14 research outputs found

    ANALISIS PERBEDAAN PEPSIN, TRIPSIN, ASAM EMPEDU DAN HELICOBAKTER PYLORI PADA SALIVA PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING DAN NON REFLUKS LARINGOFARING

    Get PDF
    Refluks laringofaring (RLF) adalah aliran balik cairan lambung dan atau duodenum ke laring, faring, trakea dan bronkus. Cairan tersebut berkontak dengan saluran napas dan cerna (aerodigestive) bagian atas. Helicobacter pylori, pepsin, tripsin, dan asam empedu memainkan peranan yang sangat penting sebagai penyebab terjadinya gangguan akibat refluks cairan lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar pepsin, tripsin, asam empedu, serta H. Pylori pada saliva pasien sebagai penanda refluks laring faring. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain case control. Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL RSUP. Dr. M. Djamil Padang, Indonesia. Dilakukan pemeriksaan PCR di laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada sampel saliva untuk mendeteksi keberadaan H.Pylori menggunakan PCR dan kadar pepsin, tripsin, dan asam empedu menggunakan metode ELISA. Penelitian dilakukan pada 22 orang pasien RLF dan 22 orang subjek kontrol sehat. Dari hasil penelitian, penderita RLF lebih banyak terjadi pada perempuan, yaitu sebanyak 12 orang, sedangkan laki-laki 10 orang dengan usia rata-rata penderita RLF 43.7±12,07 tahun. H. pylori ditemukan pada penderita RLF sebanyak 86,4%, sedangkan pada kelompok non RLF adalah 50%. Pada kelompok RLF, kadar pepsin, tripsin, dan asam empedu di saliva lebih tinggi dibandingkan kelompok non RLF, dengan rata-rata kadar pepsin RLF 20.11± 9.76 ng/mL, kadar tripsin dengan rerata 103.15± 47.69 µg/mL, dan kadar asam empedu pada saliva pasien RLF dengan rerata 25.08± 7.67 µM. Dari hasil analisis secara statistik, didapatkan kadar asam empedu dan H. pylori bermakna untuk mendiagnosis RLF, dengan masing-masing p value yaitu 0,015 dan 0,010. Penelitian ini menyimpulan bahwa kadar asam empedu dan keberadaan H. pylori pada saliva pasien dapat digunakan untuk mendiagnosis RLF, sedangkan enzim pepsin dan tripsin tidak bermakna dalam mendiagnosis RLF

    DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF A FISH BONE FOREIGN BODY AT ESOPHAGEAL INTROITUS WITH AND WITHOUT RETROPHARYNGEAL ABSCESS

    Get PDF
    AbstrakBenda asing yang tertelan merupakan kegawatdaruratan di bidang telinga hidung tenggorok (THT). Tulang ikan merupakan salah satu benda asing di tenggorok yang banyak ditemukan. Abses retrofaring merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat tersangkut benda asing ini. Foto polos leher posisi lateral perlu dilakukan untuk kecurigaan adanya lesi di daerah faring. Pasien dengan gejala menetap harus dievaluasi dengan endoskopi, walaupun pada pemeriksaan radiologi tidak tampak. Benda asing harus segera dikeluarkan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Abses retrofaring diterapi dengan medikamentosa dan drainase pus. Jika terdapat benda asing harus dikeluarkan. Dilaporkan dua kasus benda asing tulang ikan di introitus esofagus. Kasus pertama pada seorang pasien laki-laki umur 42 tahun tanpa abses retrofaring dan kasus kedua pada anak laki-laki berusia 8 tahun dengan abses retrofaring. Tulang ikan terlihat pada ronsen foto leher jaringan lunak posisi lateral. Pada kedua pasien dilakukan esofagoskopi untuk mengambil tulang ikannya dan pada pasien kedua dengan abses retrofaring, absesnya sudah pecah dan pus didrainase dikombinasikan dengan pemberian antibiotik intravena.AbstractForeign body ingestion is an emergency in otorhinolaryngology. One of the most common ingested foreign body is a fish bone. Retropharyngeal abscess is well-documented complication from foreign body ingestion. The soft tissue neck radiograph lateral position is the most significant radiologic examination performed in a patient with a suspected pharyngeal lesion. In patient with persistent symptoms should be evaluated with endoscopy, although radiological examination was negative. We have to extract foreign body immediately to prevent further complication. Retropharyngeal abscess should be treated with medical and drainage of pus. If there is a foreign body must be removed. Two cases of a fish bone foreign body at esophageal introitus was reported. First case in 42 year-old male without retropharyngeal abscess and second case in 8 year-old boy with retropharyngeal abscess. Fish bones were seen from lateral neck soft tissue x-ray. Esophagoscopy were performed to removed fish bones and in the second patient, the abscess had ruptured and the pus was drainage as the treatment combined with intravenous antibiotic

