25 research outputs found
Pharmacists’ interventions in minimising medication misadventure in children with cancer
This study evaluated 1741 interventions by clinical pharmacists to reduce medication misadventure in three clinical units of a children’s hospital in Perth, Australia, documented using snapshot self-report and observation. Commonly, pharmacists’ interventions involved taking medication histories, patient counselling and/or drug therapy changes. Active interventions were randomly assessed by an expert panel for their clinical significance. Root cause analysis was used to assess healthcare professionals’ ability to evaluate medication errors causes and formulate preventative strategies
E-Health Literacy and Adherence to Health Protocols Among Self-Quarantined Patients with COVID-19 in a Sub-district in West Java
During the Coronavirus Disease-2019 (COVID-19) pandemic, valid information was crucial and electronic health literacy (EHL) plays a significant role in public adherence to health protocols. This study aimed to evaluate the pattern of COVID-19 information-seeking, and the association between EHL, COVID-19 knowledge, and health protocol adherence among patients with COVID-19 during self-quarantine. Data were collected through an online survey sent to self-quarantined COVID-19 patients during March – December 2020 in a sub-district in West Java. Spearman tests were used to evaluate the relationship between EHL with COVID-19 knowledge, and EHL with health protocol adherence. There were 56 respondents with more than half being female (58.9%), university graduates (64.3%) and having good health status level (57.1%). Social media were the commonest online sources. During self-isolation, the frequency of Internet use increased (i.e., every day) with information on vitamins and supplements as the most commonly searched. Respondents had high scores on EHL (mean= 20.0), knowledge (mean = 8.89/10, SD = 1.796), and adherence (mean = 26.98/30, SD = 3.066). This study found significant relationships between EHL and knowledge (p-value = 0.001, r = 0.436), and the adherence (p-value = 0.011, r = 0.339). In conclusion, EHL had a modest influence on COVID-19 knowledge and minor relationship with adherence to health protocols among self-quarantined patients with COVID-19
Analisis Profil Pengobatan, Biaya Medis Langsung dan Kualitas Hidup pada Pasien Hemodialisis di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta
Hemodialisis adalah suatu cara untuk memperbaiki kelainan fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Terapi hemodialisis membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Metode yang digunakan adalah analisis Cross-Sectional dengan rentang penelitian 2 bulan, pada pasien dewasa yang minimal 12-36 bulan menjalani hemodialisis Pengumpulan data dilakukan dengan retrospektif dari dokumen, untuk menilai kesesuaian manajemen profil pengobatan Eritropoetin dan secara prospektif dari pengisian kuesioner EQ-5D-5L dan VAS (Visual Analogue Scale) kemudian dilakukan analisis data secara deskriptif dan menggunakan analisis Regresi linier berganda untuk mendapatkan korelasi antara karakteristik terhadap kualitas hidup (VAS dan Utility). Terdapat 50 pria dan 50 wanita dengan rentang usia terbanyak >50 tahun, tidak bekerja dan pendidikan SMP/SMA. Status perkawinan terbanyak adalah kawin. Tingkat ekonomi terbanyak berpenghasilan dibawah 4 juta perbulan dengan persepsi kondisi ekonomi merasa miskin. Profil pengobatan memperlihatkan terjadi ketidaksesuaian terapi EPO dengan Hb < 8 g/dL karena pasien mengalami transfusi darah. Perhitungan biaya medis langsung sebesar Rp.1.344.840 lebih besar dibanding tarif INA-CBGs yaitu Rp. 923.100. Berdasarkan analisis regresi linier ada 3 faktor yang paling mempengaruhi kualitas hidup pasien hemodialisis yaitu status perkawinan, lama menjalani hemodialisis dan kemampuan mobilitas. Profil pengobatan pasien HD mengalami ketidaksesuaian terapi, baik pada pemberian obat HD dan obat penyakit penyerta. Biaya medis langsung lebih besar dari tarif standar INA_CBGs yang ditetapkan. Sementara itu, kualitas hidup sebagian besar pasien PGK yang menjalani hemodialisis memiliki tingkatan kualitas hidup yang sangat baik
Analysis of Health-related Quality of Life Determinants in Adult Ashmatic Patients in a District Hospital in East Jakarta
