite life imprisonment without the prospect of release violates prisoners' rights enshrined in international law. Furthermore, the author invokes the drafting history of Article 10(3) of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), emphasizing that the intent behind the provision was to safeguard against overly punitive sentences that deny any possibility of rehabilitation or eventual release. This historical context, according to the article, supports the argument that Seychelles' current approach to life imprisonment undermines its obligations under international human rights norms. Moreover, the Constitution of Seychelles grants the President discretionary powers under Article 60 to commute sentences, theoretically enabling the release of individuals sentenced to life imprisonment. This aspect introduces a layer of executive discretion that intersects with constitutional principles and international human rights standards, warranting further examination and critique. In conclusion, the article posits that Seychelles' statutory definition of life imprisonment raises constitutional and human rights concerns, advocating for a reevaluation of current practices in light of international legal standards and principles of justice.Pasal 30 Seychelles Prisons Act menetapkan bahwa hukuman bagi semua narapidana, kecuali mereka yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau dihukum karena pelanggaran berat terkait narkoba, dapat diampuni. Pasal 31 Seychelles Prisons Act memberikan kewenangan kepada Pengawas untuk memberikan izin bebas bersyarat kepada narapidana. Sebelum tahun 2021, undang-undang Seychelles tidak membahas masalah apakah seseorang yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Akibatnya, narapidana yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dapat dibebaskan setelah menjalani hukuman antara 15 dan 20 tahun. Tidak puas dengan pendekatan ini, Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa hukuman penjara seumur hidup berarti hukuman penjara selama sisa hidup pelaku. Pada tahun 2021, KUHAP diubah untuk mendefinisikan hukuman penjara seumur hidup sebagai hukuman penjara selama sisa hidup pelaku. Pasal 60 Konstitusi memberi wewenang kepada Presiden untuk meringankan hukuman apa pun. Artinya, Presiden dapat menggunakan Pasal 60 untuk meringankan hukuman seumur hidup. Dalam artikel ini, penulis menggunakan data-data, antara lain, statistik dari Seychelles Prisons Service di mana Presiden telah menggunakan Pasal 60 sejak tahun 1999, yurisprudensi dari beberapa negara Afrika, European Court of Human Rights dan badan-badan hak asasi manusia internasional untuk menyatakan bahwa hukuman penjara seumur hidup sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang Seychelles adalah inkonstitusional karena melanggar hak-hak narapidana atas martabat manusia dan tidak menjadi sasaran perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Penulis juga menggunakan sejarah penyusunan Pasal 10(3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik untuk berpendapat, antara lain, bahwa hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Seychelles
Urgensi Pendaftaran Warisan Budaya Indonesia Secara Internasional dan 2 Usulan Strategi Kebijakan
Indonesia already has many cultural heritages that are registered nationally, but only a few have been registered and received world recognition. This research aims to determine the level of cultural heritage registration that has been carried out and provide suggestions and recommendations for accelerating the registration in question. This study uses a normative legal research method using secondary data through literature studies. Data is obtained from national and international websites, data is analyzed and interpreted using relevant legal theories, conclusions are based on deductive thinking logic. The results of the research show that cultural heritage registrations that have been carried out from 1991 - 2023 are 10 registrations, each year only 0.31 registrations are recorded, meaning less than 1 registration per year. For intangible cultural heritage registrations that have been carried out from 2008 - 2023, there are 13 registrations, each year only 0.87 registrations are recorded, meaning less than 1 registration per year. This registration level is very small when compared with the number of communal intellectual properties recorded until 2024, namely 10,533 communal intellectual properties. To gain world recognition for Indonesia's cultural heritage, a more progressive legal policy strategy is needed, namely sui generis legal strengthening in the field of communal intellectual property and a management policy strategy for more massive involvement, from all regional and central stakeholders, to be equally involved actively and encourage of registration of Indonesian cultural heritage in international institutions.Indonesia sudah memiliki banyak warisan budaya yang terdaftar secara nasional, namun demikian baru sedikit yang terdaftar dan mendapat pengakuan dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendaftaran warisan budaya yang sudah dilakukan dan memberikan saran serta rekomendasi untuk percepatan pendaftaran dimaksud. