14 research outputs found
PEREMPUAN MADURA ANTARA TRADISI DAN INDUSTRIALISASI
Abstrac Industry requires competition and competencies. The former is kind of race or contest to allow people to gain the objective, however the latter is an individual skill or capability to gain the objective. Competition goes around social room, therefore competence is a part of individual resource. The social and individual chambers are free from gender, both man and woman have an equal opportunity to reach the individual expected wish. Only those who are able to win the social sphere fight that could be a part of indutrialization, nevertheless those who are not will be left behind. Thus, Madurese woman challenges the fight agains traditional bond which close to social and religious norm and industrial bond which relies on rationality. Based on the fact, industry becomes a social room for Madurese woman. Indeed, this article would view the reality that cannot be avoided by woman---the reality of how the tradition, as social sphere gives meaning on the woman role and how the women fight becomes an important part of them. Kata-kata kunci dialectical, tradition, culture dan industr
KOMPOLAN: KONTESTASI TRADISI PEREMPUAN MADURA
Abstrak:Kompolan merupakan bagian tradisi keagamaan yang diisi dengan aktivitas spiritualitas dan ritualitas keagamaan. Aktivitas kompolan ini menjadi media penting bagi transformasi nilai-nilai agama di masyarakat. Aktivitas ini berkembang pesat dan mengakar kuat pada masyarakat Madura, terutama di daerah pedesaan. Sebagai bagian dari realitas sosial keagamaan kompolan pada masyarakat Madura dapat menjadi bagian penting dari legitimasi, justifikasi dan ideologisasi eksistensi keberagamaan mereka. Tulisan ini merupakan ringkasan riset yang dilakukan awal tahun 2000-an di Desa Madu Songennep. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan secara historis kompolan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial yang terjadi pada tahun 1980-sampai awal 1990. Kompolan dalam konteks ini dijadikan agen yang mereproduksi sosial. Kompolan sebagai agen reproduksi sosial ini dimaknai sebagai hasil dari relasi keuasaan yang terjadi antar aktor yaitu relasi antara elite agama dengan peserta kompolan yang dalam prosesnya telah menimbulkan kekerasan simbolik dan kompolan mengambil peran dalam melestarikan bahkan menyebarluaskan dalam bentuk yang simbolik. Kata kunci:kompolan, nyai, dan klebunAbstract:Kompolan (gathering) becomes a part of religious tradition. It concerns the activity of religious spirituality and rituality. The activities in kompolan are the core media to transform the religious values of society. They are rapdily developed and stronly rooted into Madurese society, particularly in rural area. As a part of religious social reality , kompolan takes important role of legimitation, justification, and idiologization of Madurese people existance. This article higlights the study done at Madu village, Songennep (Sumenep) in 2000. The inertviewees are the member of kompolanand the leader (nyai). It results a finding that historically kompolan cannot be seperated from the social contact occured from 1980 to early 1990. In this contact, kompolan became an agent of social reproduction. It was a result of power relations between religion elites and kompolan members causing a symbolic violance. Hence, kompolan took control on conserving and disseminating in symbolic form. Key words:kompolan, nyai, and klebu
KALEBUN BEBINIā (Kontruksi Budaya Masyarakat Madura dalam Melestarikan Kekuasaan)
Fenomena kalebun bebiniā (kepala desa perempuan) pada masyarakat Madura yang semakin merebak, tidak jarang hanya sebagai penerus dan melestarikan kekuasaan yang sebelumnya dimiliki oleh suami, bapak atau bahkan kakek mereka. Sehingga tulisan ini bermaksud mengungkap: Pertama: bagaimana konstruksi budaya Madura tentang peran dan posisi perempuan sebagai kalebun. Kedua: bagaimana mekanisme yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam menempatkan perempuan sebagai penerus kekuasaan politik pada kekuasaan desa (kalebun). Ketiga, bagaimana relevansi potensi dan kompetensi perempuan dalam posisinya sebagai Kalebun. Selanjutnya tulisan ini akan menggunakan empat pendekatan Pertama: pendekatan subyektif, dimaksudkan untuk mengetahui alasan atau motif serta apa yang sebanarnya yang diinginkan perempuan ketika menjabat sebagai kalebun, dalam faktanya posisi kalebhun yang diperankan tidak lebih dari keinginan outside view. Kedua, pendekatan relasional, yaitu melihat pola relasi yang terbangun dalam keluarga dan masyarakat anatara laki-laki dan perempuan. Pada konteks ini proses menjadi kalebun bebhiniā telah memunculkan relasi dominatif dan subordinat melalui public transcript. Ketiga, pendekatan struktural, institusi kalebun dimaksudkan untuk membuat tatanan masyarakat yang bermartabat, dikotori oleh praktik-praktik politik kekuasaan yang tanpa makna dengan membolehkan berbagai cara, termasuk menjadi perempuan sebagai obyek keberlangsungan kekuasaan. Keempat, tulisan ini sebagai seruan moral untuk membangun kesadaraan kolektif untuk mengedepankan politik makna, dengan menjunjung integritas dalam kepemimpinan
