Jurnal HAM
Not a member yet
153 research outputs found
Sort by
Menuntut Hak Atas Kota Baru: Klaim (Kembali) Lahan oleh Petani di New Clark City
New cities, often designed as development strategies, cause dispossession, displacement, and disruption of everyday lives of local communities. To further explore the effects of new cities and urban development in the Global South, this study explores the realities of farmers whose homes and livelihoods are affected by the construction of New Clark City in the Philippines. Employing the concept of the right to the city by Henri Lefebvre, this study delves into the farmers' agency in reclaiming space in the city being built on their rice fields. Through qualitative research methods, including interviews and participant observation, the study elucidates the strategies employed by farmers to assert their right to New Clark City. Highlighting that (re)claiming of space by the farmers is motivated by their need to make a living and provide for their families, the study builds on the understanding of the right to the city as the right of the inhabitants to shape their environment and manage their resources. Although the right to the city heavily depends upon the collective power to reshape the process of urbanization, the article argues that it can also be asserted through individual and unorganized actions.Kota-kota baru, yang seringkali dirancang sebagai strategi pembangunan, menyebabkan perampasan, penggusuran, dan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Untuk mengeksplorasi lebih jauh dampak dari kota-kota baru dan pembangunan perkotaan di Global South, penelitian ini mengeksplorasi realitas petani yang tempat tinggal dan mata pencahariannya terdampak oleh pembangunan New Clark City di Filipina. Dengan menggunakan konsep hak atas kota dari Henri Lefebvre, penelitian ini menggali agensi petani dalam merebut kembali ruang di kota yang dibangun di atas lahan persawahan mereka. Melalui metode penelitian kualitatif, termasuk wawancara dan observasi partisipan, studi ini menjelaskan strategi yang digunakan oleh para petani untuk menuntut hak mereka atas New Clark City. Menyoroti bahwa klaim (kembali) ruang oleh para petani dimotivasi oleh kebutuhan mereka untuk mencari nafkah dan menafkahi keluarga mereka. Penelitian ini didasarkan pada pemahaman bahwa hak atas kota adalah hak penduduk untuk membentuk lingkungan dan mengelola sumber daya mereka. Meskipun hak atas kota sangat bergantung pada kekuatan kolektif untuk membentuk kembali proses urbanisasi, artikel ini berargumen bahwa hak atas kota juga dapat ditegaskan melalui aksi-aksi individual dan tidak terorganisir
Perdamaian dan Hak Asasi Manusia di Sri Lanka: Perjuangan Masyarakat Marjinal dalam Mengadvokasi Keadilan
Peace and human rights serve as a check on the dominant or majoritarian culture. An absence of human rights is conducive to weak democratic forms, unequal social and political relations, marginalisation, oppression and, in some cases, criminalisation of communities. Such a scenario can be found in Sri Lanka. This paper expands upon a principal research project which found that the marginalisation of participants arose from aspects of their particular identities, including diverse sexualities and genders, races, ethnicities, religions and youth. The principal research was informed by intersectionality, social interactionism, interviews and interpretative phenomenological analysis. This paper was composed out of the research results and was further structured by literature review. People’s marginalisation, oppression and exclusion are related directly to the absence of peace and human rights manifested through injustices and structural barriers that frustrated social and political participation.Perdamaian dan hak asasi manusia berfungsi sebagai pengawas terhadap budaya dominan atau mayoritas. Ketiadaan hak asasi manusia kondusif bagi bentuk-bentuk demokrasi yang lemah, hubungan sosial dan politik yang tidak setara, marjinalisasi, penindasan, dan dalam beberapa kasus, kriminalisasi terhadap masyarakat. Skenario seperti ini dapat ditemukan di Sri Lanka. Makalah ini merupakan pengembangan dari proyek penelitian utama yang menemukan bahwa marjinalisasi para partisipan muncul dari aspek-aspek identitas khusus mereka, termasuk keragaman seksualitas dan gender, ras, etnis, agama, dan pemuda. Penelitian utama ini didasari oleh interseksionalitas, interaksionisme sosial, wawancara, dan analisis fenomenologi interpretatif. Makalah ini diinformasikan oleh hasil-hasil penelitian tersebut dan selanjutnya diinformasikan oleh tinjauan literatur. Peminggiran, penindasan, dan pengucilan masyarakat terkait langsung dengan ketiadaan perdamaian dan hak asasi manusia yang dimanifestasikan melalui ketidakadilan dan hambatan struktural yang menggagalkan partisipasi sosial dan politik.
