66 research outputs found
HISTORICAL ANALYSIS OF URBANITY ON THE WATERFRONT
Since the dawn of the civilization, water plays an important role in human life. Water covers 75% of the earth surface and sustains virtually every life form on it. From the early days of human settlement, the banks of themajor rivers such as the Nile, Tigris, Euphrates, Indus and Hwang Ho became the cradle of civilizations. It is here the culture developed and the pattern and morphology of urban settlement became the source of ourknowledge. This paper attempts to overview the main developmental periods of waterfronts around the world. It discusses on the fundamental periods and events which shaped the city water-borne activities and explained how those events influenced the nature of public space on the waterfronts. The port-city that developed since then will be analyzed corresponding to the historical events that are related to the city development. A few cases studies will be shown in order to present a valuable descriptive situation. Corresponding to the above issues, a continuous process that took place in the development of the waterfront will be discussed extensively
Imaginary Axis As A Basic Morphology In The City Of Yogyakarta - Indonesia
The life and characteristic of the cities in Indonesia cannot be separated by the influence of city’s development in Java Island
Dualitas Kepemimpinan: Eksistensi Masyarakat Adat (Pakraman) Desa Kutuh Bali Menuju Desa Anti Korupsi dan Terkaya se-Indonesia
Lazimnya dalam satu desa hanya ada satu pemimpin. Namun, hal itu tidak berlaku di Bali yakni Desa Adat Kutuh. Desa Kutuh dipimpin oleh 2 orang yang berbeda fungsi dan pekerjaan. Antara keduanya sepakat dengan menyebut sebagai dualitas kepemimpinan, bukan dualisme. Kepemimpinan yang saling menguntungkan dan saling mendukung, berkesinambungan untuk bersama membangun desa Kutuh menuju Desa yang maju. Penelitian empiris ini telah berlangsung sejak tahun 2021 dan telah wawancara dengan perangkat desa, masyarakat adat Desa Kutuh-Bali bertujuan untuk mengetahui bagaimana sinergitas antara Kepala Desa Dinas dan Kapala Desa Adat Desa Kutuh dalam menjadikan desanya maju dengan mengoptimalkan Dana Desa bahkan mendapat predikat sebagai desa anti korupsi dan desa terkaya se Indonesia. Penelitian ini menarik simpulan bahwa Dualitas kepemimpinan terjalin secara harmonis antar kepala desa dinas “perbekel” dengan kepala desa adat “Bendese Adat” diikat kuat oleh filosofi trihita karana yang merupakan local wisdom Bali. Sinergitas tampak pada intersection dalam pengelolaan dana desa. Desa Dinas dalam melaksanakan kegiatan bersandar pada hukum adat yang disebut awig-awig tertulis. Intersection tersebut berdampak pada proses pengambilan keputusan, implementasi serta pengawasan langsung oleh masyarakat adat dalam tata kelola dana desa. Sehingga eksistensi masyarakat adat masih terjaga kuat dan dualitas terus berlangsung dan terbukti berjalan secara harmonis sesuai tupoksi masing-masing karena kramanya sama. Dengan demikian, eksistensi masyarakat adat atau pakreman bersama dengan desa dinas sama-sama berperan penting dalam kerangka kehidupan ketatanegaraan saat ini, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Buku Referensi dengan Judul "DERADIKALISASI : Memahami Radikalisme Islam dari Akar Persoalannya Agenda Strategis bagi Pluralisme dan Keutuhan Bangsa Perspektif Agama, Sosial Budaya dan Keamanan"
Sejak peristiwa 9/11 tahun 2001, hampir semua negara
di dunia, khususnya negara-negara yang berpenduduk
Muslim—telah-sedang-
dan-akan—menjalankan berbagai
program deradikalisasi. Tujuannya, membendung dan/atau
meminimalisir efek negatif pemahaman agama yang radikal,
yang merupakan lahan subur bagi persemaian ideologi destruktif,
yang lazim disebut terorisme.
