23 research outputs found

    Draupadi Dewi Earth And Fertility Society For Farmers

    Get PDF
    This thinking is based on the customs environment rites until the rice is still known about the agrarian communities in Indonesia, especially in rural areas, for example, in Java, Sunda, Bali, and others. Rite of rice is one of the ceremonies or harvest rice is known as Mboyong Dewi Sri 'bring Dewi Sri from the fields to the house'. Dewi Sri is believed to be the goddess of fortune and welfare of the farmers, so that in time brought home by a certain ceremony called the rite wiwit 'starters'. It means that there is the beginning of a new life that the rice planting season. Farmers in the countryside still held the ceremony of rice as an important thing. Usually followed by a whole village feast to celebrate the harvest is abundant, it is referred to as a clean event village, hamlet merti 'beautify the village.' Majemukan, apostleship, dekahan gedhen, and so on. At the harvest festival society has always celebrated with a variety of art that comes from the potential of the area of residence. Traditional performances was never missed, the most favorite is the art of puppet show and dancing prototype. The play is performed is Sri Mulih or Makukuhan. Based on observations and studies conducted during turns Goddess Draupadi also has qualities such as Dewi Sri or Goddess Poh Aci in Sund

    Relasitas Lakuan Wayang dengan Iringan Gamelan Gagrag Yogyakarta

    Get PDF
    ABSTRAKMaksud dari penulisan ini adalah mengadakan studi terhadap relasitas lakuan gerak wayang gaya pedalangan Yogyakarta dengan musik iringan wayang. Data diperoleh dari pengamatan dan survei  pergelaran wayang yang diselenggarakan di Sasana Hinggil Dwi Abad Yogyakarta. Pendekatan masalah dengan metode deskriptif analitis,  sedangkan untuk kepentingan pembahasan dengan menggunakan analisis estetika terutama estetika pewayangan.  Berdasarkan analisis yang dilakukan, diketahui bahwa lakuan gerak wayang dengan iringan wayang membentuk jalinan harmonik. Gending iringan wayang meliputi bentuk gending ageng, ladrangan, ketawang, lancaran, playon dan sampak, sedangkan dari segi estetik memenuhi kesatuan atau keutuhan, kekuatan, dan kerumitan (unity, intencity, dan complexcity).Kata kuci: Pertunjukan wayang, relasi gerak wayang dan gamelan, struktur harmonik ABSTRACTThe purpose of this is to conduct a study of the behavior of Yogyakarta puppet style movements with puppet accompaniment music. Data obtained from observations and surveys of wayang performances held at Sasana Hinggil Dwi Abad Yogyakarta. Approach to the problem with the analytical descriptive method, while for the purpose of discussion using aesthetic analysis, especially puppet aesthetics. Based on the analysis carried out, it is known that the wayang movements with accompaniment form a harmonic structure. Puppet accompaniment gending includes the forms of gending ageng, ladrangan, ketawang, lancaran, playon and sampak, while in terms of aesthetics it takes care of unity or integrity, strength, and complexity (unity, intencity, and complexcity).Key word: Wayang performance, relation of movement and music, harmonic structure

    Estetika Wayang

    Get PDF
    The basics are the puppet aesthetic perspective of the relation elements of beauty in the unity of the structure of the wayang. Understanding the true aesthetic beauty rests on the concept of thought that developed and followed by Western thinkers, however, in the operatate of implemeta- tion still refer to terms that are known in the art of traditional puppet convention. Not all data in the beauty of the puppets can be presented in this short article, but limited to the aspects of beauty essentials only such convention and modernity in the universe puppet, puppet or convention in the art of puppetry, in the currency of view of the puppet, and aesthetic concepts in art puppetry and puppetry

    Mitos Drupadi Dewi Bumi Dan Kesuburan (Dasar-Dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