Representasi Sosial dan Otonomi Perempuan Buruh Garam (Telaah terhadap Konsep Qiwamah)
The research aims to make a dialog between text or Qiwamah concept and social reality of a particular social group, a community of women salt workers. The concept of Qiwamah here, referring to several interpretations of the concept, was defined as the men's or husbands' leadership in households. The concept was used to analyze the activity of women salt workers in terms of social representation and autonomy, including in the domestic space (family) and public space (society and working place). The autonomy of women salt workers was picked to fundamentally understand women's independence in the decision-making process related to personal matters, family, community, and profession (long-nolongi, lelabet, kompolan, njangan and nyaput enek). The research found that the concept of Qiwamah in Madurese, especially in the family of women salt workers, was not run strictly and rigorously, but more as reverence to men. Often, women significantly took responsibility and figured in decision-making processes. This research is essential to see that the concept of Qiwamah can be understood and realized contextually and adjusted to cultural conditions. It suggests that there is no a basic guidance that family leadership held by men should be realized as the final form
Pendekatan MaqÄį¹£Ä«d al-SyarÄ«'ah pada Tradisi Kawin Anak di Madura
This research aims to explain the importance of maqÄį¹£Ä«d al-syarÄ«'ah approach in the case of child marriage that is growing in Madura. So far, the approach used in looking at the issue of child marriage is still textual. Precisely, fiqh used as legitimacy to preserve child marriage, yet the reality shows that child marriage is quite alarming. In this research, maqÄį¹£Ä«d al-syarÄ«'ah as a method or ijtihÄd to uncover universal humanitarian goals in establishing law for human welfare, and also as a solution to reduce child marriage in Madura. The maqÄį¹£Ä«d al-syarÄ«'ah approach in the provisions of Islamic law is an effort to reconstruct women's rights from the loss of knowledge, the right to health, the right of justice, and the right to gender equality. The results of this research showed as an alternative in preventing and give understanding and awareness to Muslims about the legal context of child marriage
KALEBUN BEBINIā (Kontruksi Budaya Masyarakat Madura dalam Melestarikan Kekuasaan)
<p>Fenomena <em>kalebun bebiniā</em> (kepala desa perempuan) pada masyarakat Madura yang semakin merebak, tidak jarang hanya sebagai penerus dan melestarikan kekuasaan yang sebelumnya dimiliki oleh suami, bapak atau bahkan kakek mereka. Sehingga tulisan ini bermaksud mengungkap: <em>Pertama</em>: bagaimana konstruksi budaya Madura tentang peran dan posisi perempuan sebagai <em>kalebun.</em> <em>Kedua</em>: bagaimana mekanisme yang dilakukan oleh kaum laki-laki dalam menempatkan perempuan sebagai penerus kekuasaan politik pada kekuasaan desa (<em>kalebun</em>). <em>Ketiga,</em> bagaimana relevansi potensi dan kompetensi perempuan dalam posisinya sebagai <em>Kalebun</em>. Selanjutnya tulisan ini akan menggunakan empat pendekatan <em>Pertama</em>: pendekatan subyektif, dimaksudkan untuk mengetahui alasan atau motif serta apa yang sebanarnya yang diinginkan perempuan ketika menjabat sebagai <em>kalebun</em>, dalam faktanya posisi kalebhun yang diperankan tidak lebih dari keinginan<em> outside view.</em> <em>Kedua</em>, pendekatan relasional, yaitu melihat pola relasi yang terbangun dalam keluarga dan masyarakat anatara laki-laki dan perempuan. Pada konteks ini proses menjadi <em>kalebun bebhiniā</em> telah memunculkan relasi dominatif dan subordinat melalui <em>public transcript</em>. <em>Ketiga,</em> pendekatan struktural, institusi <em>kalebun</em> dimaksudkan untuk membuat tatanan masyarakat yang bermartabat, dikotori oleh praktik-praktik politik kekuasaan yang tanpa makna dengan membolehkan berbagai cara, termasuk menjadi perempuan sebagai obyek keberlangsungan kekuasaan. <em>Keempat</em>, tulisan ini sebagai seruan moral untuk membangun kesadaraan kolektif untuk mengedepankan politik makna, dengan menjunjung integritas dalam kepemimpinan.</p
Sejarah perkembangan Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan tahun 1985-2017