Menimbang Prospek Komunikasi Individual HAM: Politik Hukum dan Implikasi Potensial Bagi Indonesia
The individual communications procedure is a vital mechanism in international human rights law that enables victims to seek remedies when domestic legal venues have been exhausted or failed to deliver justice. Although Indonesia has acceded to almost all core international human rights treaties, its individual communications procedures have yet to be accepted. This study investigates the Indonesian Government’s human rights legal policy toward individual communications procedures acceptance through the ratification/accession of the ICCPR First Optional Protocol and ICESCR Optional Protocol, as well as analyzes the potential implications of such acceptance. This study utilizes a normative legal methodology coupled with interdisciplinary and conceptual approaches. In addition to analyzing legal materials, interviews were conducted with scholars, NGO activist, victim, and former Commissioner of Indonesia’s National Human Rights Commission to deepen the analysis. The findings reveal the Government’s lack of political will to accept individual communications procedures due to a tendency to avoid adjudicatory human rights accountability mechanisms and the avoidance of possible compliance costs, such as financial, reputational, and political burdens. Furthermore, this study demonstrates that these procedures’ acceptance has potential implications for opening access to justice for victims, providing strategic litigation channels, and facilitating interaction between treaty bodies and the national judiciary regarding the development of interpretations of human rights through judicial dialogue. The Government should consider ratifying/acceding the ICCPR and ICESCR Optional Protocols to strengthen the domestic human rights protection infrastructure and enhance its reputation as a promoter of human rights.Prosedur komunikasi individual merupakan salah satu mekanisme penting dalam hukum hak asasi manusia (HAM) internasional yang memungkinkan korban untuk mengupayakan pemulihan ketika sarana hukum domestik telah tuntas atau gagal bekerja dalam memberikan keadilan. Walaupun Indonesia telah mengikutsertakan diri pada hampir seluruh perjanjian HAM internasional inti, prosedur komunikasi individualnya sampai sekarang belum kunjung diterima. Studi ini mengkaji politik HAM Pemerintah Indonesia terhadap prospek penerimaan prosedur komunikasi individual, khususnya melalui ratifikasi/aksesi Protokol Opsional ICCPR Pertama dan Protokol Opsional ICESCR, sekaligus menganalisis implikasi potensial dari penerimaan tersebut. Studi ini mengandalkan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan interdisipliner dan konseptual. Selain penelaahan atas bahan-bahan hukum, wawancara kepada akademisi, pegiat organisasi nonpemerintah, korban, dan mantan Komisioner Komisi Nasional HAM Republik Indonesia juga dilakukan demi memperdalam analisis. Konklusi studi menunjukkan tidak terdapatnya kehendak politik Pemerintah Indonesia untuk menerima prosedur komunikasi individual karena adanya tendensi penghindaran terhadap mekanisme akuntabilitas HAM internasional yang berkarakter adjudikasi serta penghindaran ongkos kepatuhan berupa beban finansial, reputasi dan politik yang mungkin timbul. Studi ini pun mendemonstrasikan bahwa akseptasi prosedur komunikasi individual dapat membuka akses keadilan bagi korban, menyediakan sarana litigasi strategis, dan memfasilitasi interaksi antara badan perjanjian dan sistem peradilan nasional berkenaan pengembangan interpretasi norma HAM melalui dialog yudisial. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan ratifikasi/aksesi Protokol Opsional ICCPR dan ICESCR demi memperkuat infrastruktur pelindungan HAM serta meningkatkan reputasi sebagai promotor HAM
Strategi Perbatasan Suku Dayak Agabag dalam pemenuhan Hak Budaya di Ulu Sembakung, Kalimantan Utara
The local elites of the Dayak Agabag community are acutely aware of their minority status, which paradoxically presents them with unique opportunities. Situated as a frontier people within Indonesia, the Dayak Agabag have cultivated strong social bonds with the Murut Pensiangan community in Malaysia, fostering cultural cohesion that transcends national borders. These sociocultural ties, while beneficial for community solidarity, are viewed as a challenge to state sovereignty and nationalistic ideals. Ironically, local elites of the Agabag community have adeptly utilized their minority status to advocate for the development of modern-state infrastructure in their region. This article critically examines the cultural rights challenges confronting the Dayak Agabag along the Indonesia-Malaysia border, with a focus on the political agency of their local elites in shaping