33 research outputs found

    A Systematic Study on Processing Problems and In vitro Release of Saraca indica Caesalpiniaceae Bark Powder Tablets

    Get PDF
    Purpose: To examine the original flowability, compressibility and compactibility of Saraca indica bark powder and its tablet formulations.Methods: Saraca indica bark powder was subjected to various quantitative tests including acid insoluble ash, total ash, foreign organic matter, alcohol soluble extractive and water soluble extractive. Its flowability and compressibility were determined using Kawakita, Heckel and Leuenberger relationships. Tablets were prepared from the powder by direct compression and wet granulation techniques and characterized. Results: Kawakita analysis revealed lower cohesiveness of granules (3.877 ± 0.890) compared to the powder (6.176 ± 1.030), and hence improved flowability. From Heckel analysis, the higher value of intercept (A) for granules (4.38 ± 0.45) implies higher degree of fragmentation than direct compression DC formulation (2.90 ± 0.33) and powders (2.44 ± 0.12). The compression susceptibility parameter obtained from Leuenberger equation for compacts formed by wet granulation technique (0.183 ± 0.045 1/kg/cm2) indicate that maximum crushing strength is reached faster at lower pressures of compression than for Saraca indica bark powder (0.073 ± 0.025 1/kg/cm2) and DC formulation (0.105 ± 0.033 1/kg/cm2). In-vitro dissolution study showed that more than a 90% of tannin was released within 30 and 60 min from tablets prepared by wet granulation and DC, respectively. Brittle fracture index data indicate that tablets prepared from granules showed less fracture, capping and lamination tendencies.Conclusion: It is concluded that the desired flowability, compressibility and compactibility of Saraca indica bark powder can be obtained by direct compression and wet granulation techniques

    Perbedaan Tingkat Stres Kerja Antara Shift Pagi, Siang dan Malam Pada Perawat Di Ruang Intensif Care Unit (ICU) RSUD Dr. Moewardi Surakarta

    Get PDF
    The job of nurse within give nursing service is also related with the disposition of work hours which is well known as hours shift. Stress of work is the situation which usually appear in the interaction between the human and the job itself. Occupational stress is a condition that arise in interaction among people with research is aimed at work. This reaserch aim to know the difference of hours shift effect to stress level caused by the job of nurse in intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Moewardi Surakarta. This research uses analytic observasional method with cross sectional approach. The population in this research is nurses which active in the morning shift, afternoon shift and night shift in intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Moewardi Surakarta 20 nurses. Sampling technique uses total sampling. Analysis of using Annova shows that there is no difference of hours shift with stress level caused by nursing work in the Intensive Care Unit (ICU) room RSUD Dr. Moewardi Surakarta p value = 0.79 the valuable is not significant and the highest mean on morning shift of 1.6. Nurse have to apply health life model, in other hand to know stress indicate as soon as a preventive when the stress appear

    Applying refinement to the use of mice and rats in rheumatoid arthritis research

    Get PDF
    Rheumatoid arthritis (RA) is a painful, chronic disorder and there is currently an unmet need for effective therapies that will benefit a wide range of patients. The research and development process for therapies and treatments currently involves in vivo studies, which have the potential to cause discomfort, pain or distress. This Working Group report focuses on identifying causes of suffering within commonly used mouse and rat ‘models’ of RA, describing practical refinements to help reduce suffering and improve welfare without compromising the scientific objectives. The report also discusses other, relevant topics including identifying and minimising sources of variation within in vivo RA studies, the potential to provide pain relief including analgesia, welfare assessment, humane endpoints, reporting standards and the potential to replace animals in RA research

    Pengaruh Lama Fermentasi Dedak Jagung dengan Saccharomyces cerevisiae terhadap Kandungan Nutrisi dan Perubahannya