    Get PDF
    Penulisan buku perancangan karya seni pedalangan yang akan dicapai, adalah ingin merancang sajian pertunjukan wayang kulit purwa dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia. Perancangan pergelaran diharapkan menjadi sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan yang terfokus pada masalah-masalah yang kini sedang mengemuka di dalam masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya dengan segala pernik-perniknya. Pergelaran wayang kulit purwa ini sengaja dirancang mengedepankan garap lakon yang siap untuk diimplementasikan dalam suatu pergelaran atau pertunjukan wayang, dan kemungkinan dapat dikembangkan secara lebih luas menjangkau kehidupan masyarakat pedesaan maupun perkotaan. Oleh sebab itulah barangkali dapat dikatakan bahwa konsep bentuk sajian pergelarannya dilakukan secara road show artinya mobile dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Selain dari pada itu pergelaran jenis seperti ini akan mampu melibatkan banyak pihak dan bertolak pada kerja kolektif dari berbagai bidang seni, sekaligus dapat mampu menggerakkan peningkatan perekonomian masyarakat yang menjadi pusat kegiatannya. Manfaat langsung yang dapat diperhatikan adalah adanya konsep-konsep baru dalam pertunjukan wayang kulit purwa yang didukung oleh tema besar serta kehadiran bentuk-bentuk karya seni yang lain. Seluas-luasnya pertunjukan wayang kulit purwa dapat diikuti oleh sporting program yang akan menambah semarak dan menarik publik untuk mengujungi pertunjukan yang bersangkutan. Langkah-langkah penyusunan penulisan penciptaan dan perancangan karya seni pedalangan ini secara berturut-turut disajikan dalam beberapa bab sebagai berikut. Bab pertama disajikan bagian pendahuluan berisi berbagai hal yang berkaitan dengan latar belakang dan permasalahan yang ditemukan dalam rangka penciptaan dan perancangan seni. Sesungguhnya berbagai permasalahan yang terjadi dalam jagad pedalangan sangat bervariatif antara bidang pemikiran yang bersifat teoritis dengan praksis. Kiranya sulit untuk tidak mengatakan bahwa latar belakang budaya Jawa, merupakan salah satu pembentuk kuatnya budaya wayang sehingga mampu bertahan sampai memasuki abad demi abad. Oleh sebab itulah pada bab II sengaja disampaikan penjelasan latar budaya Jawa berikut terjadi pola struktur cerita lakon wayang secara panjang lebar. Bab III adalah pemaparan tentang keberadaan sosok tokoh Drupadi dalam jagad pewayangan serta peranannya dalam berbagai lakon wayang. Tidak kalah penting adalah peranannya dalam kehidupan keseharian dalam lingkungan mitos dewi padi, yang hingga saat ini masih mendapat perhatian luar biasa bagi masyarakat petani Jawa. Bab IV sengaja memberikan sajian garapan perancangan lakon wayang Dupadi Dewi Bumi yang tujuannya ingin memberikan contoh sekaligus model perancangan pakeliran padat yang siap dipentaskan oleh siapa pun yang berminat mengangkatnya dalam sebuah pergelaran. Teks lakon wayang Drupadi dewi Bumi dirancang dalam bentuk pakem jangkeb, sehingga memudahkan bagi yang berminat. Disertakan juga bentuk pergelaran lakon wayang utuh dengan konsep pergelaran semalam suntuk dengan kisah Drupadi Nadar, harapannya agar buku ini benar-benar secara komprehensif memberikan pengalaman secara penuh kepada pembacanya untuk menikmati kemudian mampu menmapilkan dalam bentuk pementasan atau pergelaran. Bab V disampaikan kesimpulan dari seluruh hasil pembahasan yang dilakukan