Skripsi ini berjudul Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan Tahun (1985-2O17 ). Adapun Masalah yang di teliti dalam penulisan skripsi ini adalah (1) Bagaimana sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan ? (2). Bagaimana perkembangan Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah lamongan? (3) Apa saja factor Pendukung dan Penghambat dalam perkembangan Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan? Penulisan Skripsi ini di susun dengan Menggunakan Metode penelitian Sejarah yaitu: Heoristik (Pengumpulan Sumber), Verifikasi (Kritik sumber), Interpretasi {penafsiran sumber} dan Historiografi {penulisan sejarah}. Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan Historis perspektif diakronis ( mendeskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau secara kronologis yang berdimensi waktu). Sedangkan teori yang di gunakan untuk menganalisis adalah Teori Continuty and Change (kesinambungan dan perubahan) dan teori Challenge and Respons (tantangan dan Respon). Dari hasil penelitian yang di lakukan dapat di simpulkan bahwa: (1). Pondok Pesantren Al-Mizan Muhammadiyah Lamongan berdiri pada tahun 1985, di dirikan oleh H.Syukron sebagai pelopor pendirinya dan di dukung oleh pimpinan cabang muhammadiyah dan Aisyiyah cabang Lamongan serta para tokoh/sesepuh Muhammadiyah Lamongan. (2). Ponpes Al-Mizan mengalami perkembangan baik dari Jumlah Santi, Sarana Pra Sarana maupun kegiatan. (3). Faktor pendukung dan penghambat dalam perkembangan Pondok Ponpes Al-Mizan muhammadiyah terbagi dalam dua factor, yaitu factor internal yang berasal dari dalam diri yayasan dan factor eksternal yang berasal dari luar yayasan
Tranformasi Pendidikan Agama Perempuan Pedesaan Madura di Era Digital
Sebagaimana dalam beberapa fakta ditemukan bahwa perempuan pedesaan mempunyai keterbatasan pengetahuan. Disebabkan karena rendahnya Pendidikan, kemiskinan dan adanya tekanan budaya yang kuat ditengah masyarakat. Meskipun demikian masyarakat pedesaan tidak pernah meninggalkan atau melupakan Pendidikan agama. Bagi masyarakat Pendidikan agama mempunyai peran penting dalam kehidupan mereka, seperti mengaji al-qurāan, pengetahuan tentang sholat dan beberapa persoalan yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh atau utama terutama yang berkaitan dengan syariat atau fiqh. Sehingga tulisan ini bermaksud menjelaskan bagaimana proses transformasi pengetahuan agama yang terjadi dipedesaan Madura yang menggambarkan nilai, metode dan actor-aktor yang terlibat dalam proses transformasi pengetahuan agama. Melalui pengumpulan data yang dilakukan selama dua bulan dengan proses observasi, wawancara, FGD dan dept interview. Berbagai pengetauan tersebut diperoleh tidak melalui Pendidikan formal, namun karena banyak kegiatan perempuan dalam kelompok kompolan, maka ini menjadi media dalam mentransformasikan pengetahuan agama. Melalui kegiatan tersebut perempuan pedesaan dapat meningkatkan pengetahuan keagamaan mereka meskipun mereka sudah menikah. Dimana berbagai aktifitas tersebut ditransformasikan dalam bentuk tradisi-tradisi keagamaan, pengetahuan melalui pembacaan kitab, maupun melalui kearifan lokal dalam bentuk syair-syair daerah yang kental dengan nilai-nilai agama. Menariknya berbagai kegiatan tersebut di inisiasi oleh tokoh agama perempuan atau yang biasa di sebut nyai
Kawin Anak dan Child Abuse dalam Pandangan Pendidikan Islam
Praktik kawin anak dalam masyarakat dapat dikaitkan sebagai bentuk child abuse atau kekerasan terhadap anak. Karena praktik tersebut telah merampas masa kanak-kanak baik secara fisik maupun secara Psikis. Ketidakberdayaan tersebut seringkali dianggap menjadi kuasa orang tua untuk memperlakukan anak secara sepihak, termasuk menikahkan mereka pada usia anak. Padahal masa anak merupakan tanggungjawab orang tua dalam perkembangan, termasuk adalah hak mereka dalam mendapatkan pendidikan. Tulisan ini bermaksud menjelaskan praktik kawin anak sebagai bentuk child abuse atau kekerasan terhadap anak yang melibatkan orang tua atau orang dewasa disekitar mereka. Studi ini lebih lanjut akan dikaji melalui konsep pendidikan Islam dalam melihat kasus kawin anak. Tulisan ini didasarkan pada berbagai data tentang kawin anak yang terjadi pada masyarakat Madura, terutama dikaitkan dengan tradisi budaya lokal dan pemahaman masyarakat yang mendasarkan pada agama. Pertimbangan budaya dan cara pandang mereka terhadap agama menjadi faktor utama praktik kawin anak. Akibatnya Anak tidak ditempatkan sebagai pihak yang dilindungi dengan cara memberikan hak dan kesempatan mereka untuk tumbuh menjadi anak yang dapat bermain dan mendapat pendidikan yang sesuai sebagaimana hak mereka. Orang tua akan merasa malu dan takut jika anak mereka tidak segera menikah. Secara agama, menjauhkan mereka dari pergaulan bebas adalah dengan cara menikahkan mereka di usia anak. Usaha-usaha anak untuk menghindar dari kawin anak seringkali justru mendapat perlakukan kekerasan dari orang tua baik secara fisik, seperti memukul dan psikis dalam bentuk dikucilkan dari keluarga. Ini menjadi kontra produktif dalam konsep pendidikan Islam yang menempatkan orang dewasa sebagai penaggungjawab pendidikan anak, yang nantinya akan terwujud tujuan pendidikan Islam