affirmative policies for marginalized communities and advocating for human rights. It sheds light on how both elite and community movements seek legitimacy in their endeavors. Through an ethnographic lens, the study reveals that Dayak Agabag's local elites have strategically asserted their political agency to carve out autonomy in countering state spatial domination and advocating for human rights as frontier people. Central to this analysis is the understanding that the political agency of Dayak Agabag's local elites enables them to maintain their minority status effectively, leveraging it to access political advantages and privileges across national borders. This agency offers valuable insights into how marginalized frontier communities can harness their indigenous political power to secure cultural rights, navigate cross-border dynamics, and maintain social legitimacy despite facing formal legal challenges. In conclusion, this article underscores the nuanced strategies employed by Dayak Agabag's local elites to navigate their geopolitical context, advocating for rights and infrastructure development while managing complex transnational relationships. It highlights the resilience and adaptability of frontier communities in utilizing their indigeneity to negotiate and assert their place in contemporary political landscapes.Kelompok Penguasa yang ada di suku Dayak Agabag sadar bahwa posisi mereka sebagai minoritas dapat mendatangkan peluang. Sebagai Masyarakat perbatasan, Dayak Agabag telah membentuk ikatan sosial yang solid dengan Murut Pensiangan, penduduk Malaysia, dengan cara membina ikatan budaya melintasi batas-batas negara. Ikatan sosial budaya ini dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan nasionalisme, yang ironisnya sering dieksploitasi oleh elite lokal untuk kepentingan mereka. Suku Dayak Agabag menggunakan status minoritas mereka untuk mengadvokasi pembangunan infrastruktur negara modern di wilayah mereka. Artikel ini menganalisis tantangan budaya yang dihadapi oleh Suku Dayak Agabag di perbatasan Indonesia-Malaysia, dengan tujuan untuk memahami peran politik Suku Dayak Agabag dalam membentuk kebijakan afirmatif untuk masyarakat yang terpinggirkan dan advokasi mereka terhadap hak-hak asasi manusia, dengan menyoroti pergerakan para elite dan masyarakat dalam upaya untuk mendapat legitimasi. Lensa etnografi yang digunakan dalam artikel ini menunjukkan bahwa perwakilan politik suku Dayak Agabag menciptakan aturan mereka sendiri untuk melawan dominasi teritorial negara, dalam memperjuangkan hak asasi manusia sebagai masyarakat perbatasan, yang memberikan mereka akses untuk mendapatkan keuntungan politik dan hak-hak istimewa di perbatasan. Perwakilan Suku Dayak Agabag memberikan wawasan tentang bagaimana Masyarakat perbatasan yang terpinggirkan dapat meningkatkan kekuatan pribumi politik mereka, memperoleh hak-hak budaya, dan mempertahankan mobilitas lintas batas yang sah secara sosial namun ilegal secara hukum
Legacy Pengadilan Hibrida di Kamboja: Memajukan Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak?
The mandate of the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) concluded in 2022, marking the end of its nearly two-decade presence in Cambodia. Established as a hybrid court through a collaboration between the Cambodian government and the United Nations, the ECCC operated under a unique framework combining foreign and domestic laws, personnel, and judges. While the caseload of the court ended in early 2022, there are remaining legacies for Cambodians. This research investigates the legacy of the ECCC concerning fair trial rights and examines how national staff apply their experiences from the ECCC in the national courts. The article relies on document analysis and in-depth interviews with seven former and current Cambodian domestic court staff who worked at the ECCC to analyze three elements of fair trial rights: the right to adequate time and facilities to prepare a defense, the right to legal representation and to be present at trial, and the right to presumption of innocence. This paper argues that the legacy of the ECCC lies in its contribution to build the national staff’s capacity on fair trial rights in domestic courts in Cambodia. However, significant challenges remain, as the fair trial rights envisioned and put in place in the ECCC cannot be currently delivered by Cambodian domestic judicial system.Misi Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC) berakhir pada tahun 2022, setelah hadir di Kamboja selama hampir dua dekade. Pengadilan ini dikembangkan sebagai pengadilan hibrida oleh Pemerintah Kamboja dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengadilan ini menggunakan kombinasi hukum, staf, dan hakim internasional dan domestik. Meskipun telah berakhir