6 research outputs found

    Pendekatan Simulakra Terhadap Kekerasan Dalam Film Kartun Tom & Jerry

    Full text link
    Terlepas dari sisi rating keberadaan media Televisi di Indonesia, dari pendekatan simulakraternyata tayangan film kartun lewat media TV juga membawa dampak bagi penontonnya. Tayangantayangantelevisi tidak lebih dari sebuah dongeng besar untuk meninabobokan pemirsa. Dan yangpaling berbahaya, tayangan pemberitaan di televisi ternyata telah menjadi hantu simulakra yangpaling menakutkan. Bagaimana tidak, tayangan pemberitaan televisi tidak lagi mencerminkan keadaanyang sebenarnya namun sudah menjadi Kenyataan itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard sebagaihyperreality atau realitas semu. Tom and Jerry, begitu akrab di kalangan anak-anak, sayangnyadibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman, pemecahan masalah tokohnya cenderungdilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif samadilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalasdengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yangsama.Dengan kemampuan berpikir yang masih amat sederhana, dapat dimaklumi jika anak-anakcenderung menganggap film kartun yang ia tonton di layar televisi adalah sesuatu hal yang nyata

    Pendekatan Simulakra Terhadap Kekerasan Dalam Film Kartun Tom & Jerry

    Get PDF
    Terlepas dari sisi rating keberadaan media Televisi di Indonesia, dari pendekatan simulakra ternyata tayangan film kartun lewat media TV juga membawa dampak bagi penontonnya. Tayangantayangan televisi tidak lebih dari sebuah dongeng besar untuk meninabobokan pemirsa. Dan yang paling berbahaya, tayangan pemberitaan di televisi ternyata telah menjadi hantu simulakra yang paling menakutkan. Bagaimana tidak, tayangan pemberitaan televisi tidak lagi mencerminkan keadaan yang sebenarnya namun sudah menjadi kenyataan itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality atau realitas semu. Tom and Jerry, begitu akrab di kalangan anak-anak, sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama.Dengan kemampuan berpikir yang masih amat sederhana, dapat dimaklumi jika anak-anak cenderung menganggap film kartun yang ia tonton di layar televisi adalah sesuatu hal yang nyata

    PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI GERAKAN SOSIAL DI MEDIA SOSIAL

    Get PDF
    Tulisan ini bermaksud mengangkat isu gerakan sosial melalui media sosial yang bisa disumbangkan untuk pengembangan pendidikan karakter. Menurut pengamatan penulis selama ini media sosial belum secara maksimal digunakan sebagai media dalam pelaksanaan pembelajaran, pada hal pengguna media sosial sangat banyak jumlahnya. Kondisi seperti ini tinggal dibutuhkan kesediaan pelaksana pendidikan dan pemerintah tentunya sebagai penanggung jawab pelaksanaan pendidikan untuk mendesain kebijakan pendidikan yang berorientasi pada pemanfaatan media sosial sebagai salah satu alternatif sarana pembelajaran. Sehingga diharapkan pembentukn karakter siswa dalam proses pembelajaran disekolah bisa efektif. Tentu media sosial secara esensial mempunyai sisi positif sekaligus sisi negatif, dengan demikian dibutuhkan rekayasa dalam bentuk kebijakan pendidikan sehingga yang ditonjolkan, yakni sisi positif dari media sosial itu sendiri. Metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini, yakni menggunakan metode deskriptif kualitatif. Kesimpulan yang dihasilkan dalam tulisan ini, yaitu Media sosial dapat digunakan untuk membentuk gerakan sosial untuk tujuan bermanfaat. Kata Kunci : Pengembangan Pendidikan Karakter, Geraka

    KAJIAN SIMULAKRA TERHADAP FIGUR HAJI DALAM SINETRON

    Get PDF
    Umumnya konsep diri yang dimiliki oleh Anak Didik Pemasyarakatan dalam kondisi yang Pada hakikatnya ā€œmuatan dalam media televisi merupakan rekayasa simbolik untuk membangun citra virtual, imajinasiā€ yang kesemuanya bermuara pada komersialisasi. Demikianlah keberadaan televisi menurut Baudrillard.J. (1988) tidak lebih dari dunia maya yang berisi simulakra. Simulakra hadir sebagai realitas ā€œplagiatā€ yang tidak sepenuhnya merepresentasikan realitas tersebut. Dengan kata lain, simulakra adalah suatu bentuk representasi realitas yang menipu (falserepresentation), dikonstruksi dalam sekejap untuk menghadirkan citra baru dari objek itu sendiri yang dijadikan pusat citra. Sinetron Islami kini marak di layar televisi Indonesia. Sinetron beraroma yang diklaim itu membawa simbol-simbol agama Islam dalam inti ceritanya. Namun dari beberapa sinetron yang menggunakan istilah islami itu ternyata isinya, jalan cerita, karakter dan permainannya saja tidak islami. berperilaku buruk, dari sudut pandang simulacra ini akan menimbulkan penafsiran yang buruk. Sinetron Islami telah memunculkan persepsi buruk tentang tokoh-tokoh yang dihormati dalam Islam. Ust pada masa haji sosok atau panutan merupakan representasi. Sedangkan dalam tampilan sinetron, citra maupun ust sebagai peziarah telah sirna. Ziarah sebagai simbol suri tauladan di masyarakat telah mengalami degradasi citra

    Examining The Policy Narrative and The Role of the Media in the Policy Response to the Covid-19 Crisis in Indonesia

    No full text
    This paper aims to investigate the relationship narratives presented in the media and their role in influencing the policymaking process regarding the COVID-19 response in Indonesia. The study is based on an analysis of online news content and in-depth interviews with political advisers to the president and ministers as well as public health experts who were invited to the core group of policymakers. Analysis of the narrative policy framework reveals the relationship between the government's response and the changing tone of media coverage. The study also finds that the media have become an influential platform influencing policy agenda setting

    REPRESENTASI DAN PARTISIPASI KELAS MENENGAH DALAM PROGRAM KELUARGA BERENCANA PRIA (Studi Kasus di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul)

    No full text
    Behind the government's success in limiting the birth of this country there is still a negative impact is felt community, especially among women. Responsibility to form a prosperous family affairs including limiting the number of children, not just on the shoulders of his wife.This study will analyze the factors that led to increased community participation in the District Dlingo Bantul. The actor who became an agent of change is the middle class.Representation of the middle class has a significant influence on increasing the number of family planning acceptors Men. Reason KB opted for economic demands with children amounted to three to four people feel burdensome. The high cost of living and education for their children's awareness has led them to not increase the number of children. In addition, their wives are feeling tired because of the emergence of unfavorable effects of contraception they used. Circle KB Men Men Mulyo in District Dlingo until recently there were 85 active acceptors, they are interesting in KB the man after being given the explanation that the vasectomy is not the same as the castrated and no negative effects on the health of their bodies.Achievement of male family planning acceptors in the district is still dominated by middle-class society. The image is a representation, a "resurrection" is understood as a "lived experience". In this sense, how to construct the image of the collective image of the individual. to submit to the collective image.This can be seen in the case of how a man of family planning acceptors were chosen to be the identity of the middle class.gender awareness in recognition of women's reproductive rights was regarded as a representation of one of the middle class. To serve the wants and needs of men who will undergo a MOP, the Government in addition to technical factors must also pay attention to cultural to social factors that need to be synergy between the three factors for success and increase the participation of males in the MOP program predisposing factors (age, educational level, the level of knowledge, attitudes, perception, social and cultural values), enabling factors (access to family planning service men) and reinforcing factors (of wife, friend attitudes, practices friends)
    corecore