Program deradikalisasi itu berjalan seiring dengan
penegakan hukum terhadap para tersangka yang terbukti
menjadi pelaku aksi kekerasan dan teror. Ribuan anggota
radikal telah ditangkap, ditahan, diadili bahkan dihukum mati.
Negara adidaya Amerika bahkan menciptakan penjara khusus
bagi teroris di Guantanamo. Bahkan kekuatan perang beberapa
negara, yang juga dikomandoi Amerika, telah melakukan
penggempuran terhadap tempat-tempat yang diduga sebagai
sarang teroris di Afganistan, Irak, dan Yaman. Belum lagi
penindakan dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum
di masing-masing negara Muslim, seperti di Saudi Arabia dan
Mesir, termasuk Indonesia.
Namun, setelah berjalan hampir satu dasawarsa, aksi teror
tetap saja terjadi. Di beberapa negara, aksi bom dan kekerasan
bahkan menjadi rutinitas harian yang nyaris tanpa henti
seperti di Pakistan, Afganistan dan Irak. Di pihak lain, berbagai
komunitas dan kelompok-kelompok radikal bahkan terkesan
lebih lantang bersuara. Barangkali karena itulah, dalam sebuah
paparannya, seorang peneliti menyebutkan bahwa bila tidak
ada langkah-langkah serius untuk membendung semangat
radikalisme Islam, maka boleh jadi, masyarakat dunia masih
akan terus terancam oleh berbagai aksi kekerasan di abad ke-
21 ini.
Karena itu, kesimpulan sementara, program kontra terorisme
yang hanya fokus pada penindakan (penangkapan, penahanan,
pemidanaan), selain tidak bisa diharapkan untuk mengeliminir
potensi ancaman teror, juga mulai muncul wacana bahwa
pemberantasan terorisme melalui instrumen penindakan dan
penegakan hukum semata justru akan menciptakan vendetta
cycle (lingkaran setan pembalasan dendam): kekerasan dibalas
kekerasan, teror dibalas teror, dan semua pihak merasa telah
melakukan yang benar. Pertanyaannya adalah sampai kapan?
Dan berapa lagi korban yang harus berjatuhan?
Dari sinilah kemudian muncul semacam konsensus pada
skala global, dan juga pada level nasional, tentang perlunya
melakukan proses deradikalisasi yang terintegrasi. Dalam hal
ini, beberapa negara telah malakukannya secara maksimal,
seperti Arab Saudi, Mesir dan Singapura.
Pada level nasional Indonesia, berbagai elemen dan
komponen strategis bangsa juga telah mencapai konsensus
tentang perlunya melakukan proses deradikalisasi. Berbagai
pihak, termasuk beberapa lembaga negara yang dipelopori
Polri telah berupaya merumuskan agenda deradikalisasi.
Namun, harus diakui, meskipun telah tercipta konsensus
tentang perlunya melakukan deradikalisasi dan sederet agenda telah dirumuskan ke dalam program aksi, namun salah satu
poin deradikalisasi yang belum banyak dieksplorasi secara
maksimal dan integratif adalah bagaimana menciptakan format
ideal sehingga program deradikalisasi berjalan maksimal dan
efektif di bidang pemikiran dan gagasan. Berdasarkan penelusuran
terhadap sekian banyak kajian tentang deradikalisasi
(makalah seminar, diskusi publik, dialog, ceramah, peliputan
massif oleh media massa, penulisan buku, talk-show, internet
dan seterusnya), hampir semua program-programnya masih
cenderung lebih fokus pada analisis tentang urgensi deradikalisasi
dan pemetaan kelompok masyarakat yang dipandang
perlu mendapatkan program deradikalisasi. Artinya, wacana
deradikalisasi cenderung masih lebih fokus pada aspek managerial
dalam menjalankan proses deradikalisasi. Dan tentu saja,
ini sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.
Sebagai contoh, semua sepakat bahwa salah satu format
deradikalisasi adalah dialog atau penyuluhan. Namun, belum
banyak dieksplorasi materi deradikalisasi apa yang harus
disampaikan ketika melakukan dialog dan penyuluhan tersebut.