Background: Uncontrolled asthma leads to patients' poor outcomes and decreases health-related quality of life/HRQoL. Little research has been done to analyze the determinants of HRQoL in asthmatics patients. Objective: To determine asthma control and patients' compliance levels, and evaluate the appropriateness of medicine use and determinants of HRQoL. Methods: During this prospective study, adult asthmatic patients who currently experienced asthma attack were evaluated in asthma clinic of a district hospital in Jakarta and administered study questionnaires. Demographic variables and data related to asthma control, patients' compliance level and the appropriate use of medications were summarized using descriptive statistics. The determinants of HRQoL were determined using bivariate and multivariate regression analysis. All data were analyzed using SPSS version 22.0. Results: There were 11 males and 43 females aged approximately 45 years old. More than 50% of the patients had uncontrolled asthma and low level compliance to their medications. Nearly all medicines used were inappropriate according to National Asthma Treatment Guideline. Bivariate correlation test revealed four factors which significantly determined the total score of HRQoL, namely asthma duration (P=0.033), asthma control level (p=0.007), asthma severity level (p=0.001) and the presence of smoke exposure in neighbourhood (p=0.032). Further, multivariate analysis showed only the presence of smoke exposure significantly affecting patients' quality of life. Conclusion: This study uncovered the majority of patients had uncontrolled asthma status and low level of compliance to their medications. In addition, this study highlighted the exposure of smoke exposure as the solely determinant of HRQoL amongst asthmatic patients
Analisis Efektivitas Biaya Seftriakson sebagai Antibiotik Profilaksis Pada Seksio Sesarea: Dosis Tunggal Versus Dosis Berulang
The provision of single-dose prophylactic antibiotics within 30 to 60 minutes before caesarean has been highly recommended, yet its implementation in hospitals varies considerably. This research aimed to analyze the cost-effectiveness of prophylactic antibiotics given a single dose versus multiple doses during caesarean section surgery. A retrospective observational study with a crosssectional design involved pregnant women undergoing caesarean section and receiving a ceftriaxone single dose before surgery (Group 1) versus those receiving multiple ceftriaxone doses (Group 2). The study calculated direct medical costs (hospital perspective), with surgical site infection (SSI) as the effectiveness parameter. The chi-square test was used to compare SSI between the two groups. There were 806 patients (group 1) and A total of 250 patients (Group 2) met the inclusion criteria. Analysis of total cost revealed no significant difference between both groups (approximately IDR 13,000,000/patient), yet patients receiving prolonged Ceftriaxone were associated with significantly higher antibiotic costs (p-0.000). The study documented 1.2% SSI in Group 1 and 0.8% in Group 2 (p=0.742). Calculation of the incremental cost-effectiveness ratio found that an extra IDR 3,278,000 was needed to provide additional success to prevent SSI by administering multiple doses of ceftriaxone. In conclusion, a single dose prophylactic antibiotic provides comparable efficacy to a multiple-dose regimen, but at a lower cost.Panduan klinik merekomendasikan antibiotik profilaksis dosis tunggal 30-60 menit sebelum bedah sesar, tetapi praktek di rumah sakit menunjukkan deviasi dalam implementasinya. Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas biaya penggunaan antibiotik profilaksis dosis tunggal versus dosis berulang pada bedah sesar. Penelitian retrospektif observasional dengan desain potong lintang melibatkan subyek penelitian wanita hamil yang menjalani bedah sesar yang menerima seftriakson dosis tunggal sebelum pembedahan (kelompok 1) ataupun yang mendapatkan seftriakson sebelum pembedahan dan diperpanjang selama perawatan (kelompok 2). Biaya yang digunakan adalah biaya medis langsung perspektif rumah sakit dan parameter efektivitas kejadian infeksi daerah operasi (IDO). Uji Chi-Square digunakan untuk membandingkan IDO antara kedua kelompok. Sejumlah 806 pasien (kelompok 1) dan 250 pasien (kelompok 2) memenuhi kriteria inklusi. Analisis biaya total tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (sekitar Rp 13.000.000/pasien) antara kedua kelompok, tetapi analisis komponen biaya menunjukkan biaya antibiotik pasien dengan dosis berulang signifikan lebih mahal (p=0,000). Pada kelompok 1 terjadi IDO 1,2% dan 0,8% pada kelompok 2 (p=0,742). Perhitungan rasio inkremental efektivitas biaya menunjukkan dibutuhkan tambahan biaya Rp 3.278.000 untuk setiap IDO yang dapat dihindari menggunakan seftriakson profilaksis dosis berulang. Penelitian ini menyimpulkan pemberian antibiotik profilaksis dosis tunggal sebelum bedah sesar menunjukkan efektivitas biaya yang sebanding dibandingkan antibiotik profilaksis dosis berulang