pada awal tahun 2022, masih ada warisan yang disisakan bagi warga Kamboja. Penelitian ini mempertanyakan apa legacy ECCC terkait hak peradilan yang bebas dan tidak memihak dan bagaimana staf nasional ECCC menerapkan pengalaman mereka dari ECCC di pengadilan nasional? Artikel ini menggunakan analisis dokumen dan wawancara mendalam dengan tujuh mantan dan staf pengadilan domestik Kamboja saat ini yang memiliki pengalaman di ECCC untuk menganalisis tiga elemen hak atas peradilan yang bebas dan tidak memihak: hak atas waktu dan fasilitas yang memadai dalam mempersiapkan pembelaan, hak atas perwakilan hukum dan untuk hadir di persidangan, serta hak atas praduga tak bersalah. Artikel ini berpendapat bahwa warisan ECCC adalah kontribusinya dalam membangun kapasitas staf nasional terkait hak atas peradilan yang bebas dan tidak memihak di pengadilan domestik di Kamboja. Namun, tantangan yang signifikan tetap ada, karena hak atas peradilan yang bebas dan tidak memihak yang dibayangkan dan ditetapkan dalam ECCC saat ini tidak dapat diwujudkan oleh pengadilan dalam negeri
Hak Asasi Manusia dan Perbatasan: Mengembalikan Kerugian Hak-Hak Masyarakat Adat Sama Dilaut di Filipina Selatan
The Sama Dilaut, identifying themselves as a seafaring people, consider the sea central to their homeland and cultural identity. Despite formal recognition of their procedural rights under international and domestic legal frameworks, they persist on the periphery of societal hierarchies, not due to material scarcity but because of profound deficits in capabilities and freedoms. This study shifts focus from material deprivation to rights deprivation, specifically examining how their indigenous perspectives are marginalized in the interpretation and realization of human rights. Utilizing qualitative methods, particularly phenomenology and key informant interviews, this research investigates the multifaceted experiences of deprivation faced by the Sama Dilaut across different contexts: on land, at sea, and within both community (horizontal) and state (vertical) frameworks. Furthermore, it critically analyzes potential pathways and strategies to enable them to fully exercise their rights and freedoms. Central to the findings is the Sama Dilaut's conceptualization of human rights ('kapatut manusiya'), which underscores four primary areas of deprivation compared to desired freedoms: knowledge and education ('pangalaman' or 'panghati'), indigenous culture, spirituality, and religious beliefs ('pangaddatan' and 'pag-omboh' or 'pag-paybahau'), traditional and diversified economic livelihoods ('pag-usaha' or 'pagkalluman'), and socio-political leadership and participation ('panglima' or 'nakura'). This study contributes significantly to reframing the discourse on international human rights by foregrounding the experiences of the Sama Dilaut, a community characterized by their deprivation of freedoms despite their rich maritime heritage and worldview. By amplifying their voices and highlighting their lived realities, this research advocates for a more inclusive approach to human rights that incorporates and respects diverse indigenous perspectives. Ultimately, it seeks to inform policy and advocacy efforts aimed at addressing systemic inequalities and promoting the full realization of rights for marginalized communities such as the Sama Dilaut.Suku Sama Dilaut mengidentifikasi sumber tanah air dan identitas mereka sebagai suku maritim. Meskipun hak-hak prosedural mereka dijamin oleh instrumen hukum internasional dan domestik, mereka tetap berada di pinggiran dalam hirarki etnis informal, bukan karena miskin sumber daya, tetapi karena tidak memiliki kemampuan dan kebebasan. Berbeda dengan perampasan materi, penelitian ini berfokus pada perampasan hak, yaitu keterasingan konteks dan perspektif masyarakat adat dalam penafsiran dan pemenuhan hak asasi manusia. Dengan menggunakan metode kualitatif khususnya fenomenologi dan wawancara dengan informan kunci, penelitian ini pertama-tama mempertanyakan pengalaman hidup mereka yang mengalami perampasan di darat, di laut, dan di tingkat horizontal (komunitas atau antar etnis) dan vertikal (Negara). Kedua, penelitian ini secara kritis mengkaji jalur dan solusi untuk menikmati hak dan kebebasan mereka sepenuhnya. Hasilnya berfokus pada konsep tentang hak asasi manusia (kapatut manusiya) dan identifikasi empat perampasan signifikan yang berlawanan dengan kebebasan yang diinginkan Keempat hal tersebut terkait dengan pengetahuan dan pendidikan (pangalaman atau panghati), budaya dan spiritualitas adat serta kepercayaan agama (pangaddatan dan pag-omboh atau pag-paybahau), kehidupan ekonomi yang tradisional dan beragam (pag-usaha atau pagkalluman), serta kepemimpinan dan partisipasi sosial-politik (panglima atau nakura). Studi ini berkontribusi dalam menempatkan lanskap hak asasi manusia internasional ke dalam perspektif Sama Dilaut, yang terampas kebebasannya namun kaya akan budaya dan pandangan dunia (maritim)
