441 research outputs found

    Pengaruh Muscle Energy Technique Dan Static Stretching Terhadap Fleksibilitas Otot Hamstring Pada Siswa Sekolah Sepak Bola (SSB) Angkasa Surakarta

    Get PDF
    Latar Belakang: Sekolah Sepak Bola (SSB) Angkasa merupakan wadah yang menyiapkan siswanya menjadi pemain sepak bola dimasa depan. Siswa SSB selama berlatih sangat beresiko mengalami cidera terutama pada ekstremitas bawah seperti strain hamstring Fleksibilitas otot yang baik akan mendukung kualitas pemain karena dapat mencegah strain. Dibutuhkan penanganan untuk mencegah strain hamstring salah satunya dengan meningkatkan fleksibilitas otot. Kurangnya fleksibilitas otot menjadi faktor pencetus cedera pada otot hamstrings. Tujuan: untuk mengetahui pengaruh muscle energy technique dan static stretching terhadap fleksibilitas otot hamstring pada siswa SSB Angkasa Surakarta, serta mengetahui perbedaan pengaruh muscle energy technique dan static stretching terhadap fleksibilitas otot hamstring pada siswa SSB Angkasa Surakarta. Metodologi Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu dengan menggunakan rancangan penilitian pre and post test two group design. Sample sebanyak 13 siswa yang usianya 15-16 tahun. Pengukuran fleksibilitas menggunakan geniometri sebelum dan sesudah diberikan perlakuan selama 4 minggu. Uji Pengaruh menggunakan wilcoxon, uji beda pengaruh dengan menggunakan mann whitney test. Hasil: Hasil pengujian wilcoxon MET sinistra (p=0,014) MET dextra (p=0,016). Dan static stretching sinistra (p=0,034) static stretching dextra (p=0,063). Hasil mann whitney hamstrings sinistra (p=0,016) hamstrings dextra (p=0,093). Kesimpulan: MET dan Static stretching berpengaruh terhadap peningkatan fleksibilitas hamstring. Antara MET dan static stretching tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan

    Assessment of request pattern and utility of rheumatoid factor in a tertiary hospital in North east Nigeria

    Get PDF
    The diagnostic utility of Rheumatoid Factor (RF) test is not well documented. The question therefore is: - 'when is it appropriate to make this request'? When patients' own immunological defense mechanisms go awry and start attacking one's tissues, (autoimmune), there usually arises a problem. This usually affects the heart, musculo skeletal system and other organs giving rise to signs and symptoms that are seen in other ailments. The joints are the most common site of affectation and an early diagnosis may go a long way in managing the disease. Usually an antibody (Rheumatoid factor) is found in such patients. It is formed against the Fc portion of IgG, forming an IgG-Fc immune complex that normally leads to the disease process. It is this complex (usually an IgM) in the patient's serum that is exposed to a commercial antigen in the laboratory and the titer determined against a standard. The normal level is usually <14IU/ml. Levels higher are usually considered abnormally high, elevated or positive. A negative RF test however does not mean that the patient hasn't got the disease. Objective: To determine the frequency of positivity of rheumatoid factor and the context in which the requests are made by group of physicians and advise on when to make the request. Methods: A retrospective study of case notes of 354 patients requested to perform rheumatoid factor test at the immunology department over a period of 6 years were reviewed. The requesting departments, clinical and demographic characteristics of patients were reviewed and analyzed. Data analyzed using SPSS version 22. Results: Of the 354 requests made,265 (74.9%) were due to musculo skeletal symptoms and but20 (5.6%) were positive for RF. Of the 20, 19 (95%) had polyarthritis while 1 (5%) was asymptomatic. The mean age was 37.06±13.91 and 205 (57.9%) were females. Most (137 or 38.7%) of requests for RF were from the general out-patient department and 108 (30.5%) from medical out-patient department. The sensitivity and specificity for RF test in detecting MSK disease were 7.17% (95%CI, 4.37-10.97) and 98.88% (95%CI 93.90%, 99.97%). The positive likely hood ratio was 6.38% (95% CI 0.87, 40.99). The positive predictive value (PPV) and negative predictive value (NPV) were 95.0% (95%CI 77.02, 99.29%) and26.35% (95%CI 25.48, 35.30%). Test accuracy was 30.23% (95% CI25.48, 35.30%). Conclusion: We recommend that rheumatoid factor should be requested only in patients with fleeting arthritis,good clinical evaluation for signs and symptomsand looking for differentials

    Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise Terhadap Frekuensi Serangan Sesak Nafas Pada Penderita Asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta

    Get PDF
    Latar belakang: Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang menyebabkan peningkatan hiperresponsif yang menimbulkan gejala episodic berulang berupa mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. Ada berbagai faktor pencetus timbulnya serangan asma, antara lain adalah olahraga, alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan terhadap iritan repiratorik seperti asap rokok dan lain sebagainya. Diaphragmatic breathing exercise dapat sebagai alternatif dalam penanganan asma untuk mencegah resiko kambuhnya asma karena dengan terapi pernapasan tersebut dapat melatih bagaimana cara bernapas yang benar, melenturkan serta memperkuat otot pernapasan, melatih ekspektorasi yang efektif, meningkatkan sirkulasi, mempercepat asma yang terkontrol, mempertahankan asma yang terkontrol dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita asma. Tujuan penelitian: untuk mengetahui pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap frekuensi serangan sesak nafas pada penderita asma di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Metode penelitian: dengan pendekatan quasi experiment dan desain penelitianone group pre and post test without control design. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total sampel 9 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian dianalisa dengan menggunakan Wilcoxon Test. Hasil penelitian: uji Wilcoxon Test menunjukkan hasil p = 0,007 < 0,05 yang berarti ada pengaruh diaphragmatic breathing exercise terhadap frekuensi serangan sesak nafas pada penderita asma. Kesimpulan: diaphragmatic breathing exercise mampu menurunkan frekuensi serangan sesak nafas pada penderita asma

    PENGARUH AKTIVITAS FISIK TERHADAP KOGNITIF PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR DITINJAU DENGAN METODE NARRATIVE REVIEW

    Get PDF
    Latar Belakang: Ada asumsi yang menyatakan bahwa aktivitas fisik memiliki efek mampu meningkatkan kinerja fungsi kognitif anak usia sekolah dasar. Namun, masih sedikit bukti penelitian yang telah ditemukan. Kognitif mempunyai peran penting dalam pembelajaran di sekolah dan mampu mempengaruhi prestasi anak pada usia sekolah dasar. Tujuan: Untuk mengetahui apakah ada pengaruh aktivitas fisik terhadap fungsi kognitif pada anak usia sekolah dasar. Metode Penelitian: Menggunakan metode narrative review, yaitu mengumpulkan sepuluh artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi dan diidentifikasi menggunakan rumus PICO. Menentukan kata kunci untuk pencarian di database. Menggunakan tiga database yaitu Pubmed, Pedro, dan Google Scholar. Setelah melakukan pencarian di tiga database, dan tahap terakhir adalah membuat sebauh diagram yaitu PRISMA Flow Chart. Hasil Penelitian: Aktivitas fisik mampu meningkatkan kinerja pada fungsi kognitif. Komponen fungsi kognitif yang dipengaruhi seperti attention, konsentrasi, memori, psikomotorik, fungsi eksekutif, penalaran logis, faktor verbal, faktor numerik, dan faktor spasial. Selain itu, juga mempengaruhi massa lemak, massa bebas lemak, kebugaran otot, kardiorespirasi, dan kortisol saliva. Ada enam jurnal yang mendapatkan hasil signifikan aktivitas fisik meningkatan kinerja fungsi kognitif pada tetapi tidak semua jurnal mendapatkan hasil yang signifikan, ada empat jurnal yang mendapatkan hasil yang tidak signifikan dalam meningkatan fungsi kognitif pada anak usia sekolah dasar. Kesimpulan: Ada pengaruh aktivitas fisik terhadap kognitif pada anak usia sekolah dasar. Ada jurnal yang mendapatkan hasil yang tidak signifikan, disebabkan oleh beberapa hal seperti perubahan pembuluh darah di otak yang menyebabkan kelelahan otak, diperlukan sesi latihan dengan durasi yang lebih lama, tingkat kesulitan yang tinggi menyebabkan tuntutan / upaya kognitif yang substansial selama latihan, menghabiskan sumber daya kognitif anak-anak dan menghambat perbaikan dalam kognitif. Saran: Untuk peneliti selanjutnya, saya harapkan nanti mampu untuk melakukan penelitian dipelayanan fisioterapi dengan responden anak usia sekolah dasar, dengan memperhatikan karakteristik aktivitas fisik, jenis aktivitas fisik dan melakukan penilaian sebelum, segera sesudah, dan 1 jam setelah melakukan aktivitas fisik

    PENGARUH FLEXIBILITY EXERCISE DAN STRENGTHENING EXERCISE TERHADAP VERTICAL JUMP: NARRATIVE REVIEW

    Get PDF
    Latar Belakang : Flexibility Exercise dan Strenthening Exercise dianggap dapat meningkatkan kemampuan Vertical Jump, akan tetapi bukti-bukti dari artikel penelitian masih sedikit ditemukan. Selain itu artikel narrative review terkait dengan kedua intervensi tersebut masih belum ada. Karena hal tersebut, maka artikel narrative review diperlukan untuk menilai keandalan atau keefektifan dari intervensi Flexibility Exercise dan Strenthening Exercise terhadap Vertical Jump. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh Flexibility Exercise dan Strenthening Exercise terhadap peningkatan Vertical Jump. Metode Penelitian : Menggunakan metode Narrative Review, yaitu dengan mengumpulkan sepuluh artikel penelitian, dengan melakukan identifikasi kata kunci menggunakan format PICO serta menentukan kriteria inklusi dan ekslusi untuk menentukan artikel yang akan dipilih. Pencarian artikel dilakukan pada tiga database (Science Direct, PubMed dan PEDro). Hasil Penelitian : Delapan artikel penelitian terkait dengan Flexibility Exercise dan Strengthening Exercise memberikan hasil yang signifikan. Namun, terdapat tiga atikel penelitian yang mendapatkan hasil tidak seignifikan terhadap peningkatakan kemampuan Vertical Jump. Simpulan : Beberapa penelitian memberikan hasil yang signifikan terkait dengan pemberian latihan Flexibility Exercise dan Strengthening Exercise terhadap peningkatan Vertical Jump. Tetapi tidak semua artikel yang memberikan hasil yang signifikan. Saran : Peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai tema ini dengan metode penelitian lain, seperti eksperimental