Pengaruh Penerapan Clinical Pathway pada Peresepan Antibiotik Pasien Tifoid Anak di Rumah Sakit Swasta X Kota Bogor
Latar belakang: Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang terpenting. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tifoid terjadi hampir di seluruh dunia. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia paling tinggi pada usia 6 sampai 10 tahun sebesar 91%; Clinical pathway (CP) dibuat untuk mengurangi variasi antibiotik di rumah sakit terutama pada pasien rawat inap.Tujuan: Mengetahui pengaruh implementasi clinical pathway terhadap peresepan antibiotik untuk pasien Tifoid anak di ruang rawat inap Rumah Sakit Swasta X di BogorMetode: Penelitian ini bersifat observasional comparative study membandingkan peresepan antibiotik sebelum penerapan CP dan setelah penerapan CP. Kami menilai profil antibiotik, lama rawat dan kesesuaian pilihan antibiotik dengan pedoman yang digunakan kemudian membandingkan sebelum dan setelah penerapan clinical pathway. Uji Chi square digunakan untuk membandingkan rasionalitas penggunaan antibiotik, lama rawat dan kesesuaian pilihan antibiotik dengan pedoman.Hasil: Diperoleh sampel sebanyak 81 orang sebelum penerapan CP dan 78 orang setelah penerapan CP. Sebelum penerapan CP penggunaan antibiotik rasional sebanyak 48.88% dan setelah penerapan CP meningkat menjadi 67.05%. (p = 0,016). Berdasarkan hasil uji statistik menujukkan pasien yang memiliki lama rawat ≤ 5 hari sebelum penerapan clinical pathway sebanyak 52 pasien (64.19%) dan sebelum penerapan clinical pathway sebanyak 68 pasien (87.17%) (p = 0,001). Sebanyak 68,89% pemilihan antibiotik sebelum penerapan clinical pathway telah sesuai dengan pedoman tata laksana dan setelah penerapan clinical pathway meningkat menjadi 88.64%. (p = 0,001)Kesimpulan: Implementasi clinical pathway di Rumah Sakit X di kota Bogor telah meningkatkan rasionalitas penggunaan antibioti
Off-Label Prescribing in Pediatric Inpatients With Pneumonia in a Children's Hospitaal
Off-label is a term used in which a drug prescribed outside the official information of the marketing authorization. Off-label prescribing may occur as the result of several factors including lack of clinical trials data involving pediatrics and suitable formulations for medicines commonly prescribed to this fragile population. Objective: This study aimed to estimate the nature and prevalence of off-label prescribing in pediatric inpatients with pneumonia. Material and Methods: a retrospective study was conducted in a study hospital using medical records from pediatric inpatients with pneumonia during the period of January-December 2015. Patient and prescribing data were collected, and drugs were classified as on-label or off-label based on the Indonesia National Drug Information (IONI) and British National Formulary for Children (BNFC). Thereafter, off-label drugs were categorized with a hierarchical system of age, indication, route of administration and dosage. Results: There were 1141 drugs with 77 different types of drug were administered to 207 patient during the study period. The data uncovered that 405 (35,5%) of the drug prescriptions were used off-label based on IONI, and 319 (28%) of the drug were used off-label based on BNFC. Based on IONI and BNFC, most off-label drugs were from anti infection drugs. Conclusion: The prevalence of off-label use in pediatric inpatients with pneumonia is not high. The off-label prescribing may not be necessarily be considered irrational, yet this fact reveals that the use of drugs does not comply with the drug label. Clinical trials for pediatric drugs are essential to provide complete product information for pediatric use
ANALISIS PROFIL PENGOBATAN, BIAYA MEDIS LANGSUNG DAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HEMODIALISIS DI RUMAH SAKIT BHAKTI KARTINI KOTA BEKASI
Penyakit gagal ginjal kronis (GGK) merupakan salah satu penyakit yang dibiayai oleh JKN dengan sistem Ina-CBGs (Indonesia casebased groups, paket pembiayaan berdasarkan kasus di Indonesia). Penetapan tarif ini membuat penyelenggara Unit Hemodialisis (HD) harus melakukan upaya kendali mutu-kendali biaya yang ketat agar tidak mengalami kerugian. Penelitian ini dilakukan untuk melihat kelayakan profil pengobatan riil dibandingkan dengan standar Pernefri (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) dan konsekuensi biayanya untuk dibandingkan dengan tarif Ina-CBGs, serta melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan potong-lintang (cross sectional). Data profil pengobatan diambil secara retrospektif dari