    No full text
    Dedak jagung memiliki kandungan gizi yang rendah. Fermentasi dapat meningkatkan kualitas bahan pakan. Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan mikroorganisme starter yaitu Saccharomyces cerevisiae. Tujuannya adalah untuk mengetahui waktu terbaik yang dibutuhkan untuk proses fermentasi. Penelitian dilakukan di Malang pada bulan Agustus sampai September. Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan empat perlakuan dengan empat ulangan yang difermentasi pada 0 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Hasilnya tekstur dedak jagung yang difermentasi berubah. Semakin lama pakan difermentasi, semakin menggumpal dan lengket. Terjadinya perubahan warna dari 24 jam fermentasi sampai 72 jam. Aroma yang dihasilkan selama proses fermentasi mengalami perubahan aroma dari bau bekatul dan ragi yang masih dapat tercium jelas dan perlahan berubah menjadi bau tapai. Kadar air terendah dengan bahan kering adalah 0 jam sebesar 22,72 ± 0,91%, 24 jam sebesar 23,32 ± 0,09%, 48 jam sebesar 26,71 ± 0,61%, dan 72 jam sebesar 30,39 ± 0,85%. Protein kasar fermentasi dedak jagung diperoleh hasil masing-masing perlakuan memiliki nilai 0 jam sebesar 11,65 ± 0,17%, 24 jam sebesar 14,01 ± 0,09%, 48 jam sebesar 15,19 ± 0,16%, dan 72 jam sebesar 17.955 ± 0,10%. Serat kasar dedak jagung fermentasi diperoleh hasil untuk masing-masing perlakuan memiliki nilai 0 jam sebesar 4,95 ± 0,33%, 24 jam sebesar 7,55 ± 0,10%, 48 jam sebesar 8,14 ± 0,31%, dan 72 jam sebesar 9,37 ± 0,23%. Kandungan karbohidrat fermentasi dedak jagung diperoleh hasil pada setiap perlakuan memiliki nilai 0 jam sebesar 34,67 ± 0,28%, 24 jam sebesar 34,23 ± 0,24%, 48 jam sebesar 33,58 ± 0,60%, dan 72 jam sebesar 31,90 ± 0,19%. Fermentasi terbaik dari penelitian ini adalah fermentasi pada waktu 72 jam karena kandungan nutrisinya paling tinggi pada waktu 72 jam

    Komposisi dan Frekuensi Panjang Berat Lobster (Panulirus spp.) di Instalasi Pelabuhan Perikanan Pantai (IPPP) Tambakrejo Kabupaten Blitar, Jawa Timur

    No full text
    Pantai Tambakrejo pusat penangkapan ikan di Kabupaten Blitar dan didaratkan di Instalasi Pelabuhan Perikanan Pantai (IPPP) Tambakrejo. Salah satu sumberdaya perikanan yang terdapat di Pantai Tambakrejo adalah udang karang atau lobster. Lobster memiliki sifat nokturnal dan suka bersembunyi pada dasar perairan, habitat yang disukai adalah perairan berkarang, berpasir, pasir berlumpur, batuan, dan berterumbu karang. Penangkapan lobster yang tidak dikelola dengan baik ini mampu memicu turunnya sumberdaya lobster di Kabupaten Blitar, khususnya di perairan Pantai Tambakrejo. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Pelabuhan Perikanan Pantai (IPPP) Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto kabupaten Blitar Jawa Timur pada bulan Januari-Februari 2021. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi lobster yang didapatkan dari tiga jenis perbedaan kedalaman, menganalisis sebaran panjang dan berat hasil tangkapan, serta mengetahui perbandingan jenis kelamin dan pola pertumbuhan lobster yang didaratkan di IPPP Tambakrejo Kabupaten Blitar Jawa Timur. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode deskriptif survey. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan induktif dengan menggunakan software Microsoft Excel dan SPSS. Alat tangkap yang digunakan adalah jaring udang (bottom gillnet) dengan bahan PA, mesh size 4,5 inchi. Satu pis jaring memiliki panjang 25 m, satu unit jaring terdiri dari 4- 10 pis. Total panjang jaring 100-250 m dan lebar 3 meter. Armada penangkapan menggunakan kapal jukung bercadik dengan ukuran 9,5 m x 1,15 m x 70 cm. Ukuran kapal yaitu 5 GT dengan kekuatan 15 PK merek mesin Yamaha. Lokasi penangkapan ditentukan berdasarkan kebiasaan dan pengalaman nelayan sejauh 1-2 mil dari fishing base berjarak ±100m dari tebing. Kedalaman yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan panjang tali pelampung gillnet yang digunakan nelayan yaitu 15 m, 25 m dan 30 m. Hasil penelitian ditemukan 4 spesies lobster yaitu lobster pasir (P. homarus), lobster batik (P. longipes), lobster batu (P. penicillatus), dan lobster bambu (P. versicolor). Jumlah total ditemukan sebanyak 305 ekor, didominasi oleh jenis batik 34 % dan paling sedikit adalah lobster bambu 14%. Jenis kelamin betina 56% dan jantan 44%. Rasio jenis kelamin lobster pasir 1:1, lobster batik 1:0,9, lobster batu 1:0,7 dan lobster bambu 1:0,7. Panjang karapas lobster berdasarkan regulasi Permen KP no. 17 tahun 2021 menunjukkan sebanyak 98% lobster pasir memiliki panjang karapas sudah layak tangkap atau 95% lobster pasir memiliki berat sesuai ukuran. Lobster jenis lainnya 78% dengan panjang karapas sudah layak tangkap dan 22% berada dibawah ukuran legal. Keempat spesies memiliki pola pertumbuhan allometrik negative. Perlunya kajian lain tentang alat tangkap yang berbeda, lama penelitian, aspek biologi lobster, parameter oseanografi serta lokasi lain yang yang masih dalam lingkup perairan di Kabupaten Blitar yang lebih mendetail