    Hubungan bentuk kaki terhadap tingkat terjadinya illiotibial band syndrome pada pelajar di komunitas Jogja Playon

    Get PDF
    Latar belakang: Salah satu cedera yang sering terjadi pada pelari adalah Illiotibial Band Syndrome (ITBS). ITBS sendiri merupakan nyeri yang terjadi pada lutut lateral dan terkadang di sepanjang paha sisi lateral atau sepanjang illiotibial band (ITB). ITBS dapat diakibatkan oleh penggunaan ekstremitas bawah yang berlebihan, terutama saatfleksi dan ekstensi lutut. Salah satu faktor potensial ITBS lainnya adalah bentuk kaki. Saat berlari, kaki akan cenderung ke arah pronasi sebagai keseimbangan tubuh. Namun pronasi yang berlebihan dapat menyebabkan internal rotasi tibia dan tulang paha, sehingga dapat memperpanjang struktur di sekitar lutut, termasuk ITB. Tujuan: Untuk mengetahui proses terjadinya illiotibial band syndrome yang berkaitan dengan bentuk kaki pada pelari. Metode: Penelitian ini bersifat kuantitatif menggunakan studi korelasional dengan pendekatan waktu cross sectional. Sampel penelitian adalah pelari pada komunitas Jogja Playon yang berjumlah 55 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Instrumen penelitian menggunakan foot print untuk menghitung clarke’s angle dan noble’s compression test. Analisis data menggunakan Spearman Rank Test. Hasil: Terdapat hubungan bentuk kaki terhadaptingkat terjadinya illiotibial band syndrome pada pelari dengan nilai p=0,016 (>0,005) pada kaki kanan dan p=0,002 (<0,005) pada kaki kiri. Nilai koefisien korelasi sebesar 0,324 pada kaki kanan (rendah) dan 0,410 pada kaki kiri (sedang). Kesimpulan: Adahubungan bentuk kaki terhadap tingkat terjadinya illiotibial band syndrome pada pelari dengan koefisien korelasi rendah hingga sedang. Saran: Saran untuk penelitianselanjutnya agar mencari faktor lain yang berhubungan dengan kejadian ITBS pada pelari serta penelitian dengan alat yang lebih modern

    Endovascular treatment of an open cervical fracture with carotid artery tear

    Get PDF
    The dilemma of how to treat penetrating wound injuries to the neck, which involve a combination of a common carotid artery rupture and a cervical spinal fracture, is presented in this case report

    The learners' perspective on internal medicine ward rounds: a cross-sectional study

    Get PDF
    <p>Abstract</p> <p>Background</p> <p>Ward rounds form an integral part of Internal Medicine teaching. This study aimed to determine the trainees' opinions regarding various aspects of their ward rounds, including how well they cover their learning needs, how they would like the rounds to be conducted, and differences of opinion between medical students and postgraduates.</p> <p>Methods</p> <p>A cross-sectional study was conducted on a total of 134 trainees in Internal Medicine, comprising medical students, interns, residents and fellows, who were asked to fill in a structured, self-designed questionnaire. Most of the responses required a rating on a scale of 1-5 (1 being highly unsatisfactory and 5 being highly satisfactory).</p> <p>Results</p> <p>Teaching of clinical skills and bedside teaching received the lowest overall mean score (Mean ± SD 2.48 ± 1.02 and 2.49 ± 1.12 respectively). They were rated much lower by postgraduates as compared to students (p < 0.001). All respondents felt that management of patients was the aspect best covered by the current ward rounds (Mean ± SD 3.71 ± 0.72). For their desired ward rounds, management of patients received the highest score (Mean ± SD 4.64 ± 0.55), followed by bedside examinations (Mean ± SD 4.60 ± 0.61) and clinical skills teaching (Mean ± SD 4.50 ± 0.68). The postgraduates desired a lot more focus on communication skills, counselling and medical ethics as compared to students, whose primary focus was teaching of bedside examination and management. A majority of the respondents (87%) preferred bedside rounds over conference room rounds. Even though the duration of rounds was found to be adequate, a majority of the trainees (68%) felt there was a lack of individual attention during ward rounds.</p> <p>Conclusions</p> <p>This study highlights important areas where ward rounds need improvement in order to maximize their benefit to the learners. There is a need to modify the current state of ward rounds in order to address the needs and expectations of trainees.</p
    corecore