28 research outputs found

    Perbandingan Ketebalan Ligamentum Coracohumeral pada Pasien Adhesive Capsulitis dengan Diabetes Mellitus dan Tanpa Diabetes Mellitus Berdasarkan Pemeriksaan Ultrasonografi Gray Scale

    Get PDF
    Adhesive capsulitis merupakan sindrom klinik dengan karakteristik berupa nyeri yang terlokalisir disertai kekakuan pada bahu dengan keterbatasan pergerakan aktif dan pasif. Keadaan patologi ini mengenai jaringan kapsuler glenohumeral dan melibatkan ligamentum coracohumeral dalam rotator interval. Penelitian ini bertujuan membandingkan ketebalan ligamentum coracohumeral pada pasien adhesive capsulitis dengan diabetes mellitus dan tanpa diabetes mellitus berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi gray scale. Penelitian ini dilakukankan di Departemen Radiologi RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Universitas Hasanuddin Makassar mulai bulan November 2018 sampai Januari 2019. Jumlah sampel sebanyak 68 orang dengan rentang usia 32 hingga 81 tahun. Metode yang digunakan adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian pada pasien adhesive capsulitis dengan diabetes mellitus memiliki ketebalan ligamentum coracohumeral minimal 2.8 mm dan ketebalan maksimal 3.6 mm, dengan nilai tengah 3.05 mm serta ketebalan rata-rata 3.078 mm dan standar deviasi 0.19. Sedangkan pada pasien adhesive capsulitis tanpa diabetes mellitus memiliki ketebalan ligamentum coracohumeral minimal 2.4 mm dan ketebalan maksimal 3.1 mm dengan nilai tengah 2.70 mm serta ketebalan rata-rata 2.726 dan standar deviasi 0.20. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ligamentum coracohumeral pada pasien adhesive capsulitis dengan diabetes mellitus lebih tebal dibandingkan ligamentum coracohumeral pada pasien adhesive capsulitis tanpa diabetes mellitus

    Trachea and Laryngeal Rupture Induced Pneumomediastinum in Psychiatric Patients : A Case Report

    Get PDF
    Introduction: Laryngeal rupture is a potentially life-threatening aerodigestive injury, especially in cases with slow treatment, which can occur spontaneously, iatrogenic or as a result of trauma.Case: We present a case of pneumomediastinum due to sharp trauma causing a laryngeal rupture in a patient with psychiatric disorders. Pneumomediastinum is one of the complications that occur.Discussion: Trauma history and clinical complaints are very helpful in establishing the diagnosis, and imaging has an important role in describing pneumomediastinum and other air leak syndromes so that early treatment can be done immediately.Conclusion: The approach to diagnosing pneumomediastinum with imaging in psychiatric patients has an important role because of the lack of information about complaints and mechanisms of pneumomediastinum

    Anatomical Measurement of Normal Eustachian Tube on the Temporal Bone Computed Tomography Imaging

    Get PDF
    Tujuan: Menggambarkan pengukuran anatomis tuba Eustachius normal pada pencitraan Computed Tomography (CT) tulang temporal. Metode: Ini adalah penelitian deskriptif tuba Eustachius normal dengan mengukur diameter pretimpani, sudut tubotimpani dan panjang pars kartilago tuba Eustachius normal menggunakan teknik rekonstruksi multiplanar pada pencitraan CT tulang temporal dari 58 sampel di beberapa rumah sakit di Makassar. Semua sampel dibagi lagi menjadi kelompok laki-laki dan perempuan, serta kelompok sisi  kanan dan kiri. Kami juga membagi sampel menjadi 6 kelompok usia. Hasil: Rerata diameter pretimpani pada kelompok pria adalah 4,62 mm dan pada kelompok wanita adalah 4,36 mm. Rerata diameter pretimpani adalah 4,59 mm pada kelompok sisi kanan dan 4,36 mm pada kelompok sisi kiri. Rerata sudut tubotimpani adalah 143,5o pada kelompok pria dan 143,3o pada kelompok wanita. Nilai rerata sudut tubotimpani tidak memiliki perbedaan di kedua sisi telinga. Rerata panjang  pars kartilago tidak memiliki perbedaan antara kelompok pria dan wanita dan juga antara sisi kanan dan kiri. Simpulan: Diameter pretimpani lebih besar pada kelompok pria dan kelompok sisi kanan. Sudut tubotimpani dan panjang kartilago tuba Eustachius tidak memiliki perbedaan yang signifikan pada semua kelompok.Kata kunci: tuba eustachius, diameter pretimpani, sudut tubotimpani, panjang kartilago, CT tulang tempo