Ilustrasi: kalau tiba-tiba kita berhadapan dengan seorang
radikal sekaliber Imam Samudra, lalu dia berargumentasi
tentang sahnya melakukan perampokan untuk membiayai jihad,
dengan justifikasi bahwa perampokan itu merupakan bagian
dari praktek mendapatkan fa’i (rampasan perang yang diperoleh
tanpa pertempuran), maka yang diperlukan dalam proses awal
deradikalisasi adalah mematahkan argumentasi tersebut, dan
itu berarti bahwa seorang pekerja program deradikalisasi
semestinya memahami betul dalil-dalil tentang fa’i. Dalam
contoh kasus seperti ini, kita bisa saja langsung mengatakan
bahwa perampokan itu haram, salah, sesat dan menyesatkan,
penafsiran yang keliru, bertentangan dengan prinsip kesucian
harta dalam Islam dan seterusnya. Tapi, menyalahkan dan
memojokkan seseorang sekaliber Imam Samudra, tanpa dibarengi dalil pembanding, selain tidak meyakinkan juga boleh
jadi justru semakin mepertajam radikalismenya.
Selain masalah managerial dan pemetaan serta identifikasi
persoalan, salah satu faktor kunci dalam progaram deradikalisasi
adalah identifikasi dan pemahaman butir-butir materi serta
gagasan yang berpotensi menciptakan seorang Muslim menjadi
radikal atau teroris, sekaligus memahami akar persoalan dan
dalil-dalil pembandingnya.
Artinya, diperlukan sebuah pemahaman yang mendalam
dan detail tentang konstruksi pemikiran dan ideologi yang
membentuk radikalisme. Seorang radikal yang kebetulan hidup
miskin, belum tentu dapat berubah moderat setelah menjadi
kaya melalui pemberian kesempatan kerja yang lebih baik.
Sebab pemahaman agama yang radikal itu masih diyakininya.
Contoh lain, ketika Imam Samudra menulis bahwa Amerika
adalah setan besar, atau ketika Osama bin Laden berfatwa
bahwa boleh membunuh warga Amerika di manapun dan kapan
pun serta dengan cara apapun, maka dalam kasus seperti ini,
program deradikalisasi mestinya bukan langsung menyalahkan
gagasan tersebut. Namun, mencoba menelusuri setiap butir
pemikiran yang mengkonstruksi paham radikal yang sangat
anti Amerika tersebut, lalu mencoba meng-counter setiap butir
dari argumentasi yang melatarbelakanginya. Dan poin inilah
yang menjadi fokus buku ini.
Dengan kata lain, buku ini akan mencoba mengidentifikasi
butir-
butir pemikiran dan gagasan yang diyakini dapat membuat
seseorang menjadi radikal, kemudian mencoba melakukan
counter terhadap pemikiran radikal tersebut secara satu per satu
dengan metode head-tohead,
setiap tafsir radikal terhadap teks
keagamaan akan dihadapkan dengan tafsir pembandingnya.
Dan paparan tentang butir-butir pemikiran radikalisme vs
deradikalisasi ini di-break-down dari tiga tema besar: khilafah
Islamiyah, penerapan syariat Islam, dan persoalan jihad. Artinyasetiap butir pemikiran menyangkut tiga tema sentral tersebut
yang dijadikan basis pemikiran radikalisme akan dibahas
dengan metode head-to-head.
Sebagai catatan, paparan dengan metode head-to-head
tentang radikalisme dan deradikalisasi ini tidak bertujuan untuk
mengidentifikasi mana pendapat yang lebih kuat dan paling
shahih. Tapi ingin menegaskan bahwa setiap butir pemikiran
radikalisme selalu ada gagasan alternatifnya, yang boleh
jadi lebih kuat argumentasinya, atau setara argumentasinya,
atau bahkan kadang gagasan alternatif itu tampak tidak
mengesankan. Tujuan utamanya adalah menciptakan keyakinan
bahwa tafsir yang dianut dan diyakini oleh para teroris bukan
tafsir tunggal yang mutlak kebenarannya.