    Foreign Body Bottom of Pen in Bronchus with and without Atelectasis

    Get PDF
    Introduction: Foreign body aspiration (FBA) is a common case in children. Delayed diagnosis more than 24 hours often increased the risk of complications and mortality. Atelectasis is one of the common complication of FBA. Rigid bronchoscopy under general anaesthesia is the choice of procedure for diagnosis and treatment. Case Report: It was reported two cases foreign body aspirationof a bottom of pen. First case was agirl, aged 6 year-old with foreign body a bottom of pen without lumen in bronchus with atelectasis and second case was a foreign body bottom of penwith lumen in bronchus in a boy, aged12 year-old without atelectasis but late diagnosis. Both cases have been successfully extracted using rigid bronchoscopy. Conclusion: Foreign body without lumen have more acute and severe complication rather than foreign body with lumen. The presence of a lumen within the foreign body allows good ventilation and shows less symptomps. Appropriate diagnosis and treatment will minimize the risk of complications

    Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi

    Get PDF
    Abstrak Latar Belakang: Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomis. Salah satu penyebab dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi. Tujuan: Untuk menilai gejala dan derajat sumbatan hidung pada deviasi septum nasi. Tinjauan Pustaka: Diagnosis dari gejala sumbatan hidung sangat kompleks dan bervariasi, selain berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik juga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk pengukuran sumbatan hidung. Skor sumbatan hidung merupakan salah satu parameter untuk menilai suatu sumbatan hidung pada deviasi septum nasi. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengevaluasi gejala sumbatan hidung, diantaranya adalah nasal inspiratory flow meter, rhinomanometri dan rhinometri akustik. Kesimpulan: Gejala sumbatan hidung pada deviasi septum dapat dievaluasi dengan pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan dengan spatula lidah, nasal inspiratory flow metry, nasal expiratory flow metry, rinomanometri, dan rinometri akustik. Kata kunci: sumbatan hidung, deviasi septum, nasal inspiratory flow metry, nasal expiratory flow metry, rinomanometri, rinometri akuistik. Abstract Background: Although nasal obstruction is not a severe symptom of the disease, it can decrease the quality of life and activity of the patient. The etiology of nasal obstruction could be varied from any diseases and anatomical abnormalities. One of anatomical abnormality cause is septal deviation. Purpose: To evaluate the symptom and the degree of nasal obstruction in septal deviation. Review: The diagnosis of nasal obstruction is more complex and varied, based on anamnesis and physical examination, and beside that need additional examination to measure the nasal patency. Nasal obstruction score is one of parameter to evaluate the obstruction of nose. Because of that, it needs additional examination to diagnose and evaluate the nasal obstruction, include nasal inspiratory flow meter, rhinomanometry, acoustic rhinometry. Conclusion: Nasal obstruction in septal deviation with additional examination, such as tongue spatula, nsal expiratory flow metry, nasal inspiratory flow meter, rhinomanometry, acoustic rhinometry. Keywords: Nasal obstruction, septal deviation, nasal inspiratory flow meter, nasal expiratory flow metry, rhinomanometry, acoustic rhinometr

    Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring pada Dewasa

    Get PDF
    Pendahuluan: Abses retrofaring pada dewasa jarang ditemukan, biasanya sering pada anak-anak karena terdapat kelenjar limfe retrofaring. Penyebab abses retrofaring pada dewasa diantaranya trauma, penetrasi benda asing, tuberkulosis dan faktor predisposisi seperti diabetes dan imunodefisiensi. Komplikasi bisa terjadi ruptur, obstruksi jalan nafas atas, perluasan abses ke mediastinum dan perluasan ke ruang leher dalam lainnya. Penatalaksanaan dengan cara insisi dan ekplorasi abses dan pemberian antibiotik yang adekuat. Laporan Kasus: Telah dilaporkan satu kasus abses retrofaring pada dewasa. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, radiologi dan aspirasi abses. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan insisi dan ekspolorasi abses dan pemberian antibiotik untuk kuman aerob dan anaerob. Kesimpulan : Abses retrofaring pada dewasa bisa disebabkan oleh trauma tanpa adanya penetrasi benda asing di tenggorok, sehingga pasien sering mengabaikannya

    Gambaran Kejadian Perdarahan Saluran Cerna pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang

    Get PDF
    Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat menyebabkan Perdarahan Saluran Cerna (PSC). Efek PSC sangat serius karena penurunan tekanan darah akibat perdarahan akan semakin menurunkan laju filtrasi glomerulus yang berarti semakin memperburuk PGK. Tujuan: Mengetahui kejadian PSC pada pasien PGK. Metode: Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional menggunakan data rekam medis. Populasi penelitian adalah pasien PGK stadium 4 dan 5 rawat inap RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari sampai Desember 2018. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Sampel berjumlah 207 orang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis data berupa analisis univariat dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Hasil: Ada 11,6% pasien PGK mengalami PSC. Persentase PSC lebih tinggi pada stadium 5 dibanding stadium 4 (11,8% : 8,3%), laki-laki dibanding perempuan (12,1% : 10,8%), anemia dibanding tidak anemia (12,0% : 0,0%) dengan 100% pasien PGK yang mengalami PSC juga mengalami anemia, hemodialisis rutin dibanding nonhemodialisis rutin (12,7% : 11,0%), memiliki kadar ureum rerata 277,79 + 134,92 mg/dL, dan 100% mengalami PSC bagian atas dengan manifestasi terbanyak berupa melena (41,7%)

    Gambaran Intensitas Kebisingan di Wahana Bermain Indoor di kota Padang

    Get PDF
    Kebisingan merupakan salah satu masalah kesehatan lingkungan. Wahana bermain indoor merupakan salah satu tempat yang memiliki intensitas kebisingan yang tinggi sehingga dapat menyebabkan gangguan pendengaran pada pengunjung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rerata gambaran bising di beberapa titik di wahana bermain indoor di kota Padang, apakah kebisingan tersebut masih dalam batas aman atau tidak, serta mengetahui profil pengunjungnya. Penelitian ini merupakan studi deskriptif yang dilaksanakan pada bulan November 2017-April 2018. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang responden dan pengukuran intensitas kebisingan yang dilakukan di 15 titik di tiga lokasi wahana bermain indoor yaitu Fun Station Basko Grand Mall, Zone 2000 Plaza Andalas, dan Trans Studio Mini Transmart. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan menggunakan Sound Level Meter merek Tenmars TM-102. Hasil penelitian menunjukkan intensitas kebisingan rerata dari masing-masing wahana bermain yaitu Fun Station Basko Grand Mall sebesar 91,67 dB, Zone 2000 Plaza Andalas sebesar 91,58 dB, dan Trans Studio Mini Transmart sebesar 91,594 dB. Intensitas kebisingan rerata di tiga tempat tersebut melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup untuk tempat rekreasi, yaitu sebesar 70 dB. Mesin permainan dengan intensitas kebisingan tertinggi di Zone 2000 dan di Trans Studio Mini adalah hockey, sedangkan di Fun Station adalah mesin Go Go Doggy