    An unusual case of bilateral renal enlargement due to primary renal lymphoma

    No full text
    Primary renal lymphoma is an uncommon variant of extranodal non-Hodgkin’s lymphoma. Manifestations are usually nonspecific hematuria, fever, flank pain, and renal insufficiency. Pathological data are scanty; few reports indicate it has a very poor prognosis. We describe a child with bilateral symmetrically palpable kidneys, low-grade pyrexia, and arthralgia. Clinically, diagnosis was missed partly due to the fact that bilateral large renal tumors commonly produce asymmetric renal swelling, renal dysfunction, and hematuria which were absent in this case and partly due to rarity of the condition. However, radiological investigations combined with renal histology helped in establishing diagnosis in the present case

    Optimasi Markah SCAR Berdasarkan Pengembangan Primer SCoT Untuk Deteksi Kandungan Capsaicin pada Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)

    No full text
    Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan tanaman yang memiliki peran penting dan mendominasi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, maka pemuliaan tanaman banyak dilakukan salah satunya dengan metode induksi mutasi kimia EMS (Ethyl Methane Sulfonate). Hasil mutasi EMS pada cabai rawit Cakra Hijau G1/01 telah menghasilkan galur baru M8 dan M14 dengan sejumlah kelebihan serta variasi kandungan Capsaicin yang berbeda. Capsaicin merupakan senyawa metabolit sekunder yang memberikan sensasi rasa pedas pada saat mengonsumsi cabai. Tahapan seleksi yang cepat dan akurat dibutuhkan untuk mendukung analisis variasi serta validasi hasil pemuliaan tanaman. Seleksi dengan menggunakan markah molekuler dinilai lebih cepat, stabil dan efektif. Penelitian ini mengembangkan markah SCAR (Sequence Characterized Amplified Region) berbasis SCoT (Start Codon Targeted) untuk identifikasi dan analisis tingkat kandungan Capsaicin yang berbeda pada tanaman cabai rawit. Pada penelitian ini akan diujikan sampel tanaman cabai rawit G1/01 galur M8 (rendah Capsaicin) dan M14 (tinggi Capsaicin) menggunakan 11 primer SCoT. Tahapan pengembangan markah SCAR dimulai dengan isolasi DNA menggunakan metode buffer CTAB, amplifikasi PCR dengan primer SCoT serta elektroforesis dan visualisasi menggunakan GelDoc, sekuensing, desain markah SCAR-SCoT, serta amplifikasi akhir untuk proses validasi dan analisis markah SCAR-SCoT. Berdasarkan hasil analisa, dipilih 1 pita DNA polimorfik dari sampel M8 pada primer S15 dengan ukuran basa 400 bp untuk dilakukan sekuensing dan desain markah SCAR. Melalui tahapan desain primer, dihasilkan primer P1 dan P11. Berdasarkan analisa, primer P1 berhasil mendeteksi adanya pita polimorfik (pita yang berbeda) pada sampel M8 dengan ukuran basa 400 bp yang teramplifikasi dengan suhu annealing 51°C,52°C, 55°C, serta 56°C
    corecore