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan memakai data sekunder melalui studi literatur. Data diperoleh dari website nasional maupun internasional, data dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori hukum yang relevan, penarikan kesimpulan berdasarkan logika berpikir deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk warisan budaya yang sudah dilakukan pendaftarannya sejak tahun 1991 - 2023 adalah sebanyak 10 pendaftaran, setiap tahun tercatat hanya 0,31 pendaftaran, artinya tidak sampai 1 pendaftaran per tahun. Untuk warisan budaya takbenda yang sudah dilakukan pendaftarannya sejak tahun 2008 - 2023 adalah sebanyak 13 pendaftaran, setiap tahun tercatat hanya 0,87 pendaftaran, artinya tidak sampai 1 pendaftaran per tahun. Tingkat pendaftaran ini sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah kekayaan intelektual komunal yang tercatat sampai dengan tahun 2024 yaitu sebesar 10533 kekayaan intelektual komunal. Untuk mendapatkan pengakuan dunia atas warisan budaya Indonesia diperlukan strategi kebijakan hukum yang lebih progresif yaitu dengan pengatruan hukum secara sui generis di bidang kekayaan intelektual komunal dan strategi kebijakan manajemen untuk keterlibatan secara lebih masif, dari semua pemangku kepentingan daerah dan pusat, untuk sama-sama terlibat aktif dan mendorong pendaftaran warisan budaya Indonesia di lembaga internasional
Menuntut Hak Atas Kota Baru: Klaim (Kembali) Lahan oleh Petani di New Clark City
New cities, often designed as development strategies, cause dispossession, displacement, and disruption of everyday lives of local communities. To further explore the effects of new cities and urban development in the Global South, this study explores the realities of farmers whose homes and livelihoods are affected by the construction of New Clark City in the Philippines. Employing the concept of the right to the city by Henri Lefebvre, this study delves into the farmers' agency in reclaiming space in the city being built on their rice fields. Through qualitative research methods, including interviews and participant observation, the study elucidates the strategies employed by farmers to assert their right to New Clark City. Highlighting that (re)claiming of space by the farmers is motivated by their need to make a living and provide for their families, the study builds on the understanding of the right to the city as the right of the inhabitants to shape their environment and manage their resources. Although the right to the city heavily depends upon the collective power to reshape the process of urbanization, the article argues that it can also be asserted through individual and unorganized actions.Kota-kota baru, yang seringkali dirancang sebagai strategi pembangunan, menyebabkan perampasan, penggusuran, dan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Untuk mengeksplorasi lebih jauh dampak dari kota-kota baru dan pembangunan perkotaan di Global South, penelitian ini mengeksplorasi realitas petani yang tempat tinggal dan mata pencahariannya terdampak oleh pembangunan New Clark City di Filipina. Dengan menggunakan konsep hak atas kota dari Henri Lefebvre, penelitian ini menggali agensi petani dalam merebut kembali ruang di kota yang dibangun di atas lahan persawahan mereka. Melalui metode penelitian kualitatif, termasuk wawancara dan observasi partisipan, studi ini menjelaskan strategi yang digunakan oleh para petani untuk menuntut hak mereka atas New Clark City. Menyoroti bahwa klaim (kembali) ruang oleh para petani dimotivasi oleh kebutuhan mereka untuk mencari nafkah dan menafkahi keluarga mereka. Penelitian ini didasarkan pada pemahaman bahwa hak atas kota adalah hak penduduk untuk membentuk lingkungan dan mengelola sumber daya mereka. Meskipun hak atas kota sangat bergantung pada kekuatan kolektif untuk membentuk kembali proses urbanisasi, artikel ini berargumen bahwa hak atas kota juga dapat ditegaskan melalui aksi-aksi individual dan tidak terorganisir
Kebijakan Pembaharuan Konsep Perzinahan Pasal 411 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 KUHP Indonesia