    Diagnosis dan Penatalaksanaan Papiloma Laring Berulang pada Dewasa

    Get PDF
    Pendahuluan: Papiloma laring merupakan tumor yang berasal dari infeksi Human Papiloma Virus (HPV) yang bersifat jinak, berulang dan berisiko berubah menjadi ganas. Anti virus yang diberikan seringkali tidak menyebabkan remisi dari papiloma sehingga perlu tindakan bedah yang berulang. Tujuan: Memahami cara menegakkan diagnosis dan melakukan tatalaksanaan papilloma laring berulang pada dewasa. Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus papiloma laring pada seorang pasien perempuan usia 26 tahun yang sudah dilakukan ekstirpasi papiloma dengan laser 5 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah kontrol lagi sehingga dilakukan trakeostomi akibat obstruksi jalan napas. Penatalaksanaan selanjutnya adalah dengan pemberian antivirus dan tindakan bedah  setiap 3 bulan untuk ekstirpasi papiloma.  Kesimpulan: Papiloma laring dapat menginfeksi laring dan dapat tumbuh kembali dengan cepat dan jika dibiarkan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Penatalaksanaan dengan antivirus dan penanganan bedah dilakukan berulang menggunakan mikrolaringoskopi ekstirpasi dengan Laser

    DIAGNOSIS AND MANAGEMENT OF A FISH BONE FOREIGN BODY AT ESOPHAGEAL INTROITUS WITH AND WITHOUT RETROPHARYNGEAL ABSCESS

    Get PDF
    AbstrakBenda asing yang tertelan merupakan kegawatdaruratan di bidang telinga hidung tenggorok (THT). Tulang ikan merupakan salah satu benda asing di tenggorok yang banyak ditemukan. Abses retrofaring merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat tersangkut benda asing ini. Foto polos leher posisi lateral perlu dilakukan untuk kecurigaan adanya lesi di daerah faring. Pasien dengan gejala menetap harus dievaluasi dengan endoskopi, walaupun pada pemeriksaan radiologi tidak tampak. Benda asing harus segera dikeluarkan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Abses retrofaring diterapi dengan medikamentosa dan drainase pus. Jika terdapat benda asing harus dikeluarkan. Dilaporkan dua kasus benda asing tulang ikan di introitus esofagus. Kasus pertama pada seorang pasien laki-laki umur 42 tahun tanpa abses retrofaring dan kasus kedua pada anak laki-laki berusia 8 tahun dengan abses retrofaring. Tulang ikan terlihat pada ronsen foto leher jaringan lunak posisi lateral. Pada kedua pasien dilakukan esofagoskopi untuk mengambil tulang ikannya dan pada pasien kedua dengan abses retrofaring, absesnya sudah pecah dan pus didrainase dikombinasikan dengan pemberian antibiotik intravena.AbstractForeign body ingestion is an emergency in otorhinolaryngology. One of the most common ingested foreign body is a fish bone. Retropharyngeal abscess is well-documented complication from foreign body ingestion. The soft tissue neck radiograph lateral position is the most significant radiologic examination performed in a patient with a suspected pharyngeal lesion. In patient with persistent symptoms should be evaluated with endoscopy, although radiological examination was negative. We have to extract foreign body immediately to prevent further complication. Retropharyngeal abscess should be treated with medical and drainage of pus. If there is a foreign body must be removed. Two cases of a fish bone foreign body at esophageal introitus was reported. First case in 42 year-old male without retropharyngeal abscess and second case in 8 year-old boy with retropharyngeal abscess. Fish bones were seen from lateral neck soft tissue x-ray. Esophagoscopy were performed to removed fish bones and in the second patient, the abscess had ruptured and the pus was drainage as the treatment combined with intravenous antibiotic.<br /

    Hubungan gangguan pendengaran dengan penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut

    Get PDF
    Tujuan: Mengetahui hubungan antara gangguan pendengaran dengan penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut. Metode: Menggunakan metode studi potong lintang pada kelompok usia lanjut yang menghuni panti sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu di Batusangkar dari bulan Juli sampai September 2017. Terdapat 38 orang usia lanjut lebih dari 60 tahun yang masing-masingnya dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan Mini Mental State Examination (MMSE) dan pemeriksaan fungsi pendengaran dengan Oto Acoustic Emission (OAE). Data kemudian dianalisis dengan Fisher Exact Test dimana nilai p<0,05 dianggap bermakna. Hasil: Didapatkan median umur 71 tahun (60-86 tahun), jenis kelamin laki-laki sebanyak 76,3%, fungsi kognitif terganggu sebanyak 68,4% dan pendengaran terganggu sebanyak 68,4%. Simpulan: Terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan fungsi kognitif pada usia lanjut.
    corecore