    ESTETIKA PEDALANGAN: Ruwatan Murwakala Kajian Estetika dan Etika Budaya Jawa

    Get PDF
    Penulisan ini secara teoritis bertujuan menganalisis Lakon Wayang Murwakala tradisi pewayangan gaya Yogakarta. Analisis dilakukan dalam rangka implementasi konsep estetika jagad pewayangan atau pedalangan. Analisis akan lebih tepat apabila didasarkan atas pergelaran cerita lakon wayang oleh ki dalang. Hal ini berdasarkan pada asumsi bahwa aspek-aspek estetik wayang akan dapat dipahami manakala diaplikasikan dalam dunia riil pertunjukannya. Mengingat sudut pandang itulah,maka pertimbangan melakukan analisis cerita lakon tertentu yaitu lakon Murwakala menjadi pilihan utama. Sebagai dasar analisis adalah pergelaran lakon Murwakala yang dilakukan oleh seorang dalang ruwat terkenal dari Bantul Daerah IstimewaYogyakarta. Secara umum penulisan ini dilakukan berdasarkan perpsektif filsafat seni dan estetika, terutama adalah pandangan filsafat Jawa. Fokus analisis adalah (1) Pembahasan ontologis metafisis lakon wayang Murwakala, serta dari segi epistemologisnya. (2) Menganalisis lakon wayang Murwakala yang diarahkan pada tataran aksiologis guna mengungkap aspek-aspek estetika dan etika. (3) Melakukan pembahasan dan analisis implementasi dari berbagai pengalaman estetik, aspek-aspek nilai keindahan dan etika wayang dalam jagad seni pedalangan terutama lakon Murwakala versi Ki Timbul Cermomanggolo

    Jantra Jurnal sejarah dan budaya Vol.IV No.7

    Get PDF
    1. Nilai luhur dari masyarakat megalitik dalam tatanan kepemimpinan, masyarakat, dan solidaritas 2. Nilai-nilai yang terkandung dalam dalam perayaan sekaten di Yogyakarta 3. Perlunya belajar wayang dalam kehidupan budaya Jawa 4. Keberadaan topeng panji jabung :fenomena suatu pertunjukan kesenian tradisional 5. Bedaya semang : pusaka keraton Yogyakarta yang (kembali) dipentaskan 6. Tanggapan masyarakat terhadap sebuah tari pertunjukan rakyat "yatub" di Daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah 7. Cara pandang pengetahuan lokal masyarakat kawasan merapi sebagai komunitas ekologis 8. Orang Jawa di rantau Minangkabau 9. Macam-macam bentuk rumah komunitas using desa Kemiren Banyuwangi 10. Rumah adat melayu Kepulauan Riau : suatu bentuk keanekaragaman buday

    Estetika Janturan Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

    Get PDF
    Setelah diuraikan beberapa hal yang terkait dengan nilai estetis jejeran kapisan dalam wacana janturan di atas, maka kini dapat disampaikan rangkuman sebagai kesimpulanya, seperti di bawah ini. Pertama, nilai filosofis dalam jejeran kapisan yang dituangkan dalam bentuk janturan ternyata memiliki makna yang sangat dalam berkaitan dengan kosmologi terjadinya manusia di dunia. Hal itu ditandai dengan keberadaan tokoh wayang, gending wayang, bahkan lakon wayang. Kandungan filosofi budaya Jawa khususnya budaya wayang secara holistik dapat ditemukan di dalam bantuk janturan. Kedua, bahwa wacana janturan dari segi kebahasaan dan kesastraan dapat dipandang sebagai bentuk karya sastra pinathok yang dipanggungkan atau dipentaskan dan dapat digolongkan ke dalam ragam sastra wayang. Ketiga, secara struktural janturan jejeran kapisan memperlihatkan jalinan yang utuh dan padu, keutuhan dan kepaduan itu disebabkan oleh masing-masing unsur struktur yang terkait satu sama lain secara baik, misalnya dengan kehadiran dan dukungan unsur penyangga pementasan, seperti iringan gending, tembang, dan sebagainya. Terdapat varian janturan yang menarik untuk diteliti dan dipahami agar dapat diketahui secara luas bagi mereka yang ingin menekuni bidang seni pedalangan. Keempat, janturan secara struktural tidak dapat dipisahkan dengan Gending Karawitan sebagai iringannya yang terdiri atas empat bagian utama yaitu Merong, Gong Nem, Gong Lima, dan Gong Jangga, adapun janturan dari segi isinya adalah terdiri atas wadana, kewibawaan negeri ideal, karakter tokoh wayang, dan persiapan penghadapan raja. Lima, dari segi makna dapat diketahui bahwa unsur-unsur tekstual janturan sebenarnya mengacu pada kehidupan keseharian, walaupun hal itu tidak segera dapat ditangkap oleh penontonnya. Cermin kehidupan itu dituangkan melalui perumpamaan, reduplikasi nilai, kiasan, intonasi dan diksi