Teologi Migrasi: Kontribusi Teoritis dan Teologis terhadap Pemahaman Agama dalam Upaya Melawan Perdagangan Manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT
Theology of Migration represents a form of praxis that elucidates the relationship between theology (religion) and social reality, with a particular focus on migration. This relationship is characterized by intricate, intertwining, and constructive engagement. This leads to the question of whether migration theology can address the issue of migrants who eventually become involved in the criminal act of trafficking in persons (TPPO). Since 2016, NTT has been identified as a key area of concern in the context of human trafficking. Recent research on the phenomenon of human trafficking has identified a number of socio-structural issues that contribute to its prevalence, including deficiencies in education, poverty, patriarchal structures, feudalistic systems, and the scarcity of natural and human resources. The objective of this paper is to demonstrate that religion can play a significant role in the fight against TPPO in NTT. As an integral aspect of human existence, religion can serve as a foundation for efforts to provide crucial insights into the phenomenon of migration. Migration theology endeavors to reflect the phenomenon of migration in the light of public theology, thereby providing a basis for defense. This is then realized in practical actions against TPPO, with the objective of actively involving religion. In this context, migration theology will undertake a comprehensive examination of the various factors underlying the migration of people in NTT. It will then engage in interdisciplinary dialogue with the results obtained, particularly with regard to the teachings of Christianity concerning the phenomenon of migration (in terms of tradition, doctrine, the Bible, and theology). The latter can be enhanced with additional theological perspectives, particularly those pertaining to interfaith dialogue, in order to develop a comprehensive theological perspective on migration and to foster a distinctive theological approach to the migration patterns of the people of NTT. This research is grounded in a literature review employing a prosessional correlation approach, wherein Scripture, theological-dogmatic tradition, and socio-cultural human experience converge and engage in a dynamic interplay, ultimately manifesting itself in theological and practical terms.Teologi Migrasi merupakan sebuah bentuk praksis yang menjelaskan hubungan antara teologi (agama) dan realitas sosial, dengan fokus khusus pada migrasi. Hubungan ini ditandai dengan keterlibatan yang rumit, saling terkait, dan konstruktif. Hal ini membawa pada pertanyaan apakah teologi migrasi dapat menjawab persoalan migran yang pada akhirnya terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sejak tahun 2016, NTT telah diidentifikasi sebagai daerah yang menjadi perhatian utama dalam konteks perdagangan orang. Penelitian terbaru tentang fenomena perdagangan orang telah mengidentifikasi sejumlah masalah sosial-struktural yang berkontribusi terhadap prevalensi perdagangan orang, termasuk kekurangan pendidikan, kemiskinan, struktur patriarki, sistem feodalistik, dan kelangkaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa agama dapat memainkan peran penting dalam memerangi TPPO di NTT. Sebagai aspek integral dari eksistensi manusia, agama dapat menjadi landasan bagi upaya untuk memberikan pemahaman yang krusial terhadap fenomena migrasi. Teologi migrasi berupaya merefleksikan fenomena migrasi dalam terang teologi publik, sehingga menjadi dasar pembelaan. Hal ini kemudian diwujudkan dalam aksi-aksi praktis melawan TPPO, dengan melibatkan agama secara aktif. Dalam konteks ini, teologi migrasi akan melakukan telaah komprehensif terhadap berbagai faktor yang mendasari migrasi masyarakat di NTT. Kemudian akan melakukan dialog interdisipliner dengan hasil yang diperoleh, terutama yang berkaitan dengan ajaran agama Kristen mengenai fenomena migrasi (dari segi tradisi, doktrin, Alkitab, dan teologi). Hal ini dapat dilengkapi dengan perspektif teologis lainnya, terutama yang berkaitan dengan dialog antar agama, untuk mengembangkan perspektif teologis yang komprehensif tentang migrasi dan untuk menumbuhkan pendekatan teologis yang khas terhadap pola migrasi masyarakat NTT. Penelitian ini didasarkan pada tinjauan literatur dengan menggunakan pendekatan korelasi prosedural, di mana Alkitab, tradisi teologis-dogmatis, dan pengalaman sosial-budaya manusia bertemu dan terlibat dalam interaksi yang dinamis, yang pada akhirnya memanifestasikan dirinya dalam istilah-istilah teologis dan praktis