    Hubungan antara Diameter Optic Nerve Sheath pada Grey Scale Ultrasound dengan Peningkatan Tekanan Intrakranial pada Pasien dengan Lesi Intrakranial

    Get PDF
    The study aims to determine the correlation between diameter of optic nerve sheath on grey scale with increased intracranial pressure in patients with intracranial lesion. The research was conducted in Radiology Department of Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar from January 2019 – May 2019. The sample were 39 people aged ³18 years old with intracranial lesion. Axial computed tomography (CT) examination was performed to evaluate intracranial lesions and the presence of midline shift. The diameter of the optic nerve sheath was measured using eye ultrasonography. Data analyses used Spearman’s correlation test. The results showed that there was a correlation between the dilatation of the right and left optic nerve sheath diameter with midline shift (p = 0.04; p 0.05) on the diameter of the right optic nerve sheath showing a weak positive relationship (p = 0.02) for the diameter the optic nerve sheath left showing a medium positive relationship where the higher the midline shift, the wider the diameter of the left and right optical nerve sheath. There is a correlation between the right and left optic nerve sheath diameter (p = 0.001) showing a strong positive relationship where the wider the diameter of the right optic nerve sheath, the wider the diameter of the left optic nerve sheath at high intracranial pressure. Statistically other results also obtained no relationship between dilatation of the diameter of the optic nerve sheath with clinical symptoms of increased intracranial pressure and type of lesion

    Sikap dan Perilaku Pencarian Pelayanan Kesehatan Orang Tua dengan Anak Tuberkulosis saat Masa Pandemi COVID-19 di RSUD Al-Ihsan

    Get PDF
    Peningkatan kasus TBC saat pandemi COVID-19 karena isolasi sosial memicu penularan TBC di rumah akibat kontak erat selama isolasi. Hal ini menyebabkan keterlambatan diagnosis sehingga meningkatkan kejadian tuberkulosis. Sikap memiliki pengaruh besar terhadap terbentuknya perilaku pencarian pelayanan kesehatan orangtua dengan anak TBC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sikap dan perilaku pencarian pelayanan kesehatan orang tua dengan anak TBC di RSUD Al-Ihsan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan retrospektif dan teknik purposive sampling. Kriteria sampel adalah orang tua yang memiliki anak dengan TBC sebanyak 67 sampel. Untuk mengukur sikap dan perilaku menggunakan kuesioner KAP Surveys yang dikembangkan oleh WHO. Analisis data pada penelitian ini menggunakan distribusi deskriptif  kuantitatif. Hasil penelitian sikap dengan reaksi orang tua ketika anaknya tertular TBC sebagian responden (50,7%) takut tertular TBC dan seluruh responden (95,5%) ketika anaknya tertular penyakit TB mengajak bicara dokter dan tenaga kesehatan. Adapun perilaku pencarian pelayanan kesehatan orangtua dengan anak tuberkulosis sangat bervariasi, lebih banyak responden yang memilih pusat kesehatan, segera ke pelayanan kesehatan setelah gejala TBC muncul dan faktor penghambat pergi ke layanan kesehatan adalah biaya, jarak, dan ketidaktahuan.  Sikap orang tua terhadap TBC sangat serius dan menganggap anaknya berpotensi dapat tertular penyakit TBC. Sikap ini sesuai dengan perilaku pencarian tempat pelayanan kesehatan. Penelitian selanjutnya diharapkan menganalisis determinan sikap dan perilaku orangtua anak dengan TB dalam mengakses pelayanan kesehatan