    Pakeliran Padat Lakon Sastrajendra

    Get PDF
    Dipentaskan dalam rangka peluncuran buku Filsafat Wayang dan Peresmian Bidang Studi Filsafat Wayang di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 30 Maret 2011

    Filsafat Keindahan Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Pemahaman konsep suluk sebagai jalan ke arah keluhuran budi dan moralitas bangsa

    Get PDF
    Berdasarkan data yang dapat dikumpulkan, diketahui bahwa dalang-dalang gaya Yogyakarta memiliki kesamaan bentuk dalam penyajian sulukan wayang terutama yang berkaitan dengan suluk-suluk pokok, misalnya sulukan-sulukan bentuk lagon wetah. Di samping itu dari hasil pengelompokan dalang, diperoleh kesimpulan bahwa dalang senior dan terkenal banyak menjadi kiblat dalang-dalang di wilayahnya. Transformasi pewayangannya diperoleh secara tradisional yaitu secara lisan dan dengan model nyantrik. Akibatnya sulukan pewayangan gaya Yogyakarta ditandai pula dengan munculnya variasi penyajian sulukan wayang oleh dalang. Di samping itu, pengaruh kemajuan teknologi moderen berpengaruh pula pada cara pembelajaran dalang muda yaitu melalui pita kaset rekaman, sehingga dalang dari wilayah tertentu gaya pewayangannya meniru dalang dari gaya daerah lain. Selanjutnya berdasarkan analisis bentuk, isi, dan formula sulukan dapat disimpulkan beberapa hal pokok yaitu sebagai berikut. 1. Sulukan wayang dibawakan oleh dalang didasarkan pada pola pembagian pathet sebagaimana pembabakan lakon wayang. 2. Sulukan dinyanyikan dalang berfungsi sebagai tanda perpindahan pathet, pemberi tanda kepada pengrawit untuk memainkan gending iringan tertentu, sulukan juga berfungsi sebagai tanda penekanan terhadap adegan yang dibangun oleh dalang dalam pakelirannya. 3. Dari analisis bentuk dan formula sulukan diketahui bahwa sulukan wayang berpijak pada komposisi syair tembang, komposisi, penciptaan komposisi sulukan wayang, dan variasi sulukan wayang. Berdasarkan analisis data, diketemukan penggunaan sulukan wayang ada yang tidak sesuai dengan yang diceritakan dalam satu adegan yang ada. Baik sulukan wayang yang melukiskan karakter atau pun suasana adegan yang tengah berlangsung, sebagai contoh, lakon yang disajikan adalah Dewa Ruci, bagi penonton wayang, lakon ini demikian sangat dikenal dan disukai, namun yang terjadi dalam penyajian sulukan wayang tidak satu pun ditemukan sulukan wayang khusus yang mendeskripsikan karakter Bima maupun kisah perjalanan dan suasana yang mengacu pada lakon yang bersangkutan. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor pengalaman, kuantitas pementasan, serta kualitas dalang yang bersangkutan. Dalang-dalang yang terhitung angkatan tua pun masih melakukan hal yang sama, yaitu kurang memperhatikan kesesuaian antara adegan dengan sulukan yang dibawakan. Misalnya yang tengah dikisahkan di tengah kelir tokoh Arjuna, maka setidaknya sulukan wayang yang dibawakan berisi karakter Arjuna atau yang berkaitan dengan kisah lakon tentang Arjuna. Kualitas estetik sulukan wayang dipengaruhi beberapa hal antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, dalang memiliki sanggitnya sendiri-sendiri sesuai lokalitas dimana dalang itu bertempat tinggal berdasarkan kedewasaan berkarya dan berolah seni khususnya seni pedalangan. Identik dengan