Merawat Perjuangan: Politik Kesabaran Perempuan dalam Menuntut Keadilan Lingkungan di Cilacap
The PT S2P coal-fired power plant (CFPP) in Cilacap has generated considerable profits for the capitalist country since 2006, while simultaneously causing environmental damage and rendering local communities vulnerable. This paper employs a case study approach to examine the role of women's agency from the Global South in the social movement for environmental justice. It considers how global-local economic and political relations in Cilacap influence this movement. It sought to explain women's agency in claiming the right to a healthy and decent environment by testing the theory of the politics of patience, which located women outside and against state and corporate power. Through ethnography, in-depth interviews, and meetings with activists, public officials, and NGOs, this study depicted women as political actors in the face of the negative impacts of the state-electricity company nexus. In their struggles, women were confronted with gender stereotypes that were shaped by the state and reinforced by society. These stereotypes prevented women from participating in social movements that demanded their rights. The most important finding was that the nurturing role of women has ensured that the struggle for the right to a healthy and decent environment has lasted longer and has remained outside of and against the state. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) PT S2P di Cilacap telah menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi negara kapitalis sejak tahun 2006, sementara pada saat yang sama menyebabkan kerusakan lingkungan dan membuat masyarakat setempat menjadi rentan. Tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk mengkaji peran agensi perempuan dari negara-negara Selatan dalam gerakan sosial untuk menuntut keadilan lingkungan. Penelitian ini mempertimbangkan cara-cara di mana hubungan ekonomi dan politik global-lokal di Cilacap memengaruhi gerakan ini. Penelitian ini berusaha menjelaskan agensi perempuan dalam menuntut hak atas lingkungan yang sehat dan layak dengan menguji teori politik kesabaran, yang menempatkan perempuan di luar dan melawan kekuasaan negara dan korporasi. Melalui studi etnografi, wawancara mendalam, dan pertemuan dengan para aktivis, pejabat publik, dan LSM, penelitian ini menggambarkan perempuan sebagai aktor politik dalam menghadapi dampak negatif dari hubungan antara negara dan perusahaan listrik. Dalam perjuangan mereka, perempuan dihadapkan pada stereotipe gender yang dibentuk oleh negara dan diperkuat oleh masyarakat. Stereotipe ini menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial yang menuntut hak-hak mereka. Temuan yang paling penting adalah bahwa peran pengasuhan perempuan telah memastikan bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak atas lingkungan yang sehat dan layak telah berlangsung lebih lama dan tetap berada di luar dan melawan negara
Situasi Genting Pengungsi dan Pekerja Migran di Malaysia yang Berkelanjutan Pasca-Covid-19
The COVID-19 pandemic exacerbated the vulnerabilities faced by refugees and migrant workers globally, and Malaysia was no exception, where these groups encountered significant challenges exacerbated by their marginalized legal status. Often perceived as illegal, refugees and migrant workers faced widespread discrimination and neglect during Malaysia's efforts to manage and contain the virus. This environment fostered xenophobic attitudes among both the government and the general population, undermining efforts to protect these vulnerable populations from abuse, exploitation, and discrimination. Compared to international standards, Malaysia's response to safeguarding the rights of refugees and migrant workers fell short, as evidenced by their inadequate protection measures during the pandemic. This paper seeks to shed light on the dire conditions experienced by these groups throughout the COVID-19 crisis and their ongoing precarious situation. Drawing from a range of primary and secondary sources including official statements, mainstream media reports, and findings from local and international organizations, the research underscores persistent challenges faced by refugees and migrant workers. The findings reveal that despite sporadic efforts, the fundamental situation for these vulnerable groups remains largely unchanged, with systemic issues of discrimination and neglect persisting. In response, the paper advocates for urgent reforms and the implementation of comprehensive policies by the Malaysian government to improve conditions and protect the rights of refugees and migrant workers effectively. These reforms are essential not only for meeting