2 research outputs found
PEMBACAAN POLA TATA RUANG HUNIAN TRADISIONAL MELAYU BANGKA BERDASARKAN LAGU DAERAH BANGKA “YO MIAK”
Berbicara tentang relevansi situasi dan kondisi kini, tak lepas dari gerak serta ruang lingkup yang menjadi medium bernama pola tata ruang. Tata ruang ini berperan menaungi masyarakat dalam berekspresi. Akan tetapi pada praktiknya, elemen ruang menjadi tidak kontekstual dikarenakan keegoisan diri guna mengejar perkembangan. Oleh karena itu, menghadapi hal ini diperlukan adanya suatu pendekatan untuk memahami korelasi antara dua problematika terkait agar mempermudah tercapainya satu titik temu. Pemilihan Lagu Daerah “Yo Miak” sebagai pendekatan memaknai falsafah kehidupan masyarakat Melayu Bangka yang memiliki implikasi terhadap pola tata ruang hunian dan perkampungan merupakan salah satu cara untuk menjawab permasalahan yang ada terkait pemaknaan budaya. Karena lirik dari lagu “Yo Miak” mengandung nilai-nilai keutamaan keseharian Melayu Bangka. Dimana bila di lakukan analisa yang lebih mendalam, filosofi tersebut menyiratkan aktivitas masyarakat Melayu dan lebih dari itu diketahui juga pola ruang. Pada intinya kedua hal ini, antara lagu daerah dan pola tata ruang (arsitektur) memiliki kesamaan sebagai output dari suatu masa utamanya kejayaan kebun lada yang kini mulai punah. Dengan harapan dapat saling menyokong satu sama lain menjawab tantangan yang sama pula yaitu masa depan. Adapun tujuan dari penelitian kualitatif interpretatif ini ialah mengetahui unsur inti, organisasi dan faktor dari pola tata ruang hunian dan permukiman tradisional Melayu Bangka berdasarka lagu “Yo Miak”. Sehingga menciptakan kehidupan seimbang dimana masyarakat bersandingan dengan alam dan budaya yang telah saling mendewasakan.KATA KUNCI: : Pola tata ruang hunian, hunian Melayu Bangka, pola permukiman, permukiman tradisional Melayu Bangka, lagu “Yo Miak
Perancangan Traditional Public Space: Literation And Playground dengan Pendekatan Responsive Architecture Pada Kebun Kultural Kelekak Bangka
Planting of kelekak is intended so that the land that will be left behind after planting sahang (pepper) can be returned for several years as a form of reforestation. The future acronym of the word kelak kek ikak (in Bangka Malay language means "later for you" (Suryadin, 2015). Threats to the existence of this cultural garden began to emerge with
indications of the incessant sale of land with the plot system. Functionally and pragmatically the land then developed into monoculture agriculture to new housing. If it is not accompanied by awareness of the village's internal community, then this will threaten its existence in the future where there is no longer the concept of "someday brotherhood" and "from the forest back to the forest" (Suryadin, 2015). The main function of literacy in the design of the future site as a traditional public space is expected to increase the "opinion" of the village community to be more critical in responding to existing policies on their village land. Until the "income" of the village community is expected to increase with the development of a pattern of life close to the function literacy accompanied by work (Alwasilah, 2012) Approach used in the design of traditional public space: literation and playground in Bangka's "future" cultural garden is responsive architecture, namely the theory of 7 contextual architectural principles according to Ian Bently, Alan Alcock, Paul Murrain, Sue McGlynn, and Graham Smith.
Keywords: Kelekak, Bangka’s Malayan, Traditional Public Space, Responsive Architectur