pandangan itu berlaku juga dalam jagad kesasteraan, sang penyair secara arbriter bebas untuk memanfaatkan seluas-luas pilihan kata yang paling tepat menurut pandangan dan horisonnya. Kedua, kekuatantradisi lisan yang masih kuat di kalangan masyarakat dalang, berakibat pada kualitas sulukan wayang, dengan sendirinya keterbatasan persebaran sulukan wayang hanya didasarkan pada pendengaran saja, dan daya ingatan belaka, akibatnya sering terjadi kesalahan ucapan, penggalan kata, bentuk syair, dan sebagainya, sehingga penggunaan sulukan wayang tidak efektif dan selektif sesuai dengan adegan serta pesan makna yang terkandung di dalam sulukan wayang. Ketiga, kurangnya penguasaan materi sulukan wayang juga menjadi faktor penting ketidaksesuaian penggunaannya dalam pementasan. Keempat, sebagaimana disinggung di depan, bahwa pengaruh pasar dalam jagad pedalangan akan mempengaruhi perilaku masyarakat pedalangan, tuntutan agar segera laris tanggapannya, kemudian salah satu terobosannya adalah keberanian menggubah dan berani beda dengan konvensi seni pedalangan yang telah lama ada sebelumnya. Walaupun harus mengesampingkan pesan-pesan etika dan moral yang tersirat dan terkandung di dalam syair sulukan wayang. Sulukan wayang yang panjang atau utuh dianggap mengurangi porsi yang diunggulkan oleh dalang, sehingga kadang kala terjadi, sulukan wayang yang seharusnya dilakukannya sendiri, digantikan peranannya oleh pendukung yang lain, misalnya dibawakan oleh pesinden atau oleh penggerong. Lambat laun hal itu menjadi trend dalam jagad pedalangan seakan-akan justru menjadi kebakuan. Demikian juga sajian pementasan secara menyeluruh saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang luar biasa, kontrol sosial atas perilaku ini menjadi tidak berjalan, yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat dalang sendiri. Di balik paparan sulukan wayang di atas, dapat dipastkian bahwa sulukan wayang itu memiliki makna simbolis tertentu sesuai dengan keberadaan serta keberadaan dalam pergelaran wayang. Yaitu adanya unsur narasi yang artinya juga mengacu pada kisah, cerita, kaitanya dengan tokoh, situasi, dan sebagainya. Pada setiap narasi sulukan wayang memiliki 2 unsur penting yang dapat dikenali yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dari segi intrisik, setiap cerita lakon memiliki otonominya masing-masing yang terdiri atas beberapa aspek penting, biasanya adalah peristiwa, tokoh, latar dan alur. Pada dasarnya cerita lakon adalah peristiwa yang melibatkan tokoh sebagai pusat kisahan, sehingga peristiwa dan tokoh itu menjadi bagian utama aspek fisik suatu cerita lakon. Relasi antarunsur itulah yang kemudian membentuk struktur dan kesatuan cerita lakon wayang, dengan demikian di balik sulukan wayang itu pun terkandung narasi yang sifatnya khusus, artinya bahwa kehadirannya menjadi sangat penting dalam dunianya sendiri berikut makna simboliknya. Setelah mengamati pola struktur lakon wayang, maka dengan cara yang hampir sama posisi sulukan wayang terletak di antara dialog dan perubahan suasana yang dikehendaki oleh dalang. Dalam jejeran setelah gending suwuk atau berhenti, kemudian sulukan mengawali adegan itu sebelum dialog berlangsung. Demikian seterusnya secara berselang-seling dan disesuaikan dengan adegan yang