international human rights standards but also for fostering a more inclusive and equitable approach to public health crises and broader social welfare policies.Pandemi COVID-19 menempatkan populasi global dalam keadaan yang tidak menentu dan yang paling rentan adalah para pengungsi dan pekerja migran. Sudah menjadi narasi umum bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperlakukan mereka dengan acuh tak acuh karena status ilegal mereka sehingga menciptakan lingkungan xenofobia terhadap mereka. Situasi serupa terjadi pada kelompok rentan di Malaysia selama penanganan dan mitigasi penyebaran COVID-19 yang mengakibatkan pemerintah Malaysia mengabaikan hak asasi manusia yang mendasar untuk melindungi pengungsi dan pekerja migran dari diskriminasi, pelecehan, dan eksploitasi. Berdasarkan standar internasional, Malaysia masih jauh dari membela hak-hak kelompok rentan, khususnya para pengungsi dan pekerja migran. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menyoroti dan mendiskusikan kondisi para pengungsi dan pekerja migran selama COVID-19 dan situasi genting yang terus menerus menimpa mereka. Data dikumpulkan dari sumber primer dan sekunder seperti pernyataan resmi, media arus utama, dan laporan dari organisasi lokal dan internasional. Temuan menunjukkan bahwa situasi genting masih tetap sama bagi kelompok rentan ini, oleh karena itu pemerintah Malaysia harus secara serius mengambil kebijakan yang komprehensif untuk meringankan kondisi buruk yang menimpa mereka
Identifikasi Tantangan dalam Mewujudkan Kesetaraan Hak Asasi Manusia bagi Penyadang Disabilitas Psikososial di Nepal
Nepal is currently facing a severe mental health crisis characterized by a significant prevalence of mental illness that remains largely unaddressed. The issue is exacerbated by pervasive social stigma, lack of awareness, and insufficient political commitment, pushing mental health to the bottom of the political agenda. In Nepal, mental health treatment predominantly focuses on biomedical interventions, mainly ignoring the human rights aspects, highlighting the crucial need for a paradigm shift in approach. The enactment of the Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) on June 6, 2010, presents an opportunity for a transformative shift in Nepal’s approach to mental health. This research investigates the barriers within Nepal’s rights-based mental health framework, drawing insights from individuals with psychosocial disabilities, their families, policymakers, legal experts, and NGO representatives. It features four case studies that highlight the challenges these individuals face, and the roles played by their families and communities in providing care. The objective is to provide insights into the daily realities of community members in Nepal. In summary, the study highlights the importance of adopting a robust human rights-based approach to quality practice. Such an approach, which fosters trust in engaging individuals with psychosocial disabilities, their families, the community, and mental health service providers, is not merely a theoretical concept but a vital requirement for enhancing mental health practices in Nepal.Nepal tengah menghadapi krisis kesehatan mental yang parah, yang ditandai dengan tingginya prevalensi penyakit mental yang sebagian besar belum ditangani. Masalah ini diperburuk oleh stigma sosial yang meluas, kurangnya kesadaran, dan rendahnya komitmen politik, sehingga kesehatan mental tidak lagi menjadi agenda politik. Di Nepal, perawatan kesehatan mental yang sebagian besar berfokus pada intervensi biomedis dan mengabaikan aspek hak asasi manusia, menunjukkan pentingnya kebutuhan perubahan paradigma. Pemberlakukan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada tanggal 6 Juni 2001, menghadirkan peluang untuk mengubah pendekatan Nepal terhadap kesehatan mental secara transformatif. Penelitian ini menganalisis hambatan dalam pendekatan kesehatan mental berbasis hak di Nepal, dengan dalam perspektif para penyandang disabilitas psikososial dan keluarganya, serta para pembuat kebijakan, pakar hukum, dan LSM. Penelitian ini menyajikan empat studi kasus yang menyoroti tantangan yang dihadapi oleh para penyandang disabilitas psikososial serta peran keluarga dan komunitas dalam memberikan perawatan. Tujuannya adalah untuk memberikan wawasan tentang realitas sehari-hari anggota komunitas di Nepal. Penelitian ini menyoroti pentingnya mengadopsi pendekatan berbasis hak asasi manusia yang kuat untuk praktik yang berkualitas. Pendekatan semacam itu, yang menumbuhkan kepercayaan dalam melibatkan individu dengan disabilitas psikososial, keluarga mereka, komunitas, dan penyedia layanan kesehatan mental, bukan sekadar konsep teoritis tetapi persyaratan penting untuk meningkatkan praktik kesehatan mental di Nepal