    Perbandingan Gambaran Ultrasonography Gray Scale dan Doppler Parenkim Hepar Berdasarkan Scoring System dengan Pemeriksaan Fibroscan pada Pasien Hepatitis B Kronik

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi ultrasonography gray scale (USG) dengan doppler parenkim hati berdasarkan sistem skoring dengan pemeriksaan fibro scan pada pasien hepatitis B kronik. Metode penelitian yang digunakan adalah studi potong lintang. Penelitian dilaksanakan di Bagian Radiologi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan Juli sampai Desember 2020. Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita virus hepatitis B kronik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian ini dilakukan pemeriksaan morfologi dan hemodinamik hati dan limpa menggunakan USG Trans abdominal, dilanjutkan dengan penentuan derajat fibrosis berdasarkan Transient Elastography. Data dianalisis secara statistik melalui uji korelasi Spearman jika nilai P 0,05. Penelitian ini melibatkan 32 orang, 22 laki-laki (68,8%) dengan rentang usia 25-64 tahun pada penderita virus hepatitis B kronis. Hasil penelitian menunjukan korelasi yang kuat berdasarkan morfologi USG adalah echoparenkim (p = 0,0001, r = 0,793). Permukaan hati (p = 0,010, r = 0,450), ukuran limpa (p = 0,009, r = 0,452), berkorelasi sedang, sedangkan sudut jantung (p = 0,041, r = 0,363) memiliki hubungan yang lemah korelasi. Diameter vena hepatik dan rerata Portal Vein Velocity (PVV) tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan Transient Elastography. Penilaian USG memiliki korelasi yang kuat (p = 0,0001, r = 0,729) dengan derajat fibrosis berdasarkan Transient Elastograph

    Korelasi Derajat Leukoaraiosis dengan Faktor-faktor Risiko Stroke dan Keparahan Stroke Berdasarkan Derajat Klinis pada Pasien Stroke Iskemik

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi derajat leukoaraiosis berdasarkan CT-Scan kepala dengan faktor-faktor risiko stroke dan keparahan stroke berdasarkan derajat klinis pada pasien stroke iskemik. Metode yang digunakan adalah cross sectional, dilakukan secara retrospektif pada penderita stroke iskemik yang menjalani pemeriksaan CT-Scan kepala di Bagian Radiologi RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar periode Januari 2020 sampai Juli 2020. Sampel sebanyak 46 orang dengan usia 40 tahun yang mengalami serangan stroke pertama dengan onset 1 bulan. Derajat leukoaraiosis dinilai dengan menggunakan skala Van Swieten dan derajat klinis dinilai dengan menggunakan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). Uji statistik yang digunakan adalah uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi bermakna yang sedang dan searah antara derajat leukoaraiosis dan kelompok umur dengan nilai p sebesar 0,004 (0,05) dan nilai r sebesar 0,415. Tidak ada korelasi bermakna antara derajat leukoaraiosis dengan jenis kelamin, hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan derajat klinis dengan nilai p masing-masing secara berurutan sebesar 0,146; 0,520; 0,779; 0,185; dan 0,537 (0,05). Namun tampak kecenderungan bahwa pasien dengan hipertensi tidak terkontrol memiliki derajat leukoaraiosis yang lebih berat

    Penyerupa dan Penyerta Tuberkulosis Paru yang Terdiagnosis Berdasarkan Gambaran CT-scan Toraks Pada Rumah Sakit Rujukan Tersier