berlangsung di atas kelir. Estetika atau filsafat keindahan adalah salah satu cabang filsafat, sesuai dengan keberadaannya, maka dalam analisis bersentuhan dengan keindahan rasa, kaidah maupun hakekat keindahan. Dalam melakukan analisis dan pengujian melibatkan perasaan dan pikiran manusia, pengaruh-pengaruh lingkungan, tradisi berikut penilaian dan apresiasi keindahan sebagai suatu kategori yang berada di luar logika dan etika. Sesuatu dikatakan indah secara alamiah kalau hal itu membiarkan gagasan yang ada di dalam dirinya tampil secara cemerlang. Kemudian dikatakan indah secara artistik, manakala hasilnya merupakan bentuk seni serta membiarkan ide-ide tampilbebas dengan kedalaman dan kekuatan yang baru, serta merefleksikan rahasia-rahasia terdalam dari realitas kehidupan. Oleh sebab itulah estetika tidak dapat dilepaskan dari teori-teori tentang seni. Seni sesunguhnya merupakan bahasa komunikasi yaitu bahasa perasaan sebagai penuangan estetik sehinga hasilnya adalah sesuatu karya seni yang indah. Sesuatu yang indah mengandung tiga unsur penting yaitu (1) kesatuan yaitu berdasarkan kaidah-kaidah dan bentuk yang terstruktur; (2) kerumitan yaitu keragaman bentuk sebagai daya tarik karya seni tertentu; (3) kerumitan yang dimaksudkan adalah proses terjadinya karya seni serta hal yang berkaitan dengan kualitas dan kekhususan, sehingga karya tersebut mampu menjadi pembeda dengan karya seni yang lainnya. Masalah keindahan telah banyak dibicarakan oleh para filsuf antara lain Plato, Aristoteles, Plotinus, Thomas Aquinas, dan para filsuf abad ke-18 lainnya. Sebagian besar dari pandangan para filsuf itu adalah sama yaitu bahwa kehadiran keindahan itu penting sekali bagi manusia. Karya seni dan estetika dapat dipandang sebagai suatu teks yang memiliki ruang yang multidimensional, sebagai wahana ekspresi diri yang dituangkan ke dalam karya seni yang bersangkutan. Dalam rangka pemahaman terhadap seni terjadi komunikasi yang bebas antara penikmat, karya, dan seniman. Oleh sebab itulah pemahaman terhadap uunsur-unsur seni sangatlah penting artinya untuk dapat melakukan analisis lebih mendalam, seperti halnya dalam seni wayang yang ternyata mencakup berbagai unsur seni, sehingga wayang disebut sebagai salah satu seni pertunjukan yang laing lengkap. Sulukan wayang kulit Jawa sebagai salah satu unsur pergelaran wayang secara menyeluruh tidak dapat dipisahkan dengan estetika tradisional, yang beranggapanbahwa sebagai karya seni merupakan model ekspresif untuk terjadinya komunikasi rasa estetik antara karya seni, seniman, dan penikmatnya atau penontonnya. Dalam pandangan estetika tradisional karya seni yang dihasilkan oleh penciptanya biasanya pujangga, empu dalang, pakar wayang, dan sebagainya, adalah sebagai sarana persembahan dan peribadatan. Oleh sebab itu dalam wayang banyak mengangkat lakon-lakon lebet yang mengungkap filosofi Jawa. Filsafat Jawa bertolak dari pemikiran cinta pada kesempurnaan, sehinga filsafat Jawa merupakan sarana bagi manusia Jawa untuk mencapai kesempurnaan hidup. Esensi dari filsafat Jawa bahwa manusia itu harus mampu menjaga dan menjalin keharmonisan antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam semesta lingkungannya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu pemikiran filsafat Jawa yang