Riset ini memilih metode head-to-head gagasan karena dilatarbelakangi
pertimbangan bahwa seorang Muslim menjadi
fanatik dan radikal terhadap gagasan dan tafsir tertentu, boleh
jadi karena diakibatkan oleh keterbatasan bacaan, pergaulan
dan wacana pembandingnya. Mereka terkunci pada satu doktrin
tertentu, sehingga bagi mereka, semua pendapat dan gagasan
orang lain adalah salah. Padahal, terhadap teks keagamaan,
tidak pernah ada tafsir tunggal. Dan salah satu kaidah sekaligus
etika berijtihad adalah bahwa suatu hasil ijtihad tidak boleh
menegasikan hasil ijtihad lain, meskipun bertolak belakang.
Riset ini dilakukan saat penulis menjabat sebagai Staf Ahli
Bidang Sosial Budaya, Badang Intelijen Negara. Hasil riset ini
sebelumnya tidak dipublikasikan untuk umum—diterbitkan
dan diedarkan secara internal dan terbatas pada Februari
2010.
Bahwa, tujuan utama dari riset ini adalah mencoba memahami
dan menjelaskan akar persoalan fenomena radikalisme
di kalangan sebagian umat Islam, dengan fokus pada masalah
gagasan dan pemahaman, yang diharapkan dapat berkontribusi
positif untuk program-program ke arah deradikalisasi yang lebih maksimal dan lebih efektif. Semua itu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dini atas potensi ancaman aksi-
aksi kekerasan dan teror, yang telah dan mungkin masih akan
dilakukan oleh kelompok atau komunitas radikal
Gerakan Islam Radikal di Sulawesi Selatan: Pola Rekrutmen dan Pola Gerakan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) dan Laskar Jundullah
Preparatory Committee for the Upholding of Islamic Law (KPPSI) was established on 28 May 2000. Laskar Jundullah is an autonomous body under the KPPSI, but there is no effective coordination between Laskar Jundullah and KPPSI. In recruitment, membership of the KPPSI takes place openly, whereas Laskar Jundullah is more closed. This research explains the relationship between the two organizations, intended as a reference model to understand radical religious movements in the region. The data collected through interview, literature reviews, papers and related news. This study shows that an Islamic organization is not free from intact with radical Muslim groups. In fact, loose structure its even makes the organization more vulnerable to being used by the radical groups
Evaluasi aksesibilitas difabel pada ruang terbuka Kota Tebing Tinggi
Ruang terbuka publik pada suatu kota merupakan wadah bagi masyarakat umum untuk melakukan berbagai aktivitas dan kepentingan publik. Aksesibilitas pada ruang terbuka publik seharusnya dapat memenuhi kebutuhan seluruh pengguna ruang meliputi anak-anak, remaja, dewasa, lansia hingga difabel. Pada Taman Kota Tebing Tinggi aksesibilitas bagi pengguna difabel masih kurang memadai secara kualitas maupun kuantitasnya sehingga dikhawatirkan ruang terbuka publik tidak menjadi publik lagi karena hanya diperuntukkan bagi masyarakat non difabel saja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi kualitas aksesibilitas difabel pada ruang terbuka publik di Kota Tebing Tinggi berdasarkan ketentuan yang ada dan perspektif difabel sebagai pengguna ruang tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan deskriptif evaluatif yaitu dengan cara observasi, dokumentasi dan mewawancarai pengguna difabel untuk mengevaluasi aksesibilitas difabel melalui parameter desain universal, PERMEN PU No. 14 tahun 2017 dan perspektif dari pengguna difabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Taman Kota Tebing Tinggi belum sepenuhnya ramah bagi aksesibilitas pengguna difabel
Kebijakan Telemudik Bentuk Perlindungan Negara Pada Masyarakat Menuju New Normal Ditengah Pendemi Corona
The number of people who have died from COVID-19 has also continued to increase, as has the number of people infected with the Corona virus (Covid-19). Until May 2021, which coincides with the Eid al-Fitr 1442 H, which is the custom of the people of Jakarta, to go home to stay in touch with family in the area. At that time, Jakarta was still in the red zone due to the spike in the spread of Covid-19 cases. The state, in this case the Government, must be present to protect its people, both those infected with COVID-19 and so that they are not infected with Covid-19. This protection is in the form of the issuance of a regulation in the form of a Covid-19 Handling Task Force Circular Number 13 of 2021 concerning the Elimination of Homecoming for Eid Al-Fitri in 1442 Hijri and efforts to control the spread of Covid-19 during the holy month of Ramadan 1442 Hijri to change the ignorance of the people towards the Covid-19 pandemic. This study uses a qualitative approach by prioritizing secondary data, to find out the background of the issuance of the telemudik policy. The conclusion drawn from this literature research is that the background behind the birth of the telemudik policy is the ignorance of the community towards the covid pandemic itself. The right solution for carrying out homecoming during the Covid-19 pandemic is telemudik not to reduce the essence of friendship and sharing and prepare the community for the New Normal. in the midst of the Corona pandemic.