rekam medis. Data biaya langsung diambil secara retrospektif dari dokumen biaya pengobatan pasien GGK. Data kualitas hidup pasien diambil secara prospektif dari wawancara langsung menggunakan kuesioner EQ-5D tervalidasi dengan analisa regresi linier yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien HD. Populasi pasien 114 pasien dengan 92 pasien kriteria inklusi. Hasil penelitian 92 pasien dengan sosiodemografis diperoleh gambaran jenis kelamin 65,22% laki-laki dan 34,78% Perempuan dengan rentang usia terbanyak 50-59 tahun 42,93%, pekerjaan buruh 38,04% dan status perkawinan terbanyak adalah kawin 92,33%. Penyakit penyerta terbanyak hipertensi 76,09% dengan obat antihipertensi oral candesartan (Angiotensin reseptor-blocker-ARB) dan Amlodipin (calcium chanel-blocker-CCB). Hasil penelitian menunjukkan profil pengobatan 92 pasien diberikan Eritropoietin 1 kali dalam 2 kali HD. Berdasarkan Pernefri rerata biaya perkali kunjungan Rp 676.184 lebih kecil secara signifikan dari standar rumah sakit yaitu Rp 685.000 (p < 0,05, T-test) dan tarif Ina-CBGs yaitu Rp786.200. Dihasilkan nilai kualitas hidup rata-rata adalah 54,73% (p < 0,05, regresi linier), berarti terdapat perbedaan bermakna antara VAS (visual analogical scale) dengan sosiodemografi, biofisiologi dan EQ5D dengan persamaan Y = 82,249 - 5,880*perkawinan - 4,050*mobilitas - 5,270*aktivitas - 5,501*depresi. Dari hasil diatas disimpulkan bahwa terdapat perbedaan biaya langsung medis, biaya ideal dan tarif INA-CBGs. Terdapat perbedaan profil pengobatan terkait penggunaan Eritropoietin yang mempengaruhi kualitas hidup pasien HD dengan nilai cukup
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS DI INSTALASI RAWAT INAP RSPAD GATOT SUBROTO
Resistensi antibiotik merupakan masalah yang serius karena dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuanterapi, meningkatnya efek samping obat, dan pemborosan dari segi ekonomi. Penelitian ini bertujuan untukmengevaluasi penggunaan antibiotika pasien pneumonia komunitas di instalasi rawat inap RSPAD GatotSubroto. Penelitian ini bersifat cross sectional dengan pengambilan data secara prospektif di instalasi rawatinap periode September – November 2019. Penggunaan antibiotika dievaluasi menggunakan metode Gyssensselanjutnya dilakukan analisis korelasi antar kerasionalan dengan outcome terapi menggunakan uji Spearman.Hasil penelitian menunjukkan karakteristik pasien pneumonia komunitas berdasarkan kategori umur yangpaling banyak yaitu > 66 tahun dengan jumlah 23 pasien (53.49%), kategori jenis kelamin yang palingmendominasi laki – laki sebanyak 24 pasien (55.81%) dari jumlah total 43 pasien yang memenuhi kriteriainklusi. Berdasarkan hasil evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens diperoleh 28 pasienmenggunakan antibiotik dengan tepat (kategori 0) dan 15 pasien menggunakan antibiotik tidak tepat (kategoriI – VI). Antibiotika yang termasuk kategori IVA sebanyak 6 kasus (6.82%), kategori IVC sebanyak 2 kasus(2.27%), kategori IIIA sebanyak 5 kasus (5.68%), dan kategori IIIB sebanyak 9 kasus (10.23%). Analisis statistikmenunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penggunaan antibiotika yang rasional dalammempengaruhi outcome terapi (r=0.533
Home Care Improves Knowledge, Attitude, Practice and Blood Pressure Control in Hypertensive Patients: Exploring the Expanded Role of Community Pharmacists
Hypertension remains a leading cause of morbidity and mortality.This study aimed to evaluate the impact of community pharmacists-provided home care on knowledge, attitude, practice (KAP) and blood pressure (BP) control of hypertensive patients. A quasi-experimental study was conducted in two pharmacies in Banten involving hypertensive patients regularly refilling prescriptions. Patients in Pharmacy A were assigned in the intervention group (IG), whilst those in Pharmacy B in the control group (CG). IG received home care in addition to standard care. Questionnaires to assess KAP were distributed at the initiation and end of the study. BP was measured monthly. A total of 110 patients (60 in IG vs 50 in CG) were enrolled. At baseline there was no significant difference in demographic and clinical characteristics. Post-intervention, proportion of patients with ‘good’ knowledge was considerably higher in IG (100%) vs 2.0% in CG, IG demonstrated ‘very ideal’ attitude compared to ‘less ideal’ in CG, IG performed ‘good’ practice as opposed to ‘fair’ practice in CG. The decrease of systolic BP in IG was significantly greater (14.8 mmHg) vs 1.8 mmHg in CG. In conclusion, expanded role of community pharmacists in providing home care improves KAP and BP control in hypertensive patients