menunjukkan manusia atas sikap, perilaku dan tindakan dalam kehidupan, adalah filsafat joged Mataram yang dikenal dengan sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sulukan wayang kulit Jawa dalam rangka penjelasan masalah sikap, perilaku, dan tindakan dalam budaya wayang terutama pelaku atau dalang, konsep pemikiran Jawa ini lebih dapat menunjukkan relasi estetik dan harmoni dalam kehidupan budaya Jawa. Pada tarap yang lebih tinggi manusia akan mampu masuk dalam kancah penguasaan ngelmu sangkan paraning dumadi, sehingga menghantarkan manusia menyatu dengan Tuhan yang disebut Manunggaling kawula lan Gusti menyatunya manusia dengan Tuhan. Pengalaman seni sebenarnya adalah sekumpulan pengalaman hidup manusia yang diendapkan di bawah sadarnya, sewaktu-watu dimunculkan kembali dan dituangkan guna melihat persoalan-persoalan kehidupan. Dalam jagad wayang pengalaman seni diartikan sebagai kemampuan mencerap berbagai wacana, diskursus, paradigma, dan sebagainya tentang berbagai nuansa estetik seni pedalangan atau pewayangan. Ada berbagai variasi seni pedalangan ditinjau dari pergelarannya, sehingga muncul bermacam-macam unsur estetik dan gaya pedalangan yang tersebar paling tidak di Pulau Jawa. Antara lain gaya kolektif yang diikuti oleh gaya kraton dan gaya kerakyatan di luar kraton. Kemudian muncul gaya pribadi atau individual, serta gaya yang terakhir adalah gaya penyimpangan. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini pergulatan gaya pewayangan itu masih berlangsung, antargaya yang ada kenyataannya sulit diketahui batas-batasnya secara jelas, sebab seorang dalang dapat saja mempunyai ciri-ciri dari sekian gaya, dan konsep-konsep estetik yang berkembang di jagad pedalangan di Indonesia. Dalam rangka estetika wayang ditemukan adanya konsep estetik tontonan, tatanan, dan tuntunan. Tontonan lebih menekankan pada unsur hiburan. Tatanan artinya bahwa dalam seni pewayangan banyak menampilkan dimensi etik yang luar biasa padatnya, yang dikenal sebagai budaya Jawa. Misalnya adalah konsep-konsep unggah-ungguh, empan papan, dan angon tinon. Adapun konsep tuntunan adalah penyampaian nilai-nilai moral dan ajaran moral Jawa melalui sulukan wayang, tokohtokon wayang, dan lakon-lakon wayang. Pilihan-pilihan persoalan hidup yang tertuang dalam wayang itu disampaikan sedemikian rupa sehingga hayatan serta kedalaman pikir penontonnya mampu menyerap dengan baik, harapanannya agar semua hasil hayatan dan pemkiran itu dapat menjadi pedoman dan acuan hidup dalam bermasyarakat yang lebih berkualitas serta berbudi luhur. Dari uraian di atas tampak bahwa dimensi etis dalam wayang itu tidak dapat dikatakan bersifat hitam putih, namun bersifat pluralitas moral yang ditunjukkan oleh tipologis tokoh-tokohnya, walaupun hanya ditunjukkan lewat karakter sulukanwayang. Konteks lakon serta tokoh yang ditampilkan di atas kelir menunjukkan kompleksitas situasi dan kondisi yang harus dicapai secara maksimal oleh dalang. Lambang tokoh baik dan jahat yang digambarkan misalnya Pandawa dan Korawa, merupakan dualisme komplementer yang saling melengkapi dan berkesinambungan. Tanpa kehadiran tokoh jahat maka tokoh baik pun tidak akan tampak aspek kebaikannya demikian sebaliknya. Dalam wayang pada dasarnya kebaikan dan keburukan akan sangat