The current Dutch colonial Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) needs to be replaced with an updated Indonesian Criminal Code. Legal scholars, especially those specializing in criminal law, have long debated the overhaul, reformulation, modification, and even reformation of the Criminal Code to conform to the guiding principles of the Indonesian nation as a whole and this discussion has been ongoing for quite some time. This research intends to evaluate the policy basis of the expansion of the definition of adultery and the values protected from the expansion as stipulated in Article 411 of Law Number 1 Year 2023 on the Criminal Code This research is a descriptive study that uses a normative legal approach. Secondary data and document study are used in data collection. A qualitative approach was used to analyze the data. The research findings show that the criminal policy perspective is the basis for the expansion policy that contains a definition of the offense of adultery that is problematic as a policy because it does not reflect the principles that guide Indonesian society and the nation as a whole. With the way the article is currently written, for every person who has sexual intercourse with anyone as long as he is not his husband or wife and does not regulate the imposition of punishment for convicts who are single. The findings in this study highlight the importance of policy implementation of expanding the concept of adultery to ensure that justice is maintained and equal protection is given to all parties accused without sufficient evidence.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan kolonial Belanda saat ini perlu diganti dengan KUHP Indonesia yang telah diperbaharui. Para ahli hukum, terutama yang mengkhususkan diri dalam hukum pidana, telah lama memperdebatkan perombakan, perumusan kembali, modifikasi, dan bahkan reformasi KUHP agar sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bangsa Indonesia secara keseluruhan dan diskusi ini telah berlangsung cukup lama. Penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi dasar kebijakan perluasan pengertian perzinahan dan nilai-nilai yang dilindungi dari perluasan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 411 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan hukum normatif. Data sekunder dan studi dokumen, digunakan dalam pengumpulan data. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis data. Temuan penelitian menunjukkan bahwa perspektif kebijakan kriminal menjadi dasar kebijakan perluasan yang memuat definisi delik perzinahan yang bermasalah sebagai sebuah kebijakan karena tidak mencerminkan prinsip- prinsip yang menjadi pedoman masyarakat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dengan cara penulisan pasal tersebut saat ini, Bagi setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan siapapun sepanjang bukan suami atau istrinya dan tidak mengatur pengenaan hukuman bagi terpidana yang masih lajang. Temuan dalam penelitian ini pentingnya implementasi kebijakan perluasan konsep perzinahan untuk memastikan bahwa keadilan dijaga dan perlindungan yang seimbang diberikan kepada semua pihak yang dituduh tanpa bukti yang cukup
Merawat Perjuangan: Politik Kesabaran Perempuan dalam Menuntut Keadilan Lingkungan di Cilacap
The PT S2P coal-fired power plant (CFPP) in Cilacap has generated considerable profits for the capitalist country since 2006, while simultaneously causing environmental damage and rendering local communities vulnerable. This paper employs a case study approach to examine the role of women's agency from the Global South in the social movement for environmental justice. It considers how global-local economic and political relations in Cilacap influence this movement. It sought to explain women's agency in claiming the right to a healthy and decent environment by testing the theory of the politics of patience, which located women outside and against state and corporate power. Through ethnography, in-depth interviews, and meetings with activists, public officials, and NGOs, this study depicted women as political actors in the face of the negative impacts of the state-electricity company nexus. In their struggles, women were confronted with gender stereotypes that were shaped by the state and reinforced by society. These stereotypes prevented women from participating in social movements that demanded their rights. The most important finding was that the nurturing role of women has ensured that the struggle for the right to a healthy and decent environment has lasted longer and has remained outside of and against the state. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PT S2P di Cilacap telah menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi negara kapitalis sejak tahun 2006, sementara pada saat yang sama menyebabkan kerusakan lingkungan dan membuat masyarakat setempat menjadi rentan. Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk mengkaji peran agensi perempuan dari negara-negara Selatan dalam gerakan sosial untuk menuntut keadilan lingkungan. Penelitian ini mempertimbangkan cara-cara di mana hubungan ekonomi dan politik global-lokal di Cilacap memengaruhi gerakan ini. Penelitian ini berusaha menjelaskan agensi perempuan dalam menuntut hak atas lingkungan yang sehat dan layak dengan menguji teori politik kesabaran, yang menempatkan perempuan di luar dan melawan kekuasaan negara dan korporasi. Melalui studi etnografi, wawancara mendalam, dan pertemuan dengan para aktivis, pejabat publik, dan LSM, penelitian ini menggambarkan perempuan sebagai aktor politik dalam menghadapi dampak negatif dari hubungan antara negara dan perusahaan listrik. Dalam perjuangan mereka, perempuan dihadapkan pada stereotipe gender yang dibentuk oleh negara dan diperkuat oleh masyarakat. Stereotipe ini menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial yang menuntut hak-hak mereka. Temuan yang paling penting adalah bahwa peran pengasuhan perempuan telah memastikan bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang sehat dan layak telah berlangsung lebih lama dan tetap berada di luar dan melawan negara
Penguatan Bebas Visa Kunjungan (Bvk) Melalui Peran Penjamin: Menghidupkan Kembali Amanat Undang-Undang Keimigrasian
Kebijakan Bebas Visa Kunjungan telah memberikan seluas-luasnya akses bagi orang asing untuk memasuki wilayah Negara Indonesia. Kebijakan ini jelas menguntungkan dari segi pariwisata, tetapi di sisi yang lain, menimbulkan banyak permasalahan yang berkaitan dengan ketertiban dan keamanan negara seperti tingginya angka pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh orang asing. Oleh karena itu, berdasarkan fungsi yang diembannya, Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi dituntut untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan terhadap orang asing yang memasuki wilayah Indonesia. Salah satu alternatif yang bisa digunakan oleh Ditjen Imigrasi adalah dengan melibatkan peran penjamin. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini bermaksud menguraikan permasalahan dan juga memberikan solusi yang dapat diterapkan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh kebijakan Bebas Visa Kunjungan, yaitu dengan memberikan peran yang optimal kepada penjamin. Penjamin yang dimaksud yaitu Biro Perjalanan Wisata. Solusi ini pada prinsipnya sejalan dengan amanat Undang-Undang Keimigrasian serta peraturan turunannya. Apabila pemerintah mampu mengeluarkan kebijakan tersebut, maka pemerintah pun akan terbantu dalam pengawasan Orang Asing. Selain itu, untuk mendongkrak daya jual pariwisata daerah di Indonesia, Penjamin dapat menyediakan paket perjalanan khusus daerah tertentu yang dapat dipilih oleh wisatawan mancanegara. Sekali dayung dua pulau terlampaui, tidak hanya mendongkrak daya jual pariwisata daerah, kebijakan ini pun tentu akan memudahkan dan mengefisienkan proses pengajuan bebas visa kunjungan oleh biro perjalanan wisata
Manajemen Operasional Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Studi Kasus di Lapas “X”
Permasalahan keamanan dan ketertiban (Kamtib) di dalam lembaga pemasyarakatan Indonesia, khususnya di Lapas “X” menjadi salah satu kekhawatiran besar. Konflik antar Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), overcrowding, dan peningkatan gangguan kamtib adalah isu serius yang memerlukan perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan meningkatkan strategi kamtib, dengan menggunakan Lapas “X” sebagai studi kasus. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, melibatkan observasi langsung di lembaga pemasyarakatan dan wawancara dengan narasumber kunci. Tujuan penelitian yaitu untuk mengembangkan solusi praktis dalam meningkatkan keamanan dan menjaga ketertiban di sistem pemasyarakatan. Dengan mengungkapkan tantangan khusus yang dihadapi oleh Lapas “X”, penelitian ini menyumbang kontribusi terhadap upaya peningkatan operasional kamtib di lembaga pemasyarakatan dengan Prison Incident Management (PIM) oleh PBB sebagai acuan. Temuan penelitian diharapkan dapat membimbing penelitian masa depan dan memperdalam pemahaman terkait langkah-langkah keamanan yang efektif. Selain itu, penelitian diharapkan menjadi rekomendasi bagi Ditjenpas untuk meningkatkan dukungannya terhadap lembaga pemasyarakatan di Indonesia