    Get PDF
    Latar belakang: Sistem rujukan berjenjang dapat mempengaruhi karakteristik lesi pada CT-scan toraks pasien terduga tuberkulosis (TB) paru pada rumah sakit rujukan tersier. Hal ini dapat menyamarkan keberadaan penyerupa dan penyerta TB paru. Metode Penelitian: Sampel adalah pasien yang terdiagnosis TB paru oleh ahli radiologi pada periode Oktober 2018 hingga Juni 2019. Analisis Chi-square dilakukan untuk menguji kesesuain 12 karakteristik CT-scan toraks (Konsolidasi, kavitas, tree-in-bud, fibrokalsifikasi, air-bronchogram-sign, lesi noduler, efusi pleura, atelektasis, bercak infiltrat, lymphadenopathy, bronchiectasis, ground glass opacity) dengan diagnosis akhir klinisi. Pencatatan penyerupa dan penyerta TB dilakukan setelah diagnosis akhir ditegakkan. Hasil: Dari 137 sampel, hanya 61 (44.5%) pasien yang terdiagnosis sebagai TB paru aktif, 38 (27.7%) terdiagnosis sebagai bekas TB paru dan 38 (27.7%) lainnya terdiagnosis sebagai penyakit paru bukan tuberkulosis. Dari 12 variabel yang dievaluasi, karakteristik yang sesuai dengan diagnosis klinisi adalah tree-in-bud (p = 0.019) dan lymphadenopathy (p = 0.039). Penyakit penyerupa dan penyerta terbanyak adalah tumor paru dan infected bronchiectasis. Simpulan: Gambaran CT-scan pasien TB paru sangat beragam pada rumah sakit rujukan tersier. Diperlukan ketelitian ahli radiologi dan kerja sama yang baik dengan klinisi untuk mendeteksi berbagai kemungkinan diagnosis yang dapat menyerupai dan menyertai TB par

    Comparison of Cardiac Size in Posteroanterior Chest X-Ray and Echocardiography

    Get PDF
    Cardiac size is important to determine the presence of cardiac enlargement caused by left ventricular enlargement or right ventricular enlargement. Although echocardiography is considered to be the gold standard for cardiac enlargement, its availability is limited, expensive and requires trained experts. The posteroanterior (PA) chest X-ray (CXR) is the most common imaging used as a reliable alternative. The aim of this study was to compare cardiac size using cardiothoracic ratio (CTR) and transverse left cardiothoracic ratio (TL-CTR) in PA chest X-ray and echocardiography. This cross- sectional study involved 88 inclusion sample, aged 20-60 years. On the basis of provisional clinical diagnosis, the patients were divided three groups, consist of: (i) Group with normal cardiac size, (ii) Group with left ventricular enlargement (LVE) dan (iii) Group with right ventricular enlargement (RVE). All patients underwent PA CXR and M-Mode echocardiography examinations. The results of the two modalities were compared. CTR and TL-CTR, transverse diameter (TD) and transverse left (TL) in PA chest X-ray showed a strong positive correlation with total ventricular dimension (TVD) and left ventricular internal dimension (LVID) in echocardiography. CTR, TL-CTR, TD and TL in the PA chest X-ray are very good indicators for TVD and LVID in echocardiography. Chest X-ray is a reliable alternative for the diagnosis of cardiomegaly/cardiac enlargement in the absence of echocardiography.

    Effectiveness of Developmental Care on Physiological Functions’ Low Birth Weight Babies: A Literature Review

    Get PDF
    Introduction: Infants with low birth weight (LBW) is a major risk factor for increased morbidity and mortality rate. LBW infants that getting treatment in the neonatal intensive care unit (NICU) will be exposed to various environments and excessive stimulus with various procedures performed that causing stress on the infant. Management strategies that can be done to reduce stress of the excessive stimulus is with developmental care. This literature review is aimed to identify the effectiveness of developmental care on physiological functions of LBW infants in the NICU. Method: Articles were collected from several databases including Medline, CINAHL, EBSCOhost, Google Scholar, PubMed, and Proquest. The keywords were developmental care, low birth weight infant, neonatal intensive care unit, and physiological function were searched for quantitative studies. The articles reviewed were only articles with full text, written in English, and published during period 2013 to 2018. The study was criticized by the author using the Critical Appraisal Tool from JBI (Joanna Briggs Institute). It found 10 articles that related specifically to developmental care on LBW infants in the NICU. Result: Implementation of developmental care for infants in the NICU effective in optimizing the physiological functions of infant, including lowering the pulse and frequency of breath that makes the infant more relaxed. Developmental care can also improve oxygen saturation, reduce pain, reduce gastro esophageal reflux, increase sleep time, and improve neuromuscular maturity. Conclusion: Developmental care facilitate the infant more relaxed. The infant needs regularity of physiological functions and achieving restful sleep to grow and thrive
    corecore