bergantung kepada konteks dan situasi, itulah dimensi etis dan estetis, sebab berbagai kandungan ajaran nilai moral dalam wayang dituangkan lewat konsep-konsep keindahan yang melahirkan kualitas karya seni yang bersangkutan. Dari contoh sulukan tersebut jelaslah, bahwa tokoh wayang itu manusiawi artinya memiliki sisi baik dan jahat, walaupun kadang kala tindakan yang jahat itu harus dilakukan demi mencapai tujuan yang labih menjamin harmoni kehidupan bermasyarakat. Inilah yang kemudian pembenaran itu sering menyakitkan karena bertolak belakang dengan fakta yang sesungguhnya Banyak usaha untuk menuju kesempurnaan itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Kenyataan ini dialami pula oleh para ahli mistik berbagai bangsa sepanjang masa, sehingga dipergunakanlah bahasa kias atau simbolis. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah berbagai konsep pemikiran filosofis itu telah diejawantahkan ke dalam berbagai bentuk seni, salah satunya adalah seni wayang kulit. Berbagai kisah dan lakon yang dipentaskan dalang banyak berupa kias perilaku watak manusia dalam mencapai tujuan hidup lahir dan batin. Pemahaman terhadap kias ini tidak dilakukan dengan akal dan pikiran saja, melainkan dengan seluruh cipta-rasa-karsa, bergantung kepada kedewasaan masing-masing. Ajaran sangkan paraning dumadi dalam kehidupan orang Jawa tidak saja berada dalam ranah kawruh, tetapi lebih jauh ajaran ngelmu yang berkaitan dengan gerakrohani guna menyatu di dalam arus kehidupan secara bersungguh-sungguh hidup sebagai hayatan hidup sejati berdasarkan wirasa sebagai rasa yang lebih dalam. Sesuai dengan konsep dan karakter seniman dalang bahwa greget, sengguh, ora minggkuh dan nyawiji dan penjelasan pemikiran filsafat Jawa bahwa sulukan wayang sama dengan ngelmu kebatinan atau sebagai kebaktian batin atas kehidupan yang dalam istilah asing lebih tepat disebut sebagai dedication of life. Gambaran atau ilustrasi tersebut di atas terutama konsep manunggaling kawula-Gusti dapat dilakukan dengan baik oleh dalang jika yang bersangkutan telah menguasai dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan yang sesungguhnya berdasarkan konsep greget, sengguh, ora mingkuh, nyawiji, wiraga, wirama, dan wirasa. Penyampaian sulukan wayang sebagai sebagai karya seni sealigus sarana silunglungan, benar-benar membawa dirinya mencapai puncak keindahan utama, yaitu kembali dalam persatuannya dengan sang pusat keindahan yang tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan yang penuh makna, seniman dalang secara bersungguh-sungguh menghayati setiap sulukan wayang yang dinyanyikannya, maka dalang yang bersangkutan ibarat telah masuk di dalam dunia silunglungan sebagaimana dilakukan oleh para pujangga terhadap karya sastra yang digubahnya. Terlebih juga penonton dituntut dapat memahami pertunjukan wayang yang ternyata sajian seni ini mampu menyampaikan pesan-pesan etika yang mengacu pada pembentukan budi luhur atau akhlaqul karimah. Berbagai ajaran etika nilai moral dalam sulukan wayang tersirat di dalam materi sulukan wayang yang bersangkutan yang meliputi, keteladanan moral budi luhur, ajaran tentang kesetiaan pada ucapan, etika dalam berguru, ajaran etika pemimpin yang baik, dan ajaran etika kebijaksanaan serta kesempurnan hidup
    corecore