Keywords: Public Ignorance, State Protection, Telemudik
Abstrak
Jumlah masyarakat yang meninggal dunia akibat covid-19 juga terus meningkat begitu pula dengan jumlah masyarakat yang terinfeksi virus corona (Covid-19). Sampai dengan bulan Mei 2021 bertepatan menjelang hari raya Idul Fitri 1442 H, yang secara adat kebiasaan masyarakat Jakarta, melakukan mudik untuk bersilahturahmi dengan keluarga di daerah. Pada saat itu, Jakarta masih dalam zona merah karena lonjakan sebaran kasus Covid-19. Negara dalam hal ini Pemerintah harus hadir melindungi masyarakatnya baik yang terinfeksi covid-19 maupun agar tidak terinfeksi Covid-19. Perlindungan tersebut berupa diterbitkannya Regulasi berupa Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari raya idul fitri tahun 1442 Hijriah dan upaya pengendalian penyebaran covid-19 selama bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah untuk mengubah perilaku ignorance masyarakat terhadap pandemic Covid-19. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengutamakan data sekunder, untuk mengetahui apa latar belakang terbitnya kebijakan telemudik tersebut. Kesimpulan yang ditarik dari penelitian kepustakaan ini bahwa yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan telemudik adalah perilaku ignorance masyarakat terhadap pandemic covid itu sendiri Solusi yang tepat untuk melaksanakan mudik pada masa Pandemi Covid-19 adalah dengan telemudik untuk tidak mengurangi esensi bersilahturahmi dan berbagi dan mempersiapkan masyarakat menuju New Normal ditengah Pendemi Coron
Dokumentasi arsitektur dalam upaya pelesatrian rumah administratur perkebunan PTPN II
Belanda memilih usaha perkebunan sebagai upaya meningkatkan perekonomian mereka di Indonesia. Pada akhir abad ke-19, mulailah usaha perkebunan mulai berkembang dan menyebar hingga ke Sumatera Utara. Pada masa itu suatu wilayah perkebunan Deli Maatschapij dipimpin oleh seorang Administrateur perkebunan atau juga disebut Administartur/Manajer. Administratur perkebunan Deli Maatschapij memiliki rumah untuk menjalankan aktivitasnya sebagai pimpinan perusahaan. Selain usianya yang sudah melebihi 50 tahun sebagai warisan sejarah, rumah ini juga telah memenuhi kriteria cagar budaya untuk didokumentasikan. Penelitian ini bertujuan untuk melestarikan warisan sejarah dari segi arsitektur bangunan Rumah Administratur Perkebunan PTPN-II dengan cara mendokumentasikan secara digital yang meliputi data ukuran yang terukur dengan menggunakan salah satu pedoman standar ICOMOS. Dalam pengumpulan dan menganalisis data pada penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian ini menggunakan deskriptif survei dengan mengikuti panduan HABS. Rumah Administratur Perkebunan PTPN II merupakan bangunan hasil dari peninggalan perusahaan perkebunan terbesar di Sumatera pada akhir abad ke-19. Rumah tersebut memiliki gaya khas Kolonial Belanda dengan kombinasi rumah panggung sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan
- …